Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175858 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggir Saktya Prasadana Irsan
"ABSTRAK
Indonesia dan Australia merupakan negara dengan kekayaan alam yang sangat
berlimpah. Salah satu dari kekayaan alam yang dimiliki oleh kedua Negara tersebut
adalah hutan dan segala hasilnya. Oleh karena itu, Negara wajib untuk melindungi
kekayaan alam tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Salah satu ancaman bagi hutan Indonesia adalah kebakaran hutan. Penyebab kebakaran
lahan tersebut bisa diakibatkan oleh faktor alam dan juga faktor manusia.
Penyebab dari faktor manusia ini bisa pula merupakan pembakaran lahan yang
dilakukan oleh penduduk asli. Indonesia memiliki beberapa masyarakat adat yang
melakukan pembakaran lahan sebagai bagian dari tradisi mereka. Hal ini juga terjadi
di Australia, yang mana penduduk asli mereka masih melakukan praktek
pembakaran lahan untuk kebutuhan sehari-hari

ABSTRACT
Indonesia and Australia blessed with abundant of natural resources. One of that
natural resources is a forest. Therefore, the State is obliged to protect the natural
resources, in this case the forest, that can be utilized for the welfare of the peoples.
The major threat for the forest is a land clearing by fire. This land clearing can be
caused by human factor or natural factor. The cause of this human factor can also
be a land burning is done by natives. Indonesia and Australia have something in
common on this problem. The Indigenous people of Australia have practice this
land burning for a long time, because it?s one of their custom. Some Masyarakat
Hukum Adat in Indonesia also doing this land clearing by using the fire for fulfil
their daily needs"
2016
S64914
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiputra
"

Penatalayanan lingkungan pada hakekatnya merupakan penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dengan cara yang memperhitungkan kepentingan masyarakat, generasi mendatang, dan spesies lainnya, serta kebutuhan pribadi, dan menerima tanggung jawab yang signifikan kepada masyarakat. Salah satu aktor penatalayanan lingkunga yang paling “terkenal” tidaklah lain selain masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam praktiknya selalu dianggap sebagai sekelompok manusia yang sangat amat mencintai bumi, masyarakat hukum adat dalam praktik yang mereka lakukan selalu dikaitkan dengan betapa mereka sangat menjaga kelestarian alam. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidalah selalu sejalan dengan realitas hukumnya. Sebagai contohnya, Masyarakat Hukum Adat Bali dalam menjalankan upacara agamanya, membutuhkan daging penyu hijau yang mana termasuk kedalam hewan langka. Hal tersebut membangkitkan pertanyaan utama dimana benarkah masyarakat hukum adat merupakan actor penatalayanan lingkungan. Terhadap permasalahan tersebut, dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis normative. Seharusnya, Masyarakat hukum adat, sebagai kumpulan manusia haruslah dipandang sebagai manusia biasa yang tidaklah sempurna dan juga bisa berbuat kerusakan.


Environmental stewardship is essentially a responsible use of natural resources in a way that takes into account the interests of the community, future generations, and other species, as well as personal needs, and accepts significant responsibilities to the community. One of the most "well-known" environmental stewardship actors is nothing but indigenous peoples. Indigenous peoples in practice is always regarded as a group of people who really love the earth, indigenous peoples in their practice is always associated with how they are very preserve nature. However, this statement is not always in line with its legal reality. For example, the Balinese indigenous peoples in carrying out its religious ceremonies, requires green turtle meat which is included in rare animals. This raises the main question where is it true that indigenous people are environmental stewardship actors. Against these problems, in this paper the author conducts research with normative juridical methods. Supposedly, the customary law community, as a collection of people must be seen as ordinary human beings who are not perfect and can also do damage.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri
"ABSTRAK
Salah satu penyebab emisi gas rumah kaca (GRK) adalah karena adanya deforestasi
dan degradasi hutan. Untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan
degradasi hutan maka muncul konsep Reducing Emission from Deforestation and
Forest Degradation (REDD+). Indonesia sebagai pemilik hutan yang relatif besar
telah aktif dalam berbagai program REDD+. Pelaksanaan program-program
tersebut membawa dampak kepada masyarakat adat. Untuk itu, masyarakat adat
perlu dilindungi. Perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat adat saat
ini belum cukup efektif untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat
dari dampak pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Masalahnya adalah ketidakjelasan
dan ketidakcukupan regulasi terkait masyarakat adat dan pelaksanaan REDD+ yang
memberikan perlindungan kepada masyarakat sesuai indikator pemenuhan dalam
REDD+ Social Safeguard.

ABSTRACT
One cause of greenhouse gas emissions (GHG) is due to deforestation and forest
degradation. To reduce emissions from deforestation and forest degradation,
emerge the concept of Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD +). Indonesia as a relatively large forest owners have been
active in a variety of REDD+ programs. Implementation of these programs have an
impact on indigenous peoples. To that end, indigenous people need to be protected.
Legal protection given to indigenous peoples today is not sufficiently effective to
provide protection to the indigenous peoples of the impact of the implementation
of REDD + in Indonesia. The problem is the vagueness and inadequacy of
regulations related to indigenous peoples and the implementation of REDD+ which
provides protection to the public according to the indicators in the fulfillment of
REDD+ Social Safeguard."
2016
S64816
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Adhita Maharani Manik
"Kontrak adalah hal yang sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari. Kontrak adalah hal yang mendasari sebuah tindakan yang mewajibkan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain dan orang lain dapat memaksakan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak tersebut. Kontrak juga dipergunakan sebagai bukti seseorang sudah mengambil alih/memiliki suatu barang. Dewasa ini, olahraga berkuda di Indonesia sedang berkembang dengan pesat karena Indonesia memiliki tim berkuda yang dapat diandalkan, sudah banyak Indonesia memenangkan pertandingan equestrian taraf internasional, dan masyarakat Indonesia sudah memulai mengenal olahraga ini banyak diantaranya memilih untuk mempunyai sendiri mamalia berkaki 4 itu. Maka dari itu, tesis ini bermaksud untuk memandu baik masyarakat yang baru saja ingin membeli kuda, maupun kepada masyarakat yang baru saja menjajaki dunia berkuda, dan menunjukan betapa pentingnya membuat perjanjian tertulis agar tidak terjadinya kerugian dan penipuan.

The contract is very important in daily basis. Contract is an action that requires a person to give something to others and then others can impose to be eligible in accordance with the agreement binding on both parties. Contract also used as a proof that a person has taken over the ownership of the goods/a person is already possessed the goods. Nowadays, equestrian sports in Indonesia is growing rapidly because Indonesia is known to have a reliable equestrian team, this country has won numerous equestrian competitions in international level, because of that, Indonesian society has started to notice this sport, many of Indonesian society prefer to have their own what so called four-legged mammals. Therefore, this thesis intends to guide people both for those who are just about to purchase their own horse as well as to those who are new to the equestrian world, and shows how important it is to make a written agreement beforehand in order to avoid the occurrence of loss and fraud."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa
"Kelebihan kapasitas (overcrowding) pada Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia telah menjadi permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan sejak lama. Hal ini dipicu oleh tingginya angka kriminalitas, terutama pada tindak-tindak pidana ringan. Untuk mengatasi hal tersebut, terdapat suatu metode yang mulai diterapkan pada proses penanganan tindak pidana di Indonesia, yakni keadilan restoratif (restorative justice). Berbeda dengan hakikat pidana yang berfokus pada penghukuman, keadilan restoratif menekankan pada pengembalian keadaan setelah terjadinya tindak pidana. Dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku tindak pidana tidak melulu diberikan hukuman, melainkan diharuskan untuk melakukan atau memberikan sesuatu kepada korban guna memperbaiki kondisinya. Pelaksanaan keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia masih sangat baru. Dengan demikian, dilakukan penelitian terhadap perbandingan pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia dan Australia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadilan restoratif dan pelaksanaannya di Australia yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia. Hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode studi pustaka dan wawancara ini menunjukkan bahwa di Australia, pengaturan mengenai keadilan restoratif sudah setingkat undang-undang di negara bagian dan memiliki suatu asosiasi yang secara khusus mengurus mengenai pelaksanaannya di seluruh Australia. Sedangkan, pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia masih ada di tingkat organisasi, yaitu kejaksaan dan kepolisian, yang membuat beberapa regulasi yang ada dalam kedua peraturan menjadi tumpang tindih. Melihat hal tersebut, Indonesia pun perlu membuat peraturan setingkat undang-undang agar memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan keadilan restoratif. Di mana di dalam peraturan tersebut akan diatur mengenai persyaratan pemberian keadilan restoratif, mekanisme pelaksanaan dalam setiap tingkat proses peradilan pidana, serta kewenangan badan atau aparat penegak hukum yang melaksanakannya. Hal ini dapat menjadi catatan bagi kepentingan penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru di masa mendatang. Selain itu, mengingat wilayah Indonesia yang luas, perlu dipertimbangkan untuk membentuk suatu badan khusus yang mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan keadilan restoratif oleh para aparat penegak hukum.

Overcrowding in Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) in Indonesia has been a problem that has not been resolved for a long time. This is due to the high crime rate, especially in less serious offenses. To overcome this, there is a method that has begun to be applied to the criminal justice process in Indonesia, namely restorative justice. In contrast to the nature of crime which focuses on punishment, restorative justice emphasizes recovering to the situation after a crime has occurred. In taking responsibility for his actions, the criminal offenders are not given punishment, but are required to do or give something to the victim in order to recover their condition. The implementation of restorative justice in the criminal justice process in Indonesia is still very new. Thus, this research was conducted on a comparison of regulations regarding restorative justice in Indonesia and Australia. This research aims to find out how the regulation of restorative justice and its implementation in Australia that can be an exemplification for Indonesia. The results of the research that was conducted using the literature study and interview method show that in Australia, regulations regarding restorative justice are an act in the state and have an association that specifically manages its implementation throughout Australia. Meanwhile, regulations regarding restorative justice in Indonesia still only at the organizational level, such as the attorney's office and the police, which makes some of the provisions in the two regulations overlap. Therefore, Indonesia also needs to make regulations at the level of act to provide legal certainty regarding the implementation of restorative justice. Where in the regulation will be included the requirements for restorative justice, the implementation mechanism at each level of the criminal justice process, as well as the authority of law enforcement agencies or officials who carry it out. This can be a note to draft a new Criminal Procedure Code in the future. In addition, given the vast territory of Indonesia, consideration should be given to establishing an association to regulate and supervise the implementation of restorative justice by law enforcement officials."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Aditya
"Masyarakat hukum adat memiliki hubungan keterikatan yang kuat dengan wilayah tempat mereka tinggal. Banyak dari masyarakat hukum adat ini telah mendiami suatu wilayah secara turun-temurun sejak zaman pra-kolonisasi yang pada akhirnya wilayah yang mereka diami tersebut tidak jatuh ke dalam wilayah satu kedaulatan negara saja. Perbatasan negara, tidak hanya menjadi pembatas kedaulatan antar negara saja, tapi juga membelah masyarakat hukum adat yang wilayah tradisionalnya dilalui garis batas negara tersebut. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya dan spiritual dan juga melanjutkan serta menjaga tradisi dan kebudayaan yang telah dijalankan secara turun temurun, masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara tidak dapat lepas dari kegiatan lintas batas tradisional. Untuk melihat perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara, penelitian ini meninjau praktik dari Amerika Serikat, Norwegia dan Indonesia yang menunjukkan variasi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara berdasarkan posisi serta sikap masing-masing negara menanggapi permasalahan masyarakat hukum adat secara umum.

Indigenous peoples maintain a strong relationship with their homelands, not just based on social-economy needs, but more to cultural and spiritual connection. Long before colonialism came to the new world and divide the world into sovereign-state territory, indigenous peoples call it home, and some of their traditional homelands did not fall within one sovereign-state territory. International border, not only become the boundaries between state soverignty, but also split indigenous peoples whose traditional homelands crossed by those borders. In the effort to fulfill their social, economy, cultural and spiritual needs, those indigenous peoples can not be separated from the traditional cross-border activities. To help us understand about the protection of indigenous peoples whose homelands are separated by international border, this research describe and analyse the practices in the United States, Norway and Indonesia, which potrays the variety based on the country?s position and response to the problems of indigenous peoples in general.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayati Murni
"Penelitian ini membahas mengenai analisis pemberian sertipikat Hak Atas Tanah di atas perairan laut bagi Masyarakat Adat Bajo di Desa Mola Wakatobi dalam perspektif hukum positif Indonesia. Penelitian ini membahas bagaimana bagaimana analisis pemberian Hak Atas Tanah di atas perairan laut bagi Masyarakat Adat Bajo di Desa Mola Wakatobi dalam perspektif hukum positif  Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang bagaimana dampak diterbitkannya sertipikat Hak Guna Bangunan di atas perairan laut bagi Masyarakat Adat Bajo di Desa Mola Wakatobi yang ditinjau dari Undang-undang Cipta Kerja. Teori-teori yang dibahas dalam tesis ini antara lain teori-teori terkait Hak Atas Tanah, sertipikat Hak Atas Tanah, Hukum Agraria, dan tanah di atas perairan laut. pembahasan mengenai dasar hukum yang digunakan terkait sertipikat Hak Atas Tanah di atas perairan laut juga dituliskan dalam tesis ini. Penulis juga menganalisis sertipikat Hak Atas Tanah yang di mana objek dari tanah tersebut berada di atas perairan laut, dari hal tersebut apa telah sesuai konsepsi tanah dengan tanah yang tertutup perairan laut menurut  Undang-undang Pokok Agraria sebagai induk dari aturan Hak Atas tanah. Selain itu, sertipikat Hak Atas Tanah di atas perairan laut juga belum di atur secara eksplisit di dalam aturan-aturan yang telah ada saat ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini juga bersifat deskriptif-analitis.

This study discusses the analysis of the issuance of certificates of land rights over sea waters for the Bajo Indigenous People in Mola Wakatobi Village from the perspective of Indonesian positive law. This study discusses how to analyze the granting of land rights over sea waters for the Bajo Indigenous People in Mola Wakatobi Village from the perspective of Indonesian positive law. In addition, this research also discusses the impact of the issuance of certificates of Building Use Rights over sea waters for the Bajo Indigenous People in Mola Wakatobi Village in terms of the Job Creation Law. The theories discussed in this thesis include theories related to land rights, certificates of land rights, agrarian law, and land above sea waters. A discussion of the basic law used in relation to certificates of land rights over sea waters is also written in this thesis. The author also analyzes land rights certificates where the object of the land is above sea waters, from this matter what is in accordance with the conception of land with land covered by sea water according to the Basic Agrarian Law as the parent of land rights rules. In addition, certificates of land rights over sea waters have not been explicitly regulated in the current regulations. The research method used in this study is also analytical descriptive."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Yulia
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terpilihnya Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibu Kota Negara baru yang menciptakan peluang baru bagi daerah setempat namun di sisi lain juga menimbulkan tantangan besar bagi Masyarakat Hukum Adat yang mendiami wilayah tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan doktrinal, bersifat preskriptif, dan pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Rumusan permasalahan yag diangkat yakni bagaimana pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur serta bagaimana sistem hukum Indonesia melindungi hak ulayat mereka dalam menghadapi tantangan pembangunan IKN Nusantara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur telah mengeluarkan Perda No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan formal terhadap Masyarakat Hukum Adat masih terbatas. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait masih membutuhkan penyelarasan dan harmonisasi yang lebih komprehensif. Pada pembangunan IKN Nusantara, upaya perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak ulayat mereka belum optimal. Hal ini terlihat dari sejumlah Masyarakat Hukum Adat yang tidak mendapatkan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil, serta dalam UU IKN yang sama sekali tidak memuat ketentuan tentang perlindungan hak ulayat Masyarakat Hukum Adat.

This thesis aims to analyze the legal protection of customary land of Indigenous People in the development of the IKN Nusantara in the East Kalimantan. The background of the research is the challenges faced by the Indigenous People in East Kalimantan amid the development of the IKN Nusantara. Using the doctrinal and prescriptive research approach, and data collection conducted through literature review, this research addresses the recognition and protection of Indigenous Law Communities in East Kalimantan Province. It also explores how the Indonesian legal system safeguards their customary rights in the face of the challenges posed by the development of the IKN Nusantara. The findings indicate that, despite the issuance of Regional Regulation No. 1 of 2015 on Guidelines for Recognition and Protection of Indigenous People by the East Kalimantan Provincial Government, formal recognition of Indigenous People remains limited. Moreover, relevant legislation requires further alignment and comprehensive harmonization. In the development of the IKN Nusantara, efforts to protect Indigenous Law Communities and their customary rights are not yet optimal. This is apparent as numerous Indigenous People are not receiving sufficient and equitable compensation, and the IKN Law lacks clauses addressing the safeguarding of the customary rights of Indigenous People."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Giovanno
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai peran dari masyarakat hukum adat dalam
mengelola hutan di Indonesia dan penyelenggaraan pemenuhan hak masyarakat
hukum adat untuk dapat mengelola hutan oleh negara. Selain itu, dibahas juga
terkait dengan sejarah hukum pengelolaan hutan dan paradigma pengelolaan hutan
di Indonesia sebagai analisis atas kebijakan kehutanan yang diterbitkan oleh
Pemerintah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi
atas kondisi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of customary law communities in forest
management in Indonesia and organizing the fulfillment of rights of indigenous
people to manage forests by the state. In addition, also discussed related to the
legal history of forest management and forest management paradigm in Indonesia
as an analysis of forest policy issued by the Government. The main objective of
this study is to provide a description of the condition of forest management by
indigenous people in Indonesia."
2016
S65735
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Fadli Zaini
"Perkembangan teknologi informasi yang cepat membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, termasuk bidang hukum. Keterkaitan antara perkembangan teknologi informasi dengan hukum melahirkan berbagai macam peristiwa baru yang berkaitan hukum dan penggunaan dunia siber. Salah satunya terkait dengan perlindungan hukum atas informasi yang merugikan seseorang di dunia internet berupa penghapusan informasi. Hal ini dikenal dengan istilah hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten). Penelitian ini fokus membahas perbandingan pengaturan dan mekanisme penerapan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Indonesia dengan beberapa negara di Asia Pasifik seperti Australia, Jepang dan Korea Selatan. Dengan melakukan perbandingan hukum, maka akan dapat melihat perbedaan dan mengambil pelajaran dari berbagai negara tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pengaturan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan diatur dalam Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan data / informasi pribadi, sementara Indonesia muncul dan diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Implementasi Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) dalam General Data Protection Regulation hanya mewajibkan pengontrol data, karena dalam GDPR memisahkan pengontrol dan pemproses data. Sementara Australia, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia tidak membedakan antara pengontrol dan pemproses data. Setiap negara membentuk komisi independen untuk melindungi data pribadi dan membantu penyelesaian sengketa data pribadi.

The development of information technology that brings changes in all fields of humanity, ranging from economics, social, education, including the legal field. The link between the development of information technology and the law produces a variety of new types relating to law and the use of cyberspace. One of the cyber laws is related to legal protection for information that is detrimental to someone in the internet world is the removal of information. This is known as the Right to be Forgotten. This research focuses on discussing the regulation and implementation of the Right to be Forgotten in Indonesia with several countries in the Asia Pacific such as Australia, Japan and South Korea. By making legal comparisons will be able to see differences and take lessons from various countries. This study uses a normative juridical research method. Regulation of Rights to be Forgotten in the European Union, Australia, Japan and South Korea be regulated in legislation in the sector of personal data/information protection, while Indonesia is emerge and regulated in the Law on Information and Electronic Transactions. Implementation of the Right to be Forgotten in the General Data Protection Regulation only requires data controllers, because in the GDPR the data controller and processors are prepared. While Australia, Japan, South Korea and Indonesia do not distinguish between process controllers and data processing. Each country establishes independent data commission to protect personal data and help resolve personal data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>