Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90575 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Profil ameloblastoma dari sebuah penelitian retrospektif di Jakarta, Indonesia. Ameloblastoma adalah tumor odontogenik yang sering terjadi pada mandibula. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari tipe dan pola histopatologis ameloblastoma yang paling umum, persentase timbulnya ameloblastoma menurut jenis kelamin, dan tipe histopatologis ameloblastoma terkait jenis kelamin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain retrospektif deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik klinik Bedah Mulut di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada periode Januari 2002–Juli 2008. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi tipe histopatologis. Hubungan antara usia atau jenis kelamin dan tipe histopatologi ameloblastoma dianalisis secara
statistik. Hasil: Dari data 66 kasus pasien ameloblastoma yang terkumpul, ditemukan bahwa kelompok umur 31-50 tahun memiliki persentase kemunculan terbesar dibanding kelompok umur lain, yaitu 53%. Terdapat sedikit perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada kasus ameloblastoma. Perempuan terdapat pada 37 kasus (56,1%), lebih banyak dibandingkan laki-laki sejumlah 29 kasus (43,9%) dan tipe histopatologis yang terbanyak ditemukan adalah plexiform sebanyak 31,8%. Simpulan: Ameloblastoma terjadi pada periode dewasa, lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki, dan didominasi tipe plexiform.

Ameloblastoma is an odontogenic tumor occurring mostly in mandible. Objective: the purpose of the study was to find out the distribution and frequency of the most common histopathological type and pattern of
ameloblastoma, the percentage of ameloblastoma according to gender and histopathological types of ameloblastoma related to gender. Methods: This research was a quantitative analysiswith descriptive retrospective design. This study used secondary data taken from medical records at Oral and Maxillofacial Surgery Clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta in the period of January 2002–July 2008. The relationship between age or gender and histopathological types of ameloblastoma was statistically assessed. Results: From data of ameloblastoma patients that have been collected as many as 66 cases; it was found that 31–50 years old age group had the highest percentages of occurrence among other age groups that was 53% from all cases. There are slight differences between women and men in ameloblastoma cases. The incidence was higher in women (37 cases, 56.1%) than in men (29 cases, 43.9%) and the histopathological type found most often was plexiform type as many as 31.8% from all cases. Conclusion: Ameloblastoma presented in adult period, more frequent in women than men, and were predominantly plexiform."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tut Wuri Andajani
"Latar belakang :
Ameloblastoma adalah tumor sejati dari jaringan sejenis organ email, tumbuh intermitten dan dapat mengadakan invasi lokal. Secara histopatologik bersifat jinak, sering kambuh sehingga tumor ini disebut bersifat locally malignant dan umumnya tidak bernetastasis. Ada 2 tipe yaitu pleksiform dan folikular yang secara klinik sama dan secara mikroskopik tidak berpengaruh pada perangai biologik tumor. Berbeda dengan basalioma yang secara histopatologik ganas. Lesi odontogenik lain yaitu odontogenik keratosis yang mempunyai sifat agresifitas yang tinggi sehingga daya kambuhannya juga tinggi.
Untuk mengetahui agresifitas ameloblastoma dapat digunakan pewarnaan yang dapat mengetahui daya proliferasi sel yaitu dengan Ki-67 yang dapat digunakan untuk memperkirakan perkembangan jaringan normal, reaksi jaringan dan jaringan neopiastik Sedangkan untuk mengetahui ekspresi protein yang berhubuiagan dengan keganasan digunakan pewarnaan p53.
Bahan dan cara kerja :
47 kasus ameloblastoma terdiri dari 30 kasus pleksiform dan 17 kasus folikular. Masing-masing kasus dibuat 2 buah sediaan yang masing-masing diwaniai dengan Ki-67 dan p53. Kemudian setiap sediaan dilakukan penghitungan terhadap sel yang terwarnai coklat 1 kecoklatan diantara 1000 sel yang ada dan dilakukan 2 kali dalam waktu yang berbeda & Nilai yang didapat digunakan sebagai data yang perhitungan statistiknya mengg nalcan statistik non-parametrik Krsiral-~Yallis.
Hasil :
Indeks proliferasi Ki-67 berkisar 7 - 99 untuk ameloblastoma tipe pleksiform dengan nilai rata-rata 39,23. Sedangkan tipe folikular 8 - 77 dengan nilai rata-rata 33,59_ Dengan perhitungan statistik tidak berbeda bermakna ( p>0,05)_ Dengan p53 hanya 12 dari 47 kasus yang positif dengan nilai rata-rata 3,16 untuk tipe pleksiformn, sedangkan untuk tipe folikular hanya positif 2 kasus dengan nilai 0,71. Dengan statistik diperoleh hasil tidak berbeda bermakna (p>0.05). Sebagian besar kasus terletak pada rahang bawah, clan lebih sering mengenai penderita laki-laki. Ditemukan 6 kasus kambuhan, 5 mengenai penderita perempuan berumur 23 -- 35 tahun. Dari 6 kasus tersebut, 5 kasus ditemukan pads ameloblastoma tipe pleksifonn.
Kesimpulan :
- Nilai ekspresi Ki-67 dan protein p53 pada ameloblastoma tipe pleksiform cenderung lebih tinggi dibandingkan tipe folikular, sungguhpun secara statistik tidak berbeda makna.
- Nilai Ki-67 pada ameloblastoma bila dibandingkan dengan kista odontogenik lainnya mempunyai sifat kambuhan dan agresifitas mirip Odontogenic keratocyst.
- Positifitas protein p53m pads ameloblastoma tidak menunjukkan bahwa ameloblastoma ini termasuk tumor ganas.
- Berdasarkan penelitian ini belurn dapat untuk prediksi perjalanan tumor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdiana
"Karya ilmiah ini membahas distribusi dan frekuensi pasien meloblastoma berdasarkan tipe histopatologis dan jenis kelamin di Poli Bedah Mulut RumahSakit Umum CiptoMangunkusumo Periode Januari 2002 ? Juli 2008. Penelitianini adalah penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif restrospektif. Penelitianterhadap 66 orang pasien ameloblastoma menggambarkan bahwa kasusa meloblastoma pada jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Tipe histopatologis yang terbanyak adalah tipe pleksiform. Pada pasien ameloblastoma laki-laki tipe histopatologis yang terbanyak adalah tipe folikuler dan pleksiform - folikuler, sedangkan pada perempuan adalah tipe pleksiform. Terdapat juga beberapa variasi dari tipe histopatologis.

The focus of this study is frequency and distribution of ameloblastoma patient according to histopathologic features and gender at the Oral Surgery Clinic of CiptoMangunkusumo Hospital period January 2002 - July 2008. This research is quantitative with descriptive retrospective design. According to the result, women has more high frequent than man in 66 observation case of ameloblastoma. Plexiform has more high percentage than the other types of histopathologic pattern. Follicular and Plexiform - Follicular are more found in man while plexiform is in women. There are also present the variation of histopathologic features in ameloblastoma."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sirera Livie Sandini
"The focus of this study is the distribution and frequency of ameloblastoma according to histopathologic features and age in oral surgery clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital period January 2002 - July 2008. This research is a quantitative and retrospective research with descriptive design. The results prove that ameloblastoma are most frequently found in third and fourth decade of life; while the most frequent histopatologic features are plexiform and folicullar pattern."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
R19-BM-153
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Kemala Dewi
"Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor jinak yang berkembang lambat, bertambah besar dan bersifat invasif secara lokal pada rahang. Angka rekurensi setelah tindakan pembedahan definitif dapat mencapat 50-90% dengan tatalaksana bedah konservatif dan 17% dengan tatalaksana bedah radikal. Penelitian dilakukan menggunakan machine learning Random Forest algorithm untuk memprediksi rekurensi ameloblastoma. Tujuan Penelitian: Menganalisis faktor risiko terjadinya rekurensi ameloblastoma pasca tatalaksana bedah. Metode Penelitian: Studi retrospektif Januari 2015 – Juni 2022 pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Data diambil dari rekam medis pasien baik tertulis maupun digital. Analisis variabel kategorik dengan Uji Chi-Square dan Random Forest Classification and Regression menggunakan software R dalam menentukan faktor risiko terjadinya rekurensi ameloblastoma. Faktor risiko yang paling berperan dinilai dengan Mean Decrese Gini value (MDG). Hasil: Dari 97 subjek penelitian, 36 subyek (37%) mengalami rekurensi. Hasil uji Chi-square menunjukkan 4 faktor risiko memiliki hubungan secara signifikan secara statistik, antara lain faktor risiko usia, gambaran radiografis ameloblastoma, ukuran dan perluasan ameloblastoma serta modalitas perawatan terhadap ameloblastoma. Analisis multivariat menggunakan Random Forest Algorithm dengan akurasi sebesar 90,72%. Kesimpulan: Modalitas perawatan merupakan faktor risiko dominan rekurensi ameloblastoma pada penelitian ini, diikuti oleh faktor risiko ukuran dan perluasan ameloblastoma yang disimpulkan dari nilai Mean Decrese Gini (MDG).

Background : Ameloblastoma is one of benign tumor of jaw, slow growing characteristic, able to gain enermous size of tumor and locally invasive. Considering high rate ameloblastoma recurrance 50-90% in conservative and 17% radical surgery, research conducted to predict risk factors of ameloblastoma recurrence using Random Forest algorithm, a machine learning. Objective: To evaluate risk factors for recurrence of ameloblastoma after jaw surgical treatment. Methods: Retrospective study conducted on subjects who met the inclusion criteria in term of January 2015 - June 2022. Data collected from medical record both written and digital. Cathegorical variables taken to be analyzed using Chi-Square, Random Forest to reach the risk factors of ameloblastoma recurrence. The importance of value was defined by means Mean Decrese Gini value (MDG). Result: Subjects were 97 with 36 respondents (37%) experienced recurrence. Significant correlation between the four risk factors and recurrence of ameloblastoma analyzed using Chi-Square The risk factors were age, radiographic characteristic of ameloblastoma, size and invasion of ameloblastoma to cortical bone and soft tissue, and treatment modalities. Random Forest algorithm used to evaluate multivariate analysis with 90.72% accuracy. Conclusion: This research using Mean Decrease Gini (MDG) showed the dominant importance of treatment modality as risk factor in ameloblastoma recurrence, followed by size and its invasiveness to soft tissue surrounding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A case report of successful Ameloblastoma treatment by Dredging Method, in left mandibular region of 25 years old female. Dredging was taken three times with six months period, following enuklation three month before. Evaluation of the effectiveness of this procedure showed from histopatological examination, panoramic radiograph and the mandible attained normal form and function."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of the study to seek the differences of cell proliferation index among dentigerous cyst. dentigerous with ameloblastoma and ameloblastoma plexiform. This study utilized retrospective methode,
which was achieved by collecting data from medical record in oral surgery clinic. Cipto Mangunkusumo Hospital and Pathology Anatomy Laboratory at Faculty of Medicine University of Indonesia from January 1998 to April 2002. Histological examination were prepared from 34 samples; consist of 15 dentigerous cysts, 11 ameloblastoma and 8 dentigerous cyst which arise with ameloblasroma. ln each case, intra-nuclear AgNOR dots were counted in 100 consecutive basal nuclei. Statistic analysis using ANOVA show the difference among study objects (p<0.05). AgNOR an ameloblastoma is significantly higer than in dentigerous cyst. The differences may indicate the variation of metabolic, proliferation of transcriptional activities of the cell. The study found the difference of AgNOR count in cell proliferation index among dentigerous cyst, dentigerous cyst which arise with ameloblastoma and ameloblastoma. The finding can be used to determine the diagnoses in doubtfull cases where dentigerous and ameloblastoma cannot be distinguished clinically and pathologically."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Beberapa sumber menyatakan bahwa ameloblastoma yang berasal dari unsur pembentuk kista odontogonik (ameloblasoma unikistik) mempunyai sifat biologis klinis berbeda dengan ameloblastoma klasik yang solid ataupun multikistik....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar belakang : Tumor ganas adneksa mata merupakan keganasan epitel yang berasal dari kelopak mata, konjungtiva dan kelenjar kelenjar yang berada pada jaringan tersebut. Tumor ini sebenarnya mempunyai prognosis baik bila diobati pada stadium dini.
Metode : Dilakukan studi historical cohort dengan survival analysis. Subyek adalah penderita tumor ganas adneksa mata yang berobat ke poliklinik subbagian Tumor Mata FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2000 mendapat tindakan operasi. Analisis data menggunakan cara cox proportional hazard dan analisis life table menurut metode Kaplan-Meier.
Hasil : Dari 74 penderita tumor ganas adneksa mata didapat angka harapan hidup 74.24%. Penderita terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (51.4%), karsinoma set basal (28.4%), adenokarsinoma (14.8%) dan melanoma maligna (5.4%). Metastasis memberikan resiko tertinggi terhadap kematian HR 51.69(9.72-274.76), kelompok tumor karsinoma sel skuarnosa - adenokarsinoma HR 4.91 (0.62-38.81), penderita mendapat tambahan radiasi HR 10.72(1.25-92.18), dan jenis operasi eksenterasi HR 7.63(1.59-36.48)
Kesimpulan : Faktor resiko yang berhubungan dengan kematian adalah metastasis, kelompok tumor karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, dilakukan tindakan radiasi dan tindakan eksenterasi orbita.

Background : Malignant eye adnexa tumor originates from epithelium of eye lid, conjunctiva, and nodes of those tissues. The prognosis of this tumor is good if it is treated during the initial stadium.
Method : A historical cohort study was carried out with survival analysis. The subject of the study were patients with malignant eye adnexa tumor who went to Sub-division of Eye Tumor FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from the period of January I, 1996 to December 31, 2000 and received surgical treatment. Data analysis used was cox proportional hazard and life table analysis with Kaplan Meier method.
Result : From 74 patients with malignant eye adnexa tumor we obtained a survival rate of 74.24%. Most of them suffer from squamous cell carcinoma (51.4%), basal cell carcinoma (28.4%), adenocarcinoma (14.8%) and melanoma maligna (5.4%). Metastasis contributes to a high risk of death HR 51.69 (9.72-274.76), squamous cell carcinoma - adenocarcinoma group type HR 4.91 (0.62-38.81), patients receiving additional radiation treatment HR 10.72 (1.25-92.18), and exenteration HR 7.63 (1.59-36.48).
Conclusion : The risk factor which causes death is metastasis, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma group type, radiation treatment and exenteration of the orbit were done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>