Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frimanisa Aprilianti Sudardjo
"ABSTRAK
Desa Girimukti di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat merupakan salah satu desa penghasil teh yang diproduksi oleh petani kecil. Sebagian besar wilayahnya merupakan perkebunan teh yang dimiliki penduduk, dan hampir 90% penduduknya menggantungkan diri terhadap produksi kebun tehnya, baik sebagai petani maupun peran-peran lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola mata rantai nilai hulu industri teh pada skala desa, yang terjadi di Desa Girimukti. Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara mendalam, dianalisis dengan membandingkan proses dan pertambahan nilai pada setiap simpul rantai. Analisis dilakukan dengan membandingkan sejarah kepemilikan tanah, luas kebun teh, sumber penghasilan lain, dan peran dalam rantai pertambahan nilai. Pembanding tersebut menunjukan bahwa terdapat variasi peran yang berbeda dari setiap pelaku industri teh di wilayah hulu. Mata rantai produksi tehdi Desa Girimukti menunjukan bahwa sejarah kepemilikan tanah kebun menentukan peran pelaku. Para pionir memiliki tanah yang lebih luas daripada pelaku baru. Semakin luas kebun teh maka semakin banyak peran yang dijalani pelaku.

ABSTRAK
Girimukti Village in Tasikmalaya Regency, West Java is one of the tea-producing village which tea produced by local farmers or yeoman. Most of the area consist of tea plantation owned by local residents, and almost 90% of the entire population depend their life on the tea production, either as a farmer or another roles. This study aims to determine the pattern of the upstream value chain of the tea industry on a village scale, that happens in Girimukti Village. Methods of data collection done by in-depth interview, analyzed by comparing the process and adding values on each chain node. Analysis done by comparing the history of land ownership, total area of the tea plantation, other income sources, and role on value addition in the chain. The comparison shows that there's variation of roles that differ between the workers in the upstream area of tea industry. Tea production chain in Girimukti Village shows that the land ownership history determine the roles of the workers or the owner. The pioneers have a broader land than the new people. The wider and broader the tea plantation, the more roles undertaken by the owner."
2016
S65061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvanya Rosaline Dewi Andini
"

Sustainability Livelihood Approach merupakan sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengukur upaya sebuah keluarga untuk melanjutkan sumber mata pencahariannya. Salah satu sumber penghidupan yang saat ini menghadapi masalah adalah menjadi petani pemilik kebun teh. Kebun teh yang dikelola oleh petani secara individu merupakan sebuah fenomena yang dapat ditemukan di beberapa kabupaten di Jawa Barat, salah satunya di Kabupaten Sukabumi.  Sebagai pemilik kebun teh, petani juga memiliki berbagai sumber penghidupan yang lain. Berdasarkan aset kepemilikan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengembangan sumber penghidupan rumah tangga petani pemilik kebun teh.  Pemberian bobot pada setiap aset dari pendekatan SLA dilakukan berdasarkan kondisi geografis lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan informan yang telah ditetapkan persyaratannya (purposive sampling). Petani yang bertempat tinggal dekat dengan jalan utama memiliki sumber penghidupan dari kegiatan non-pertanian, yang dapat menopang pengelolaan kebun teh. Sedang petani yang memiliki jarak sosial yang dekat dengan pengambil keputusan, mampu mengembangkan kegiatan pertanian lain selain kebun teh, dan juga kebun tehnya.  Petani dengan kepemilikan aset alam yang rendah menghadapi kesulitan untuk melakukan diversifikasi kegiatan ekonomi di dalam desa. Pilihan untuk mempertahankan kebun tehnya adalah dengan melakukan migrasi, bekerja di luar desa. Berdasarkan fakta tersebut maka kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa jarak yang dekat, baik jarak fisik maupun sosial, memberi kesempatan petani untuk dapat terus mengelola kebun tehnya, serta membentuk strategi penghidupan sehari-hari.

 

 

 

 


The Sustainability Livelihood Approach is a method in measuring the efforts of a household to continue its livelihood. One livelihood that is currently facing problems is being a farmer who owns a tea garden. Tea gardens managed by farmers households are a phenomenon that distributes in several districts in West Java, one of which is Sukabumi. As a tea garden owners, farmers also have various other livelihood sources. Based on ownership assets this study aims to determine the livelihood strategy pattern of tea garden owners. The weighting of each asset from the SLA approach is based on the geographical conditions of the research location. Data collection was carried out by in-depth interviews with informants whose requirements had been determined (purposive sampling). Farmers who liveclose to the main road, support their tea garden by their livelihoods from non-agricultural activities. Meanwhile, farmers who have a close social distance to decision-makers can develop other agricultural activities apart from their tea gardens and also their tea gardens. Farmers with low ownership of natural assets face difficulties to diversify economic activities within the village. The choice to maintain the tea garden is to migrate, by working outside the village. Based on these facts, the conclusions of this study indicate that close distances, both physical and social distance, provide oppurtunities for farmers to be able to continue managing their tea gardens, as well as form a daily livelihood strategy.

 

 

 

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Imran Khairul Imam
"Desa Cisitu di Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan sumber mata pencaharian sebagai petani teh. Keberlanjutan mata pencaharian sebagai petani teh menghadapi masalah musim kemarau yang panjang dan naik turunnya harga daun teh. Hal ini menyebabkan kebun teh di Desa Cisitu dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman lain selain teh. Pengukuran keberlanjutan mata pencaharian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Keberlanjutan penghidupan diukur melalui 5 aset utama, yaitu aset alam, aset finansial, aset fisik, aset manusia, dan aset sosial. Aset alam diukur dengan lokasi perkebunan, jasa lingkungan dan bencana alam. Aset keuangan diukur melalui modal, aset hidup lainnya dan luas lahan pertanian. Aset fisik diukur melalui mekanisme pertanian, alat pendukung pertanian, teknologi pertanian dan aksesibilitas. Aset manusia diukur dari kemampuan dan pengetahuan serta ketersediaan tenaga kerja. Aset sosial diukur dengan partisipasi dalam kelompok tani dan keterlibatan dengan lembaga lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi petani yang mampu bertahan hanya sebagai petani teh. Semua petani memiliki sumber pendapatan lain, baik dengan mengkonversi kebun teh mereka atau dari sumber non-pertanian. Petani yang masih mengelola kebun tehnya dengan baik adalah mereka yang memiliki aset keuangan yang memadai dan mendapat bantuan dari pemerintah. Profil petani menjadi kunci peluang mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan petani teh dapat berlanjut sebagai sumber penghidupan jika ada pendampingan dan pembinaan dari pemerintah yang dilakukan sesuai dengan profil petani tersebut.

Cisitu Village in Sukabumi Regency is one of the villages that still maintains a source of livelihood as tea farmers. Sustainability of livelihoods as tea farmers face the problem of a long dry season and the ups and downs of tea leaf prices. This causes the tea garden in Cisitu Village to be used to grow other types of plants besides tea. Measurement of livelihood sustainability is carried out using qualitative methods. Livelihood sustainability is measured through 5 main assets, namely natural assets, financial assets, physical assets, human assets, and social assets. Natural assets are measured by plantation location, environmental services and natural disasters. Financial assets are measured through capital, other living assets and the area of ​​agricultural land. Physical assets are measured through agricultural mechanisms, agricultural support tools, agricultural technology and accessibility. Human assets are measured by the ability and knowledge as well as the availability of labor. Social assets are measured by participation in farmer groups and involvement with other institutions. The results of this study indicate that there are no longer farmers who are able to survive only as tea farmers. All farmers have other sources of income, either by converting their tea gardens or from non-agricultural sources. Farmers who still manage their tea gardens well are those who have adequate financial assets and receive assistance from the government. Farmer profiles are the key to opportunities to get assistance from the government. The conclusion of this study shows that the life of tea farmers can continue as a source of livelihood if there is assistance and guidance from the government carried out according to the profile of the farmer."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Widya Utami
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka kemiskinan pada petani dan buruh tani perkebunan teh yang menyebabkan adanya kondisi rentan untuk jatuh semakin miskin. Padahal komoditas teh merupakan salah satu potensi pertanian di Indonesia dan diminati pasar nasional maupun internasional. Kerangka mata pencaharian berkelanjutan digunakan dalam menganalisis konteks kerentanan yang dihadapi untuk membantu kelompok miskin tersebut agar lebih resilien dengan memanfaatkan aset yang dimilikinya. Penelitian ini membahas mengenai gambaran konteks kerentanan dan aset mata pencaharian yang dimiliki petani dan buruh tani teh di Desa Taraju. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara mendalam semi terstruktur, observasi, dan studi dokumentasi. Wawancara melibatkan tiga belas (13) informan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Adapun informan yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari Kepala Desa, Kasi Kesejahteraan, empat Kepala Dusun, satu tokoh masyarakat, dua petani teh, dan empat buruh tani teh. Penelitian yang dilaksanakan pada rentang waktu Oktober 2022 hingga Juni 2023 menjadi basic research dalam pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial, khususnya terkait asesmen kondisi kemiskinan dalam rangka upaya pencegahan dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan yang dihadapi adalah (1) guncangan berupa pandemi Covid-19, serangan hama, dan konflik sosial; (2) kecenderungan berupa upah rendah, keterbatasan modal, minimnya penghitungan biaya penyusutan, ketergantungan pada pinjaman dan bantuan, sulitnya regenerasi petani, serta perubahan cuaca, dan (3) perubahan musiman berupa penurunan produksi teh, biaya pemeliharaan tinggi, harga pucuk teh rendah, gaya hidup masyarakat terhadap konsumsi teh, serta ketimpangan penguasaan lahan. Adapun hasil penelitian berikutnya terkait aset mata pencaharian yang dimiliki adalah (1) aset sosial berupa rasa percaya antar warga dan pemimpin, norma dan nilai agama yang dipegang teguh, norma kesopanan antar sesama, sistem gotong royong dan musyawarah, tali persaudaraan/nasab yang dekat, organisasi masyarakat aktif, dan adanya kelompok tani; (2) aset finansial berupa upah, mata pencaharian alternatif, hewan ternak, dan tabungan; (3) aset manusia berupa pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan; (4) aset fisik berupa adanya bangunan umum dan infrastruktur mendukung; (5) aset alam berupa lahan/kebun yang cocok untuk perkebunan teh, persediaan pangan, serta tipologi daerah dan suhu rendah.

The background of this research is the high poverty rate among tea farmers and laborers which causes a condition of vulnerable to fall into poverty. Even though the tea commodity is one of the agricultural potentials in Indonesia and is in demand by the national and international markets. The sustainable livelihood framework is used in analyzing the vulnerability context faced, to help these poor groups to be more resilient by utilizing their assets. This research discusses the description of vulnerability context and livelihood assets owned by tea farmers and laborers in Taraju Village, Tasikmalaya District, West Java. This study used a qualitative research approach with descriptive research methods. Research data were collected through semi-structured in-depth interviews, observation, and documentation studies. The interviews involved thirteen (13) informants who were selected using a purposive sampling technique according to predetermined criteria. The informants involved in this study consisted of the Village Head, Head of Welfare Section, four Hamlet Heads, one community figure, two tea farmers, and four tea farm laborers. The research which was carried out in the period from October 2022 to June 2023 became basic research in the development of Social Welfare Studies, particularly related to the assessment of poverty conditions in the context of efforts to prevent and alleviate poverty. The results study show that the vulnerabilities faced are (1) shocks in the form of the Covid-19 pandemic, pest attacks, and social conflicts; (2) tendencies in the form of low wages, limited capital, minimal calculation of depreciation costs, dependence on loans and assistance, difficulty for regeneration of farmers, and changes in weather, and; (3) seasonal changes in the form of decreased tea production, high maintenance costs, low price of tea shoots, people's lifestyle towards tea consumption, and inequality of land tenure. The next results of this research related to livelihood assets owned are (1) social assets in the form of trust between citizens and leaders, religious norms and values that are upheld, politeness norms between people, mutual cooperation and deliberation systems, close kinship/lineage, active community organizations, and the existence of farmer groups; (2) financial assets in the form of wages, alternative livelihoods, livestock, and savings; (3) human assets in the form of education, health, and skills training; (4) physical assets in the form of public buildings and supporting infrastructure; (5) natural assets in the form of land/gardens suitable for tea plantations, food supplies, as well as regional typologies and low temperatures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pertiwi Wijayanti
"Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu rempah-rempah yang ada di Indonesia. Peningkatan produksi bawang merah menyebabkan pemerintah tidak lagi mengimpor bawang merah. Pemerintah mengupayakan untuk produksi bawang merah  di negeri sendiri terlebih dahulu. Tegal merupakan pemekaran Brebes dalam hal produksi bawang merah. Hal ini didukung dengan kondisi fisik dari wilayah Tegal. Tegal merupakan wilayah dengan struktur tanah berupa aluvial, sehingga bawang merah di lokasi ini tumbuh dengan subur. Teknik pemilihan informan dengan snowball sampling yang bermula dari petani. Di mana dalam teknik ini mencari informan lainnya untuk melengkapi informasi dari informan sebelumnya. Pengolahan data berupa data- data yang sudah terkumpul diolah dan diklasifikasikan sesuai dengan kata kunci yang ada. Data-data yang sudah diolah lalu dianalisis untuk kemudian ditarik kesimpulan. Hasil dari penelitian ini ditemukan tiga tengkulak yang terdiri dari tengkulak desa dan tengkulak besar. Tengkulak mendistribusikan bawang merah ke pedagang dan manufaktur. Perbedaan pendapatan terjadi di setiap aktor. Aktor dengan biaya pemasaran terbesar adalah tengkulak karena proses distribusi tengkulak harus mengeluarkan biaya transportasi.

Shallot (Allium ascalonicum L.) is one of the spices in Indonesia. The increase in  shallot production causes the government to no longer use shallots. The government strives to produce shallots in their own country first. Tegal is a division of Brebes in terms of shallot production. This is supported by the physical requirements of the Tegal region. Tegal is an area with an alluvial soil structure, so shallots in this location grow with suburban. The technique of selecting informants with snowball sampling starts from farmers. Where in this technique look for other information to complete information from previous informants. Data processing consists of data that has been collected and processed in accordance with existing keywords. Data that has been processed and then analyzed for later conclusions. The results of this study found three middlemen consisting of village middlemen and large middlemen. There are brokers who distribute shallots to traders and manufacturers. Income differences occur for each actor. The actor with the biggest marketing cost is the middleman because the middleman distribution process must incur transportation costs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Imran Khairul Imam
"ABSTRAK
Desa Cisitu di Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan sumber penghidupan sebagai petani teh.  Keberlanjutan sumber penghidupan sebagai petani teh menghadapi masalah musim kemarau yang panjang serta naik turunnya harga daun teh. Hal tersebut menyebabkan kebun teh di Desa Cisitu dimanfaatkan juga untuk ditanami jenis tanaman lain selain teh. Pengukuran keberlanjutan sumber penghidupan dilakukan dengan metode kualitatif. Keberlanjutan sumber penghidupan diukur melalui 5 aset utama yaitu aset alam, aset keuangan, aset fisik, aset manusia serta aset sosial. Aset alam diukur melalui terdapatnya lokasi perkebunan, pelayanan lingkungan serta bencana alam. Aset keuangan diukur melalui modal, aset kehidupan lain serta luas lahan pertanian. Aset fisik diukur melalui mekanisme pertanian, alat penunjang pertanian, teknologi pertanian serta aksesibilitas. Aset manusia diukur dengan kemampuan dan pengetahuan serta ketersediaan tenaga kerja. Aset sosial diukur dengan keikutsertaan dalam kelompok tani serta keterikatan dengan lembaga lain. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi petani yang mampu bertahan hanya sebagai petani teh saja. Semua petani telah memiliki sumber penghasilan lain, baik dengan mengalih fungsikan kebun tehnya maupun dari sumber bukan pertanian. Petani yang masih mengelola kebun tehnya dengan baik adalah mereka yang memiliki aset keuangan yang memadai, serta mendapatkan bantuan dari pemerintah. Profil petani menjadi kunci dari kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.  Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan petani teh dapat berlanjut sebagai sumber penghidupan jika ada bantuan dan bimbingan dari pemerintah yang dilakukan sesuai dengan profil petaninya.

ABSTRACT
Cisitu Village is one of the villages where tea farming is a livelihood. Tea farmers in Cisitu Village utilized their own land as a source of livelihood. The sustainability of tea farming is facing a long dry season and the unstability of tea leaves price. With this situation, farmer cultivate other kind of plant on the tea plantation land. To measure the sutainability livelihood, this research was conducted by qualitative methods. The sustainability livelihoods was measured by five assetes, namely natural assets, financial assets, physical assets, human assets, and social assets.  Natural assets were measured through the location of plantations, environmental services, and natural disasters. Financial assets were measured through capital, other life assets, and the area of their land. Physical assets were measured through farming mechanisms, agricultural supporting tools, technology, and accessibility. Human assets were measured by the ability and knowledge, and availability of labor. Social assets are measured by participation in farmer groups and collaboration with institutions.  The results shows that tea farmers could not depend on tea as their main source. All farmers has other livelihood sources, either by changing some parts of their tea plantation or other financial source different than agriculture. Farmers that well manage their tea plantation are the one that have better financial assetes, and support by the government program.  Farmer profile is the key to have the chance to the government program. The conclusion of this study shows that tea farming as livelihood could be sustain if support and guidance from the government carried out base on the farmer profile.

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Setiawan
"Batik tulis Girilayu merupakan kekayaan budaya di Desa Girilayu yang dikenal dengan kualitas tinggi. Namun, belum diupayakan maksimal sehingga kesejahteraan pelakunya masih rendah. Pemdes Girilayu menyikapinya dengan menyelenggarakan berbagai program untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah batik. Hal ini diidentifikasi melalui rantai nilai. Penelitian ini memodifikasi Model Rantai Nilai Porter menjadi aktivitas produksi dan distribusi.  Tujuan penelitian ini yaitu menyintesis pola rantai nilai batik tulis Girilayu dari setiap karakteristik tempat serta keterlibatan pelakunya. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Data diolah dengan transkrip, penetapan tema, dan visualisasi data secara spasial dan aspasial. Selanjutnya, dilakukan analisis tema dan rantai nilai.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatik, pengusaha, paguyuban, dan pedagang terlibat pada aktivitas distribusi. Sementara itu, hanya pembatik dan pengusaha yang terlibat pada aktivitas produksi. Karakteristik tempat seperti jarak pemasok, lingkungan fisik-sosial, pemanfaatan ruang, dan place utility mempengaruhi terbentuknya pola rantai nilai. Terdapat 3 pola yang terbentuk, yaitu pembatik-konsumen, pembatik-paguyuban-konsumen, dan pembatik-pedagang-konsumen. Setiap pola memiliki variasi nilai tambah, dengan nilai tambah tertinggi pada mata rantai produksi khususnya pelaku pembatik.

Batik tulis Girilayu is a cultural wealth in Girilayu village known for its high quality. However, it hasn’t been properly cultivated so the actor’s welfare still low. The government responded by organizing programs to improve batik’s competitiveness and added value. This is identified through the value chain. This research modifies Porter's value chain model into production and distribution activities.  This research aims to synthesize the value chain pattern of batik tulis Girilayu from each place characteristic and actor’s involvement. Data were collected through in-depth interviews, observation, and documentation. Data were processed by transcribing, determining themes, and visualizing spatially-aspatially. Then, theme and value chain analysis were used.  The results showed that batik producers, entrepreneur, association, and traders are involved in distribution. Meanwhile, only batik producers and entrepreneur are involved in production. Place characteristics such as supplier distance, physical-social environment, space utilization, and place utility influence the value chain patterns. There are 3 patterns formed, namely batik producer-consumer, batik producer-association-consumer, and batik producer-trader-consumer. Each pattern has added value variation, with the highest located in production chain, especially the batik producers."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harnum Setiasih Bintang
"Kecamatan Sidikalang sangat terkenal dengan produk Kopi Robusta Sidikalang yang sudah dikenal luas di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Dalam produksi Kopi Robusta Sidikalang, terdapat perbedaan keuntungan pada setiap aktor produksinya dan produktivitas kopi menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah dalam meningkatkan pendapatan daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola rantai nilai produksi Kopi Sidikalang di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi serta aktor yang berperan di dalamnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, dan studi literatur dengan metode analisis kualitatif deskriptif dan spasial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga simpul rantai nilai produksi Kopi Sidikalang yakni kegiatan pertanian yang diperankan oleh petani dan kelompok tani, simpul distribusi yang diperankan oleh pengumpul dan pedagang, dan simpul pengolahan biji dan ekspor yang diperankan oleh pabrik pengolah dan eksportir. Setiap simpul melakukan kegiatan nilai yakni aktivitas utama dan pendukung yang akan menghasilkan nilai dimana di setiap simpul terdapat perbedaan nilai. Lokasi mempengaruhi bagaimana aktor dalam setiap simpul melakukan peranannya yang akan berhubungan dengan alat transportasi dan sistem kekerabatan Suku Pakpak. Dalam produksi Kopi Sidikalang, terbentuk dua pola terdapat dua pola rantai nilai yakni Petani-Pengumpul-Pedagang-Pabrik pengolah dan eksportir; dan Petani-Pabrik pengolah dan eksportir. Perbedaan pola ini disebabkan oleh perbedaan jumlah produksi dan luas lahan kopi petani di Kecamatan Sidikalang. Perolehan tanah yang digunakan setiap aktor terdiri dari dua cara yakni warisan dan pembelian yang melibatkan Lembaga Sulang Silima Merga Pakpak sebagai lembaga yang memiliki kuasa dan wewenang dalam pengadaan dan penguasaan lahan di Kecamatan Sidikalang.

Sidikalang District is very famous for its Robusta Sidikalang Coffee products which are widely known in Indonesia and even abroad. In the production of Sidikalang Robusta Coffee, there are differences in profits for each production actor and coffee productivity is one of the government's focuses in increasing regional income. The purpose of this study was to determine the pattern of the Sidikalang Coffee production value chain in Sidikalang District, Dairi Regency and the actors who play a role in it. Data collection methods used were in-depth interviews, observation, documentation, and literature study with descriptive and spatial qualitative analysis methods. The results of this study indicate that there are three nodes of the Sidikalang Coffee production value chain, namely agriculture played by farmers and farmer groups, distribution nodes played by collectors and traders, and processing and export nodes played by processing factories and exporters. Each node performs value activities, namely the main and supporting activities that will produce values where in each node there is a difference in value. Location affects how the actors in each node perform their roles which will be related to the means of transportation and the kinship system of the Pakpak Tribe. In the production of Sidikalang Coffee, two patterns are formed, there are two value chain patterns, namely Farmers-Gatherers-Traders-Processing factories and exporters; and Farmers-processors and exporters. This difference in pattern is caused by differences in the amount of production and the area of coffee farmers in Sidikalang District. Land acquisition used by each actor consists of two ways, namely inheritance and purchase involving the Sulang Silima Merga Pakpak Institution as an institution that has power and authority in land acquisition and control in Sidikalang District."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaizelna Misra
"Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah potensial penghasil teh, yang produksi tertingginya dihasilkan oleh perkebunan milik negara. Terdapat dua perkebunan milik negara dibawah naungan PTPN VIII di Kabupaten Bogor, yakni Perkebunan Cianten dan Perkebunan Gunung Mas. Perkebunan Gunung Mas selain menjadi area perkebunan teh juga menjadi kawasan agrowisata, berbeda dengan Perkebunan Cianten yang hanya menjadi area perkebunan. Mayoritas penduduk kampung di Perkebunan Cianten menggantungkan hidup dari perkebunan, salah satunya menjadi buruh pemetik teh. Buruh pemetik teh rentan akan kemiskinan karena pendapatan yang relatif rendah, sehingga mengharuskannya untuk melakukan strategi penghidupan untuk dapat bertahan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepemilikan aset penghidupan dan pola penghidupan rumah tangga buruh pemetik teh di Perkebunan Cianten Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan pengumpulan data secara purposive sampling untuk pemilihan sampel buruh pemetik teh. Teknik pengumpulan datanya adalah wawancara dengan kuesioner terhadap 24 buruh pemetik teh yang bekerja di Perkebunan Cianten. Analisis dilakukan secara deksriptif kuantitatif dan keruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan aset penghidupan rumah tangga buruh pemetik teh di Perkebunan Cianten berbeda tergantung karakteristik penggunaan lahan. Wilayah dengan karakteristik penggunaan lahan homogen memiliki aset penghidupan lebih rendah daripada wilayah dengan karakteristik penggunaan lahan heterogen. Pola penghidupan buruh pemetik teh di Perkebunan Cianten terdiri dari dua strategi, yaitu strategi survival dan strategi konsolidasi. Buruh pemetik teh pada karakteristik penggunaan lahan homogen lebih dominan menerapkan strategi survival. Buruh pemetik teh pada karakteristik penggunaan lahan heterogen didominasi oleh strategi konsolidasi dengan melakukan aktivitas bercocok tanam dan berternak.

Bogor Regency is one of the potential tea-producing areas, the highest production of which is produced by state-owned plantations. There are two state-owned plantations under the auspices of PTPN VIII in Bogor Regency, namely the Cianten Plantation and the Gunung Mas Plantation. Apart from being a tea plantation area, Gunung Mas Plantation is also an agro-tourism area, in contrast to the Cianten Plantation which is only a plantation area. Most of the villagers in the Cianten Plantation depend on the plantation for a living, one of whom is a tea-picking laborer. Tea picking workers are vulnerable to poverty due to their relatively low income, which requires them to carry out livelihood strategies to survive and improve their standard of living. This study aims to determine the level of ownership of livelihood assets and the pattern of livelihood of tea picking labor households in the Cianten Plantation, Bogor Regency. The method used in this study is a quantitative method by collecting data by purposive sampling for the selection of samples of tea picking workers. The data collection technique was interviews with questionnaires to 24 tea pickers working at the Cianten Plantation. The analysis was carried out in a quantitative and spatial descriptive manner. The results showed that the ownership of the livelihood assets of tea picking labor households in the Cianten Plantation differed depending on the characteristics of land use. Areas with homogeneous land use characteristics have lower livelihood assets than areas with heterogeneous land use characteristics. The livelihood pattern of tea picking workers in the Cianten Plantation consists of two strategies, namely the survival strategy and the consolidation strategy. Tea picking workers on the characteristics of homogeneous land use are more dominant in implementing survival strategies. Tea picking workers on heterogeneous land use characteristics are dominated by a consolidation strategy by carrying out farming and animal husbandry activities."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin Rosadi
"ABSTRAK
Kecamatan Singaparna adalah salah satu kecamatan yang berada di kabupaten
Tasikmalaya dan terkenal sebagai sentra lokasi budidaya ikan Gurami
Galunggung. Aspek keruangan ekonomi dari budidaya kolam ikan Gurami sangat
menarik untuk dikaji karena diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pengembangan budidaya kolam ikan Gurami di kecamatan Singaparna ke
depannya. Berdasarkan hasil analisis biaya manfaat, yaitu analisis yang digunakan
untuk menilai kelayakan suatu usaha dengan melihat perbandingan antara
pendapatan dan pengeluaran, budidaya kolam ikan ikan Gurami secara
monokultur di kecamatan Singaparna didominasi oleh pola keruangan ekonomi
usaha budidaya yang tidak efisien. Kolam-kolam tersebut berada pada lokasi yang
memiliki aksessibilitas agak mudah sampai mudah dengan kecenderungan jarak
ke jalan dan jarak ke jalan relatif dekat.

ABSTRACT
Singaparna Subdistrict is one of the districts that are in district Tasikmalaya and
also famous as the center location of Gourami cultivation Galunggung. Economic
spatial aspects of Gourami pond culture is very interesting to study because it is
expected to be input for the development of Gourami pond culture in the district
Singaparna in the future. Based on the results of cost benefit analysis, the analysis
used to assess the feasibility of a business by looking at the ratio between
revenues and expenditures. Cultivation of Gourami fish ponds in monoculture in
Singaparna district is dominated by the cultivation of economic spatial patterns
that not efficient. The ponds are located on a site that has a rather easy
aksessibilitas up easily with the trend of the distance to roads and relatively close
distance to the road.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1907
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>