Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui pencegahan dan pengelolaan ektasia kornea pada lasik. Ektasi kornea pasca lasik adalah kelemahan kornea akibat ablasi stroma sentral atau pembuatan flap kornea sesudah operasi lasik. Kondisi ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti ahli bedah refraktif. Kejadian ektasia kornea pasca lasik dapat dapat terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca lasik. Indsidensinya tidak diketahui, diduga sekitar 1 per 100.000. Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan slitlamp tampak kornea menipis dan menonjol disertai gejala miop progresif, astigmat irreguler yang meningkat dan kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi. Beberapa faktor risiko ektasia kornea antara lain riwayat keluarga, umur mda, miop tinggi ketebalan kornea kurang dari 500 mikron, asimetri kornea, abnormal topografi, keraktokonus dan rendahnya residual bed. Beberapa pilihan terapi yang dilakukan yaitu pemakaian lensa kontak RGP, pemakaian obat penurun tekanan intraokuler, pemberian C3-R. implantasi intacs dan tahap lanjut dengan lamelalr keratoplasti. Pemeriksaan per operatif yang lemgkap dan penemuan faktor risiko merupakan hal yang penting untuk menghindari terjadinya ektasi kornea pasca lasik. Prognosis pasien ektasi kornea pasca lasik adalah baik."
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Content:
Ch. 1 Basic LASIK --
Ch. 2 Equipment --
Ch. 3 Role of mitomycin-c in keratorefractive surgery --
Ch. 4 Retreatment of patients after primary refractive surgery --
Ch. 5 LASIK complications and management --
Ch. 6 Alternatives to LASIK refractive surgery --
Ch. 7 Case selection -- Ch. 8 Self-assessment test"
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007
R 617.71 LAS
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Gloria Josephine
"Kesenjangan antara kebutuhan kornea dan pasokan kornea di Indonesia terjadi akibat minimnya jumlah pendonor kornea. Penelitian dengan perspektif komunikasi ini ditujukan untuk menggali aspek-aspek yang mempengaruhi intensi dan perilaku seseorang untuk mendaftar sebagai calon pendonor kornea berdasarkan Teori Perilaku Terencana. Melalui teknik quota sampling, 378 mahasiswa FISIP UI berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi kuesioner daring. Hasil analisis PLS-SEM menunjukkan bahwa sikap, norma subjektif, dan berkomunikasi dengan keluarga secara positif mempengaruhi intensi, dan intensi secara positif mempengaruhi perilaku mendaftar sebagai calon donor. Lebih lanjut, pengetahuan mahasiswa tentang donor dan transplantasi kornea sangat rendah dan perceived behavioral control tidak signifikan dalam mempengaruhi intensi. Temuan ini dapat dijadikan pertimbangan saat menciptakan dan mengevaluasi kampanye terkait donor kornea.

The gap between corneal demand and corneal supply in Indonesia occurs due to the low number of corneal donors. This communication research seeks to explore the aspects that influence a person's intention and behavior to register as a potential corneal donor based on the Theory of Planned Behavior. Through the quota sampling technique, 378 FISIP UI students participated in the research by filling out an online questionnaire. The results of the PLS-SEM analysis show that attitudes, subjective norms, and communicating with families positively influence intentions, and intentions positively influence behavior to register as potential donors. Furthermore, students' knowledge regarding corneal donor and transplantation is very low and that perceived behavioral control is not significant in influencing intention. These findings can be taken into account when creating and evaluating campaigns related to corneal donation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsubrin Daramin
"Katarak adalah suatu keadaan patologis dimana pada lensa terjadi kekeruhan yang dapat berakibat menurunnya tajam penglihatan bahkan dapat menimbulkan kebutaan. Kebutaan yang disebabkan oleh katarak ini tak dapat dicegah akan tetapi dapat ditanggulangi dengan bedah katarak.
Di RSCM pada penderita-penderita pasca bedah katarak lazimnya diberikan steroid topikal dengan frekuensi penetesan umumnya 3 kali. Hal ini bukan tidak mungkin akan membuka peluang terhadap pemakaian dalam jangka waktu lama dengan segala akibat yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh steroid topikal terhadap edema kornea pasca bedah katarak serta lama pemakaiannya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T58495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Susiyanti
"Latar belakang: Ulkus kornea adalah salah satu penyakit infeksi mata yang banyak ditemukan di negara berkembang termasuk Indonesia. Tatalaksana ulkus kornea bakteri konvensional umumnya dapat menimbulkan jaringan parut kornea permanen yang dapat menurunkan tajam penglihatan. Penggunaan transplantasi membran amnion (TMA) pada ulkus kornea dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi terbentuknya jaringan parut kornea. Membran amnion diduga menjadi kerangka baru dan mengekspresi beberapa komponen biologis yang berperan membantu proses epitelisasi dan pembentukan jaringan parut di kornea.
Tujuan: Mengetahui dan membuktikan perbedaan perubahan klinis pada kelompok TMA dan terapi standar (non-MA) pada pasien dengan ulkus kornea bakteri, perbedaan perubahan kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea.
Metode: Penelitian tahap pertama, dilakukan penilaian klinis sebelum dan sesudah pada grup TMA dan terapi standar (non-TMA) dengan menilai tajam penglihatan, waktu epitelisasi total, waktu pembentukan sikatrik total dan derajat sikatrik serta uji kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dengan pemeriksaan ELISA. Penelitian tahap kedua, dilakukan pemeriksaan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea dengan pemeriksaan quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Hasil: Hasil penelitian pertama, pada grup TMA terjadi perbaikan yang signifikan bermakna pada tajam penglihatan (p=0.001), waktu epitelisasi total (p=0.002), waktu terbentuk sikatrik total (p=0.005), dan derajat sikatrik (p=0.001) dibandingkan grup non-TMA. Hasil kadar proteinTNF-, MMP-9, dan TGF-β1 di air mata tidak terjadi perubahan yang bermakna sebelum dan sesudah dan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua grup (p>0.005). Pada hasil penelitian kedua, ekspresi mRNA TNF-α menurun paling tinggi pada grup TMA (0.824 ± 0), MMP-9 meningkat paling tinggi pada grup TMA (66.698 ± 24.948), TGF-β1 meningkat paling tinggi pada grup TMA (34.425 ± 14.025), sedangkan TGF-β2 mengalami peningkatan tertinggi pada grup non-TMA (114.049 ± 55.344).
Kesimpulan: Terdapat perbaikan klinis yang signifikan pasca TMA, sejalan dengan ekspresi gen dari molekul yang terkait ditandai dengan penurunan inflamasi, re-epitelisasi yang lebih cepat, dan pengurangan pembentukan sikatrik. Kadar protein dan ekspresi gen molekul inflamasi di air mata tidak dapat dijadikan penanda untuk proses yang terjadi di kornea.

Background: Corneal ulcer is one of ocular infection disease that is commonly found in developing country like Indonesia. The conventional treatment for bacterial corneal ulcer usually causes the forming of permanent corneal scar which results in decrease of visual acuity. The use of amniotic membrane transplantation (AMT) in corneal ulcer is believed can shorten the healing process and reduce corneal scar. Amniotic membrane is expected to become as a new scaffold and have several biological properties that play a role in epithelization process and fibrotic tissue formation.
Objective: To evaluate and establish the clinical differences on amniotic membrane transplantation and standard therapy of patients with bacterial corneal ulcer, and laboratory evaluation of protein level and mRNA expression changes of TNF-, MMP-9, TGF-β1 and TGF-β2 in tears and corneal tissue.
Method: This study was divided into two phases on two groups of AMT and standard therapy group (non-AMT). On the first phase, clinical evaluation was examined include visual acuity, total duration of epithelization, total duration of scar formation and the degree of corneal scar, along with laboratory of protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears with ELISA. On the second phase, mRNA expression of TNF-, MMP-9, TGF-β1, and TGF-β2 in tears and cornea were examined with quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Result: The result of first phase on TMA group showed significant improvement on visual acuity (p=0.001), total duration of epithelization (p=0.002), total duration of scar formation (p=0.005), and cicatrix degree (p=0.001) compared to non-TMA group and a non-significant result on protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears on both groups (p>0.005).On the second phase, mRNA expression of TNF-showed the highest decrease on TMA group (0.824 ± 0), MMP-9 showed the highest increase on group TMA (66.698 ± 24.948),TGF-β1 expression increased the highest on TMA group (34.425 ± 14.025), whereas TGF-β2 showed the highest result on non-TMA group (114.049 ± 55.344).
Conclusion: There was significant clinical improvement observed in TMA group parallel with related molecular genetic expression, indicated decreasing of inflammation, faster re-epithelization, and less dense scar formation. Protein level and genetic molecular expression in tears are poor predictors of processes occurring in the cornea.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christofel Dwi Putra Kawinda
"Glaukoma adalah penyebab kebutaan nomor dua di dunia. Jenis glaukoma yang paling sering terjadi adalah glaukoma primer sudut terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penurunan tekanan intraokular antara operasi trabekulektomi dibandingkan implan. Desain studi dalam penelitian adalah cross-sectional. Metode pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Sampel pada penelitian diambil dari data rekam medis pasien glaukoma primer sudut terbuka dengan total 62 sampel, yang mana 31 diantaranya adalah pasien yang telah menjalani operasi trabekulektomi dan 31 lainnya adalah pasien yang telah menjalani operasi implan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna penurunan tekanan intraokular antara operasi trabekulektomi dan implan p = 0,730 . Hal ini mengindikasikan bahwa baik trabekulektomi maupun implan memilki keefektifan yang sama dalam menurunkan tekanan intraokular dalam jangka waktu 2-4 bulan.

Glaucoma is the second leading cause of blindness worldwide. The most common type of glaucoma is primary open angle glaucoma POAG . The objective of this study is to compare the reduction of intraocular pressure between trabeculectomy and ocular implant prosedure. A cross sectional study was performed with study samples was taken using simple random sampling method from medical records of POAG patient. From a total of 62 patient, 31 individual had a trabeculectomy procedure and the other had implant surgery. The study found that there is no significance difference between the reductions of intraocular pressure of both groups p 0.730 . This indicate that either trabeculectomy and implant have same effectivity in decreasing intraocular pressure within 2-4 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Susie Rendra
"Kusta merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh hasil tahan asam Mycobacterium leprae. Sampai kini, penyakit kusta tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun sebenarnya eliminasi kusta di Indonesia sudah tercapai pada pertengahan tahan 2000.
Kusta adalah penyakit dengan stigma sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kecacatan yang ditimbulkan, yaitu deformitas dan mutilasi, sehingga terjadi ketakutan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada kalangan medis. Ketakutan ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan kurang tersedianya informasi tepat dan akurat mengenai penyakit kusta. Kuman M. leprae menyerang sel Schwann pada serabut saraf, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan saraf, yang bila tidak tertangani dengan baik akan berakhir dengan kecacatan. Cacat mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik, sehingga pasien kusta menjadi bergantung pada orang lain dan tidak mampu hidup mandiri. Kecacatan seringkali terjadi akibat keterlambatan pengobatan dan tindakan pencegahan kecacatan yang kurang memadai. Untuk mencegah cacat diperlukan diagnosis tepat, penanganan secepatnya dan deteksi dini penyakit kusta.
Cacat akibat kusta dapat mengenai ekstremitas (tangan dan kaki) dan mata, yang merupakan organ penting agar seseorang dapat berfungsi baik dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan cacat merupakan hal yang penting dilakukan karena keterlambatan akan menyebabkan kecacatan menjadi permanen.
Komplikasi okular sering ditemukan pada kusta, yang dapat menyebabkan penurunan visus dan kebutaan. Prevalensi kebutaan pads pasien kusta 5 kali Iipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. Kerusakan mata pada penyakit kusta biasanya terjadi perlahan, seringkali tidak disadari oleh pasien dan jarang dikeluhkan. Keluhan baru disampaikan bila terjadi penurunan tajam penglihatan (visus). Pada saat ini umumnya kelainan sudah lanjut, sehingga penanganan menjadi lebih sulit. Kemungkinan fungsi mata puiih kembali menjadi normal juga berkurang. Dengan deteksi dini diharapkan kelainan mata dapat diketahui lebih cepat dan fungsi mata dapat dipulihkan secara maksimal.
Salah satu kelainan mata yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan adalah gangguan sensibilitas kornea. Sensasi yang berkurang (terutama terhadap nyeri) mengakibatkan pasien kurang menyadari bila terjadi sesuatu pada mata. Keadaan ini membuat pasien sangat berisiko mengalami kerusakan mata lebih lanjut. Hal ini menyebabkan pasien terlambat mencari pengobatan. Pada mata yang hipoestesia mudah terjadi infeksi, lukalulkus, perforasi, jaringan parut 9 dan dapat berakhir dengan kebutaan. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel dkk. (1999) mendapatkan kecenderungan hipoestesia kornea 3-4 kali Iipat lebih besar pada pasien dengan Iasi hipopigmentasi pada wajah dibandingkan dengan pasien tanpa Iesi wajah. Kekurangan penelitian ini, seperti yang diakui oleh penelitinya, adalah menggunakan lidi kapas untuk pemeriksaan kornea. Cara ini kurang sensitif dan sangat tergantung pada keterampilan pemeriksa. Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan lidi kapas sebenamya tidak dianjurkan oleh World Health Organization (WHO), karena berpotensi rmerusak epitel kornea bila dilakukan secara tidak benar. Peneliti mengemukakan mengenai perlunya dilakukan penelitian menggunakan alat estesiometer Cochet-Bonnet."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joyce Setyawati
"ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).
Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.
Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.
Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.
Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).
Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
"
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusran
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fotokoagulasi laser 810 nm durasi 20 ms dan 100 ms dalam mencegah progresivitas PDR.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 28 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri atas 14 subyek untuk menjalani fotokoagulasi laser 810 nm. Pada kelompok pertama mendapatkan laser dengan durasi 20 ms dan kelompok kedua dengan durasi 100 ms. Lesi derajat 3 dengan spot sized 200 μm diaplikasikan pada kedua kelompok. Penilaian progresivitas PDR dilakukan setelah 2 bulan pasca laser dengan menggunakan foto fundus 7 posisi. Fluence, power dan tajam penglihatan dibandingkan di antara kelompok.
Hasil: Sebanyak 25 pasien yang mengikuti follow up selama 2 bulan. Proporsi neovaskularisasi yang tidak progresif pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 76,9% dan 75,0% (p=1,000). Power yang dibutuhkan dua kali lebih tinggi pada kelompok 20 ms (1000 vs 500 mW; p=0,000). Rerata fluence pada kelompok durasi 20 ms lebih rendah dua kali dibandingkan kelompok durasi 100 ms (15,91 vs 6,36 J/cm2; p=0,000). Perbaikan visus pasca laser pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 23,1% dan 33,3 % (p=1,000).
Kesimpulan: Durasi 20 ms memiliki kemampuan mencegah progresivitas neovaskularisasi yang sama dibandingkan dengan durasi 100 ms. Fluence yang dibutuhkan lebih rendah pada durasi 20 ms.

Aim: The aim of this study was to compare the effectiveness of laser photocoagulation 810-nm with 20 ms and 100 ms duration to prevent the progression of proliferative diabetic retinopathy.
Method: This study was prospective double blind randomized clinical trial. Twenty-eight participants who met the inclusion criteria divided into two groups to undergo laser photocoagulation by using 810 nm lasers. One group consisted of fourteen subjects received 100 ms duration and the other received 20 ms duration. Grade 3 burns with a 200 μm spot sized were placed with both modalities. The progression of PDR was evaluated in two months follow up by using seven fields fundus photographs. Fluence, power and visual acuity were compared in this study.
Result: Twenty five subjects completed the two months follow up. Nonprogressive PDR in 100 ms group was 75.0% and in 20 ms was 76.9% (p=1.000). The median power in 20 ms group increased twice than 100 ms group (1000 vs. 500 mW; p=0.000). The median fluence in 20 ms group reduced to one-half of 100 ms group (6.36 vs. 15.91 J/cm2; p=0,000). Improvement of visual acuity in 20 ms and 100 ms was comparable (23,1% vs. 33,3%; p=1,000).
Conclusion: The 20 ms duration showed similar result in preventing the progression of PDR compared to 100 ms duration. The fluence was lower in 20 ms group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>