Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129777 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Riza
"Wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan undang-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Salah satu bentuk penangkapan yang kita kenal adalah tertangkap tangan. Dalam hal tertangkap tangan unsur yang harus diperhatikan adalah “dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan” dan mengenai apakah penangkapan dalam hal tertangkap tangan tersebut merupakan penangkapan yang direncanakan atau tidak. Undang-undang tidak menentukan waktu tertentu dalam mengartikan unsur tersebut. Sedangkan mengenai penangkapan dalam hal tertangkap tangan bukanlah suatu penangkapan yang direncanakan terlebih dahulu, hal tersebut adalah poin yang membuat tertangkap tangan menjadi kondisi yang istimewa.

The authority given to investigators in such a way extent. Covering given authority over these laws, investigators are entitled to reduce freedom and human rights person, the origin of it is still based on a foundation of law. One form of arrest, which we know is in flagrante delicto. Problems in catching in flagrante delicto in the elements that must be considered is "immediately after some of the criminal action was" and whether the arrest in the case caught the catching hand is planned or not. The law does not specify a certain time in interpret these elements. Meanwhile, the arrest caught in flagrante delicto of a catching a premeditated, it is the points that caught hands of a special condition"
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Radhar Tribaskoro
"Pemberantasan korupsi telah menjadi harapan masyarakat sejak lama. Sayangnya sampai sekarang belum diketahui strategi paling efektif untuk memberantas korupsi. Strategi yang efektif adalah strategi yang mampu menghapuskan sebab-sebab korupsi. Masalahnya, belum ada kepastian tentang apa yang dianggap sebagai sebab-sebab korupsi. Satu pihak memandang korupsi disebabkan oleh lemahnya insititusi, sementara pihak lain mengatakan korupsi disebabkan oleh sistem dan budaya. Kedua pendekatan ini memberi petunjuk yang berbeda tentang strategi pemberantasan korupsi. Pendekatan institusional menekankan perlunya reformasi hukum dan birokrasi, sementara pendekatan kultural penghapusan kesenjangan ekonomi dan budaya feodal.
Sejauh ini belum ada upaya ilmiah mempelajari kedua pendekatan. Tesis ini bermaksud mengisi celah kosong itu. Tesis ini akan menguji keabsahan kedua pendekatan itu dengan menggunakan metoda kuantitatif yang dibantu pengumpulan data menggunakan kuesioner. Hasil pengujian menolak proposisi institusional dan, sebaliknya, mendukung pendekatan kultural. Temuan ini konsisten dengan pendapat Geertz (1959) dan Faith dan Castle (1970) yang menegaskan kuatnya pengaruh kultural terhadap perilaku politik masyarakat Indonesia. Tetapi yang agak mengejutkan, penelitian ini mengkonfrrnasi kecenderungan uncoupling atau terlepasnya hubungan rakyat dengan pemerintahnya. Semakin berbudaya seseorang justru semakin tidak mempercayai pemerintah. Richard Rose dalam penelitiannya di Rusia pasca-komunisme, juga memperoleh temuan serupa. Penindasan negara telah mendorong rakyat Rusia untuk membangun jaringan sosial justru untuk menentang keinginan negara. Rakyat Rusia memperkukuh ikatan sosialnya tetapi membatasi relevansinya hanya kepada kelompok primordial, gang, dsb. Suatu penelitian yang lebih luas dibutuhkan untuk mendapatkan kesimpulan definitif tentang hadirnya fenomena people-state uncoupling, sebagaimana disinyalir Rose, juga terjadi di Indonesia.

People of Indonesia have long been asking for corruption eradication. Unfortunately, we still don't know the right strategy to do it. The strategy will be effective if it can eliminate causes of corruption. The problem is there are still disputes concerning what can be said as causes of corruption. Some experts said that corruption is determined by institutional weaknesses, while some other depict corruption caused by system and culture. Those two approach send indicate different strategy to cope with corruption. Institusionalist assert immediate needs to reform law and bureaucracy, while culturalist propose a consistent fair courts, reducing wealth inequality and strengthening people's self-confidence.
So far there are still no serious attempt to study those dillemma scientifically. This thesis tried to fill this gap. This thesis will test legitimation of those approaches using quantitative method and collecting data by questionnaire. The results reject institutional hipothesis and accept cultural hipothesys. This result meet consistently proposition by Geertz (1959) and Feith and Castle (1970) that Indonesian people were deeply influenced by its tradition and culture. But, surprisingly this research reveal society-state uncoupling, i.e. a phenomena when society disentangle their connection with government. This phenomena happened when more civilized a person (generous, humane, socially active, egalitarian) then more distrust him to the government. Richard Rose found similar phenomena when he studied Russian society post-communist. Long experience of abusive government officials drove Russian to build social networks just to defense them from more state exploitation. People's of Russia increase their bondings but limit it to relevant primordial groups or gangs. But more extensive research is needed if phenomena of people-state uncoupling should be concluded."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JKAP 13(1-2)2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tuminah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang awal mula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Megawati pada 27 Desember 2002. KPK merupakan anak kandung reformasi. Keberadaan lembaga independen pemberantasan korupsi ini sudah sangat lama dibutuhkan oleh Indonesia. Usaha pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi sudah dilakukan sejak Indonesia, yaitu sejak pemerintahan Presidens Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Pembentukan lembaga khusus untuk menangani korupsi juga sudah dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya. Namun, dalam pelaksanaanya para koruptor lebih kebal dibandingkan lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah dibuat. Sepanjang Orde Lama, Orde Baru, hingga lima tahun Reformasi hanya sedikit koruptor yang berhasil dipenjarakan, sebagian besarnya dibebaskan atau kabur ke luar negeri. Oleh karena itu, pengesahan UU No. 30 Tahun 2002 oleh Presiden Megawati sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi. UU ini mengamanatkan dibentuknya KPK. KPK ini bersifat independen sehingga dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain.
ABSTRACT
This paper discusses the beginning of the establishment of the Corruption Eradication Commission (KPK) which was formed during the reign of President Megawati on 27 December 2002. The Commission is a child of the Reformation. The existence of an independent anti-corruption agency has a very long needed by Indonesia. Indonesian government's efforts in combating corruption has been done since Indonesia, namely since Presidents government of Sukarno, Suharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati. The establishment of a special agency to deal with corruption has also been done before-the previous government. However, in the implementation of the corruptors more immune than anti-corruption institutions ever created. Throughout the Old Order, New Order, to five years of reform only a few criminals who successfully imprisoned, most of which were released or fled abroad. Therefore, ratification of the UU No. 30/2002 by President Megawati as a manifestation of the government's seriousness in combating corruption. This law mandates the establishment of the KPK. KPK is independent in performing their duties so that is not expected to be ridden by other interests."
2014
S59932
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidisyah
"Korupsi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan hasil dari interaksi banyak faktor. Praktik korupsi menimbulkan kerugian dan memperlambat proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Pengadaan publik adalah salah satu aktivitas pemerintah yang rentan terhadap korupsi.
Penelitian ini bertujuan untuk merancang model sistem dinamis yang memberikan gambaran interaksi faktor dan umpan balik yang mempengaruhi praktik korupsi di pengadaan publik serta menambahkan faktor pencegahan ke dalam model sistem dinamis baru dalam rangka pencegahan korupsi. Pengumpulan data awal dilakukan dengan menggunakan metode information retrieval & extraction berbasis web (web scrapping) serta named entity recognition (NER) yang menghasilkan basis data kasus korupsi di Indonesia sebagai dasar untuk menetukan sektor pemerintahan dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap praktik korupsi.
Model kebijakan terdiri dari skenario 1,2 dan 3 yaitu integrasi dokumen antara aplikasi SPSE dengan kemeterian/ lembaga/ direktorat, pengawasan melalui S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) dan mendesain hukum organisasi pengadaan proyek konstruksi yang berstruktur lebih horizontal. Dari 3 skenario kebijakan tersebut, skenario 1 integrasi dokumen antara aplikasi SPSE dengan kemeterian/ lembaga/ direktorat model terpilih menjadi solusi pengurangan korupsi di pengadaan barang/jasa proyek konstruksi. Solusi ini menghasilkan perhitungan jumlah kasus korupsi per tahun terkecil dan pemberantasan korupsi per tahun terbanyak dalam peniliain tingkat korupsi pengadaan barang/jasa proyek konstruksi di Indonesia.

Corruption is not only caused by one factor but is the result of the interaction of many factors. Corruption practices cause losses and slow down the process of economic recovery in Indonesia. Public procurement is one of the government activities that is vulnerable to corruption.
This study aims to design a dynamic system model that provides an overview of the interaction of factors and feedback that affect corrupt practices in public procurement as well as adding prevention factors to the new dynamic system model in order to prevent corruption. Preliminary data collection is done using web-based information retrieval & extraction (web scrapping) and named entity recognition (NER) methods which produce a database of corruption cases in Indonesia as a basis for determining government sectors with high levels of vulnerability to corrupt practices.
The policy model consists of scenarios 1,2 and 3, which are integration documents between the SPSE application and the ministries / institutions / directorates, supervision through S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) and designing procurement projects that have a more horizontal structure. Of the 3 policy scenarios, scenario 1 documents integration between the SPSE application and the selected model / agency / directorate model is the solution in implementing corruption in the procurement of construction project goods / services. This solution results in the calculation of the number of corruption per year and the most eradication corruption per year in assessing the level of corruption in the procurement of goods / services for construction projects in Indonesia.Corruption is not only caused by one factor but is the result of the interaction of many factors. Corruption practices cause losses and slow down the process of economic recovery in Indonesia. Public procurement is one of the government activities that is vulnerable to corruption.
This study aims to design a dynamic system model that provides an overview of the interaction of factors and feedback that affect corrupt practices in public procurement as well as adding prevention factors to the new dynamic system model in order to prevent corruption. Preliminary data collection is done using web-based information retrieval & extraction (web scrapping) and named entity recognition (NER) methods which produce a database of corruption cases in Indonesia as a basis for determining government sectors with high levels of vulnerability to corrupt practices.
The policy model consists of scenarios 1,2 and 3, which are integration documents between the SPSE application and the ministries / institutions / directorates, supervision through S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) and designing procurement projects that have a more horizontal structure. Of the 3 policy scenarios, scenario 1 documents integration between the SPSE application and the selected model / agency / directorate model is the solution in implementing corruption in the procurement of construction project goods / services. This solution results in the calculation of the number of corruption per year and the most eradication corruption per year in assessing the level of corruption in the procurement of goods / services for construction projects in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Sulistyo
"Tujuan dari penelitian ini yakni mengetahui bagaimana dampak dari keberadaan, wewenang, dan kinerja (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap persepsi risiko penghukuman jika melakukan tindakan suap-menyuap di kalangan PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada Direktorat Jenderal X, Departemen Y. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Data dikumpulkan melalui mail-back questionnaire. Hasil penelitian ini memper-lihatkan bahwa keberadaan, wewenang, dan kinerja KPK berdampak terhadap timbulnya rasa takut PNS Direktorat Jenderal X, Departemen Y dalam melakukan tindakan suap-menyuap. Hal ini terlihat dengan tingginya persepsi terhadap risiko dari mayoritas responden.

The purpose of this research is to measure the impact of the existence, authority, and performance of KPK (Corruption Eradication Commission) toward bribery on the Group of PNS (Civilian Government Workers), Directorate X, Department Y. This research is quantitative through the cross-sectional design. The data were collected by means of mail-back questionnaire. The result of this research is that the existence, authority, and performance of KPK have deterrent to receive the bribery. Majority of the respondent thought that there is an actual risk of the KPK works."
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuna Farhan
"Korupsi sistemik merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini ditunjukan dari Laporan Transparency International tahun 2005 mengenai Corruption Perception Index yang menempatkan Negara Indonesia pada rangking 134 dan 158 negara yang di survey. Korupsi sistemik yang melanda birokrasi dad berbagai instansi di struktur pemerintahan. Walaupun, telah banyak peraturan perundangundangan anti korupsi yang telah diterapkan, namun persoalan korupsi ini tidak kunjung usai. Bahkan, Komisi Pemilihan Urnum, sebagai lembaga pengawal dan instrumen demokrasi yang menentukan kualitas kepemimpinan negara ini dan berasal dari unsur kalangan independen, juga tidak terlepas dan "virus" korupsi. Dalam konteks seperti ini, upaya pemberantasan korupsi belum menampakan hasil nyata dan masih dilihat sebagai upaya elitis penegak hukum dan belum melibatkan peran serta masyarakat sipil. Sebagai kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil seperti LSM, merupakan salah satu altematif ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi yang diintrodusir oleh pemerintah.
Berangkat dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran dan pengalaman koalisi LSM dalam pengungkapan kasus korupsi KPU, strategi dan bentuk advokasi yang dilakukan, pola hubungan anggota Koalisi LSM, hasil dan dampak yang dicapai serta faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan gerakannya. Pada akhimya, penelitian ini mengajukan tawaran solusi untuk peningkatan peran serta LSM dalam pemberantasan korupsi, dan tawaran kebijakan agar kasus korupsi KPU tidak terulang, berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi selama penelitian. Dalam konteks ini, penelitian peran Koalisi LSM dalam pemberantasan korupsi dengan studi kasus korupsi KPU mempergunakan pendekatan kualitatif. Sementara kerangka teori yang dipergunakan meliputi teori civil society diantaranya dan Toqueville, Habemas dan Putnam, LSM dan korupsi dari Alatas dan Klitgaard.
Korupsi di KPU merupakan gambaran korupsi sistemik yang berada di birokrasi, karena melibatkan aktor dari instansi lain seperti Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Para pengusaha yang melakukaan pengadaan barang dan jasa di KPU. Kalangan KPU yang dikenal sebagai akademisi tidak terlepas dari jerat korupsi sistemik yang disebabkan iemahnya mekanisme pengawasan atau kelembagaan di KPU, kebijakan penganggaran yang tidak aplikatif diterapkan dalam proyek politik Pemilu yang menelan anggaran besar, dan sistem pengadaan barang dan jasa yang memberika kondisi atau mendorong terjadinya korupsi di lembaga ini. Pada akhimya, menimbulkan modus-modus korupsi seperti mark-up dalam pengadaan logistik Pemilu, suap untuk melakukan pencairan anggaran maupun pemeriksaan, dan aliran dana "kick -back" yang berasal dari pengusaha ke sejumiah oknum di KPU.
Peran Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas yang terdiri dari 5 LSM ini (FITRA, FORMAPPI, LBH Jakarta, IPW dan KIPP Indonesia) masih belum mampu untuk membedah secara mendalam korupsi sistemik yang terjadi di KPU. Laporan dugaan korupsi KPU yang disusun Koalisi LSM masih sebatas pengungkapan kasus korupsi yang muncul ke permukaan dan belum menunjukan secara nyata terjadinya korupsi di KPU. Namun demikian, Laporan Koalisi LSM ini, merupakan bukti awal bagi KPK untuk mengungkap kasus korupsi ini lebih jauh. Dalam advokasi-advokasi yang dilakukannya, Koalisi LSM mempergunakan kontrol ekstemal melalui pembentukan opini publik di media massa dalam bentuk diskusi publik dan kofrensi pers dan mempergunakan mekanisme kenegaraan yang ada dengan melakukan tekanan-tekanan kepada DPR, KPK dan BPK untuk menindakianjuti laporannya. Gerakan Koalisi LSM ini dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru karena tidak lagi mengandalkan massa. Pola hubungan internal koalisi dengan kepemimpinan kolektif dan mekanisme pengambilan keputusan secara bersama, menumbuhkan adanya solidaritas, kepercayaan dan etika berjaringan yang dipahami bersama.
Di tingkat eksternal, dalam melakukan advokasinya Koalisi LSM dihadapi oleh isu sebagai gerakan yang berupaya menggagalkan Pemilu dan tuntutan pencemaran nama baik. Ditingkat internal, data-data yang dilaporkan Koalisi LSM belum menunjukan bukti yang kuat terjadinya korupsi di KPU, besaran dugaan korupsi yang berubah-ubah dan kesulitan mengkases data serta slat bukti. Meskipun demikian, pengungkapan kasus korupsi KPU merupakan tonggak titik terang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kasus korupsi KPU sebagai kasus terbesar pertama yang ditangani KPK, menjadikan lembaga ini memperoleh kepercayaan publik ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, penguatan pecan LSM dalam pemberantasan korupsi, dengan visi yang jelas menjadi penting untuk diperhatikan.
Ke depan untuk mencegah terjadinya korupsi di KPU dan meminimaiisir terjadinya korupsi sistemik di lembaga lain, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan kelembagaan KPU dengan meningkatkan posisi dan kewenagan Panwaslu, pembenahan dalam sistem penganggaran dengan menerapkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEFIMedium Term Expenditure Framework), dan reformasi dalam pengadaan barang dan jasa publik, seperti pembentukan badan indpenden. Sementara untuk LSM-LSM anti korupsi perlu melakukan konsolidasi untuk tidak sekedar mengungkap kasus korupsi melainkan juga mendorong adanya kondisi, instrumen dan kebijakan yang anti korupsi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan dan keuangan negara telah mengalami perubahan mendasar melalui UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Epakartika
"Masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Tulisan ini mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana peran masyarakat sipil dalam kegiatan
Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan melibatkan beberapa pihak lain seperti Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dari tulisan ini setidaknya menunjukan bagaimana pelibatan masyarakat sipil dalam upaya meningkatkan tata kelola sumber daya
alam dapat memberikan dampak positif tidak hanya dalam mendukung kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi, namun juga mendorong terjadinya evolusi peran masyarakat sipil dari pemberi informasi menjadi pelaksana dalam kegiatan GNP SDA."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2-2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>