Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Melisa
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara perilaku compliance dengan pengalaman buruk di masa kecil oleh warga binaan lembaga pemasyarakatan. Pengalaman buruk tersebut diantaranya kekerasan (fisik, seksual dan psikologis), menyaksikan langsung peristiwa kekerasan, mengalami pengabaian, atau memiliki disfungsi keluarga, meliputi keluarga yang kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, gangguan kejiwaan dan percobaan bunuh diri. Penelitian ini dilakukan kepada 100 orang warga binaan di 3 lapas, yaitu Lapas kelas IIA Salemba, Lapas Cipinang, dan Lapas Cibinong. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku compliance dengan pengalaman buruk di masa kecil pada warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Penelitian ini menggunakan metode Pearson Correlation dalam analisis data statistik yang diolah menggunakan bantuan aplikasi SPSS. Sedangkan untuk alat ukur, penelitian ini terdiri dari 2 alat ukur, yaitu Adverse Childhood Experience (ACE) dan Gudjonsson Compliance Scale (GCS). Dari 100 orang partisipan, ditemukan 64 diantaranya tergolong pada kategori compliance. Dari 13 dimensi, 3 urutan teratas skor pengalaman buruk tertinggi yang dialami partisipan adalah pengabaian emosional, kekerasan kelompok/ perang, dan orang tua berpisah/ bercerai, meninggal dunia.

ABSTRACT
This study examines the relationship between the compliance behavior and adverse childhood experience on adult offenders. The adverse childhood experience including violence (physical, sexual and psychological), witnessed incidents of violence, negligence, or having family dysfunction (including family alcoholism, drug abuse, psychiatric disorders and suicide attempts). This research was conducted to 100 inmates in three prisons, class IIA Salemba prison, Cipinang Prison, and Cibinong prison. The results of this study indicates that there is no significant relationship between behavioral compliance and adverse childhood experience on adult offenders. This study uses Pearson Correlation method in the analysis of statistical data was processed using SPSS application assistance. This study consisted of two measuring insruments, the Adverse Childhood Experience (ACE) and Gudjonsson Compliance Scale (GCS). Out of 100 participants, 64 of them belong to the category of compliance. From 13 dimensions, the top 3 highest scores suffering adverse childhood experiences of participants is emotional negligence, groups violence / war, and separated/ divorced parents, death."
2016
S63521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dian Purnamasari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan pengalaman buruk masa kecil terhadap sugestibilitas. Pengalaman buruk masa kecil dihitung menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ). Terdiri dari 30 pertanyaan mengenai 13 kategori pengalaman buruk yang dialami pada 18 tahun awal kehidupan. Tingkat sugestibilitas diukur menggunakan alat ukur Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS). Terdiri dari 20 pertanyaan terkait dengan narasi cerita yang dibacakan untuk melihat skor yield dan shift. Partisipan penelitian ini merupakan warga binaan dewasa lembaga permasyarakatan. Responden terdiri dari 100 orang yang terseleksi menjadi 87 orang. Pengukuran dilakukan menggunakan linear regression menunjukkan nilai R2 sebesar 0,22 dengan signifikansi sebesar 0,08 pada los ≥0,05 untuk peranan keseluruhan pengalaman buruk masa kecil terhadap tingkat sugestibilitas. Terdapat hubungan sebesar 0,34 dengan signifikansi sebesar 0,03 pada los ≥0,05 untuk peranan kategori kekerasan komunitas terhadap tingkat sugestibilitas. Dapat disimpulkan bahwa keseluruhan pengalaman buruk masa kecil tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat sugestibilitas, namun kategori kekerasan komunitas memiliki peran yang signifikan terhadap tingkat sugestibilitas

ABSTRACT
This study aim to see the roles of adverse childhood experience towards suggestibility. Adverse childhood experience measured by Adverse Childhood Experience Internationa Questionnaire (ACE-IQ). ACE-IQ consists of 30 questions about 13 categories of adverse experience that happened in 18 years of early life. Suggestibility is measured by Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS).GSS of 20 questions about a narrative story that used to see yield and shift scores. Participants of this study are adult prisoner. There are 100 respondent, then it becomes 87 after selections. Measurement with linear regression shows R2 value of 0,22 with 0,08 at los ≥0,05 in roles of all adverse childhood experience towards suggestibility. There is a correlation worth of 0,34 with 0,03 at los ≥0,05 in roles of community violence towards suggestibility. It concludes that there is no significance roles of adverse childhood experience towards levels of suggestibility, but there is a significance roles from community violence category towards levels of suggestibility"
2016
S65662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Margaretha
"Kekerasan berpacaran merupakan kekerasan yang paling banyak ditemui pada dewasa muda di Indonesia pada tahun 2019. Pengalaman masa kecil yang buruk merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam berpacaran. Salah satu yang diduga menjembatani kedua varibel ini adalah anxious attachment. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah anxious attachment memediasi pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran pada dewasa muda. Partisipan dalam penelitian  ini berjumlah 345 orang dengan rata-rata usia 21.56 tahun. Pengalaman masa kecil yang buruk diukur dengan Childhood Trauma Questionnaire Short Form, kekerasan dalam berpacaran diukur dengan Conflict Tactics Scales Revised Short Form dan anxious attachment diukur dengan Short Form Experience in Close Relationships- Revised. Hasil analisis menggunakan analisis mediasi menjelaskan bahwa anxious attachment memediasi hubungan antara pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran subskala injury pada dewasa muda (ab=0.0069,SE=0.0,99%, CI[0.0024, 0.0134]). Anxious attachment tidak memediasi pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran subskala psychological aggression, sexual coercion, physical assault dan negotiation. Kesimpulan penelitian menjelaskan bahwa semakin sering pengalaman masa kecil yang buruk dialami seseorang, semakin tinggi anxious attachment seseorang yang kemudian mengarahkan pada meningkatnya kekerasan dalam berpacaran subskala injury pada dewasa muda. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan instrumen tambahan seperti wawancara.

Dating violence was the most common type of violence happened to young adult in Indonesia in 2019. Adverse Childhood Experience is a risk factor that influence the development dating violence. Anxious attachment is postulated to mediate these two variables. The purpose of this study was to examinate whether anxious attachment mediates the relationship between adverse childhood experience and dating violence in young adulthood. The study was conducted on 345 participants with average age 21.56. Adverse Childhood Experience measured by Childhood Trauma Questionnaire Short Form, dating violence were measured by Conflict Tactics Scales Revised Short Form and anxious attachment measured by Short Form Experience in Close Relationships-Revised. The result  analysis using mediation analysis showed that anxious attachment significantly mediated the relationship between Adverse Childhood Experience and dating violence subscale injury in young adulthood (ab=0.0069,SE=0.0,99%, CI[0.0024, 0.0134]). Anxious attachment not mediate dating violence subscale  psychological aggression, sexual coercion, physical assault and negotiation. The research conclusion proves that the more often Adverse Childhood Experience happened, the higher the anxious attachment, which leads to increased dating violence subscale injury in young adulthood. Future research are suggested to add additional instrument such as interviews.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isfina Fadillah
"Artikel ini membahas tentang Kekerasan terhadap Perempuan Pasca Gerakan 30 September 1965 di Pulau Jawa (1965-1979). Pembahasan dimulai dengan peran TNI-Angkatan Darat dan kelompok sipil dalam aksi penangkapan, para perempuan yang mengalami penangkapan dan kekerasan, serta dampak kekerasan yang dialami oleh perempuan tersebut. Penelitian sebelumnya yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi 1965 lebih menekankan pada budaya patriarki yang menjadi faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan pasca G30S 1965. Pembahasan mengenai faktor-faktor lainnya serta kekerasan yang dialami para perempuan yang tidak terlibat dalam organisasi afiliasi PKI belum dibahas dalam penelitian sebelumnya. Penulisan artikel ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Dalam tahap heuristik, peneliti menggunakan wawancara lisan terhadap beberapa mantan tahanan politik ’65 serta perempuan yang anggota keluarganya pernah ditangkap, koran sezaman, buku, jurnal, dan majalah. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa perempuan yang mengalami penahanan dan kekerasan disebabkan oleh jalannya aksi pembersihan oleh Kopkamtib yang tidak sesuai prosedur hukum, informasi-informasi yang termuat dalam media TNI-AD, serta rendahnya budaya kritis dalam menerima informasi oleh masyarakat Indonesia. Kekerasan yang dialami oleh para perempuan yang ditahan begitu ragam, mulai dari kekerasan verbal, fisik, hingga seksual. Kekerasan tersebut mengakibatkan berbagai kerugian, baik secara fisik maupun psikologis.

This article discusses Violence against Women after the September 30th Movement in Java (1965-1979). The discussion begins with the role of the Indonesian Army and civilian groups in the arrests, women who experienced arrests and violence, and the impact of violence experienced by these women. Previous studies that discussed violence against women in the 1965 tragedy emphasized patriarchal culture as the main factor in violence against women after the 1965 G30S. Discussions on other factors and violence experienced by women who were not involved in PKI-affiliated organizations have not been discussed in previous studies. This article uses a historical method consisting of heuristic, verification, interpretation, and historiography steps. In the heuristic stage, the researcher used oral interviews with several former political prisoners of '65 and women whose family members had been arrested, contemporary newspapers, books, journals, and magazines. The results of this study revealed that women who experienced detention and violence were caused by the course of the Kopkamtib clean-up action that was not in accordance with legal procedures, information contained in the TNI-AD media, and the low critical culture in receiving information by the Indonesian people. The violence experienced by the women who were detained was very diverse, ranging from verbal, physical, to sexual violence. This violence resulted in various losses, both physically and psychologically."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Pebruarini
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan kecenderungan malingering pada partisipan yang merupakan warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat kecenderungan untuk melakukan malingering pada korban yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kecil, karena adanya keuntungan eksternal yang diharapkan. Malingering kerap kali muncul pada warga binaan. Warga binaan juga ditemukan seringkali mengalami pengalaman buruk masa kecil. Partisipan berjumlah 86 warga binaan yang diminta untuk mengisi kuesioner Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) milik WHO (2011) dan Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS) milik Smith dan Burger (1997), yang kemudian diolah dengan mengunakan Pearson Correlations. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman buruk masa kecil dan kecenderungan malingering pada warga binaan dewasa di Lembaga Pemasyarakan Salemba, Cipinang, dan Cibinong.

ABSTRACT
This study is conducted to determine the relationship between adverse childhood experiences and the tendency of malingering among prisoner participants. Previous research found that victims who have experienced childhood sexual abuse have a tendency for malingering, because of the external incentive expected. Malingering often arise on inmates. Inmates also found that often got adverse childhood experiences. 86 inmates were asked to fill Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) made by WHO (2011) and Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS) made by Smith and Burger (1997). The data were then processed by using Pearson Correlations. The results of the find that there is a significant relationship between adverse childhood experiences and the tendency of malingering among adult inmates at the Lembaga Pemasyarakan Salemba, Cipinang, and Cibinong."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Earlita Adelia
"Penelitian tentang kekerasan berpacaran siber masih terbatas walaupun hubungan romantis yang dijalin secara online sudah umum. Salah satu faktor risiko dari kekerasan dalam berpacaran adalah pengalaman buruk masa kecil. Selain itu, regulasi emosi diketahui berhubungan dengan meningkatnya perlakuan dan kemungkinan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman buruk masa kecil terhadap kekerasan dalam berpacaran siber dan kemampuan regulasi emosi sebagai moderator hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian ini kekerasan berpacaran siber diukur melalui kedua sisi yaitu sisi pelaku dan juga korban. Partisipan berjumlah 117 dewasa muda Indonesia (64.8% perempuan, M usia = 20,22, SD = 1,925). Ditemukan bahwa pengalaman buruk masa kecil memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi pelaku (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = 0.001, t(117) = 0.381, p > 0.05). Pengalaman buruk masa kecil juga ditemukan memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi korban (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = -0.000, t(117) = ,0.042, p > 0.05). Hasil ini menekankan hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dengan kekerasan dalam berpacaran dalam konteks siber.

Research related to cyber dating abuse is still limited even though online romantic relationships are common. One of the risk factors for dating violence is adverse childhood experiences. In addition, emotion regulation is known to be associated with increased perpetration and the likelihood of being a victim of dating violence. This study aims to determine the effect of adverse childhood experiences on cyber dating abuse and emotion regulation as a moderator. Cyber dating abuse is measured through perpetrator's side and also the victim's side. Participants totalled 117 emerging adults (64.8% female, M age = 20.22, SD = 1.925). It was found that adverse childhood experiences predict cyber dating abuse from the perpetrator's side (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) and emotion regulation is not a significant moderator (b = 0.001, t( 117) = 0.381, p > 0.05). Adverse childhood experiences were also found to predict cyber dating abuse from the victim side (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) and emotion regulation was not a significant moderator (b = -0.000, t(117) = 0.042, p > 0.05). These results emphasize the relationship between adverse childhood experiences and dating violence in cyber context.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Ridwansah
"Beragamnya latar belakang kehidupan narapidana, baik itu latar belakang kasus, suku/etnis, agama dan lainnya merupakan faktor nyata dari keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai minatur masyarakat. Disana juga terdapat berbagai kebutuhan dan kepentingan narapidana dalam rangka mempertahankan hidupnya selama dalam lapas. Dalam rangka hal tersebut narapidana akan menjaga hubungannya dengan petugas dan aturan yang berlaku dalam lapas sehingga baik petugas maupun aturan mampu mengakomodir ataz dilemahkan oleh kepentingan narapidana, termasuk kepentingan menambah fasilitas kamar hunian sesuai keinginan narapidana. Akibat adanya penambahan fasilitas-fasilitas pada kamar hunian pada narapidana tertentu akan berakibat adanya kecemburuan sosial di kalangan narapidana, pemborosan anggaran karena umumnya penambahan fasilitas berupa alat-alat elektronik yang menggunakan listrik, dan yang terpenting adalah narapidana tersebut umumnya tidak tersentuhk program pembinaan.
Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di Rumah Tahanan negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta seria kendala-kendala yang dihadapi dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan..dengan wawancara terhadap informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wiforiiai penelitian terdiri dari informan petugas dan informan. Lokasi penelitian adalah lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) di DKI Jakarta, yaitu Lapas Klas I Cipinang, Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta, Lapas Klas IIA Salemba, Rutan Klas I Jakarta Pusat dan Rutan Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana pada lima (5) lokasi penelitian belum terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan persepsi dan cara pandang terhadap aturan yang ada yang berbeda-beda sehingga penerapannya pada masing-masing lapas/rutanpun berbeda. Kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di lapas/rutan masih mementingkan unsur keamanan dan keiertiban. Penyimpangan terhadap pemenuhan fasilitas kamar hunian narapidana adalah adanya fasilitas-fasilitas tambahan yang tidak sesuai aturan seperti TV, AC, Kompor Listrik hingga pencurian listrik untuk kepentingan fasilitas lainnya. sementara dalam rangka mensiasati kondisi kelebihan daya tampung (over kapasitas) pada masing-masing l!okasi penelitian dilakukan alih fungsi atau pemanfataan ruang yang bukan kamar hunian menjadi kamar hunian bagi narapidana. Sementara faktor kendala dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana terdiri dari empat faktor utama yaitu kendala komunikasi, kendala sumber daya, kendala sikap implementator dan kendala struktur birokrasi

Diverse backgrounds inmate's life, whether it is the case background, tribe / ethnicity, religion and the other is a real factor of the exisience of correctional institulions as minatur community.There alsa have various needs and interests of prisoners in order to survive as long in prison. In order to convict it will maintain relationships with officers and rules that apply in the prison so that both workers and able io accommodate the rulés or attenuated by the interests of prisoners, including facilities to add interest as you wish inmate occupancy rooms. Due to the exiztence of additional facilities in room occupancy on a particular inmate will result in the social jealously among the inmates, waste budget because generally in the form of additional facilities for electrical appliances that use electricity, and most importantly the inmates were mostly uniouched by development programs.
In this research, there are two research questions to be answered is how the Juifiliment of the policy room occupancy facility for inmates at the Detention Center and state correctional institutions in Jakarta and the constraints faced in julfilling the policy facilities such occupancy rooms, The method used is qualitative method of data collection techniques againts the informant interview conducted with the study using the interview guide Informants consisted of officers and informants informants. Location of the study are five Technical Executive Unit (UPT) in Jakarta, namely Class I Cipinang Prison, Jakarta Narcotic Prison Class HA, Class 14 Salemba prison, Central Jakarta Rutan Class I and Class ITA Rutan Pondok Bambu, East Jakarta.
Based on this research found that the policy of fulfiliment of room occupancy facility for inmates at five (3) the location of the research has not been performing well. This is due to differences in perception and outlook of the existing rules are different so that its application in each prison / rutanpun different. Compliance policies occupancy room facilities for inmates in the prison / detention center is still concerned with the elements of security and order. Deviation toward the Julfiilment facility inmate occupancy room is the presence of additional facilities that are not in accordance with regulations such as TV, air conditioning, Electric Stove to theft of electricity for the benefit of other facilities, while in order to anticipate the conditions of excess capacity fover capaciiy) at each study site conducted over the function or utilization of space that is not a room occupancy room occupancy for the inmates. While the constraint factor in fulfilling the policy for inmate occupancy room facilities consist of four main factors namely the communication constraints, resource constraints, barriers and constraints implementer attitudes bureaucratic structure.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33545
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indry Nalal Iza
"Salah satu jenis kekerasan dengan kasus yang meningkat setiap tahunnya adalah kekerasan dalam berpacaran. Pengalaman buruk masa kecil diketahui menjadi salah satu faktor risiko dari kekerasan dalam berpacaran. Namun, terdapat faktor lain yang diduga dapat memoderasi hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan kekerasan dalam berpacaran, yaitu self-compassion. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran self-compassion sebagai moderator antara pengalaman buruk masa kecil dan kekerasan dalam berpacaran dari sudut pandang korban. Partisipan berjumlah 102 dewasa awal (77.5% perempuan, M usia = 21.9, SD = 2.012) yang sedang berada dalam hubungan berpacaran selama minimal satu tahun. Pengalaman buruk masa kecil diukur menggunakan Childhood Trauma Questionnaire Short Form (CTQ-SF), kekerasan dalam berpacaran diukur menggunakan The Revised Conflict Tactics Scale Short Form (CTS2-SF), dan self-compassion diukur menggunakan Self-Compassion Scale (SCS). Berdasarkan analisis moderasi menggunakan PROCESS Macro, ditemukan bahwa pengalaman buruk masa kecil memprediksi kekerasan dalam berpacaran secara signifikan (b = -0.303, t(97) = -2.563, p < 0.05) dan self-compassion memoderasi hubungan keduanya secara signifikan (b = 0.091, t(97) = 2.728,p < 0.05). Selain itu ditemukan pula bahwa self-compassion secara mandiri memprediksi kekerasan dalam berpacaran secara signifikan (b = -1.577, t (97) = -2.201, p < 0.05). Demikian, penelitian ini menunjukkan pentingnya peran self-compassion sebagai faktor protektif dari kekerasan dalam berpacaran.

Dating violence cases increase every year. Adverse childhood experiences is known to be one factor that causes dating violence. However, there is another factor that might moderate the correlation between adverse childhood experiences and dating violence: self-compassion. This study aims to determine the role of self-compassion as a moderator between adverse childhood experiences and dating violence from the victim's perspective. There were 102 emerging adults (77.5% female, M age = 21.9, SD = 2.012) in a dating relationship for at least one year as participants. Adverse childhood experiences was measured using the Childhood Trauma Questionnaire Short Form (CTQ-SF), dating violence was measured using The Revised Conflict Tactics Scale Short Form (CTS2-SF), and self-compassion was measured using the Self-Compassion Scale (SCS). Based on moderation analysis using PROCESS Macro, the result shows that adverse childhood experiences significantly predicted dating violence (b = -0.303, t(97) = -2.563, p < 0.05) and self-compassion significantly moderated the correlation between the two (b = 0.091, t(97) = 2.728, p < 0.05). Furthermore, self-compassion significantly predicted dating violence (b = -1.577, t(97) = -2.201, p < 0.05). Thus, this study shows the importance of self-compassion as a protective factor from dating violence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmalingganawa
"Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari proses peradilan pidana terpadu (an Intregated criminal justice system) di sampling mengemban fungsi sebagai penegakan hukum juga melaksanakan tugas dibidang pembinaan bagi narapidana. Dalam kerangka pembinaan bagi narapidana salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan kerja bagi narapidana.
Guna mendukung terselenggaranya tugas pembinaan kegiatan kerja bagi narapidana, salah satunya dapat ditempuh melalui kerjasama antara lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga. Tujuan pelaksanaan kerjasama lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga adalah untuk mendukung pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan informan dari para petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Disamping itu guna mendukung basil penelitian juga dipilih sejumlah narapidana untuk menjadi informan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara mendalam dengan informan penelitian. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian ini, ditemukan model eksisting pelaksanaan kerjasama lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga yang didasarkan tahap tahap pelaksanaan kerjasama, faktor faktor penghambat dan ditemukannya model ideal pelaksanaan kerjasama antara lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga dibidang kegiatan kerja produktif bagi Narapidana.

Correction Instituion as part of the integrated criminal justice system is responsible to serve the law as well as to conduct rehabilitation for inmates. In the manner of treating inmates, one of many programs implemented is vocational activity for inmates.
To run the vocational activity to inmates, establishing association between Correction Institutions and particular third party can be put as supporting aspect. The goal of this association is to uphold the individual competence and self integrity for inmates.
This research is using qualitative research method, by inquiring information from Correction Institution officer and Directorate General of Corrections. Also, to support conclutions of this researc, several inmates are chosen as research informants. Data collecting is performedby observation and deep interview with research informants. Subsequently, all the collected data are processed and analyzed.
According to the conclution of this research, an existing models is discovered concerning the association between Correction Institutions and particular third party, along with stages of collaboration, the disrupting factors, and recommended ideal model on Correction Institutions and particular third party association regarding Productive Labor Program for inmates.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Kurniawan
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan instansi terakhir dari rangkaian sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan diupayakan agar sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan narapidana. Hal ini diharapkan agar narapidana dapat mengembangkan potensi dirinya masing-masing agar setelah habis masa pidananya dapat memperoleh bekal berupa keahlian dan kemampuan yang dapat dimanfaatkan pada saat berintegrasi dengan masyarakat. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah apakah yang diharapkan oleh narapidana untuk dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka pemenuhan hak narapidana guna mengembangkan diri. Hak narapidana untuk mengembangkan diri di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi, dapat dilihat melalui indikator ketersediaan fasilitas serta program pengembangan diri yang diberikan oleh pihak Lembaga pemasyarakatan. Sebenarnya pihak lembaga pemasyarakatan telah menyediakan fasilitas-fasilitas dimaksud melalui pengelompokan pada pos-pos kerja yang ada, namun jumlahnya masih sedikit dan tidak semua narapidana dapat terserap. Ketersediaan program pengembangan diri dapat dikatakan relatif sudah tersedia, meskipun demikian pihak Lembaga pemasyarakatan belum dapat mengakomodir semua program pengembangan diri yang sesuai dengan minat dan bakat narapidana. Pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, mint dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, sehingga biaya produksi yang telah dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang tidak diharapkan. Faktor penghambat lain yaitu lemahnya manajemen sumber daya manusia khususnya dalam fungsi kepemimpinan dan pengorganisasian.

Correctional institution is the last institution from criminal judicature system that based on Acts Republic of Indonesia Number 12 year 1995 about Institutional has function as reconstruction place for prison and pupil of institutional. Implemented reconstruction is attempted to adjust their desire, intelligent and necessity of prison. This is accepted in order to depelop them after they finish their punishment can obtain know-how such as skill and used ability when they enter into community.The main problem in this research is what accepted from prisoner so that it provide useful for correctional institution in attempt to right fulfillment to develop them. From obtained conclusion that lack of chance for prison at Class I Correctional Institution Sukamiskin Bandung to develop them during concerned with their phunisment progress. Prisoner right to develop them at Sukamiskin Correctional Institution cannot be fully fulfilled, viewed from facility infrastructure indicator as well as reconstruction program that provided by correctional institution internal line. In fact, they provided such facilities through work posts classification that exist, but insufficient to accommodate the prisoner, nevertheless correctional institution internal line not yet accommodate all development program concerned with their desire and intelligent and willing or inappropriately with situation and condition that they face. Training for them often not suitable with technology and skill so that ineffective where production cost exceeded their hope. Other factor is poor human resources management especially in leadership and organizational function."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>