Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91750 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bang Chi Young, aurthor
"ABSTRAK
Independensi hakim Pengadilan Pajak berdampak pada keadilan dan
kepastian hukum dalam keputusan sengketa pajak. Sebagai negara yang sama-sama
menganut sistem hukum sipil(civil law) ternyata Sistem Peradilan Pajak Indonesia
dan Korea berbeda. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan
bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menganalisis dan menggunakan
bahan-bahan kepustakaan sebagai data sekunder dan sebagai batu uji pendekatan
yang dipakai adalah Bangalore Principles. Permasalahan pada penelitian ini yaitu
bagaimana independensi hakim Pengadilan Pajak di dalam sistem hukum di
Indonesia dan di Korea dan apakah Pengadilan Pajak Indonesia dan Korea telah
memberikan peluang yang memadai bagi wajib pajak untuk melakukan upaya
hukum. Hakim Pengadilan Pajak di Indonesia maupun di Korea kurang independen
hal tersebut akan mengganggu independensi hakim dalam memutuskan sengketa
pajak. Dalam sistem hukum Indonesia peluang yang diberikan kepada Wajib Pajak
untuk melakukan upaya hukum dirasa sangat kurang karena putusan Pengadilan
Pajak merupakan putusan bersifat final dan mengikat. Sedangkan dalam sistem
hukum Korea peluang upaya hukum dirasa cukup ideal karena mengenal upaya
hukum banding, kasasi

ABSTRACT
The independence of the Tax Court judge affects the fairness and legal
certainty in the decision of tax disputes. As a country that is equally embracing
system of civil law turns the Tax Justice System Indonesia and Korea are different.
This reserach uses the judicial normative method and is descriptive analytical
research, which analyses and uses literature as seconday data and as the touchstone
of the approach is the Bangalore Principles. The problem in this research is whether
the Tax Court judge of Indonesia and Korea independent and whether the Tax Court
of Indonesia and Korea have provided adequate opportunities for taxpayers to make
legal effort. Tax Court judge in Indonesia and Korea are less independent it would
interfere with the independence of judges in deciding tax disputes. In the Indonesian
legal system the opportunity provided to the taxpayer to take legal actions
considered very less because the Tax Court's decision is final and binding decision.
While in the Korean legal system is considered sufficient opportunities ideal
remedy because it has provided appeal, cassation and judicial review"
2016
S65453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nana Permana
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui eksistensi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan independensi hakim Pengadilan Pajak terkait dengan eksistensi Pengadilan Pajak tersebut. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah eksistensi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan bagaimanakah independensi hakim Pengadilan Pajak terkait dengan eksistensi tersebut. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah yuridis normatif dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Eksistensi Pengadilan Pajak tidak disebut tegas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Pajak di Indonesia adalah pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan oleh Kementerian Keuangan menimbulkan keraguan atas independensi hakim pengadilan pajak. Putusan Pengadilan Pajak 2011-2015 sebagian besar mengabulkan permohonan Wajib Pajak dan putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Pajak, mengindikasikan independensi hakim Pengadilan Pajak tetap dijaga walaupun pembinaan masih dua atap. Disarankan dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak agar sesuai dengan integrated justice system yang dianut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the existence of the Tax Court in the Indonesian judicial system and the independence of the Tax Court judge related to the existence of the Tax Court. This research question is how the existence of the Tax Court in the judicial system in Indonesia and how the independence of judges Tax Court of existence. This type of research conducted by the author is normative with descriptive qualitative research methods. The existence of the Tax Court is not mentioned expressly in the Act No. 14 of 2002 concerning the Tax Court. According to Law Number 48 Year 2009 regarding Judicial Power and Law Number 51 Year 2009 on State Administrative Court, the Tax Court in Indonesia is a special court in the administrative courts exercising judicial power to the taxpayer or tax insurer seek fairness to tax disputes. Technical assistance by the Supreme Court while organizational development, administration, and finance by the Ministry of Finance raised doubts over the independence of the tax court judge. Tax Court Decisions 2011-2015 largely granted the taxpayer and the decision of Supreme Court upheld the Tax Court's decision, indicating the independence of the Tax Court judge kept although assistancing is still two roofs. Suggested revision of Law No. 14 of 2002 concerning the Tax Court to match the integrated justice system adopted Act No. 48 of 2009"
2016
T46397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haykal
"Bahwa syarat-syarat sah perjanjian di Indonesia yang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata belumlah cukup memberikan keadilan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena itu, muncul ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai “batasan” baru dalam memberikan keadilan bagi para pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, khususnya bagi pihak yang lebih lemah. Meskipun dalam praktiknya ajaran ini telah digunakan oleh hakim-hakim di Indonesia, akan tetapi sebenarnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia belum diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan. Berbeda halnya dengan di negara Belanda dan Jerman yang dimana ajaran penyalahgunaan keadaannya telah diatur dalam suatu ketentuan tertulis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pendekatan hakim di Indonesia dalam memutus perkara penyalahgunaan keadaan di pengadilan dan kemudian mengaitkannya dengan pendekatan hakim dalam memutus perkara penyalahgunaan keadaan di negara Belanda dan Jerman. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dimana yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, termasuk sumber hukum primer dan sekunder. Bahwa dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan yaitu ternyata terdapat perbedaan diantara hakim-hakim di Indonesia dalam menilai ada atau tidaknya penyalahgunaan keadaan dalam memutus suatu perkara di pengadilan. Beberapa diantaranya ada yang menggunakan pendekatan yang digunakan di Belanda, namun ada juga yang menggunakan pendekatan yang digunakan di Jerman. Oleh karena itu, ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia seharusnya diatur dalam suatu pengaturan sehingga penilaian hakim-hakim di Indonesia dalam memutus perkara penyalahgunaan menjadi seragam.

The conditions for agreement to be valid in Indonesia as state in Indonesia code civil are not enough to give fairness for the parties who make a contract. Therefore, undue influence doctrine has been emerged as a new “barrier” to give fairness for the parties who make a contract, especially for the weaker parties. Although in practice, this doctrine has been used by judges in Indonesia, however undue influence in Indonesia has not put on any regulation yet. It is different with Netherland and Germany which undue influence doctrine has been put on their written provisions already. The purpose of this research is to see how the Indonesian judge’s approach in deciding undue influence cases in court and then relating with the judge’s approach when deciding undue influence cases in Netherland and Germany. This research is a normative juridical research where only library materials or secondary data are researched. From this research, it can be concluded that there are differences among Indonesia’s judges in assessing whether there is or isn’t undue influence when deciding a case in court. Some of them are using the approach that used in Netherland, but some are using the approach that is used in Germany. Therefore, undue influence doctrine in Indonesia should be regulated in a regulation so that judge’s judgment in Indonesia when deciding undue influence cases become uniform."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Ayu Werdiningsih
"Pengawasan Hakim Pengadilan Pajak selama ini diatur Pasal 11 ayat 1 dan 2 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang pada pokoknya menegaskan pengawasan Hakim dilakukan oleh Ketua Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung. Hal ini tentu tidak sesuai dengan reformasi kekuasaan kehakiman di mana seharusnya pengawasan Hakim menjadi kewenangan Lembaga yang ditunjuk secara atributif oleh UUD NRI 1945. Dengan bentuk metode penelitian yuridis-normatif, penelitian ini mencari data dengan studi kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada 16 Juli 2010, pengawasan Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, hal ini dikarenakan model pengawasan Hakim Pengadilan Pajak dipengaruhi oleh model pembinaan pada Pengadilan Pajak, yang masih melibatkan Kementerian Keuangan. Namun secara ideal, pengawasan Hakim Pengadilan Pajak dilakukan secara internal yang terpusat kepada Mahkamah Agung (baik pengawasan teknis peradilan, organisasi, administrasi, keuangan dan pengawasan tingkah laku Hakim secara internal) dan secara eksternal terkait tingkah laku Hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial, yang berlandaskan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

The supervision of Tax Court Judges is currently regulated in Article 11 paragraphs 1 and 2 of Law Number 14 of 2002 concerning the Tax Court, which basically emphasizes that the supervision of Judges is carried out by the Head of the Tax Court and the Supreme Court. This is certainly not in accordance with the reform of judicial power so that the supervision of Judges should be the authority of an attributively appointed institution by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. With the form of a juridical-normative research method, this research looks for data by studying literature in the form of legislation and related literature. The results show that since the signing of the Memorandum of Understanding (MoU) on July 16, 2010, the supervision of Tax Court Judges has been carried out by the Ministry of Finance, the Supreme Court and the Judicial Commission, this is because the Tax Court Judge's supervision model is influenced by the coaching model at the Tax Court, which still involves Ministry of Finance. However, ideally, the supervision of Tax Court Judges is carried out internally which is centered on the Supreme Court (both technical supervision of the judiciary, organization, administration, finance and supervision of Judge behaviour internally) and externally related to the behaviour of Judges is carried out by the Judicial Commission, which is based on the Judicial Commission. Code of Ethics and Code of Conduct for Judges"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Triana
"Perbedaan persepsi dan interprestasi Undang-undang perpajakan beserta peraturan pelaksanaannya yang dikaitkan dengan validitas bukti dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengakibatkan sengketa antara Direktorat Jendral pajak (fiskus) dengan Wajib pajak. Dalam memberikan keadilan di bidang perpajakan dilakukan melalui prosedur pengajuan keberatan dan banding. Penyelesaian sengketa banding di Pengadilan Pajak merupakan usaha pemulihan hak Wajib Pajak sebagai upaya penegakan hukum. Terhadap penyelesaiannya tersebut maka diperlukan beberapa alat bukti penunjang, salah satunya adalah alat bukti Pengetahuan Hakim. Akan tetapi, Pengetahuan Hakim tidak dapat dengan serta merta berdiri karena harus ada alat penunjang lainnya. Dengan adanya alat bukti lain yang telah diberikan akan menguatkan keyakinan Hakim dalam menyusun putusannya dikarenakan Hakim akan memberikan penafsiran dengan menginterpretasikan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dapat jauh berbeda dengan apa yang ditetapkan fiskus.

The differences of perception and interpretation concerning on Tax Regulation along with the rules of its implementation which was related with the validity of the implementation in Tax Regulations cause the dispute between government (Direktorat Jendral Pajak) with the tax payer should be done through the procedure of filing objections and the appeal. The Dispute Resolution in the Court of tax appeals is the form a taxpayer's right to recovery efforts as law enforcement efforts. The solution is then required some evidence supporting in which one of them is a proof of the knowledge of judges. However the knowledge of judges cannot necessarily be standing with because there must be other supporting tools. The existence of other proofs that has been granted will strengthen the judge's belief in drawing up the verdict of judges because the judge will give the interpretation by translating Tax Regulation that could be far different than what is determined by Government."
2012
S42213
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Wedha Rieantiari
"Pemungutan pajak di Indonesia dilaksanakan dengan sistem full self assessment, yang berarti Wajib Pajak menghitung dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Hasil dari permeriksaan tersebut adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP). Jika Wajib Pajak tidak menerima hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, dan jika masih belum puas, dapat mengajukan banding. Masalah lain yang memberatkan Wajib Pajak, dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak. Dengan demikian pengadilan pajak merupakan suatu sarana untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.
Dalam skripsi ini hanya dibahas beberapa kasus mengenai banding untuk mendapatkan kesimpulan. Penulisan ini menganalisis tentang fakta-fakta di persidangan yang mendasari pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa pajak yang diajukan Wajib Pajak. Setelah melakukan ringkasan putusan banding, penulis mengelompokkan fakta-fakta yang terjadi di persidangan, yaitu pentingnya persyaratan formal persidangan, kelengkapan alat bukti yang memberi keyakinan kepada hakim, perbedaan interpretasi hukum antara Wajib Pajak dan DJP, serta pentingnya pengetahuan tentang peraturan perpajakan yang berlaku. Fakta-fakta tersebut digunakan sebagai dasar penulis untuk membangun manajemen perpajakan yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak agar fakta-fakta yang melemahkan argumen Wajib Pajak tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Indonesia adopts self-assessment method in tax collection in which Taxpayer calculates and reports their income taxes while Directorate General of Taxes only performs the monitoring function and examination. The output of that process is a Tax Assessment Letter and Tax Collection Letter in which Tax payer may not fully agree. Thus Taxpayer may raise an objection and through court, if Tax payer is still not satisfied with the objection's result. Therefore Tax Court is one of a medium to bring justice to society. This research will only examine several appeal cases in court to lead into a conclusion.
This study examines the Court’s facts which become the basis of Judges consideration in making a decision. After resuming some appeal verdicts, writer classified the court’s facts, the importance of formal regulation, completeness of evidences, the difference of Law interpretation between Directorate General of Tax and Tax Payer, and the urgency of comprehending and knowing about the newest Tax rules which are applied.Those facts become the basis forwriter to build tax management system for Tax Payer, so that the same tax dispute will not happen again in the future.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S59886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Rahmatini Lukitosari
"Skripsi ini membahas tentang penerapan ketentuan pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 atau yang dikenal dengan Undang-Undang Bahasa dalam prateknya di pengadilan. Cara hakim dalam memutus dan memberikan pertimbangan atas pekara-perkara terkait perjanjian yang menggunakan bahasa asing menentukan keberlakuan dari ketentuan pasal 31 tersebut, yang sampai saat ini belum memiliki sanksi hukum. Penelitian ini difokuskan pada pengaturan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian serta analisis terhadap putusan-putusan atas perkara yang berkaitan dengan penggunaan bahasa asing yang melanggar ketentuan pasal 31 UU No. 24 tahun 2009. Putusan-putusan yang diperbandingkan adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 451/Pdt. G/ 2012/ PN. Jkt. Bar. dan Putusan Pengadilan Negeri Praya Nomor 35/PDT.G/2010/PN.Pra. Kedua putusan tersebut memiliki dalil gugatan yang sama namun hakim memberikan pertimbangan yang berbeda berkaitan dengan kasus-kasus tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap kontrak berbahasa asing ditinjau dari peraturanperaturan yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan bentuk hasil penelitian adalah deskriptifanalitis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran dan penjelasan berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertimbangan hakim dalam memutus kontrak bahasa asing yang melanggar ketentuan pasal 31 UU No 24 tahun 2009 dapat berlainan untuk setiap perkara, karena tidak semua hakim menerapkan ketentuan pasal tersebut dalam memutus perkara.

The thesis discusses the application of article 31 of the Law No. 24 Year 2009, or what is known as the Law of Language within its practice in the courtroom. The judge's methods in giving out verdict and providing considerations on the cases related to agreements using foreign language determines the enforceability of the language act. The research was focused on the regulations on the obligation of using Bahasa Indonesia within an agreement as well as the analysis to the verdicts of the cases related to the use of foreign language infringing the article 31 of the Law No. 24 Year 2009. The decisions in comparison are the decisions of West Jakarta District Court No. 451/Pdt. G/2012/PN. Jak. Bar and the decision of Praya District Court No. 35/PDT.G/2010/PN.Pra. Both decisions possess the same type of lawsuit, but the judges had provided different considerations in relation to the cases.
The objective of this research is to provide legal certainty to contracts made in foreign languages seen from the perspective of Indonesian laws and regulations. The research methods applied for the research is the qualitative method, with a descriptive-analytic research results, which may be described as a type of research providing overview and elaboration based on the analysis applied in the research. Judge's considerations in throwing out decisions for foreign language contracts violating the article 31 of Law No. 24 Year 2009 may vary for each case, as not all judge's apply the article's provisions in giving out decision on a particular case. The methods of the judge's in giving out decisions and providing considerations on the cases related to agreements using foreign language determines the enforceability of the article 31's provisions."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S58540
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Dewi Syafrani Arbi
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis implementasi penyelesaian sengketa pajak dalam mewujudkan asas cepat, murah, dan sederhana pada pengadilan pajak di Indonesia dengan Jepang dan juga upaya-upaya yang dilakukan Pengadilan Pajak dalam mewujudkan pelayanan administrasi sengketa pajak yang berasas cepat, murah dan sederhana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memperoleh pemahaman mengenai permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa implementasi penyelesaian sengketa pajak dalam mewujudkan asas cepat, murah, dan sederhana pada pengadilan pajak di Indonesia saat ini belum terwujud. Beberapa saran yang direkomendasikan antara lain: meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan, perlu memperbanyak kantor Pengadilan Pajak diberbagai daerah di Indonesia disertai dengan penambahan penambahan sumber daya manusia yang berkompeten.

The study aims to analyze the implementation of a tax dispute settlement in order to actualize the principles of fast, cheap, and simple in tax court in Indonesia and Japan and also the efforts that being conducted by the Tax Court to implement tax dispute administration services in a fast, cheap and simple. This study used a qualitative approach to gain an understanding of the issues. These results indicate that the implementation of the settlement of a tax dispute in realizing the principle of fast, cheap, and simple in tax court in Indonesia has yet to materialize. Some suggestions are recommended include: improving the quality of examination results, it is necessary to multiply the Tax Court offices in various regions in Indonesia is accompanied by the addition of the addition of competent human resources.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Indah Sari
"ABSTRAK
Hingga saat ini, realisasi penerimaan perpajakan masih belum mencapai target. Hal ini sering dikaitkan dengan penghindaran pajak maupun penggelapan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak. DJP yang bertugas untuk memenuhi penerimaan pajak seringkali bersengketa dengan Wajib Pajak mengenai Kepatuhan Wajib Pajak tersebut. Salah satu jenis pajak yang disengketakan adalah mengenai Pajak Pertambahan Nilai. Skripsi ini menganalisis sengketa PPN antara Wajib Pajak dengan DJP yang diselesaikan di Pengadilan Pajak. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif-deskriptif melalui 10 putusan banding tahun 2012-2016. Setelah dilakukan analisis terhadap kasus-kasus tersebut, Penulis menemukan bahwa terdapat dua pokok sengketa PPN yaitu mengenai Dasar Pengenaan Pajak dan Pajak Masukan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi peraturan, perbedaan penafsiran data, dan perbedaan kepentingan. Selain itu, Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa berdasarkan bukti berupa dokumen, peraturan, pengakuan para pihak, dan keyakinan Hakim.

ABSTRACT
Until now, the realization of tax revenue in Indonesia still has not reached the target. However, this issue is often associated with tax avoidance and tax evasion by the Tax Payer. The Directorate General of Tax DGT who has the responsibility to meet the target of tax revenue is often disputed with the Tax Payer regarding the Tax Payer Compliance. One of the disputed types of taxes is on Value Added Tax.This study analyzes 10 ten appeals of Value Added Tax case from 2012 2016 in Indonesia using qualitative descriptive approach. After analyzing these cases, the result shows that there are two main principal of VAT disputes concerning Tax Base and Input Tax due to differences in regulatory interpretations, differences in interpretation of data, and different interests. In addition, the Tax Court resolves disputes based on evidence in the form of documents, regulations, confessions of the parties, and the judge 39 s conviction."
2017
S70005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukmanul Hakim Al Khoiry
"ABSTRAK

Pelaksanaan sidang sengketa pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 pasal 4 yang disebutkan bahwa sidang sengketa pajak yang dilaksanakan oleh pengadilan pajak dilakukan di Jakarta dan dapat dilakukan di luar daerah atau tempat lain jika hal tersebut dianggap perlu. Timbul permasalahan ketika wajib pajak daerah yang sidang sengketa pajaknya dilakukan di daerah memakai jasa konsultan pajak yang berasal dari Jakarta, wajib pajak harus menanggung biaya tim konsultan pajak yang datang ke daerah tempat persidangan dilakukan. Dari pihak pengadilan pajak juga akan menanggung biaya perjalanan dinas dari tim hakim pengadilan pajak yang akan memimpin persidangan, karena hakim yang memimpin persidangan berasal dari Jakarta dan tidak disiapkan oleh pengadilan pajak di setiap lokasi sidang sengketa pajak. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pelaksanaan sidang sengketa pajak yang dilaksanakan diluar daerah Jakarta ditinjau dari asas ease of administation. Asas ini akan menjadi indikator apakah suatu administrasi pajak dalam suatu sistem perpajakan dapat dijalankan dan diterapkan secara ringkas, mudah, pasti, dan tidak berbelit-belit bagi wajib pajak maupun fiskus. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian post positivism, dengan melakukan wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian dari empat asas ease of administration yang ada, asas certainty secara garis besar terpenuhi karena kepastian hukum baik dari aspek prosedur sampai dengan pelaksanaan sidang diatur dalam peraturan-peraturan yang jelas dan pelaksanaan sidang juga sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku namun belum ada suatu peraturan yang mengatur kriteria-kriteria yang menjadi pertimbangan ketua pengadilan pajak dalam menentukan tempat sidang. Asas efficiency belum terpenuhi karena penyelesaian sengketa pajak masih membutuhkan waktu lama dan tidak ada kepastian mengenai putusan dari pengadilan pajak sehingga hal tersebut menyebabkan penumpukan berkas sengketa pajak di pengadilan pajak dan biaya yang tinggi yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak dan pengadilan pajak selama proses penyelesaian sengketa. Asas convenience terpenuhi karena prosedur dan pelaksanaan sidang sengketa pajak yang jelas, tidak berbelit-belit, dan mudah bagi wajib pajak untuk memenuhi dan menjalankannya. Asas simplicity sudah terpenuhi karena dalam prosedur administrasi yang dipersyaratkan pengadilan pajak sudah sederhana dan pelaksanaan sidang sengketa pajak di pengadilan pajak  lebih teratur.


ABSTRACT


The implementation of the tax dispute trial is regulated by the Law of The Republic of Indonesia No.14/2002 concerning Tax Court article 4 which states that the tax dispute trial conducted by the tax court can be held in Jakarta and other regions if it is deemed necessary. The problem arises when local taxpayers whose tax dispute trials are held outside Jakarta hire a tax consultant from Jakarta, the taxpayer must bear the transportation and accomodation costs of the tax consultant team who come to the region where the trial is held. The tax court institution also bear the travel cost of the official team of tax court judges who will lead the trial, because the judge who leads the trial comes from Jakarta and judges are not assigned by the tax court institution at each location of the tax dispute trial. This study aims to analyze the implementation of tax dispute trial held outside Jakarta in terms of the principle of ease of administration.  This principle will be an indicator of whether a tax administration in a taxation system can be run and implemented in a concise, easy, certain, and straightforward manner for taxpayers and tax authorities. The present research uses a post positivism research approach, by conducting in-depth interviews and literature studies. The results of research related to the four principles of ease of administration, indicate that certainty principles are generally fulfilled in terms of legal certainty from the aspect of procedure to the implementation of the hearing regulated in clear regulations and the implementation of the trial is also in accordance with applicable regulations, but there is no regulations governing the criteria considered by the head of the tax court in determining the place of the hearing. The principle of efficiency has not been fulfilled because the tax dispute settlement still takes a long time and there is no certainty regarding the decision of the tax court so that it causes the accumulation of tax dispute files in the tax court and high costs that must be incurred by taxpayers and tax court during the dispute settlement process. The principle of convenience is fulfilled because the procedures and conduct of tax dispute hearings are clear, straightforward, and easy for taxpayers to fulfill and carry out. The principle of simplicity is fulfilled because the administrative procedures required by the tax court are simple and the implementation of the tax dispute hearing in the tax court is more regulated.

"
2020
T55048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>