Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nashriana
"Topik ini membahas tentang hak-hak yang sekarang mendominasi debat politik di Amerika Serikat. Apakah pemerintah menghormati hal-hak warga negaranya moral dan politik. Pada dasarnya itu hanya hak milik pribadi seseorang. Hal ini ada karena hak asasi manusia harus mencapai tujuan akhir dengan mengikuti UU moral. Dalam hal ini kanan adalah fundamental. Oleh karena itu, satu-satunya orang yang dibimbing dirinya untuk mencapai tujuan yang ingin anda gunakan kehendak bebas yang dimiliki. Dalam hubungan ini harus membedakan antara hak konstitusi (hak konstitusi) dan hak yang lahir dari hukum (legal rights). Hak konstitusi (hak konstitusional) adalah hak dijamin dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (hak hukum) yang timbul berdasarkan undang-undanga asuransi dan peraturan dibawahnya (peraturan perundang-undangan bawahan). Hak asasi manusia sejak diadopsi konstitusi pada tahun 1945, ia menjadi hak konstitusi, sedangkan hukum hak muncul karena pengaturan hukum, seperti hak untuk alat pengukuran dikirimkan disediakan oleh pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Meteorologi."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 6 (2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dhief F. Ramadhani
"ABSTRAK
Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan beragama tidak hanya mencakup kebebasan setiap manusia untuk memilih keyakinan yang menurutnya benar, namun juga termasuk hak bagi tiap-tiap manusia untuk mengekspresikan keyakinannya dan juga hak untuk menjalankan segala ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara, pendirian rumah ibadat, dan pendidikan agama di sekolah.

ABSTRACT
The right to freedom of religion is a human right that should not be restricted in any circumstances. Right to freedom of religion not only includes the freedom of every human being to choose beliefs which he said is true, but it also includes a right for every human being to express his convictions and also right to perform any religious doctrine or belief that he believes. Indonesia through Law No. 1/PNPS of 1965 only recognizes six religions: Islam, Christianity, Protestantism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. State recognition of a particular religion is permissible and does not violate human rights. Unfortunately the state recognition of the six religious impact some human rights violations, especially the adherents of religions, beliefs and religions other than official religions recognized by the state. Impacts arising from the state recognition of certain religions is the dissolution of streams that are considered heretical, the inclusion of religion on identity cards which later became the entrance to the restrictions of the rights of followers of religions, beliefs and religions that are not recognized by the state, the establishment of the synagogue, and religious education in schools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S439
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayawickrama, Nihal
"Since the proclamation of the Universal Declaration of Human Rights, over 165 countries have incorporated human rights standards into their legal systems: the resulting jurisprudence from diverse cultural traditions creates new dimensions to concepts first articulated in 1948. In this revised second edition, Nihal Jayawickrama draws on extensive sources to encapsulate the judicial interpretation of human rights law in one comprehensive volume. Jayawickrama covers the case law of the superior courts of 103 countries in America, Europe, Africa, Asia, the Caribbean and the Pacific, as well as jurisprudence of human rights monitoring bodies. He analyses the judicial application of human rights law to demonstrate empirically the universality of contemporary human rights norms. This definitive volume is essential for legal practitioners, and government and non-governmental officials, as well as academics and students of both constitutional law and the international law of human rights."
United Kingdom: Cambridge University Press, 2017
e20529215
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Daryani
"Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka dan terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka dan terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dapat terjadi baik secara normative maupun empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak* tersebut. Penelitian normative dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak-hak tersangka dan terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana diwilayah pengadilan. Rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana sebagian besar terjadi pada tahap praadjudikasi, yaitu pada proses penyidikan yang dilaksanakan oleh polisi, kemudian menyusul pada tahap pemeriksaan penuntutan oleh jaksa penuntut umum. Pada tahap adjudikasi yaitu pada tahap pemeriksaan di pengadilan kesenjangan hak tersebut agak rendah. Adapun banyaknya atau tingginya tersangka dan terdakwa tidak menggunakan hak-haknya pada tahap praadjudikasi, karena penegak hukumlah yang menetukan sekali apakah hak tersebut dapat digunakan atau tidak. Pada umumnya penegak hukum karena orientasi terhadap tugas dalam proses peradilan pidana, maka kurang memberikan kesempatan kepada tersangka dan terdakwa. Penegak hukum lebih menekankan pada hasil dari pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, dengan anggapan walaupun hak-hak tersangka dan terdakwa kurang mendapat tempat pada saat pemeriksaan yang dilakukan oleh mereka, tetapi hak tersebut barulah menjadi penting dan dapat digunakan pada saat yang tepat, yaitu sidang pengadilan di mana tahap ini adalah tahap penentuan di dalam rangkaian proses peradilan pidana. Disamping itu kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dalam bentuk inkonkrito disebabkan oleh kurangnya partisipasi pencari keadilan dalam usahanya untuk menggunakan haknya tersebut. Hal ini disebabkan pendidikan (kurangnya pengetahuan dan pemahaman hak-hnk normative) , factor ini ekonomi dan sekaligus sebagai indikasi rendahnya kesadaran hukum pencari keadilan menyebabkan rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Jakarta pada tahap praadjudikasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Plowden, Philip
London: Cavandish , 2002
347.052 PLO a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syaharani
"Diskursus mengenai keterkaitan hak asasi manusia dengan dampak perubahan iklim mulai berkembang dan menjadi sorotan internasional seiring munculnya dampak terhadap manusia yang tidak pernah terjadi atau dirasakan sebelumnya. Dampak-dampak yang timbul dari perubahan iklim dianggap akan menghambat perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia seperti hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perkembangan diskusi mengenai perubahan iklim dan kaitannya dengan hak asasi manusia juga ditunjukkan melalui penggunaan argumen hak asasi manusia dalam praktik-praktik litigasi perubahan iklim—yang merupakan respons kegagalan atau ketidaklayakan kebijakan suatu negara dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia kemudian menjadi salah satu alat yang paling banyak digunakan dan paling efisien dalam meminta negara melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang serius guna menjamin perlindungan hak asasi manusia dari dampak perubahan iklim. Berbagai putusan pengadilan yang mengadili gugatan litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia telah merumuskan kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia dari ancaman perubahan iklim yang kemudian mereformasi kebijakan mitigasi dan adaptasi negara yang bersangkutan.  Argumen hak asasi manusia pun menjadi strategi yang relevan bagi Indonesia untuk mendorong upaya mitigasi dan adaptasi yang serius sebab Indonesia termasuk dalam negara yang rentan berhadapan dengan dampak perubahan iklim. Di sisi lain, pengaturan dan jaminan mengenai hak atas lingkungan hidup di Indonesia cukup komprehensif. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat tanggungjawab negara atas perlindungan hak asasi manusia dari dampak perubahan iklim, mekanisme yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban negara atas perlindungan dari dampak perubahan iklim, dan bagaimana argumen hak asasi manusia relevan digunakan dalam mekanisme tersebut.

The discourse on the relationship between human rights and climate change impacts began to develop and became an international spotlight as the unprecedented impacts on human emerged. The impacts arising from climate change are considered to intervene with the protection and enjoyment of human rights such as the right to life, the right to health, and the right to a good and healthy environment. The development of the discussion on climate change and its relation to human rights is also shown by the use of human rights arguments in climate change litigation practices—which is a response to the failure or inadequacy of a country's climate policies. Human rights-based climate change litigation hitherto has become one of the most widely used and most efficient tools in demanding countries to undertake serious mitigation and adaptation efforts to ensure the protection of human rights from climate change impacts. Various court decisions adjudicating human rights-based climate change litigations have formulated state obligations to protect human rights from the threat of climate change which in turn reformed the country's mitigation and adaptation policies. The human rights argument has also become a relevant strategy for Indonesia to encourage serious mitigation and adaptation efforts as Indonesia is one of the countries that is vulnerable to the impacts of climate change. On the other hand, the constitution and other relevant laws also guarantee the right to the environment in Indonesia. Therefore, this study aims to look at the state's obligations to protect human rights from the impacts of climate change, the mechanisms that can be used to hold the state accountable for the protection from climate change impacts, and how relevant human rights arguments are used in these mechanisms. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Constanta
"Tesis ini menganalisis bagaimana pengaturan pada saat ini, pelaksanaan dan pengaturan di masa yang akan datang terkait akses terhadap pemulihan non-yudisial korban kecelakaan kerja Industri Nikel di Indonesia berdasarkan UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Tesis ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Akses terhadap pemulihan non-yudisial korban kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia saat ini berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja adalah melalui pengawasan ketenagakerjaan setempat dan terdapat jaminan sosial yang dapat diakses oleh korban berdasarkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, Perpu Cipta Kerja dan UU BPJS. Pelaksanaan akses terhadap pemulihan non-yudisial korban kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia berdasarkan UNGPs terdiri dari akses terhadap pemulihan berbasis negara dan non-negara seperti BPJS Ketenagakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan, Komnas HAM, perusahaan dan asosiasi bisnis. Masih terdapat banyak tantangan hukum dalam pelaksanaan akses terhadap akses pemulihan non-yudisial korban kecelakaan kerja nikel seperti tidak adanya pengaturan komprehensif mengenai kompensasi dan berbagai resiko terbaru, sistem pengawasan atau mitigasi resiko, koordinasi dalam pemerintahan. Pengaturan akses terhadap pemulihan non-yudisial korban kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia yang seharusnya berlaku pada masa yang akan datang adalah mengimplementasikan prinsip bisnis dan HAM secara internasional terhadap perbaikan UU Keselamatan kerja. Perbaikan yang dapat dilakukan terhadap UU Keselamatan kerja yaitu menyusun pengaturan yang komprehensif dengan pendekatan HAM, kewajiban dan membangun uji tuntas industri nikel dan menjamin mekanisme pengaduan terhadap korban.

This thesis analyzes the current regulation, implementation, and future regulation concerning access to non-judicial remedy for victims of workplace accidents in the Nickel Industry in Indonesia based on the UN Guiding Principles on Business and Human Rights. This thesis is compiled using a doctrinal research method. Currently, access to non-judicial remedy for victims of workplace accidents in the Indonesian nickel industry is governed by Law No. 1 of 1970 concerning Occupational Safety, through local labor supervision and social security guarantees accessible to victims under the National Social Security System Law, the Job Creation Omnibus Law, and the Social Security Administrator Law.  Implementation of access to non-judicial remedy for victims of workplace accidents in the Indonesian nickel industry based on the UNGPs includes access to both state-based and non-state-based grievance mechanisms such as BPJS Employment, the Department of Manpower, the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), companies, and business associations.  There are still many legal challenges in implementing access to non-judicial recovery for victims of nickel industry workplace accidents, such as the lack of comprehensive regulations on compensation, various emerging risks, risk supervision or mitigation systems, and governmental coordination. Future regulation governing access to non-judicial recovery for victims of workplace accidents in the Indonesian nickel industry should involve implementing international business and human rights principles to improve Occupational Safety Laws. Improvements to Occupational Safety Laws should include drafting comprehensive regulations with a human rights approach, obligations to conduct thorough assessments of the nickel industry, and ensuring complaint mechanisms for victims."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenzerini, Federico
"International human rights law was originally focused on universal individual rights. This text examines the developments which have seen it change to a multi-cultural approach, one more sensitive to the cultures of the people directly affected by them. It argues that this can provide benefits, but that aspects of universalism must be retained"
United Kindom: Oxford University Press, 2014
341.48 LEN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
""This collection of essays draws together innovative scholars to examine the relationship between two legal and political phenomena: the shrinking of the state as a monopoly of power in favour of the expansion of power over individuals in private hands, and the change in the nature of rights. The authors expertly discuss the implications of the changing boundaries of state power, the legal responses to this development, its application to human rights, and re-conceptualizations of public life as obligations are handed over to private hands. This innovative book deals with an important set of problems and offers a fresh perspective of different legal themes in an integrated fashion"--"
Cambridge : Cambridge University Press, 2016
341.48 BOU
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>