Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Aspardi. 0596230192. Program Kekhususan I (Hukum tentang
Hubungan Sesama Anggota Masyarakat). Tinjauan Yuridis
Perkawinan Adat Mentawai Serta Kedudukannya Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Skripsi pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004, 100 hal. Adat dan upacara
perkawinan tidak dapat terlepas dari hakikat dan pengertian
perkawinan, demikian pula adat dan upacara perkawinan dalam
masyarakat hukum adat Mentawai. Masyarakat hukum adat
Mentawai terdiri dari Si Bakat Laggai, Si Mabajak Laggai,
Kepala Banjar, Paneinei Paamian dan Sibajak Gareja, dan Si
uttei Surau. Mereka hidup di wilayah yang cukup sulit
secara geografis sehingga pandangan orang luar baik orang
Indonesia maupun orang mancanegara, penduduk Mentawai
adalah suku terasing, walaupun sifat keterasingan tersebut
lebih cenderung disebabkan karena kondisi geografis wilayah
tersebut dan bukan karena sifat penduduknya yang cenderung
untuk mengasingkan diri. Hukum perkawinan adat Mentawai,
disahkan oleh kepala adat yaitu Rimata. Dalam hal
perkawinan orang Mentawai sangat memegang teguh adat dan
istiadat mereka di samping bidang-bidang kehidupan lainnya,
karena bagi mereka perkawinan adalah suatu hal yang suci
dan ada hubungannya dengan Arat Sabulungan, yaitu agama dan
kepercayaan roh-roh leluhur. Pelanggaran terhadap hukum
perkawinan tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan
dengan pembayaran yang berupa denda bahkan sampai ke
pengasingan keluar dari wilayah hukum masyarakat hukum adat
setempat. Dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, keberlakuan undang-undang
tersebut menjadi pertanyaan sendiri apabila dikaitkan
dengan hukum adat perkawinan Mentawai sebagai suku yang
masih memegang teguh adat dan hukum adatnya. Penulis
melakukan penelitian mendalam dengan terjun langsung ke
wilayah Mentawai untuk melihat sampai sejauh mana
efektivitas keberlakuan tersebut.
"
Jakarta: [Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidia Karlani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan di masyarakat terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Apakah alasan suami istri memilih melakukan perkawinan di bawah tangan di kota Bengkulu? Apa akibat hukum dari perkawinan tersebut terhadap istri, anak dan harta bersama? Bagaimana prosedur hukum yang harus dilalui oleh suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah?. Penelitian kepustakaan yang didukung dengan data dari lapangan berupa wawancara dengan nara sumber yang kompeten. Alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah tangan karena biaya mahal, suami yang melakukan poligami, Pegawai Negeri Sipil yang tunduk pada PP Nomor 10 Tahun 1983 direvisi PP Nomor 45 Tahun 1990, alasan agama untuk menghindari perbuatan zina dan belum diakui oleh negara suatu penganut Kepercayaan sebagai agama. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap status istri, yaitu tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas warisan dan pensiunan suami, apabila terjadinya perceraian istri tidak berhak atas harta bersama. Terhadap status anak dianggap sebagai anak luar kawin, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Terhadap harta bersama, tidak ada harta bersama. Prosedur hukum yang dilalui suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah di mata hukum bagi beragama Islam mengajukan permohonan Itsbat Nikah pada Pengadilan Agama sesuai KHI Pasal 7. Mengulangi perkawinan diantara mereka disertai pencatatan perkawinan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada status istri dan anak, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.

ABSTRAK
A marriage is considered as legally valid, if it is conducted in accordance to the respective applicable religious law and belief of the parties involved (the bride and the groom). However, in reality it is found out that unofficial marriage still often happen, or in other word, not it accordance with the applicable law. What are the reasons that cause a couple prefers to conduct their marriage in such a way? What are the legal consequences particularly for the wife, the kids as well as the properties? What are the procedures should be conducted if the couple would like to enhance their marital status to a legal one? This research is conducted by applying a literature study supported by indepth interview with competent sources. Some of the reasons that make someone decide to conduct his/her marriage in such a way are due to the high cost in conducting a legal marriage, a husband applying polygamy marriage, while he is a government functionary who is bound with the Government Law No. 10 Year 1983, revised with the Government Law No. 45 Year 1990, religious reason, that is, to avoid considered as commit adultery, or regarding his/her status which is not yet recognized by the government due to his/her belief (which is not yet considered as a religion). The consequences of being a wife in a un-legal marriage would be particularly related to her status, that are, she is not considered as a legal wife, she has no right to inherit the husband's assets and pensions, and in case they had a divorce, she would have no right to get any of the assets earned during their living as a couple. Meanwhile, the consequences also happen to the child/children, in term that they will not be considered as legal children, and they only have legal civil relationship with their mother and her family. In term of family's assets, they have no right to them. The procedures that should be undergone by the couple that would like to enhance their status to a legal marriage, then to them who are Moslems, is that they should apply a request of the so-called Its bat Nikah in a religious court, which is in accordance with the Islamic Law Book Article 7. Then they should re-proceed their marriage ceremony while being noted and registered both in Office of Religious Affaires (Kantor Urusan Agama) as well as Civil Registration Office (Kantor Catatan Sipil). In order to avoid the occurrence of any unofficial marriage that brings inconvenient effect to the status of the wife and the child/children, the government is expected to give more socialization and education about the importance of the marriage registration to the society.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olviani Shahnara
"Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat adat yang memiliki kepercayaan asli dari nenek moyang. Hingga dewasa ini, masih banyak masyarakat yang tetap memegang teguh kepercayaan asli tersebut dan mereka disebut Penghayat Kepercayaan. Namun, kepercayaan yang mereka yakini masih dipandang sebelah mata karena dianggap bukanlah suatu agama. Oleh karena itu, banyak kendala yang dihadapi oleh para Penghayat Kepercayaan terkait kedudukan status hukum mereka di mata negara, terutama mengenai masalah pencatatan perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan Penghayat Kepercayaan. Akibatnya, pada saat itu para Penghayat Kepercayaan kerap mendapatkan penolakan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil setempat. Demi memenuhi rasa keadilan dan hak asasi setiap manusia, pemerintah Negara Republik Indonesia pada tahun 2006 kemudian memberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang Administrasi Kependudukan tersebut yang kemudian dapat dijadikan landasan hukum mengenai pencatatan perkawinan Penghayat Kepercayaan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Penghayat Kepercayaan kini telah dapat mencatatkan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Indonesian society comprises of a traditional society (with adat cultures and values) who preserves their ancestors? beliefs. Until recently, few people still maintain to deem these traditional beliefs and classified as 'Penghayat Kepercayaan'. Their beliefs, however, are still underestimated since these beliefs are not classified as religions. Obstacles are familiar to the people of "Penghayat Kepercayaan", in regards to the legal status according to Indonesian Law, especially relating to issues of marriage's registration. Indonesian Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage does not regulate the marriage of "Penghayat Kepercayaan" people. As a result, people of "Penghayat Kepercayaan" received several rejections of marriage records from the local Civil Registry Office. In order to fulfill values of justice and human rights of the people, Government of Republic of Indonesia enacted Law No. 23 Year 2006 regarding Population Administration. That law could be used as the legal basis in regards to the marriage records for the 'Penghayat Kepercayaan 'people where they are able to file their marriage in the Civil Registry Office. As for the methodology used in conducting this study is a normative juridical research through literature materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1189
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sumarjoko
"Lembaga harta bersama seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan baik oleh suami maupun istri. Lembaga ini juga dikenal dalam hukum adat sedangkan dalam hukum Islam ada dua pendapat mengenai harta tersebut, pendapat yang pertama tidak mengenal adanya harta bersama, kecuali dengan jalan syirkah atau perkongsian antara suami istri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan pendapat yang kedua menqenai adanya harta bersama menurut hukum Islam, hal ini didasari dengan sendirinya ada harta bersama antara suami istri selama perkawinan berlangsung. Pembagian harta bersama bila perkawinan mereka (suami istri) itu putus karena perceraian, per1mbangan pembagiannya berbeda-beda, baik menurut hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hal ini bisa saja pencari keadilan bagi para suami pada masyarakat Jawa Tengah itu memilih hukum adat yang lebih menguntungkan (sapikul sagendong), hal ini didasari Pasal 37 jo penjelasan UU . No. 1/1974 tentang Perkawinan. Meskipun para pencari keadilan dapat memilih menurut hukumnya masing-masing, akan tetapi hukum Islam-lah yang harus mereka pergunakan, sebagaimana diketahui bahwa bagi orang Islam, maka berlakulah hukum Islam dan hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Jadi hukum yang tepat bagi masyarakat hukum adat Jawa Tengah yang menganut harta gono gini dan beragama Islam ialah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam, adapun pembagiannya baik suami maupun istri ialah masing-masing berhak 1/2, hal ini sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan melalui lembaga Pengadilan Agama mereka (suami istri) dapat berperkara. Dengan demikian maka Pasal 37 jo penjelasan UU. No. 1/1974 belum mernberikan kepastian serta tidak adanya keseragaman hukum mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi suatu perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Permatsari
"Keseimbangan kedudukan antar suami isteri diartikan sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berumah tangga harus di rundingkan dan di putuskan bersama oleh suami isteri yang bersangkutan. Dalam rumah tangga walaupun secara fisik laki-laki memang pada umumnya lebih kuat di bandingkan dengan perempuan, namun mereka adalah sama. Kedudukan mereka adalah sama, dalam pengertian bahwa masing-masing sama-sama mempunyai kewajiban yang harus di tunaikan, dan sama-sama mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan. Kelalaian di suatu pihak berarti menelantarkan hak dari pihak lain yang pada gilirannya akan mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga dan terjadi perceraian. Permasalahan yang akan diuraikan dalam tesis ini berkenaan dengan masalah (1) Apakah Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional menganut prinsip keadilan bagi kedudukan isteri dalam perkawinan. (2) Kedudukan seimbang suami isteri bagaimanakah yang diterapkan dalam Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional bagi isteri dalam kasus vasektomi. Metode penelitian yang di gunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan melakukan metode kepustakaan atau metode literatur (Library Research) yang bersifat yuridis normatif. Kedudukan seimbang suami isteri dan prinsip keadilan dalam perkawinan, pengaturannaya dan penerapanya telah diterapkan secara seimbang dalam Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam serta Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, khususnya dalam penyelesaian kasus vaksetomi yang akan dibahas pada bab II tesis ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Mawarwati
"ABSTRAK
Pembatalan perkawinan sering kali terjadi karena masih banyak pihak-pihak melakukan pelanggaran mengenai syarat-syarat sahnya perkawinan disisi lain karena ketidak tahuan atau kurang dipahaminya arti dari suatu perkawinan atau adakalanya memang sengaja dilanggar. Pelanggaran atau tidak dipenuhinya syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan itulah yang menyebabkan perkawinan tersebut tidak sempurna dan keadaan seperti ini akan memberikan kesempatan kepada orang-orang tertentu yang diberi hak oleh Undang-undang untuk membatalkan perkawinan tersebut. Berdasarkan hal tersebut apakah alasan-alasan pembatalan perkawinan dan akibat pembatalan perkawinan telah dipenuhi dalam pertimbangan hukum hakim atas putusan perkara Nomor 33/Pdt.G/1995 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan pokok permasalahan utama yang diangkat dengan melakukan penelitian kepustakaan yang menggunakan data-data sekunder yang terdapat dalam bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan terkait yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam analisis, ditemukan bahwa pembatalan perkawinan dapat terjadi bila para pihak terkait tidak memenuhi syarat-syarat material umum dan material khusus sebagai syarat sahnya suatu perkawinan, dalam kasus tersebut ternyata terdapat halhal yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut. Dengan demikian maka perkawinan tersebut dibatalkan yang mengakibatkan perkawinan dianggap tidak pernah ada, hal tersebut menjadi perhatian bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan agar dapat mempersiapkan diri secara fisik maupun psychology dengan mempertimbangkan semua aspek yaitu meliputi hubungan antara talon suami isteri terutama itikad balk oleh masing-masing pihak. Dalam hal ini dibutuhkan peranan para pihak yang terkait untuk mensosialisasikan syarat-syarat dan tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu menuju kearah pembentukkan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

ABSTRAK
A cancellation of a marriage still often happens due to several reasons, one of which is the unawareness of the couple itself concerning the legal requirements that should be met in a marriage, or the lack of understanding on the meaning of marriage itself, while on the other hand in some cases it is also deliberately violated. The violations occuring from such mentioned things are the considerable causes of the problematic marriage, and in such a circumstance, the law has made enable the people within to appeal for their right to cancel the marriage. Specifically, the case in this research would be to recognize more about whether the reasons as well as the impacts of the cancellation of the marriage case No. 33/Pdt.G/l995, State Court of South Jakarta, had become a part of consideration of the judge's decision. This research is conducted by applying the literature study utilizing secondary data found out in the primary legal materials, such as The Law No. 1 Year 1974 regarding the Marriage, and the Government Law No. 9 Year 1975. The analysis revealed that the cancellation of a marriage could happen if the parties concerned within did not fulfill the general as well as special material requirements that determines the legality of a marriage, and it was also discovered that in the marriage being scrutinized, there were things that caused the disfufilment of the mentioned requirements. Thus, the marriage can be cancelled and considered as never happened. Expectedly, this can be an invaluable lesson for other couple that has been considering to conduct their marriage, to think thoroughly about every aspects related, both physical and psychological, as well as other aspects such as the relationship condition between the future husband and wife, particularly the good will of the respective party. In order to ensure this, the proactive attitude from certain concerned parties is needed to socialize the requirements and the purpose of a marriage, like had been stated in the Article 1 Law No.1 Year 1974 concerning marriage, that is, as an act intended to form a happy and everlasting family under upon the belief to the Supreme God.
"
2007
T19118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Kartika Sari
"Masyarakat hukum adat Baduy Dalam terdiri dari tiga kapuunan, yaitu Kapuunan Cikeusik, Kapuunan Cibeo dan Kapuunan Cikartawana. Mereka hidup mengasingkan diri selama beratus-ratus tahun dengan berpegang teguh pada pikukuh (ketentuan hukum adat) yang pelaksanaan dan pengawasannya dilakukan oleh Puun. Kepatuhan mereka terhadap sosok Puun dan ketaatan mereka pada konsep buyut (tabu) mampu mempertahankan keberlakuan hukum adat mereka sampai sekarang, termasuk hukum perkawinan adatnya. Hukum perkawinan adat Baduy Dalam dila kukan sesuai dengan hukum adat Baduy Dalam dan kepercayaan Sunda Wiwitan, di sahkan oleh Puun, mereka menyebut perkawinannya sebagai kawin batin, tidak ada akta perkawiman. Ada perbedaan tata cara perkawinan antara Kapuunan Cikeusik dengan Kapuunan Cibeo dan Cikartawana. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan adat tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan biasanya berupa pengasingan ke kawasan Baduy Luar atau melakukan tebus hampura. Sulit untuk menerapkan hukum perkawinan nasional kepada masyarakat Baduy Dalam ini, mereka sangat memegang teguh hukum adatnya. Karena mereka menyakini bahwa hukum adatnya itu merupakan amanat leluhurnya yang harus dijaga dan dilaksanakan, mereka takut durhaka apabila melanggarnya. Pasal 66 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak menyebutkan dengan jelas mengenai kedudukan hukum perkawinan adat, mengenai hal ini, Prof. Hazairin berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam hukum adat sepanjang mengenai hal yang belum diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 masih tetap berlaku. Berdasarkan pendapat Prof. Hazairin, maka hukum perkawinan adat Baduy Dalam masih berlaku mengenai hal-hal yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21012
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Veronica Sari Joshinta
"Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dilindungi dan dipenuhi semua kebutuhan-kebutuhan yang merupakan haknya. Sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat baik jasmani maupun rohani, memperoleh pendidikan, mendapat gizi yang cukup, mendapat perlindungan kesehatan, tumbuh dalam suasana yang penuh kasih, dan terpenuhi nya rasa aman. Namun seringkali apa yang menjadi hak anak ini tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua sibuk dengan urusan masing-masing sehingga kebutuhan anak yang merupakan haknya tidak diperhatikan. Akibat kurang perhatiannya orang tua terhadap anak maka anak akan tumbuh menjadi anak terlantar, dan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga akhirnya mengarah pada perceraian, dan apabila hal ini terjadi lalu akan bagaimanakah nasib anak-anak mereka ? Sebagai contoh kasus dalam skripsi ini adalah kasus Arie Hanggara pada tahun 1985 dimana orang tua Arie telah bercerai dan penguasaan anak diserahkan kepada ayahnya karena ibu nya yang berprofesi sebagai wanita malam dirasa tidak baik untuk merawat anak-anak tersebut. Lalu dalam perkembangannya ternyata ayahnya telah hidup bersama dengan seorang wanita yang belum dinikahinya dan ternyata wanita tersebut telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak tersebut, bahkan ayah mereka sendiri pun akhirnya juga ikut menganiaya anaknya sendiri sehingga akhirnya salah satu anak tersebut yang bernama Arie meninggal dunia. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan penguasaan anak diserahkan pada ibu kandung dari anak-anak tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nini Maryon Chatib
"Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui konsepsi poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, baik itu secara yuridis maupun kenyataan sekarang. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan, menganalisa data sekunder, disamping itu juga melakukan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara dengan nara sumber. Tipologi penelitian bersifat Eksplanatoris karena penulis ingin menjelaskan dan sekaligus menguji apakah permasalahan yang dikemukakan sebelumnya sudah sesuai peraturan yang berlaku. Data yang terkumpul, dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa, dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada asasnya menganut asas monogami tetapi poligami diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang ini. Seorang laki-laki yang beristeri untuk dapat melakukan poligami harus mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Permohonan ini baru dapat diajukan jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan yaitu sebagai berikut : adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kemampuan untuk menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anaknya, serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya. Permohonan ini akan dikabulkan oleh pengadilan jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Umumnya perkawinan poligami dilakukan tidak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi sah menurut agama dengan melakukan perkawinan dibawah tangan. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan ini negara menganggap perkawinan tidak pernah ada. Anak-anak dari perkawinan ini tidak mempunyai hak mewaris dari bapaknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>