Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Aktifitas aspartat amino transferase setelah berkumur dengan teh hijau dan klorheksidin glukonat. Perawatan ortodontik dapat meningkatkan akumulasi plak gigi. Plak dapat menyebabkan peradangan pada gingiva. peradangan dapat dinilai dari kadar aspartat aminotransferase (AST) dalam cairan krevicular gingiva (CKG). bat kumur bermanfaat untuk mengurangi akumulasi plak gigi selama perawatan ortodontik. Klorheksidin glukonat sering digunakan sebagai obat kumur. Teh hijau adalah salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk obat kumur yang dianggap dapat mengurangi akumulasi plak. Tujuan: Membandingkan efek antara teh hijau dan klorheksidin glukonat aktivitas AST di GCF pada pasien yang menjalani perawatan ortodontik dengan molar band. Metode: Studi eksperimental dilakukan terhadap 40 subjek dewasa. Subjek dibagi secara acak menjadi dua kelompok: teh hijau (n=20) dan klorheksidin glukonat (n=20). Aktivitas AST diukur sebelum pemasangan band , 7 dan 30 hari setelah pemasangan band. Uji ANOVA digunakan untuk menganalisis data. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan antara kadar AST sebelum, 7 dan 30 hari setelah pemasangan band pada kelompok teh hijau (p<0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar AST sebelum pemasangan band, 7 dan 30 hari setelah pemasangan band pada kelompok klorheksidin glukonat (p<0,049). Tidak ada perbedaan antara masing-masing kelompok (p<0,05). Simpulan: Obat kumur teh hijau memiliki efektivitas yang sama dengan klorheksidin glukonat dalam mengurangi tingkat AST pada pasien ortodontik.

Patients undergoing fixed orthodontic treatment are susceptible to dental plaque accumulation. Plaque can cause inflammation in gingiva. It could be assessed by aspartat aminotransferase (AST) in gingival crevicular fluid (GCF). Mouth rinse could be useful to reduce dental plaque accumulation during orthodontic treatment. Chlorhexidine gluconate is often used as mouth rinse in dental practice. n the other hand, green tea is one of natural ingredient that can be used for mouth rinse which is assumed could reduce plaque accumulation. Objectives: To compare the effect between green tea and chlorhexidine gluconate on AST activity in GCF in patient undergoing orthodontic treatment with molar band. Methods: An experimental study was conducted included forty adult subjects. They were randomized into two groups: green tea (n=20) and chlorhexidine gluconate (n=20). AST activity was measured before band insertion, 7 and 30 days after band insertion. One way and two-ways ANOVA were used to analyze the data. Results: The results showed significant difference of AST levels between before, 7 and 30 days after band insertion in the green tea groups (p<0.05). In contrast, there was no significant differences of AST levels between before band insertion, 7 and 30 days after band insertion in the chlorhexidine gluconate groups (p=0.049). There were no difference between each groups with two way ANOVA (p<0.05). Conclusions: Gargle effect of green tea was as effective as chlorhexidine gluconate in reducing AST levels related to banded first molars in adolescents undergoing orthodontic treatment."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Efek pergerakan gigi pada perawatan ortodonti pada aktivitas aspartat aminotransferase saliva. Aspartat aminotransferase merupakan salah satu indikator biologis yang dilepaskan ke dalam cairan celah gusi. Aplikasi gaya ortodonti pada gigi dapat meningkatkan aktivitas aspartat aminotransferase dalam cairan celah gusi. namun peningkatan aktivitas aspartat aminotransferase dalam cairan saliva akibat gaya ortodonti belum diketahui. Tujuan: (1) mengevaluasi durasi pemberian gaya ortodonti terhadap aktivitas aspartat aminotransferase di dalam saliva berdasarkan durasi pemberian gaya. (2) mengevaluasi korelasi jarak pergerakan gigi dengan aktivitas aspartat aminotransferase. Metode: Pengumpulan 20 sampel saliva subjek dilakukan sebelum pencabutan gigi premolar pertama, sebelum dan sesudah pemberian gaya untuk penarikan kaninus ke distal. Penarikan kaninus menggunakan gaya interrupted (module chain) sebesar 100g selama 30 hari. Pengambilan saliva dan pengukuran jarak pergerakan gigi kaninus dilakukan 1 hari, 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari setelah pemberian gaya. Pengukuran aktivitas aspartat aminotransferase dalam saliva menggunakan alat spektrofotometer. Hasil: hasil penelitian menunjukkan pemberian gaya ortodonti dapat mempengaruhi aktivitas aspartat aminotransferase dalam saliva (F=25,290, p=0,000). Jarak pergerakan gigi berkorelasi dengan aktivitas aspartat aminotransferase (F=0,429, p=0,000). Simpulan: Aktivitas aspartat aminotransferase dapat digunakan sebagai indikator jarak pergerakan gigi berdasarkan durasi pemberian gaya.

Aspartate aminotransferase is one of biological indicator in gingival crevicular fluid (CFG). Force orthodontic application could increase activity of aspartate aminotransferase in CFG. However, the increase activity of aspartate aminotransferase in saliva due to orthodontic force and its correlation between aspartate aminotransferase activity and tooth movement remains unclear. Objectives: To evaluate application orthodontic force on the aspartate aminotransferase activity in saliva based on the duration of force and finding correlation between tooth movement and aspartate aminotransferase activity. Methods: Twenty saliva samples collected before extraction of first premolar, at the time of force application for canine retraction and after force application. The canines retraction used 100grams of interrupted force (module chain) for thirty days. The collection of saliva and the measurement of tooth movement were carried out 1 day, 7 days, 14 days, 21 days, and 28 days after force application. The measurement of aspartate aminotransferase activity in saliva was done using spectrophotometer. Results: Application of orthodontic force influences the salivary aspartate aminotransferase activity (F=25.290, p=0.000). Furthermore, tooth movement correlated with aspartate aminotransferase activity (F=0.429, p=0.000). Conclusion: Aspartate aminotransferase activity could be used as tooth movement indicator that related to the duration of force application."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hardian Gunardi
"Latar belakang: Sel punca mesenkim (SPM) telah menjadi salah satu alternatif untuk menghambat proses fibrosis dan memperbaiki fungsi hati. Berbagai jalur dapat digunakan untuk pemberian SPM, namun belum banyak studi yang membandingkan jalur pemberian. Pada studi ini dibandingkan pemberian SPM intrahepatika dan intrasplenika terhadap fungsi hati dan derajat fibrosis hati Oryctolagus cuniculus ligasi duktus bilier.
Metode penelitian: Penelitian ekperimental dengan menggunakan model hewan kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dilakukan ligasi duktus bilier (LDB). Kelinci dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu kelompok sham surgery, LDB, injeksi SPM intrahepatika(LDB + SPM IH) dan injeksi SPM intrasplenika (LDB + SPM IS). Injeksi SPM tali pusat dilakukan pada hari kelima LBD, kemudian kelinci diobservasi sebelum diterminasi seluruhnya pada hari ke-14. Dinilai fungsi hati yang dinilai dengan kadar serum AST, ALT, bilirubin total dan direk, serta derajat fibrosis hati yang dinilai dengan skor Laennec.  
Hasil penelitian: Dari total 23 kelinci, dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok sham 2 ekor dan masing-masing 7 ekor untuk kelompok LDB, LDB + SPM IH, dan IS. Didapatkan mortalitas sebesar 57,1% pada kelompok LDB, mortalitas 14,3% pada kelompok LDB + SPM IH dan mortalitas 28,6 pada kelompok LDB + SPM IS sebelum penelitian selesai. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna untuk fungsi hati seperti AST, ALT, bilirubin total, dan direk antarkelompok, namun terkesan median fungsi hati pada kelompok LDB lebih tinggi dibanding sham surgery, serta median kelompok LDB + SPM IH dan IS lebih menyerupai normal. Fungsi hati tampak lebih baik pada kelompok LDB + SPM IS dibanding LDB + SPM IH, meskipun secara statistik tidak bermakna. Pemeriksaan histopatologi kelinci yang dilakukan ligasi duktus bilier menunjukkan derajat fibrosis Laennec 4B, yang tidak berbeda antar ketiga kelompok. Area fraction fibrosis, jumlah hepatosit yang viabel dan nekrosis, serta jumlah sel progenitor dianalisis, tidak terdapat perbedaan yang ditemukan antara kelompok LDB + SPM IH dan LDB + SPM IS, namun kelompok yang diberikan SPM memiliki jumlah hepatosit viabel yang lebih banyak dibandingkan kelompok LDB.
Kesimpulan: Pemberian SPM intrahepatika dan intrasplenika tidak berpengaruh pada fungsi hati dan derajat fibrosis hati Oryctolagus cuniculus pascaligasi duktus bilier. Pemberian SPM akan meningkatkan jumlah hepatosit yang viabel pada model cuniculus pascaligasi duktus bilier.

Background: Mesenchymal stem cell (MSC) becomes an alternative to attenuate liver fibrosis and to improve liver function. A couple of administration route had been studied, but few compared one to another. This study aims to compare intrahepatic and intrasplenic route of administration of MSC in regards of liver function and degree of liver fibrosis in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model.
Method: This is an experimental study using rabbit (Oryctolagus cuniculus) bile duct ligation model. The subjects were randomized into 4 groups: sham surgery, bile duct ligation (BDL), intrahepatic route of MSC (BDL + MSC IH), and intrasplenic route of MSC (BDL + MSC IS). Umbilical cord MSC was administered in the fifth day of bile duct ligation, and the subject was observed until terminated on 14th day post BDL. The liver function, such as AST, ALT, total and direct bilirubin were evaluated, and the degree of fibrosis was evaluated with Laennec score. 
Result: The subjects were grouped into 4 group: 2 sham surgery, and each had 7 in BDL, BDL + MSC IH and BDL + MSC IH groups. Mortality rate in control group was 57,1%, mortality in BDL + MSC IH group was 14,3% and in BDL + MSC IS group was 28,6%. No significant difference was found regarding liver function in each group such as AST, ALT, total and direct bilirubin, but the median of liver function in BDL group seemed worse than in sham sugery group, and the median of liver function in BDL + MSC IH and BDL + MSC IS groups were closed to sham operated (normal). Liver function seemed to be better in BDL + MSC IS group compared to BDL + MSC IH group, but showed no statistical difference. Histopathology examination in subjects undergone bile duct ligation (regardless of MSC) show the degree of fibrosis of Laennec 4B. Fibrosis area fraction, the number of viable and necrosis hepatocyte, and progenitor cell are analysed; no significant difference was found between BDL + MSC IH and BDL + MSC IS group, but the group administered with MSC shows larger number of viable hepatocyte compared to BDL group.
Conclusion: Administration of intrahepatic or intrasplenic MSC did not show significant improvement the liver function and liver fibrosis in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model. Administration of MSC would increase the number of viabel hepatocyte in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Setyowati
"Pada penelitian ini dilakukan perancangan konfigurasi perangkat optik untuk mengukur kandungan kadar air pada serbuk teh hijau. Konfigurasi perangkat tersebut bekerja dengan memanfaatkan fenomena reflektansi dan absorbansi, yang terdiri dari LED ( λ = 970 nm), wadah kaca, LED driver, pemisah berkas, dan fotodioda. Dari pengujian terhadap serbuk teh hijau diperoleh hubungan yang konsisten linier antara intensitas reflektansi pada rentang variasi kadar air 6% - 57 %, yaitu menurun seiring dengan peningkatan kadar air dengan gradien -18 x 10-3.

This preliminary research describe reflectance optical characterization results of four varieties of tea leaf, as a basis of optical device configuration designing to measure watercontent in green tea leaf. The device configuration works by utilizing reflectance andabsorbance phenomena, consisting of LED (λ = 970 nm), cuvette, LED driver, beam splitter and photodiode. From that results could be concluded that the range variances of water content 6% - 57%, of teas has consistent relationship with the output device. This relationship is showing trend of negative slope with gradien -18 x 10-3."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
T26196
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajriani
"Pengurangan koloni Streptococcus mutans saliva pada anak setelah kumur larutan teh hijau 2,5%. Karies merupakan masalah dalam kedokteran gigi anak, dengan Streptococcus mutans sebagai bakteri dominan penyebab karies. Larutan teh hijau dan klorheksidin efektif mengurangi jumlah koloni dari Streptococcus .mutans. Namun belum diteliti lebih lanjut mengenai perbedaan efektivitas kedua bahan tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas berkumur dengan klorheksidin 0,2% dan larutan teh hijau 2,5% dalam menurunkan jumlah koloni Streptococcus mutans. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental semu dengan desain cross over. Jumlah sampel sebanyak 30 orang anak-anak berusia 6-12 tahun dengan indeks OHI-S kurang. Sampel saliva diambil masing-masing sebelum berkumur selama 3 detik dengan larutan klorheksidin 0,2% dan larutan teh hijau 2,5% dan 15 menit dilanjutkan 30 menit setelah berkumur. Sampel saliva dibawa ke laboratorium kemudian dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 18.0 dengan uji ANOVA t-berpasangan, dan uji beda lanjut (LSD). Hasil: Uji ANOVA menunjukkan bahwa penurunan yang dihasilkan oleh masing-masing obat kumur merupakan penurunan yang signifikan. Hasil uji t-berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah koloni Streptococcus mutans yang signifikan antara klorheksidin dan larutan teh hijau pada interval waktu 15 menit dan 30 menit setelah berkumur. Simpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna antara klorheksidin dan larutan teh hijau terhadap jumlah koloni Streptococcus mutans.

Dental caries is a problematic area in pediatric dentistry, with Streptococcus mutans as the dominant bacterial cause. Green tea solution and chlorhexidine were effective in reducing the number of Streptococcus mutans. But study about the differences of these two materials has not been done. Objective: The aim of this study was to determine differences in the effectiveness of rinsing with 0.2% chlorhexidine and 2.5% green tea solution in reducing the number of Streptococcus mutans. Methods: This study is quase experimental study with cross-over design. Thirty children aged 6-12 years with poor OHI-S index were participated. Samples of saliva were taken respectively before rinsing for 3 seconds with 0.2% chlorhexidine solution and a solution of 2.5% green tea and 15 minutes followed 30 minutes after rinsing intervention. Saliva samples were taken to the laboratory then the number of Streptococcus mutans count were evaluated. The statistical analysis were performed by SPSS version 18.0 with ANOVA, t-paired and LSD test. Results: ANOVA test result showed that the decrease generated by each mouthwash is a significant reduction. T-paired test result showed that there is no difference in the number of Streptococcus mutans colonies significantly between chlorhexidine and green tea solution at 15 minutes dan 30 minutes after rinsing. Conclusion: There is no significant difference between chlorhexidine and green tea solution in reducing the number of Streptococcus mutans.;Pengurangan koloni Streptococcus mutans saliva pada anak setelah kumur larutan teh hijau 2,5%. Karies merupakan masalah dalam kedokteran gigi anak, dengan Streptococcus mutans sebagai bakteri dominan penyebab karies. Larutan teh hijau dan klorheksidin efektif mengurangi jumlah koloni dari Streptococcus .mutans. Namun belum diteliti lebih lanjut mengenai perbedaan efektivitas kedua bahan tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas berkumur dengan klorheksidin 0,2% dan larutan teh hijau 2,5% dalam menurunkan jumlah koloni Streptococcus mutans. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental semu dengan desain cross over. Jumlah sampel sebanyak 30 orang anak-anak berusia 6-12 tahun dengan indeks OHI-S kurang. Sampel saliva diambil masing-masing sebelum berkumur selama 3 detik dengan larutan klorheksidin 0,2% dan larutan teh hijau 2,5% dan 15 menit dilanjutkan 30 menit setelah berkumur. Sampel saliva dibawa ke laboratorium kemudian dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 18.0 dengan uji ANOVA t-berpasangan, dan uji beda lanjut (LSD). Hasil: Uji ANOVA menunjukkan bahwa penurunan yang dihasilkan oleh masing-masing obat kumur merupakan penurunan yang signifikan. Hasil uji t-berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah koloni Streptococcus mutans yang signifikan antara klorheksidin dan larutan teh hijau pada interval waktu 15 menit dan 30 menit setelah berkumur. Simpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna antara klorheksidin dan larutan teh hijau terhadap jumlah koloni Streptococcus mutans."
University of Hasanuddin, Faculty of Dentistry, Department of Pediatric Dentistry, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rafid Naufaldi
"

Latar Belakang: Talasemia I² mayor merupakan penyakit dengan gen carrier yang cukup banyak ditemukan di Indonesia sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang pola talasemia β mayor terlebih lagi penderitanya mengalami inefektif hematopoesis sehingga pasien talasemia I² mayor sangat bergantung dengan terapi transfusi dan kelasi untuk bertahan hidup sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari kepatuhan terapi kelasi pada populasi Indonesia terhadap kadar alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, dan AST to patelet ratio index (APRI) score.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode observatif cross sectional dan seluruh partisipan penelitian adalah pasien RSCM Kiara. Data kepatuhan pasien didapat dari kuisioner morisky medication adherence scale -8 serta pertanyaan singkat alasan ketidakpatuhan dalam terapi yang akan dicocokan dengan data laboratorium pasien pada rekam medik elektronik dan selanjutnya data dianalisis menggunakan uji bivariat nonparametrik Kruskal-Wallis dan uji Post-Hoc Mann-Whitney.

Hasil: Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar alanin amintotransferase, aspartat aminotransferase, dan APRI score namun, ditemukan hubungan yang bermakna pada umur, lama transfusi, dan jenis kelator terhadap nilai APRI score.

Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya hubungan bermakna pada kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, dan APRI score namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi hasil tersebut dikarenakan terdapat keterbatasan dalam penelitian.

 


Background: Thalassemia I² major is a disease with carrier gene common enough to be found in Indonesia therefore further research was needed to know the exact pattern and characteristics of thalassemia I² major because the patients has ineffective hematopoiesis depend their life with transfusion and chelation therapy to survive therefore it need further research to know the effect of chelation therapy for population in Indonesia with alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, and AST to platelet ratio index (APRI) score level.

Methods: This study used observative cross sectional method and all of the participants are patients at RSCM Kiara. Participants compliance were measured by morisky medication adherence scale-8 with some adjustment to know the reason why participants isnt complying with therapy and will be compared with laboratory result through electronic medical record then both results were then analyzed non-parametrically using Kruskal-Wallis followed by Mann-Whitney for Post-Hoc.

Results: There arent any correlation between chelation therapy compliance with aspartat aminotransferase, alanine aminotransferase, and AST to platelet ratio index score level but it has been found that age, transfusion duration, and type of chelator have some degree of correlation.

Conclusion: There arent any correlation between chelation therapy compliance with aspartat aminotransferase, alanine aminotransferase, and AST to platelet ratio index score level but the result need further research to confirm the result because this research has its own degree of limitation

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Green tea contains catechins that have inhibitory effects on amylase, sucrase, and sodium-dependent glucose transporter (SGLT) which result in lowering of postprandial blood glucose (PBG). This beneficial effect has been widely demonstrated using the usual dose (UD) of green tea preparation. Our study was aimed to explore futher lowering of PBG using high dose (HD) of green in healthy adolescents. 24 subjects received 100 mL infusion of either 0.67 or 3.33 grams of green tea with test meal. Fasting, PBG at 30, 60, 120 minutes were measured. Subjects were cross-overed after wash out. PBG and its incremental area under the curve (IAUC) difference between groups were analyzed with paired T-test. Cathecin contents of tea were measured using high-performance liquid chromatography (HPLC).The PBG of HD group was lower compared to UD (at 60 minutes =113.70+-13.20 vs 124.16 +-8.17 mg/dL, p=0.005; at 120 minutes =88.95 +-6.13 vs 105.25 +-13.85 mg/dL, p < 0.001). The IAUC of HD was also found to be lower compared to UD (2022.0 vs 3411.9 min.mg/dL, p <0.001). Additional benefit of lowering PBG can be achieved by using higher dose of green tea. This study recommends preparing higher dose of green tea drinks for better control of PBG. "
UI-MJI 24:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Redjeki Endang Setionowaty
"Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
daun teh hijau (Camellia sinensis) berpotensi memiliki aktivitas anti bakteri,
Staphylococcus aureus dan staphylococcus epidermidis sedangkan pada
Propionibacterium acne tidak ada potensi. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh sediaan gel yang mengandung ekstrak etanol 70% teh hijau
(Camellia sinensis) yang mempunyai aktivitas antibakteri stabil dan aman.
Metode yang digunakan adalah Metode difusi cakram (Kirby-Bauer) ditentukan
oleh diameter zona hambat yang terbentuk. Semakin besar diameternya maka
semakin terhambat pertumbuhannya. Uji stabilitas fisik terhadap sediaan gel
dilakukan selama 12 minggu pada suhu yang berbeda dan uji keamanan kepada
sukarelawan digunakan metode single aplication closed patch epicutaneus test
under occlusion. Hasil uji aktivitas anti bakteri menunjukkan adanya zona hambat
pada Staphylococcus aureus dengan ketiga konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, hasilnya
(11mm,16mm,13mm), dan Stapylococcus epidermidis (2,5%, 5%, 10%) hasilnya
(7mm,11mm,12 mm) sedangkan pada P.acne tidak ada. Hasil uji stabilitas fisik
12 minggu menunjukkan ketiga konsentrasi sediaan gel adalah stabil dan hasil uji
keamanan memperlihatkan tidak ada iritasi yang diamati selama uji keamanan
pada penggunaan secara topikal.

Previous studies reported that green tea leaf (Camellia sinensis) was a
potential anti bacteria againts Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus
dan Staphylococcus epidermidis. The aim of the study was to formulate gel
containing 70% ethanol extract of green tea leaf (Camellia sinensis) that have anti
bacteria activity which physically stable and safe. The method we used is disk
diffusion (Kirby-Bauer) determined by diameter of inhibition zone. The bigger
diameter shows the more growth inhibition. Physical stability test was done
against gel formulation during 12 weeks at different temperatures and safety test
against volunteer was done using method of single aplication closed patch
epicutaneus test under occlusion. Result of bacteria activity test showed that there
were inhibition zone on Staphylococcus aureus. Three concentrations of 2,5%,
5%, 10% resulting inhibition diameter of 11 mm,16 mm and 13 mm respectively,
and Staphylococcus epidermidis resulting 2,5%, 5% and 10% inhibition diameter
of 7 mm,11 mm and 12 mm. On P.acne did not show any activity. Results of the
physical stability tests during 12 weeks showed that the three concentration of gel
formulations were stable and no iritation showed during safety test on topical use.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T35187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tria Firza Kumala
"Green tea ( Camellia sinensis ) merupakan suatu jenis minuman teh yang banyak dikonsumsi orang dalam kesehariannya. Green tea memiliki khasiat dalam menghambat kerja dari reseptor reseptor - reseptor trombosit khususnya reseptor TxA2 untuk proses aggregasi. Didalam kandungan green tea terdapat komposisi flavonoid sebanyak 300/0 yang ternYata memiliki khasiat. Sehingga dapat mencegah terjadinya komp1ikasi, yaitu penyakit pada system kardiovaskularmisalnya MCI, pengentalan pembuluh darah, dan stroke. Peningkatan aktifitas trombosit ini juga dipengaruhi oieh beberapa faktor kebiasaan seseorang> terutama merokok, dapat menyebabkan kompJikasi seperti tersebut diatas. Rokok mengandung nikotin yang dapat meningkatan k.atekolamin didalam darah sehingga dapat meningkatkan lipoJisis dan peningkatan sintesis asam arakidonat sampai ke pembentukkan TxA2 dan sebagai hasii metabolitnya berupa TxB2. Mengetahui peran pemberian ekstrak green tea ( camellia sinensis )terhadap kadar TxB2 urin pada perokok. Duapuluh empal orang laki-laki yang memiliki kebiasaan merokok selama 2 tahun terakhir dengan jumlah konsumsi rokok antara 12- 24 batang tiap harinya.Total jumlah sampel di bagi 2 kelompok, yaitu kelompok l diberikan perlakuan konsumsi green tea sebanyak 3 x 20 gr tiap harinya seiama 7 hari, dan kefornpok II diberikan plasebo 3 x 2 gr tiap harinya selama 7 hari. Sebelum dan sesudah pemberian green tea dan plasebo sampel di periksa kadar TxB2 dalam urin yang sudah ditampung 24 jam sebeiumnya, pemeriksaan kadar TxB2 dalam urin yang sudah ditampung 24 jam sebelumnya, pemeriksaan kadar TxB2 ini menggunakan tehnik ELISA Green tea (camellia sinensis) yang di berikan kepada kadar TxB2 urin pada perokok.

Green tea which is commonly consumed by the people has been thought to have the activity to inhibit the thrombocyte receptors particularly TxA2 receptor. The green tea contains 30% of flavoring which may prevent people from cardiovascular diseases such as MCI or stroke. This can be valuable for smokers with increased Tx:A2 due to nicotine-indeuxed catecholamine release in the blood. To examine the effect of green tea extract on thromboxane B2 production in the urine of smokers. Twenty four men of 20- 32 years old who had smoking habit for the last 2 years with average of 12-24 cigarettes every day were divided into two groups; one group was given 20 gram of green tea three times daily for 7 days while another group was given placebo containing green tea essence oil only. The respondents were checked for their levels ofTxB2 in the urine which were collected for 24 hours using ELISA technique before and after the treatment. The green tea treated group receiving the tea extract 3 times daily for 7 days shows a decrease ofTxB2 in the urine as compared to the placebo group (p= 0.028). Green tea (camellia sinensis) decreases the level of urinary TxB2."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T29140
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Sakti Dwi Permanasari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan tinggi lemak yang dikonsumsi bersamaan dengan teh putih atau teh hijau terhadap kadar trigliserida serum pasca prandial. Penelitian ini menggunakan desain uji klinis, alokasi acak, cross over, dan tersamar ganda. Sebanyak 23 subjek hipertrigliseridemia borderline mengikuti penelitian dan mendapatkan dua kali perlakuan, yaitu mengonsumsi makanan tinggi lemak bersamaan dengan 7,5 gram teh putih atau teh hijau. Perlakuan dilakukan dalam dua hari dengan periode wash out 3 hari. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik subjek, asupan energi dan lemak, serta kadar trigliserida serum puasa dan pasca prandial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia subjek adalah 32,96 8,04 tahun dengan rerata IMT sebesar 26,23 3,62 kg/m2 yang termasuk dalam kategori overweight dan obesitas 1. Kadar trigliserida puasa tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok perlakuan p=0,079 . Hasil dari pengukuran kadar trigliserida serum pasca prandial pada kelompok teh putih lebih rendah secara bermakna 231,43 76,49 mg/dL, p=0.024 . Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar trigliserida serum pasca prandial setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak bersama dengan meminum 7,5 gram teh putih lebih kecil dibandingkan meminum teh hijau. Kata kunci : hipertrigliseridemia borderline; teh putih; teh hijau; makanan tinggi lemak; trigliserida serum pasca prandial

ABSTRACT
AbstractThe increase in postprandial triglycerides can be one risk factor for cardiovascular disease.The aim of this research is to evaluate the effect of consumption high fat diet with white tea or green tea on postprandial serum triglyceride level. This study was a clinical trial, random allocation, cross over, and double blind. Twenty three hypertriglyceridemia borderline subjects completed this study. Each subject got twice treatment, which are consumption high fat diet with white tea or green tea. This treatment held in two days with three days wash out period. Data obtained include subject characteristics, dietary assessment of energy and fat intake, fasting and postprandial serum triglyceride levels. The mean age of subject is 32,96 8,04 years with a mean BMI of subject is 26,23 3,62 kg m2, categorized in overweight and obese. Fasting serum triglyceride level didn rsquo t show significantly different p 0,079 . The result from post prandial serum triglyceride levels from white tea group were significantly lower 231,43 76,49 mg dL, p 0,024 . This study suggest that the increase of post prandial serum triglyceride levels after consumed high fat diet and white tea were lower than green tea. Keywords green tea high fat diet hypertriglyseridemia borderline postprandial serum triglyceride level white tea"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>