Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39311 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Household culture in Indonesia determines that men are the breadwinners and women take care of the family and home. Increasingly many women are helping to meet the economic needs of the family. However their involvement in the fulfillment of family income is not met with reduced household duties. This paper is the result of a qualitative study female civil servants (PNS) in Ketapang District, West Kalimantan. Sixteen informants were interviewed in depth. The results show that the civil servants, whose husbands have a steady income, managing and using their earnings for their families, do not benefit from the situation. It is obvious from the results that household work is left more to the women and less to the men, even if both spouses maintain a full time job. This study recommends efforts to change the mindset and worldview of women and men towards income and responsibilities concerning the role and position of husband and wife in the family. In addition, there should be efforts to sensitize the general public about the importance of the division labor, power relations and bargaining power of women to create a gender-just society."
360 IFJ 1 : 1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Winengku Rahajeng
"Dalam pengikatan perjanjian jaminan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak, salah satunya adalah mengenai status perkawinan debitur. Jika debitur telah terikat dalam suatu perkawinan maka akan berakibat adanya beberapa kelompok harta kekayaan. Jika yang dijadikan jaminan adalah harta bersama maka diperlukan persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi sering terjadi suami atau istri tidak dimintai persetujuan terlebih dahulu dalam pengikatan perjanjian jaminan atas harta bersama oleh pasangannya. Suami atau istri yang merasa keberatan dapat meminta pembatalan perjanjian jaminan tersebut ke pengadilan. Hakim berdasarkan fakta-fakta yang ada akan memberikan penilaian terhadap keabsahan perjanjian jaminan tersebut, bisa saja tetap dinyatakan sah atau dinyatakan batal. Skripsi ini disertai dua putusan pengadilan yang terdapat pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu perjanjian jaminan atas harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan library research yang bersifat yuridis normatif. Hasil peneilitian ini menyatakan bahwa dalam pengikatan jaminan atas harta bersama memang perlu persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu suami atau istri bisa dianggap telah memberikan persetujuan diam-diam yang artinya secara tidak langsung telah menyetujui pengikatan jaminan tersebut. Keadaan tersebut antara lain adalah suami atau istri telah ikut menikmati hasil dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang, atau suami atau istri dianggap telah mengetahui perjanjian jaminan yang telah dibuat sejak lama dan sebelumnya tidak mengajukan keberatan.

In making security agreement, there are some things that need to be considered by the parties, one of those things is about the marital status of the debtor. If the debtor has been bound in a marriage, there will be some form of wealth. If joint wealth are used for the objects of security agreement, it would be require a mutual consent from husband and wife. But often, the husband or wife is not asked for consent from his partner in making the security agreement on joint wealth. Husband or wife who is objected can be appeal for the cancellation of the security agreement to the court. The judge based on the facts, will provide an assessment of the validity of the security agreement, it might be declared invalid or declared void. This thesis is accompanied by two court decisions that are considered judges in assessing the validity of a security agreement on joint wealth without the consent from husband or wife. This research uses library research that are normative. The outputs of this researched stated that the security agreement on joint wealth does need consentience from husband and wife. But in certain circumstances a husband or wife can be considered have given tacit consent, which means indirectly has consent the security agreement. There circumstances are husband or wife has come to enjoy the results of the credit agreement, or husband or wife is deemed to have been aware that the security agreement has been made for a long time and had not objected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Rosifah
"By utilizing the fifth wave of Indonesia Family Life Survey IFLS , a large scale outgoing longitudinal data, this study attempts to discover whether things mentioned in Islamic guidelines related to aspects of mate selection religion, wealth, lineage, and fertility affect the happiness of married people in Indonesia. The ordered logistic regression results suggest that happiness is affected by religion, wealth, and other control variables. However, variables of fertility do not affect it. There are differences in outcomes between married males and females therefore, for both future husbands and wives some specific things need to be examined. In the view of development economics, our findings propose a need for government programs and policies to focus on the things that can increase the happiness of married people in Indonesia.

Dengan menggunakan Indonesia Family Life Survey IFLS gelombang 5, sebuah data longitudinal berskala besar, studi ini ingin melihat apakah aspek-aspek yang disebutkan dalam hukum Islam tentang pemilihan pasangan agama, keturunan, harta, dan kesuburan memengaruhi tingkat kebahagiaan dari individu yang telah menikah di Indonesia. Hasil dari regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa kebahagiaan tersebut dipengaruhi oleh variabel religiusitas, kekayaan, dan variabel kontrol lainnya. Akan tetapi, variabel kesuburan tidak mempengaruhinya. Terdapat perbedaan hasil antara pria dan wanita, maka untuk para calon suami dan istri beberapa hal perlu diperhatikan. Dalam pandangan ekonomi pembangunan, hasil studi ini mengusulkan perlunya pemfokusan program dan kebijakan pemerintah terhadap aspek yang dapat meningkatkan kebahagiaan orang yang sudah menikah di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan A. Trisna
"Lima pasang suami-istri bertemu selama duabelas kali dalam kelompok kecil untuk meningkatkan penyesuaian antar suami-istri. Hasil evaluasi mereka setelah enam kali pertemuan dan wawancara sebulan setelah pertemuan berakhir menunjukkan adanya peningkatan dalam penyesuaian antara suami-istri. Tes kertas dan pinsil tidak menunjukkan hal ini.
Telah didapatkan bahwa salah satu penyebab timbulnya banyak masalah psikologis yang dialami seseorang ialah persepsinya yang salah atau beliefnya yang salah terhadap persepsinya (Ellis, 1973). Belief yang menimbulkan penyesuaian buruk orang itu dengan lingkungannya disebut belief negatif.
Belief negatif ini dapat dibentuk orang tersebut oleh atribusi yang dilakukan orang-orang penting terhadapnya pada masa dininya (Laing, 1971), injunction (larangan bertingkah laku bebas) yang diberikan orang tuanya dan nasihat-nasihat yang membentuk naskah hidupnya (Steiner, 1974). Di samping pembentukan masa lampau, belief negatif juga bisa dibentuk pada masa kini, misalkan karena diajarkan padanya oleh orang panutannya, oleh bacaan dan tontonannya.
Suatu belief dapat menjadi negatif karena isinya (contentnya), karena intensitasnya, karena dimiliki yang tertentu (yang mungkin bukan merupakan belief negatif bila dimiliki orang lain), dan karena diterapkan pada suatu situasi atau konteks tertentu. Belief seperti ini akan menimbulkan konflik dalam hubungan interpersonal orang tersebut dengan orang lain di sekitarnya, terutama dengan pasangan hidupnya.
Program dalam penelitian ini mempunyai tujuan agar suami-istri dalam pernikahan mempunyai penyesuaian yang baik. Tujuan ini hendak dicapai melalui suatu perlakuan dalam kelompok kecil. Perlakuan itu mengarah pada empat langkah, yaitu: (1) Kesadaran, para peserta dalam program ini menjadi sadar akan adanya belief negatif yang mereka miliki dan yang menyebabkan buruknya penyesuaian dengan pasangannya; (2) Keputusan, setelah timbul kesadaran, mereka dibimbing untuk mengambil keputusan mengubah belief negatif yang mereka miliki; (3) Tekad, peserta menjabarkan secara konkrit keputusan untuk berubah itu dalam sebuah kalimat singkat dan jelas tentang tingkah laku yang akan mereka lakukan; (4) Tingkah laku, peserta melaksanakan tekad yang telah mereka buat sendiri. Diharapkan setelah melaksanakan langkah-langkah ini timbul kebiasaan baru yang meningkatkan penyesuaian mereka dengan pasangan mereka.
Adapun hipotesa yang akan diteliti adalah:
Terdapat peningkatan penyesuaian antar suami-istri peserta kelompok kecil yang mencoba menghilangkan belief negatif yang lazim ada pada suami-istri dalam pernikahan.
Untuk penelitian ini digunakan QUASI-EXPERIMENTAL DESIGN. Bentuk disainnya ialah Single Group Pretest-Postest Design. Variabel independennya ialah perlakuan dalam kelompok, variabel perantara ialah perubahan belief negatif, dan variabel dependennya ialah penyesuaian suami-istri.
Instrumen yang dipakai ada dua, yaitu (1) wawancara yang diberikan pada para peserta sebulan setelah program selesai dan (2) tiga buah tes kertas dan pinsil, yaitu modifikasi dari Dyadic Adjustment Scale dan Kansas Marital Satisfaction Scale, serta Semantic Differential.
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepada para anggota Gereja Bethel Indonesia Jl. Cimahi 23, cabang Cengkareng, ditawarkan program ini yang dilaksanakan dalam 12 kali pertemuan, seminggu sekali selama dua jam tiap kali pertemuan. Ada lima pasang suami-istri yang berminat mengikuti program ini.
b. Kesepuluh peserta menerima tes awal (tes kertas dan pinsil).
c. Tiap pertemuan mempunyai topik tersendiri sebagai berikut:
1. Belief negatif I
2. Belief negatif II
3. Mengerti dan Mengekspresikan Kasih
4. Komitmen Keberhasilan Pernikahan
5. Pembentukan Kepribadian Anak
6. Penyesuaian Dalam Pernikahan
7. Komunikasi dalam Pernikahan
8. Menyelesaikan Konflik
9. Mengambil Keputusan dalam Masalah
10. Hirarki Dalam Keluarga
11. Seks Dalam Pernikahan
12. Keluarga yang Kokoh
d. Pada tiap pertemuan ada latihan pengendapan seperti diskusi dan studi kasus, tanya jawab, sharing (berbagi pengalaman), role play, dan refleksi diri.e. Ada pula pekerjaan rumah mingguan yang perlu dilakukan tiap peserta yang disebut janji mingguan. Pekerjaan rumah ini dipilih sendiri oleh peserta.f. Setelah enam kali pertemuan, para peserta mengisi lembaran Evaluasi Pernikahan Tengah Program.
g. Sebulan setelah perlakuan berakhir, tiap pasang suami-istri diwawancarai. Mereka juga mendapatkan tes akhir (tes kertas dan pinsil).
h. Dari instrumen yang dipakai dilihat apakah perlakuan dalam kelompok kecil ini mendukung hipotesa penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendukung hipotesa walaupun dengan beberapa catatan. Dukungan terhadap hipotesa nyata dari wawancara dan data Evaluasi Pernikahan Tengah Program. Hasil tes kertas dan pinsil ternyata tidak mendukung hipotesa penelitian. Ada beberapa dugaan hasil tes ini: (1)faktor social approval, (2)pengisian tes awal yang kurang realistis, dan (3)peningkatan tolok ukur untuk menilai kwalitas pernikahan setelah mengikuti program."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuraida G. Soepoetro
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983
S2211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Di Indonesia, terutama di Jakarta tampaknya perselingkuhan telah menjadi gaya hidup dalam masyarakat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau di daerah (h;tp://www.e-psikologi.comkeIuarg/seling5uh.htm) Data yang diproleh menunjukkan dari
sejumlah praktek konsultasi perkawinan (Marriage Counseling) yang ada di Jakarta
membuktikan bahwa sebahagian besar penyebab terjadinya krisis dalam perkawinan adalah dikarenakan masalah perselingkuhan (Hawari, 2002).
Akibat dari perselingkuhan suami, maka istri akan mengalami perasaan sakit hati dan kecewa Oleh karena itu untuk dapat mengatasi perasaan tersebut dan
mengembalikan hubungan seperti sebelumnya, maka diperlukan adanya perilaku mwmaatkan pada istri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana gambaran forgiveness pada istri sebagai upaya untuk mengembalikan keutuhan rumah tangga akibat perselingkuhan suami dan faktor apa saja yang menyebabkaan istri memanfaatkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Responden penelitian 2 orang, responden
pertama adalah N dan reaponden kedua adalah A yang memiliki pengalaman suami berselingkuh dan subjek hingga sekarang masih bertahan dalam perkawinannya.
Hasil studi menunjukkan bahwa lamanya berpacaran dan saling mengenal
tidak memiliki pengaruh tehadap keinginan pasangan untuk berselingkuh Subjek pertama, yaitu N menilai menilai perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan dikarenakan adanya kekurangan dalam dirinya dalam melayani pasangan (kegiatan seksual). Namun, N menyadari bahwa pasangan berselingkuh bukan hanya dikarenakan kekurangan dalam dirinya, tetapi hal tersebut telah menjadi sifat suami
yang kelika berpacaran telah memiliki banyak kekasih. Sebaliknya., subjek kedua,
yaitu A menilai pasangan berselingkuh dikarenakan terpengaruh oleh teman-teman kantornya. Jenis perselingkuhan yang dilakukan oleh masing-masing pasangan subjek
juga berbeda-beda. Pada subjek N, pasangan berselingkuh iebih dengan satu orang, yaitu dengan keponakan N dan dengan teman satu profesi. Perselingkuhan yang
dilakukan suami berlangsung bertahun-tahun, bahkan sepanjang perkawinan, dimana perselingkuhan jenis ini dapat digolongkan dalam Long-term Ajair. Sedangkan suami A berselingkuh dengan wanita yang bekerja sebagai pegawai magang dikantorya. Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami A dikarenakan adanya suasana
yang mendukung dan belum adanya keterikatan emosional dan komitmen apa pun terhadap partner seksualnya, sehingga perselingkuhan jenis ini dapat digolongkan dalam Flings.
Kedua subjek belum dapat memaatkan sepenuhnya psrseiingkuhan yang
dilakukan oleh pasangannya. Perilaku memaafkan hanya terlihat dari tindakan subjek sehari-hari yang masih melayani kebutuhan suami, sepeni masih menyiapkan sarapan
dan masih melakukan hubungan seksual. Namun, perilaku memaaikan belum dapat dihayati dan dirasakan sepenuhnya dalam diri subjek. Hal ini dikarenakan adanya
rumination about Iransgression, yaitu kocenderungan Subjek untuk terus menerus mengingat kejadian perselingkuhan suami, sehingga menghalangi dirinya untuk memaafkan. Oleh karena itu, perilaku memaafkan subjek terhadap perselingkuhan
suami tergolong dalam dimensi Holiow Forgiveness, yaitu subjek dapat
mengekspresikan secara konkret pemanfatan melalui perilaku, namun sebenamya ia belum dapat merasakan dan menghayati adanya pemaafan dalam dirinya.
Kedua subjek masih bertahan dalam perkawinan dikarenakan oleh alasan
pribadi, yaitu anak. Walaupun pada subjek A, sclain karcna alasan pribadi, ia masih berlahan dalam perkawinan dikarenakan oleh alasan Enansial, yaitu ketergantungan secara ekonomi terhadap suami dan meuganggap perselingkuhan bukan merupakan
alasan untuk bercerai. A menganggap apabila ia bcrccrai dari suaminya belum tcntu ia akan mendapatkan suami yang lebih baik dafi suaminya sekarang"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shepriyani Miftajanna
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang dialektika pada pasangan suami-istri yang menjalani keputusan childfree serta memperoleh pemahaman akan pola komunikasi pasangan suami-istri dalam menjalani keputusan childfree dan upaya mengelola dialektika yang dilakukan pasangan dalam hubungan pernikahan itu sendiri. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi dengan informan penelitian yang terdiri dari dua pasangan suami-istri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan childfree mengalami variasi dialektika dalam analisis internal dan eksternal. Pasangan pertama (P dan R) menghadapi dialektika keterpisahan dan kebersamaan (autonomy-connection), dengan P ingin hidup tanpa anak sementara R ingin memiliki anak. Pasangan kedua (W dan I) menghadapi dialektika kepastian dan ketidakpastian (certainty-uncertainty), dengan W meragukan komitmen childfree mereka karena I menyukai anak kecil. Dalam dialektika eksternal, pasangan childfree menghadapi ketegangan pengungkapan dan penyembunyian (revelation-concealment). Secara umum, pasangan cenderung tidak ingin secara terbuka mengungkapkan pilihan mereka karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap childfree. Pada intinya teori dialektika relasional menawarkan diskusi rasional di antara pasangan ketika menghadapi ketegangan terkait menjalani keputusan childfree dari pengaruh secara internal dan eksternal. Diskusi rasional yang dilakukan pasangan adalah dengan mengelola kontradiksi-kontradiksi yang ada secara seimbang. Pengelolaan dialektika internal cenderung menggunakan strategi seleksi dan integrasi berupa reframing, sementara dialektika keterbukaan dan ketertutupan (openness-closedness) menggunakan strategi segmentasi dan diskualifikasi dalam masalah finansial. Dalam dialektika eksternal, pasangan menggunakan strategi netralisasi dan alterasi siklik yang sesuai dengan kategori dialektika yang dihadapi. Upaya kompromi dan pergantian menjadi ciri khas pasangan dalam mengungkapkan dan menyembunyikan (revelation-concealment) keputusan childfree kepada lingkungan sosial.

This study aims to gain knowledge about dialectics in married couples who undergo childfree decisions and understand the communication patterns of married couples in undergoing childfree decisions and efforts to manage dialectics carried out by couples in the marriage relationship itself. The research method for this study is qualitative with a case study approach. Research data were obtained through in-depth interviews and observations with research informants consisting of two married couples. The results of this study indicate that childfree couples experience dialectical variations in internal and external analysis. The first couple (P and R) face a dialectic of autonomy-connection, with P wanting to live without children while R wanting to have children. The second couple (W and I) face a dialectic of certainty and uncertainty, with W doubting their childfree commitment because I likes small children. In the external dialectic, childfree couples face the tension of revelation-concealment. In general, couples tend not to want to openly express their choices because of the negative social stigma against childfree. In essence, the theory of relational dialectics offers a rational discussion between partners when facing tensions related to making decisions child-free from internal and external influences. The rational discussion conducted by the pair is to manage the contradictions that exist in a balanced way. Management of internal dialectics tends to use selection and integration strategies as reframing, while openness-closedness uses segmentation and disqualification strategies in financial matters. In the external dialectic, the couple uses neutralization and cyclic alteration strategies that are appropriate to the dialectical category they are facing. Attempts to compromise and change are characteristic of couples in revelation-concealment childfree decisions to the social environment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Block, Stanley B.
Sydney : Irwin, 1994
658.15 BLO f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Block, Stanley B.
Boston : McGraw-Hill, 2002
658.15 BLO f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asch, David
New Delhi : Crest Publishing House, 1999
R 658.15 ART
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>