Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214620 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florencia Irena Chandra
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas hubungan antara karakteristik industri semen dengan potensi terjadinya kartel dalam industri tersebut. Selain itu, dilakukan juga analisis kasus kartel terhadap tiga negara, yaitu Uni Eropa, India, dan Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain wawancara dan grounded theory. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembuktian kartel bukanlah hal yang mudah dan meskipun secara teori dan konsep membenarkan adanya hubungan positif antara potensi kartel dengan karakterisitik industri semen, namun perlu analisis lebih lanjut akan adanya faktor penting lain yang dapat mempengaruhi, yaitu tingkat substitusi. Selain itu, hasil penelitian menyarankan Indonesia lebih memahami teori dan konsep ekonomi dalam rangka menggunakan bukti ekonomi dalam pembuktian kartel, terutama berdasarkan contoh empiris di dua negara lainnya yang berhasil menangani kasus kartel semen tersebut.

ABSTRACT
This thesis described the interrelationship between the characteristics of cement industry in Indonesia with some of the factors that promote cartel within the cement industry. Furthermore, cases analysis are carried out by doing case studies in solving cement cartel in European Union, India and Indonesia. The research in this thesis used qualitative analysis with design interview and grounded theory. The investigation concludes that proving the existence of cartel is not easy and even though there is a strong possibility of cartel formation due to the characteristics of the cement industry, further analysis is needed to display other practical important factor such as the demand level of substitutes. Besides that, the investigation suggests Indonesia learns more about the theory and concept of economics in using economics evidence as the evidence to prove cartel, especially from the empirical cases in European Union and India that have proven to be effective in solving cartel formation with all its pro"
2016
S64131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafa Sakina Noer
"Dengan berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, hukum merek Indonesia memperluas perlindungan merek, mencakup komponen baru yaitu bentuk tiga-dimensi. Namun peraturan perundang-undangan merek yang berlaku setelah itu, tidak mengatur lebih dalam mengenai konsep merek tersebut, menyebabkan perlindungan terhadap konsep ini masih terkesan abu-abu. Di lain sisi, perlindungan merek tiga-dimensi di Amerika telah berlangsung lebih lama dibandingkan Indonesia, dan pengaturannya pun terletak pada sebuah konsep khusus bernamakan trade dress. Penelitian ini menganalisa, pertama, indikator merek tiga-dimensi di Indonesia yang tidak dielaborasi dalam hukum merek yang berlaku di Indonesia, serta peraturan pelaksananya. Kedua, penelitian ini membandingkan bagaimana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia dan di Amerika, dari segi peraturan maupun praktiknya. Dengan harapan, akan terlihat sudah sejauh mana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang trade dress Amerika. Ketiga, adakah hal-hal yang dapat Indonesia pelajari dari konsep trade dress di Amerika yang sudah jauh berkembang pesat, demi kepentingan publik di masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Wawancara dengan pegawai pemeriksa merek Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dilakukan untuk memberikan gambaran perbedaan praktik dan peraturan tertulis tentang merek tiga-dimensi. Kesimpulan penelitian ini adalah perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari peraturan tertulis yang berlaku, sudah tertinggal jauh dari praktik yang sebenarnya dilakukan. Dalam praktiknya, perlindungan merek tersebut telah berkembang sangat pesat, dimana implementasinya banyak terinspirasi dari praktik di luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa konsep tiga-dimensi di Indonesia sudah sejajar dengan konsep trade dress. Namun dari praktik tersebut, kebanyakan dijalankan tanpa adanya peraturan tertulisnya; masih sebatas kewenangan petugas bersangkutan ataupun dari kebiasaan yang selama ini dilaksanakan.

With the enactment of Law no. 20 of 2016, Indonesia's trademark law expands its protection of trademarks, including a new mark component, namely three-dimensional shapes. However, the trademark laws and regulations that were implemented after that, did not regulate further on the new recognized component, causing the protection of this concept still vague. On the other hand, three-dimensional marks protection in the U.S. has existed long before Indonesia and the component lies under a special concept called trade dress. This research analyzes, firstly, three-dimensional mark indicators in Indonesia which are not elaborated in the prevailing trademark laws and regulations in Indonesia. Second, this study compares the three-dimensional marks protection in Indonesia and U.S., from the aspect of regulatory frameworks and practices, with hope that the extent of three-dimensional marks protection in Indonesia will be discovered from the point of view of U.S. trade dress. Third, the values that Indonesia can learn from the U.S. trade dress concept for the benefit of the public in the future. This research uses normative legal research on written legal norms. An interview with trademark examiner of the Directorate General of Intellectual Property was conducted to provide an overview of the discrepancy between the practice and written regulations regarding three-dimensional marks. The conclusion of this research is that the prevailing written regulations of three-dimensional marks in Indonesia is far from the actual practice. In practice, the protection of the mark has developed greatly, and its implementation is mostly inspired by the practices abroad, especially the U.S. Thus, it can be asserted that the Indonesian three-dimensional mark is equivalent with the trade dress concept. However, mostly the practice is carried out without any written regulations; it is solely based on the authority of the authorized officials or from the tendency that have been implemented so far."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Gita Indira
"ABSTRAK
Kasus kematian ikan massal di Haranggaol, Danau Toba, Indonesia pada Mei 2016 telah menimbulkan kekuatiran dalam komunitas penambak ikan di daerah tersebut. Kematian ikan massal di Haranggaol terjadi karena rendahnya kadar oksigen di air akibat kegiatan akuakultur yang tidak berkelanjutan, hal ini berefek negatif terhadap kondisi ekonomi dan lingkungan di daerah tersebut. Makalah ini mengkaji kasus-kasus kematian ikan massal yang terjadi di teluk Haranggaol, Danau Maninjau, dan waduk Jatiluhur, serta mengkomparasi tindakan mitigasi dan preventif yang diambil sebagai respons masing-masing daerah.

ABSTRACT
The unprecedented case of mass fish death in Haranggaol, Lake Toba, Indonesia in May 2016 has caused alarm within the community of local fish farmers. The mass fish deaths has been attributed to asphyxiation due to unsustainable aquaculture practices, endangering the economic and environmental wellbeing of the area. This paper assesses cases of mass fish deaths Haranggaol Bay, Lake Maninjau, and Jatiluhur reservoir, and compares mitigation and prevention efforts taken in each respective areas."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khosirotul Fajri Hududurohim Al Khoir
"This paper aimed to describe and analyze current state of electronics industry in Indonesia and also makes a particular attempt to analyze the close links between economic and social upgrading within Global Value Chain GVC . Mostly past studies only focused on finding ways to improve the economy, while the social issues are not addressed. The economists have found that increase in FDI and export indicates industrial development as well as deeply integrated in global value chain, known as economic upgrading. Economic upgrading move along with social development. This paper applies a parsimonious measurement approach which refer to the economic and social index that consist of four dimension of growth, i.e. high road growth low road growth high road decline and low road decline to examine how the Indonesian electronics industry has performed during 2000 2014. This paper finds that the electronic industry experienced in economic and social downgrading or, in other words, suffered from low road decline dimension.

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis keadaan industri elektronika saat ini di Indonesia dan juga melakukan upaya tertentu untuk menganalisis hubungan erat antara economic upgrading dan sosial di dalam rantai nilai global. Dalam studi sebelumnya, para ekonom kebanyakan berfokus pada menemukan cara untuk memperbaiki ekonomi, sementara isu sosial yang terjadi di sektor industri tidak dibahas. Para ekonom berpendapat bahwa peningkatan FDI dan ekspor mengindikasikan perkembangan industri dan juga terintegrasi secara mendalam dalam rantai nilai global, yang dikenal sebagai economic upgrading. Economic upgrading sejalan dengan aspek sosial. Artikel ini menerapkan parsimonious measurement approach yang mengacu pada indeks ekonomi dan sosial yang terdiri dari empat dimensi pertumbuhan, yaitu high-road growth; low-road growth; high-road decline; dan low-road decline untuk menguji bagaimana kondisi industri elektronik Indonesia selama tahun 2000-2014. Artikel ini menemukan bahwa industri elektronik mengalami penurunan ekonomi dan sosial atau, dengan kata lain, berada dalam dimensi low-road decline."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S67229
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haidi Pratama
"Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartelyang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak Hukum Persaingan Usaha. Sedangkan negara lain seperti Jepang dan Uni Eropa telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Jepang dan Uni Eropa. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Jepang dan Uni Eropa yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan indirect evidence,penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha.

The handling of cartel cases is part of the business competition law enforcement. In Indonesia, the handling of cartel cases conducted by the Commission (KPPU) has a lot of problems, mainly related to the cartel verification which is still difficult and the authority of the Commission as the busniness competition law enforcer. While other countries such as Japan and the European Union have made the handling of cartel cases better. Therefore, this study discuss the comparison of handling cartel cases in Indonesia with Japan and the European Union. Through this comparison, the author reveals a variety of things in the handling of cartel cases in Japan and the European Union that can be applied in Indonesia such as the use of indirect evidence, the leniency program application, and forceful efforts authority by the institution of business competition law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61513
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Kinanti Nastiti
"Diaturnya ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000 (“UU DI”) yang tidak mengatur ukuran jelas mengenai batasan tidak sama dari sebuah desain yang baru menyebabkan timbulnya inkonsistensi penafsiran penilaian kebaruan Desain Industri di Indonesia. Ditambah pengaturan penilaian substantif ditentukan hanya dilakukan apabila terdapatnya sanggahan sebagaimana dalam Pasal 26 ayat (5) UU DI. Kondisi tersebut akhirnya menciptakan celah terjadinya pendaftaran Desain Industri yang tidak baru dan memungkinkan terjadinya sengketa kebaruan Desain Industri. Dengan begitu penelitian ini dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan penilaian kebaruan Desain Industri sebaiknya diatur agar tercipta kepastian hukum. Penelitian ini juga akan dilihat dari prespektif hukum desain Uni Eropa dan Perjanjian TRIPs sebagai perbandingan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya ketentuan perundang-undangan Desain Industri khususnya mengenai nilai kebaruan diatur. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku teks hukum serta jurnal sebagai bahan acuan dalam menganalisa permasalahan ini. Hasil dari penelitian ini didapati bahwa pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam menilai kebaruan Desain Industri di Indonesia yaitu pendekatan perbedaan signifikan. Sebab pendekatan tersebut lebih sesuai dalam menilai apakah suatu desain yang dibuat benar-benar memiliki suatu kreasi baru atau tidak. Kemudian guna mewujudkan ketentuan penilaian Desain Industri yang memberi kepastian hukum maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya berupa merubah pengaturan pasal yang mengandung ambiguitas seperti dalam 2 ayat (2) UU DI serta mempertimbangkan untuk mengadaptasi mengenai syarat karakter individu yang terdapat dalam hukum desain Uni Eropa agar meningkatkan persyaratan pendaftaran desain. Dengan begitu suatu desain tidak hanya harus baru namun juga harus memiliki karakter khas yang membedakan dengan desain lainnya.

The provisions of Article 2 paragraph (2) of the Industrial Design Law No. 31 of 2000 (“ID Law”) which does not set clear limits on limits not the same as a new design causes inconsistencies in the interpretation of the assessment of the novelty of Industrial Designs in Indonesia. In addition, substantive evaluation arrangements are determined to only be carried out if there is objection as stated in Article 26 paragraph (5) of the DI Law. This condition eventually creates a loophole for registration of Industrial Designs that are not new and allows for disputes over the novelty of Industrial Designs. In this way, this research was conducted to examine how the provisions for assessing the novelty of Industrial Designs should be regulated in order to create legal certainty. This research will also be seen from the perspective of European Union design law and the TRIPS Agreement as a comparison to find out how the provisions of Industrial Design legislation should be regulated, especially regarding the value of novelty. In conducting this research the authors used normative legal research methods by using library materials such as laws and regulations, legal textbooks and journals as reference materials in analyzing this problem. The results of this study found that a more appropriate approach is used in assessing the novelty of industrial design in Indonesia, namely the significant difference approach. Because this approach is more appropriate in assessing whether a design that is made really has a new creation or not. Then, in order to realize the provisions for evaluating Industrial Designs that provide legal certainty, the efforts that need to be made include changing the arrangement of articles that contain ambiguity as in 2 paragraph (2) of the ID Law and considering adapting the individual character requirements contained in European Union design law in order to improve design registration requirements. That way a design must not only be new but must also have a distinctive character that distinguishes it from other designs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radifan Khairi Nawir
"Studi yang menggunakan metode penetiltian yuridis normatif ini membahas hubungan antara Hukum Persaingan Usaha dan Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI , khususnya Paten. Adapun hubungan antara keduanya dibahas dengan meninjau dan membandingkan ketentuan pengecualian atas perjanjian terkait HaKI dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia dan Uni Eropa, khususnya pengaturan yang mengecualikan perjanjian lisensi paten. Pada umumnya kedua rezim hukum tersebut dianggap bertentangan satu sama lain, dimana HaKI mendorong terciptanya kekuatan monopoli, sedangkan hukum persaingan usaha melihat kekuatan monopoli sebagai sesuatu yang harus dibatas karena berpotensi untuk disalahgunakan abuse of monopoly power . Namun sebenarnya keduanya mempunyai kesamaan tujuan dan bersifat komplementer atau saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian keseimbangan antara keduanya menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa pengecualian atas perjanjian lisensi paten dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, kurang memperhatikan keseimbangan antara hak eksklusif paten yang bersifat privat dengan perlindungan terhadap persaingan usaha di pasar yang merupakan kepentingan publik, apabila dibandingkan dengan pengaturan di Uni Eropa.
This normative juridical study discusses the intersection between Competition Law and Intelectual Property Rights IPRs , particularly patent right, by examining regulations that exempts Patent License Agreements from Indonesian and The European Union Competition Laws. General view sees that there may be an instance of conflict between the two law regimes Whereas IPRs encourages monopoly, Competition Law tries to control market power. However, the two actually have common legislative goals and complementary to each other. Which is why a proper balance between the exclusivity of IPRs and fair market competition is necessary. Nevertheless, the result of this study shows that Patent License Agreements exemption from Indonesian Competition Law doesn rsquo t reflect that necessary balance, compared to its European Union counterpart."
2017
S66352
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Bunga Pertiwi Margaret
"Dalam melakukan kegiatan usaha di suatu pasar, setiap pelaku usaha dengan tegas tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Salah satu dari bentuk kegiatan tersebut adalah perjanjian kartel. Meskipun perjanjian kartel telah dilarang secara eksplisit melalui peraturan perundang-undangan, banyak pelaku usaha yang mencari celah untuk melakukan perjanjian kartel dengan harapan mereka dapat memperoleh keuntungan di atas batas yang wajar. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menelaah faktor-faktor apa saja yang mendorong para pelaku usaha untuk terlibat dalam suatu perjanjian kartel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan meneliti data sekunder yang membahas mengenai praktik persaingan tidak sehat berupa perjanjian kartel yang dilakukan oleh perusahaan maskapai penerbangan baik di Indonesia dan di Uni Eropa. Perjanjian kartel ini marak dilakukan tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di Uni Eropa. Salah satu kasus kartel dalam industri penerbangan di Indonesia adalah dugaan kartel tiket pesawat tercantum dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 dan di Uni Eropa terdapat kasus kartel kargo pesawat yang tercantum dalam Putusan Komisi Eropa.
When it comes to carrying out business activities in a certain market, every business actor is explicitly prohibited from carrying out activities that may lead to monopolistic practices and/or unfair business competition. One of these forms of activity is a cartel agreement. Even though cartel agreements have been explicitly prohibited through laws and regulations, many business actors are looking for leeway to enter into cartel agreements in the hope that they can gain profits above reasonable limits. Therefore, this research was conducted with the aim of examining the factors that encourage business actors to be involved in a cartel agreement. The method used in this study is a normative-juridical research method through examining secondary data that discusses unfair competition practices, particularly, in the form of cartel agreements entered into by airline companies both in Indonesia and in the European Union. This cartel agreement is widely implemented not only in Indonesia, but also in the European Union. One of the cartel cases in the aviation industry in Indonesia is the alleged cartel cartel listed in KPPU Decision No.15/KPPU-I/2019 and in the European Union there is an airplane cartel cartel case listed in the European Commission Decision Case At.39258.Cartel agreements are widely implemented not only in Indonesia, but also in the European Union. One of aviation cartel cases in Indonesia is the alleged airplane ticket cartel case based on KPPU Decision No. 15/KPPU-I/2019 and in the European Union, there is an aircraft cargo cartel case based on the European Commission Decision Case At.39258."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Saffanisa Sudiardiputri
"Slogan merupakan kalimat yang terdiri dari susunan kata yang menarik dan biasa digunakan untuk mempromosikan suatu merek. Slogan pada dasarnya dapat dilindungi sebagai merek. Pengertian merek slogan belum diatur secara spesifik dalam hukum merek Indonesia, tetapi berdasarkan definisi merek yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Merek slogan dapat dikategorikan sebagai jenis merek yang termasuk dalam lingkup merek kata. Penelitian ini membahas terkait perlindungan slogan sebagai merek di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji terkait perlindungan merek slogan serta threshold daya pembeda dalam merek slogan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Merujuk pada hal tersebut, penulis akan mengaitkan antara pokok permasalahan dengan peraturan serta doktrin terkait. Kemudian, metode komparatif dengan pembahasan perbandingan antara negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah mengeluarkan mengatur mengenai merek slogan secara rinci. Penulisan ini akan memuat analisis terkait pengaturan terkait merek slogan yang dapat diaplikasikan di Indonesia. Dengan ini harapannya bagi hukum merek Indonesia untuk mengeluarkan peraturan terkait merek slogan dengan mempertimbangkan efektivitas dan evaluasi dari beberapa negara dan analisa yuridis yang telah dipaparkan.

Slogan is a sentence consisting of interesting wording and is commonly used to promote a brand. Essentially, slogans can be protected as trademarks. The definition of a slogan mark has not been specifically regulated in Indonesian trademark law, but based on the definition of a mark in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, a slogan mark can be categorized as one sort of trademark that falls within the realm of word mark. This study investigated the trademark protection of slogans in Indonesia, the United States, and the European Union. The aim of this study is to investigate the protection of slogan marks and the distinctiveness threshold of slogan mark in Indonesia, the United States, and Europe. This research is normatively legal and employs qualitative analytical techniques. In reference to this, the author will connect the topic to relevant rules and doctrines. Then, the comparative technique with a comparative discussion between the United States and the European Union enacted slogan mark laws in detail. This paper will analyze legislation governing slogan mark that can be used in Indonesia. Consequently, it is desired that the Indonesian trademark law issue restrictions relating to slogan mark, taking into account the effectiveness and evaluation of many countries and the offered legal analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Aqilla Cahyaningrum
"Qualcomm melakukan praktik predatory pricing dengan menjual 3 (tiga) jenis baseband chipset kepada Huawei dan ZTE yang merupakan 2 (dua) pelanggan penting dalam pasar baseband chipset UMTS dengan tujuan untuk mengeliminasi Icera yang merupakan pesaing utamanya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ketepatan penerapan hukum persaingan usaha di Uni Eropa dalam memutus tindakan predatory pricing oleh Qualcomm dan penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia jika kasus predatory pricing serupa dengan yang dilakukan oleh Qualcomm terjadi di Indonesia. Bentuk penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian karya tulis ini adalah Yuridis-Normatif dengan meninjau putusan European Commission Case AT.39711 dan peraturan perundang-undangan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia dan Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa European Commission telah tepat dalam menggunakan hukum persaingan usaha di Uni Eropa untuk memutus kasus predatory pricing oleh Qualcomm yang terbukti melakukan praktik predatory pricing untuk 3 (tiga) jenis baseband chipset-nya pada periode Juli 2009-Juni 2011 dan jika kasus tersebut terjadi di Indonesia, maka termasuk ke dalam praktik predatory pricing serta terdapat perbedaan pengenaan denda antara hukum persaingan usaha di Indonesia dan Uni Eropa. Saran yang dapat diberikan adalah lebih diawasinya proses kegiatan usaha, ditaatinya prinsip persaingan usaha, serta Indonesia dapat memberikan opsi price-cost test lainnya agar dapat dicapai hasil yang lebih akurat dan diterapkannya denda dengan mempertimbangkan jumlah keuntungan pelaku usaha.

Qualcomm practices predatory pricing by selling 3 (three) types of baseband chipset to Huawei and ZTE which are 2 (two) important customers in the UMTS baseband chipset market, with the aim of eliminating Icera, which is Qualcomm's main competitor. This study was conducted with the aim of knowing the exactness of the application of European Union's competition law in deciding predatory pricing practice by Qualcomm and the application of Indonesia competition law if predatory pricing cases similar to those carried out by Qualcomm occur in Indonesia. The form of research used in conducting this research paper is juridical-normative by reviewing the decision of European Commission Case AT.39711 and the regulation regarding Indonesia and European Union competition law. The results show that European Commission has been right in using the European Union competition law to decide on the predatory pricing case by Qualcomm which was proven to have practiced predatory pricing for the 3 (three) types of baseband chipset in the period of July 2009-June 2011 and if the case is occured in Indonesia, it is included in the practice of predatory pricing but only for one type baseband chipset in the period of July 2010-March 2011 and there is a difference in the imposition of fines between Indonesia and European Union competition law. Suggestions that can be given are more supervised of business processes, adherence to the competition principle, and Indonesia can provide other price-cost test options in order to achieve more accurate results and fines taking by considering the amount of profit earned by undertaking."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>