Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113099 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Gustiana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai variasi morfologi organ vegetatif
tanaman bidara upas (Merremia mammosa) yang dikumpulkan di daerah jawa
serta aktivitasnya sebagai anti-plasmodium secara in-vitro. Penelitian bertujuan
untuk memperoleh informasi karakter morfologi organ vegetatif tanaman bidara
upas dan aktivitas anti-plasmodium secara in-vitro. Tahapan penelitian meliputi
pengambilan sampel di lapangan, pengamatan morfologi secara visual, ekstraksi,
skrining fitokimia, uji aktivitas antimalaria ssecara in-vitro. Hasil penelitian
menunjukkan sembilan sampel tanaman yang diamati membentuk dua kelompok
utama yaitu kelompok PKL, HAJ dan Purwakarta serta kelompok JJ, HAA,
Balittro, KRP, NL dan KRB. Dua kelompok utama dapat dibedakan berdasarkan
karakter permukaan daun lebih agak kasar (HAJ) atau lebih licin mengkilat
(Purwaka), bentuk umbi, warna pangkal umbi,warna permukaan umbi, banyaknya
serat umbi, warna daging umbi setelah kering, kulit umbi, getah umbi dan warna
akar umbi. Hasil skrining fitokimia kesembilan sampel umbi tanaman bidara upas
(Merremia mammosa) menunjukkan bahwa kesembilan umbi tanaman bidara
upas memiliki kandungan senyawa aktif yang sama yaitu mengandung senyawa
flavonoid, saponin dan terpenoid. Sehingga secara fitokimia, dari kesembilan
sampel esktrak n-heksan umbi bidara upas, diambil satu sampel yaitu sampel
ekstrak n-heksan dari Juragan Jamu (JJ) dari Sleman Jogyakartau ntuk diuji
aktivitas anti-plasmodium. Hasil uji aktivitas anti-plasmodium menunjukkan
bahwa ekstrak n-heksan umbi bidara upas bersifat anti-plasmodium dengan nilai
IC50 3,36, sehingga umbi bidara upas memiliki aktivitas kuat sebagai antiplasmodium
secara in-vitro

ABSTRACT
Morphological Variation study on plant vegetative organs of bidara upas
(Merremia mammosa) collected in the area of Java and its activities antiplasmodium
as in-vitro. The aim of the study is to obtaining information on
morphological characters of vegetative organs of plants bidara upas collected in
the area Java and anti-plasmodium activity in vitro. The study include field
sampling, visual morphological observation, extraction, phytochemical screening,
and testing antimalarial activity in-vitro. The results showed whole plant samples
were observed to form two main groups, namely the first group of PKL, HAJ and
Purwakarta and a second group consisting of JJ, HAA, Balittro, KRP, NL and
KRB. The two main groups can be distinguished by the character form bulbs,
tubers base color, the color of the surface of the bulb, the amount fiber of bulb,
such as tuber flesh color after drying, tubers, bulbs and color sap tuber. The results
of nine samples of phytochemical screening tubers of plants bidara upas
(Merremia mammosa) showed that all nine plant bulbs bidara upas contains
flavonoids, saponins and terpenoids. So that phytochemicals, of the nine samples
of n-hexane extract the tubers bidara upas, was taken one sample of n-hexane
extracts of Juragan Jamu (JJ) from Yogyakarta's Sleman was tested antiplasmodium
activity. Anti-plasmodium activity test results showed that n-hexane
extract the tubers are bidara upas anti-plasmodium with IC50 values of 3.36, so the
bulbs bidara upas have strong activity as anti-plasmodium in vitro"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T46771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Leo
"ABSTRAK
Ahaetulla prasina merupakan spesies ular dari famili Colubridae yang tersebar luas dari Asia hingga Kepulauan Indonesia. Persebarannya yang luas dapat dijadikan petunjuk untuk menjelaskan sejarah pembentukan Kepulauan Indonesia dan mempelajari proses penyebaran serta adaptasinya melalui variasi morfologi. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan variasi morfologi dan menganalisis pola pengelompokan dari populasi A. prasina yang berada di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Penelitian dilakukan dengan menghitung dan mengukur karakter pada 64 spesimen A. prasina koleksi Museum Zoologicum Bogoriense yang berasal dari empat kawasan. Analisis karakter dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan Cluster Analysis (CA). Hasil penelitian menunjukkan terdapat variasi karakter meristik antar individu dan variasi karakter morfometrik yang tidak terlihat signifikan, namun terdapat perbedaan ukuran kepala pada populasi Kalimantan dibandingkan dengan populasi lainnya. Proses penyebaran A. prasina yang belum terlalu lama dan proses adaptasi terhadap mangsa diduga menjadi penyebab tidak signifikannya variasi morfologi populasi antar kawasan meskipun terdapat sedikit perbedaan pada populasi Kalimantan. Selanjutnya, analisis DNA diperlukan untuk memetakan variasi genetis dari A. prasina di Indonesia.

ABSTRAK
Ahaetulla prasina is a colubrid snake, which has widespread from Asia to Indonesia Archipelago. This widespread distribution can explain the formation and biogeographical history of the Indonesian Archipelago through the distribution and adaptation process that are derived from morphological variations. The aims of this research was to explain and analyze the morphological variation and group pattern of A. prasina population in Sumatera, Java, Kalimantan and Sulawesi. This research was done by manually counting and measuring the characteristics of 64 A. prasina specimens collected from the Museum Zoologicum Bogoriense which comes from four islands of Indonesia. The morphological characters were analyzed using Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis (CA). The results showed meristic character variation among individuals and morphologically character variation that are have lower significance. However, there were different in head characters and size on the Kalimantan population in compared to other populations. A relatively short distribution period and the adaptation towards its prey could be the main reason why there is the morphological variations although our analysis showed they have lower significance in all samples except slightly different characters in Kalimantan population. Furthermore, DNA analysis is necessary to show genetic variation of A. prasina in Indonesia.
"
2016
S64993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Iqbal Naufal
"[Dendrobium crumenatum merupakan jenis anggrek yang memiliki variasi morfologi akibat adanya persebaran yang luas. Studi literatur menunjukkan bahwa penelitian terhadap variasi morfologi bunga Dendrobium crumenatum belum dilakukan, salah satunya akibat penjelasan deskripsi yang tidak sama dari tiap-tiap pulau. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk membuat deskripsi yang sama dan lebih lengkap, kemudian menganalisis karakter-karakter yang signifikan berbeda dan memberikan gambaran mengenai pola pengelompokan berdasarkan pola biogeografi. Penelitian yang dilakukan menggunakan 78 spesimen vegetatif dan 51 spesimen bunga. Sebanyak 33 karakter dari 37 spesimen bunga dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran perhiasan bunga, tepi lobus tengah, bentuk sepal dorsal dan sepal lateral, kalus, dan perbandingan panjang lobus tengah dan lobus samping labellum merupakan karakter-karakter yang signifikan berbeda. Hasil analisis juga menunjukkan tiga kelompok yang terpisah, yaitu kelompok 1 (Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi) sebagai Dendrobium crumenatum, kelompok 2 (Nusa Tenggara) sebagai Dendrobium sp., dan kelompok 3 (Sulawesi Utara dan Maluku) sebagai Dendrobium papilioniferum. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk mengubah distribusi Dendrobium crumenatum, menjadikan Dendrobium papilioniferum menjadi jenis yang terpisah, dan menjadi data awal publikasi jenis baru Dendrobium dari Nusa Tenggara.
;Dendrobium crumenatum is an orchid species that have morphological variation due to the broad distribution. The literature study shows that the study of morphological variation about Dendrobium crumenatum has not been done, one of them as a result of the description which are not the same from each island. Therefore, the aims of this research are to make the same and complete description, then analyze the significantly different characters and give a description of grouping based on biogeographic patterns. The conducted research using 78 specimens vegetative and 51 specimens of flowers. A total 33 morphological characters from 37 flower spesimens were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). The analysis shows that the size of the flower parts, the edge of the middle lobe, dorsal sepals and lateral sepals form, callus, and the length ratio between middle lobe and the side lobe labellum are significantly different characters. The analysis also shows three separate groups, namely the group 1 (Sumatra, Java, Borneo, and Celebes) as Dendrobium crumenatum, group 2 (Lesser Sunda) as Dendrobium sp., and group 3 (North Sulawesi and Moluccas) as Dendrobium papilioniferum. Results of this study can be a reference material to restrict the distribution of Dendrobium crumenatum, to make Dendrobium papilioniferum a separate species, and be an early data into new species publication about Dendrobium sp. of Lesser Sunda.
;Dendrobium crumenatum is an orchid species that have morphological variation due to the broad distribution. The literature study shows that the study of morphological variation about Dendrobium crumenatum has not been done, one of them as a result of the description which are not the same from each island. Therefore, the aims of this research are to make the same and complete description, then analyze the significantly different characters and give a description of grouping based on biogeographic patterns. The conducted research using 78 specimens vegetative and 51 specimens of flowers. A total 33 morphological characters from 37 flower spesimens were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). The analysis shows that the size of the flower parts, the edge of the middle lobe, dorsal sepals and lateral sepals form, callus, and the length ratio between middle lobe and the side lobe labellum are significantly different characters. The analysis also shows three separate groups, namely the group 1 (Sumatra, Java, Borneo, and Celebes) as Dendrobium crumenatum, group 2 (Lesser Sunda) as Dendrobium sp., and group 3 (North Sulawesi and Moluccas) as Dendrobium papilioniferum. Results of this study can be a reference material to restrict the distribution of Dendrobium crumenatum, to make Dendrobium papilioniferum a separate species, and be an early data into new species publication about Dendrobium sp. of Lesser Sunda.
, Dendrobium crumenatum is an orchid species that have morphological variation due to the broad distribution. The literature study shows that the study of morphological variation about Dendrobium crumenatum has not been done, one of them as a result of the description which are not the same from each island. Therefore, the aims of this research are to make the same and complete description, then analyze the significantly different characters and give a description of grouping based on biogeographic patterns. The conducted research using 78 specimens vegetative and 51 specimens of flowers. A total 33 morphological characters from 37 flower spesimens were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). The analysis shows that the size of the flower parts, the edge of the middle lobe, dorsal sepals and lateral sepals form, callus, and the length ratio between middle lobe and the side lobe labellum are significantly different characters. The analysis also shows three separate groups, namely the group 1 (Sumatra, Java, Borneo, and Celebes) as Dendrobium crumenatum, group 2 (Lesser Sunda) as Dendrobium sp., and group 3 (North Sulawesi and Moluccas) as Dendrobium papilioniferum. Results of this study can be a reference material to restrict the distribution of Dendrobium crumenatum, to make Dendrobium papilioniferum a separate species, and be an early data into new species publication about Dendrobium sp. of Lesser Sunda.
]"
Universitas Indonesia, 2015
S61899
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amarasinghe Achchige Thasun
"Isolasi merupakan faktor utama dalam biogeografi pulau, disini kami mencoba memahami fenomena filogeografi kelompok londok pohon Asia Tenggara yaitu genus Bronchocela di Kepulauan Indonesia dengan dukungan data morfologi (ukuran tengkorak), molekuler (DNA mitokondria dan inti) dan data evolusi. Genus Bronchocela kosmopolit, morfologi sangat bervariasi tersebar dan terisolasi di hutan yang terfragmentasi di kepulauan Indonesia. Variasi yang kompleks pada genus ini menyebabkan kesulitan dalam penentuan batas spesies dengan jelas. Sebanyak 520 individu spesimen koleksi museum telah diperiksa untuk diuji mengenai dampak isolasi pulau secara geografis terhadap struktur morfologi populasi. Uji statistic dilakukan dengan menggunkan analisis univariat dan multivariat. Sejauh ini baru diketahui hanya hanya empat spesies yang teridentifikasi di wilayah Indonesia, setelah dilakukannya penelitian ini setidaknya teridentifikasi menjadi enam spesies. Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan berdasarkan marka DNA mitokondria yaitu 16s rRNA (~500 bp) dan ND2 (~1300 bp) serta gen inti yaitu oocyte maturation factor mos (CMOS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. cristatella yang tersebar luas, dalam penelitian ini terbukti sebagai spesies kompleks yang setidaknya terdiri atas tiga spesies berbeda. Rekonstruksi pohon filogenetik DNA mitokondria dan inti menggunakan Maximum Likelihood (ML) dan Bayesian Inference (BI) menunjukkan adanya enam garis keturunan evolusi Bronchocela di Indonesia. Tingkat variasi selama ini mungkin diremehkan karena tingginya tingkat kesamaan morfologi yang disebabkan oleh sifat arboreal. Haplotipe network berdasarkan gen mitokondria ND2 dengan jelas menunjukkan adanya delapan garis keturunan. Indeks isolasi diestimasi melalui uji interaksi dua arah (ANOVA) antara luas daratan dan ukuran tubuh dari setiap populasi. Hasil penelitian ini menunjukkan pulau-pulau yang lebih besar mendukung kehidupan londok yang berukuran besar dibandingkan dengan pulau-pulau yang lebih kecil (fenomena dwarfisme pulau) dan sejalan dengan teori isolasi pulau. Hasil analisis waktu BEAST berbasis penggabungan menghasilkan pohon filogenetik dengan dua klade utama dan mengungkapkan nenek moyang terbaru atau most recent common ancestor (MRCA) untuk Bronchocela berasal sekitar 42 juta tahun yang lalu di daratan Asia. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Pohon kredibilitas clade maksimum atau Maximum Credibility Clade (MCC) skala waktu geologi menunjukkan bahwa genus Bronchocela berevolusi pada zaman Miosen awal (~18,7 juta tahun yang lalu) dan memulai spesiasi cepat pada Miosen akhir. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Dalam penelitian ini, distribusi klade berdasarkan keberadaan spesies londok dalam pohon filogenetik. Model State-dependent Speciation and Extinction (SSE) digunakan untuk merekonstruksi Ancestral Range Estimation (ARE). Hasil simulasi silsilah Bronchocela dengan ARE sesuai hipotesis kami bahwa daratan Sunda merupakan asal muasal genus ini dan menjalan kepulauan Sunda Besar, kepulauan Sulu, Sulawesi, dan Maluku utara pada zaman Miosen. Penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai isolasi pulau di wilayah yang belum pernah diteliti sebelumnya dan hal ini menyiratkan bahwa pola distribusi Bronchocela sebagian besar dibentuk oleh peristiwa dispersal pada pra-Pliosen yang diikuti oleh peristiwa vicarian yang mendalam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim Pliosen dapat berdampak besar pada diversifikasi spesies dan demografi spesies-spesies hutan ini.

Isolation is the main factor in insular biogeography, here we try to understand the insular biogeographical phenomenon of the southeast Asian arboreal lizard genus Bronchocela across the Indonesian Archipelago with the support of morphological (including skull morphology), molecular (mitochondrial and nuclear DNA) and evolutionary data. The morphologically highly variable, cosmopolitan arboreal forest lizards of the genus, Bronchocela are dispersed and isolated in fragmented island forests across the Indonesian Archipelago. These species exhibit complex morphological variations, which weaken clear species delimitation. To determine the effects of geographical island isolation on the morphological structure of the populations, 520 individuals of museum specimens (including name-bearing types) were examined across Peninsular Malaysia and the Indonesian Archipelago. Both univariate and multivariate analyses were conducted on morphometric characters. So far only four species have been identified within Indonesian territory and after evaluating morphological and morphometric evidence at least six distinct species have been recognised. We screened two mitochondrial markers comprising 16s rRNA (~500 bp) and ND2 (~1300 bp), with intervening nuclear loci (CMOS) to obtain a robust phylogenetic hypothesis. Based on both morphology and genetics, we delimit potential biogeographic boundaries of the species composition. The previously widely distributed Bronchocela cristatella is here considered as a species complex with at least three distinct species. The phylogeny of mitochondrial and nuclear DNA using Maximum likelihood (ML) and Bayesian Inference (BI) revealed at least six evolutionary lineages within the Indonesian Bronchocela. This level of variation has probably been underestimated because of the high levels of morphological similarity brought about by the arboreal lifestyle. The haplotype networks based on the ND2 mitochondrial gene differentiated the eight lineages. An isolation index was estimated and defined for each island landmass based on its area and tested for two‐way interactions (ANOVA) between landmass and the mean body sizes of each population. Our results show the significant influence of the larger islands supporting larger-bodied lizards compared to the smaller islands, agreeing with the island theory. The coalescent-based BEAST time-analysis yielded a phylogenetic tree with two major clades. It revealed that the most recent common ancestor (MRCA) for the Bronchocela genus originated approximately 42 MYA in mainland Asia. The basal clade of Bronchocela consists of B. burmana and its ancestral taxa which are mostly confined to the Malay Peninsula. The geological time-scaled maximum clade credibility (MCC) tree indicated that the genus Bronchocela evolved in the early Miocene epoch (~18.7 MYA) and started rapid speciation in the late Miocene. We divided the distribution of the clade into regions based on the species in the phylogenetic tree by its presence in those regions, and we used the State-dependent Speciation and Extinction (SSE) models to reconstruct Ancestral Range Estimation (ARE). As we hypothesised, ancestral Range Estimation (ARE) analyses supported that mainland Sundaland served as the origin for Bronchocela, which colonized the Great Sundaic Islands, the Sulu Archipelago, Sulawesi, and Northern Moluccas during the Miocene epoch. Our results provide new insights into insular isolation in a previously unstudied region, and it implies that the distribution pattern of Bronchocela has been largely shaped by pre-Pliocene dispersal followed by deep vicariance events. We further demonstrate that Pliocene climatic changes can have profound effects on species diversification and demography in these forest species."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ubaid Isna Yudhistira
"Dinamika keanekaragaman hayati seringkali dikaitkan dengan perubahan lingkungan, termasuk kedalaman perairan, produktivitas, sifat sedimen, ketersediaan oksigen, morfologi, serta gangguan fisik lainnya. WPPNRI 573 adalah salah satu dari 11 wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia yang memiliki karakteristik geografis dan oseanografis yang unik. Isu yang berkembang pada WPPNRI 573 antara lain eksploitasi berlebih, degradasi habitat, pencemaran dan penangkapan tidak ramah lingkungan, serta masuknya spesies invansif yang terjadi karena kurangnya wawasan dan perhatian pemerintah, serta kurangnya sumberdaya manusia dalam hal pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan informasi terkait resiko ancaman kepunahan keanekaragaman hayati serta variasi morfologi yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dan spasio-temporal dengan Red List Index sebagai model penilaian distribusi wilayah resiko keanekaragaman hayati. Sampel data keanekaragaman hayati dikumpulkan dari GBIF.org dalam rentang tahun 1989-2023. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa resiko terhadap ancaman kepunahan kehati di wilayah WPPNRI 573 cenderung rendah. Spesies lebih dominan berdistribusi secara mengelompok pada zona epipelagik dan semakin terdistribusi secara menyebar pada zona laut yang semakin dalam. Morfologi berpengaruh signifikan dalam level moderat terhadap distribusi keanekaragaman pada kategori nilai resiko ancaman yang sama. Kedalaman memiliki pengaruh yang paling besar, diikuti dengan lereng. Sedangkan orientasi, kelengkungan, dan kekasaran tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

The biodiversity dynamics are often associated with environmental changes, including water depth, productivity, sediment characteristics, oxygen availability, geomorphology, and other physical disturbances. WPPNRI 573 is one of 11 fisheries management areas in Indonesia that has unique geographical and oceanographic characteristics. Issues that occurred in WPPNRI 573 include overexploitation, habitat degradation, pollution, and non-eco-friendly fishing, as well as the entry of invasive species that occur due to lack of government insight and attention, and also lack of human resources in terms of management. This study aims to present information about the risk of biodiversity extinction threats and geomorphological variations that affect it. The method used is spatial and spatial-temporal analysis with Red List Index as a model for assessing the distribution of biodiversity risk areas. Samples of biodiversity data were collected from GBIF.org between 1989 and 2023. The results revealed that the risk of biodiversity extinction in the WPPNRI 573 area tends to be low of biodiversity extinction risk status. Species are predominantly distributed in clusters in the epipelagic zone, and also dispersed in deeper marine zones. Geomorphology has a significant moderate effect on the distribution of diversity in the same threat risk value category. Depth has the most influence, followed by a slope. While aspect, curvature, and ruggedness do not have a significant effect."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vega Pranadewi
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pada kelompok anoa (Anoa Smith 1827) di Kebun Binatang Ragunan (KBR) Jakarta yang bertujuan untuk menelaah ulang penamaan terhadap anoa yang berada di KBR, dengan melihat kariotipe dan hasil G-banding kromosomnya. Penelitian dilakukan mengingat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penempatan kandang pada anoa di KBR serta kemungkinan terdapatnya hibrid dari persilangan yang terjadi. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan data studi kromosom. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa masih terdapat kekeliruan dalam penempatan kandang dan penamaan pada anoa di KBR yang mengakibatkan terjadinya kelahiran anoa betina hibrid. Kesalahan dalam penempatan kandang dan penamaan yang terjadi tidak terlepas dari masih kacaunya penamaan anoa dewasa ini."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Tianara
"ABSTRACT
Cendawan polypore merupakan kelompok cendawan yang memiliki binding dan skeletal hyphae dengan himenium yang umumnya berpori. Cendawan tersebut memiliki manfaat tinggi pada sisi ekologis dan antroposentris. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2018, keanekaragaman cendawan di Kampus UI Depok, khususnya cendawan polypore, belum pernah terdata. Hal tersebut perlu menjadi perhatian besar mengingat berbagai peningkatan jumlah sarana-prasarana telah dan sedang dilakukan di kawasan kampus sehingga dapat mengancam keberadaan cendawan polypore. Penelitian bertujuan untuk menginventarisasi dan mendeskripsikan, membandingkan keanekaragaman taksonomi, dan menyediakan koleksi spesimen cendawan polypore di Kampus UI Depok. Sampling spesimen dilakukan di seluruh kawasan urban dan hutan Kampus UI Depok menggunakan metode jelajah bebas. Karakterisasi, identifikasi, dan penyusunan deskripsi spesies menggunakan pendekatan morfologi, baik makroskopis maupun mikroskopis. Diperoleh 70 spesimen cendawan polypore dari kawasan tersebut yang terdiri atas 34 spesies yang berasal dari 22 genus, 7 famili (1 incertae sedis),  dan 4 ordo.  Sebanyak 82,35% cendawan polypore berasal dari ordo Polyporales GA um. Sementara itu, famili dan genus terbesar adalah Polyporaceae dan Trametes. Sebanyak 17 spesies yang terdeteksi sebagai spesies new record di Pulau Jawa dan 11new record di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa kawasan hutan memiliki keanekaragaman taksonomi lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan urban. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan substrat tumbuhan dan kondisi abiotik pada kedua kawasan yang dapat memengaruhi dispersi dan pertumbuhan cendawan polypore.

ABSTRACT
The polypore mushrooms or polypores are distinguished by their binding and skeletal hyphae and typical poroid hymenophore. Huge beneficial ecological and anthropocentric values can be obtained from them. Unfortunately, there have never been any mushroom diversity record on site, including polypores, though Universitas Indonesia has been established in Depok for 31 years. Moreover, campus facilities development which is ongoing may threaten their existence. The study was aimed to list and describe polypores of UI Depok Campus which then collected as specimen for further studies. Taxonomic diversity in urban and forest area were then compared. Sampling had been conducted using broad survey method. Characterization, identification, and species description were done using morphological approach, both macroscopic and microscopic. Seventy specimens which were collected consisted of 34 species from 22 genera, 7 families (1 incertae sedis), and 4 orders. Polyporales GA um is the largest order (82,35% from all species found) with Polyporaceae and Trametes as the largest in rank family and genus respectively. It is then known that 17 species are new record in Java and 11 among them are new to Indonesia. The study shows that taxonomical diversity is higher in forest area compared to urban area. It was possible due to the differences in plant availability as substrate and abiotic factors those affect polypores dispersion and growth."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahira Farid
"Telah dilakukan penelitian interaksi reproduksi orangutan sumatra jantan terhadap betina pasangannya dalam exhibit di Taman Safari Bogor, Jawa Barat. Metode yang digunakan yaitu focal animal sampling dan ad libitum sampling. Pengamatan dilakukan selama 24 hari dengan total waktu 7.920 menit, dilakukan selama enam hari dalam sepekan. Pengamatan perilaku dimulai pada pukul 09.30--16.00 WIB. Aktivitas interaksi yang diamati berupa perilaku sosial yang bersifat afiliatif dan agonistik, serta perilaku reproduksi meliputi atraktivitas, proseptivitas, dan reseptivitas. Subjek pengamatan yaitu dua individu orangutan sumatra yang berada di dua kawasan berbeda. Kawasan pertama terdapat individu jantan (J1) bersama betina pasangannya dan orangutan anak di Baby Zoo, kawasan kedua terdapat individu jantan (J2) bersama dua betina bunting di Primata Center. Hasil menunjukan proporsi yang berbeda pada perilaku sosial dan perilaku reproduksi pada kedua subjek yang diamati. Pola perilaku sosial pada J1 menunjukan social afiliatif (grooming) menjadi aktivitas tertinggi (40%) sedangkan J2 social afiliatif (approaching) menjadi aktivitas tertinggi (33%). Selama periode pengamatan, perilaku agonistik tidak ditemukan. Individu J1 dan J2 memiliki perilaku reproduksi terbesar adalah atraktivitas, dengan J1 atraktivitas (3%) lebih rendah dibandingkan J2 (14%). Perilaku sosial afiliatif pada individu J1 lebih besar dibanding J2 karena aktivitas grooming yang juga dilakukan kepada anak. Interaksi reproduksi pada J2 lebih besar dibanding J1, karena individu J2 ditempatkan dalam exhibit bersama dua betina pasangannya. Oleh karena itu, interaksi sosial yang dilakukan lebih intensif."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Afifudin
"Anoa dataran rendah kini berstatus terancam punah sehingga perlu dikonservasi secara ex-situ seperti di Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Ditemukannya kasus perkawinan sedarah anoa di TMR mendorong mereka untuk terlibat dalam program collaborative captive breeding antarhabitat ex-situ di bawah pedoman Global Species Management Plan (GSMP) untuk meningkatkan keragaman genetik anoa. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku sosial dan reproduksi anoa jantan di TMR untuk mengevaluasi kesiapannya sebelum dipasangkan dengan anoa betina hasil pertukaran. Pengamatan terhadap satu ekor anoa jantan dewasa dilakukan selama 2 bulan (Januari—Maret 2024) dengan metode scan sampling dan ad libitum, mencakup 60 sampling point dari 38 hari pengamatan. Hasil menunjukkan variasi aktivitas harian dan kecenderungan berinteraksi secara sosial dan reproduktif oleh anoa jantan, ditandai dengan perilaku approaching, vocalization, dan sniffing (termasuk flehmen) meski terhalang pagar pemisah dengan anoa betina di kandang sebelahnya. Anoa jantan secara keseluruhan menunjukkan ketertarikan dan pendekatan aktif untuk berinteraksi sosial dan reproduksi, sehingga dapat mendukung potensi keberhasilan program breeding.

The lowland anoa is an endangered species which requires ex-situ conservation efforts like those at Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Inbreeding cases discovered at TMR prompted their participation in a collaborative captive breeding program guided by the Global Species Management Plan (GSMP) aimed at increasing the genetic diversity of anoa. This study focused on observing the social and reproductive behavior of a male anoa at TMR as part of evaluating his readiness to be paired with an exchange-bred female anoa. The observation of one adult male anoa was conducted for two months (January—March 2024) using scan sampling and ad libitum method, covering 60 sampling points from 38 observation days. The results revealed that male anoa engaged in various daily activities and exhibited a propensity for social and reproductive behaviors, such as approaching, vocalization, and sniffing (including flehmen), despite being separated by fences from a female anoa in the adjacent enclosure. The overall observations suggest that male anoa displayed interest and actively sought social and reproductive interactions, supporting the potential success of the breeding program."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>