Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154705 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Andajani
"Sebagai negara yang menandatangani Konvensi Beijing, Indonesia memiliki mandat dan tanggung jawab untuk mempromosikan, melindungi dan memnuhi hak warga negaranya akan hak-hak kesehatan seksual abd reproduksi, tanpa diskriminasi. Artikel ini menunjukan bahwa, situasi penegakkan hak-hak asasi manusia akan kesehatan seksual dan reproduksi adalah sangatlah jauh dari harapan. Tukisan ini mengangkat wacana akan peran polisi dan masyarakat awam, kelompok vigilante, dalam melakukan razia di hotel-hotel dan tempat-tempat yang dinyatakan rentan akan perilaku seksual menyimpang. Yang kesemuanya itu menumpuk rasa takut dan mereka kelompok ragam identitas gender dan seksualitas tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan. Razia polisi yang diwacanakan sebagai agenda penegakkan moralitas masyarakat dan eksploitasi media massa dengan gambar yang seram, tidak santun, bahasa yang melcehkan justru makin melestarikan stigma sosial terhadap kelompok LGBT. dan minoritas seksual lainnya haruslah dihentikan."
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deborah Baninya Putri Marlin
"Filipina merupakan negara dengan mayoritas penduduk yang menganut agama Katolik konservatif. Tingginya nilai-nilai keagamaan di Filipina mendasari adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT. LAGABLAB Network hadir sebagai jaringan advokasi LGBT di Filipina. LAGABLAB Network melakukan upaya-upaya untuk mendorong Senate dan House of Representatives, hingga akhirnya pada tahun 2017 House of Representatives meloloskan SOGIE Bill pada tahap 3rd Reading. Oleh karena itu penulis menggunakan pertanyaan `Bagaimana upaya LAGABLAB Network dalam mendorong disetujuinya SOGIE Bill oleh House of Representatives tahun 2017. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan teori Aktivisme Politik oleh Pippa Norris dan teori Civil Society dari Larry Diamond.

The Philippines is a country with the majority of people being adherents of conservative Catholicism. The high religious values in the Philippines is the main reason why LGBT people being discriminated. LAGABLAB Network was made as an LGBT advocacy network in the Philippines. LAGABLAB Network is making efforts to encourage the Senate and the House of Representatives, until finally in 2017 the House of Representatives passed the SOGIE Bill in the 3rd Reading. Therefore, the writer uses the question "What is the effort of LAGABLAB Network in encouraging the approval of SOGIE Bill by the House of Representatives in 2017. In conducting research, the author uses Political Activism Theory by Pippa Norris and the Civil Society Theory from Larry Diamond.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erlangga Saputra
"Sebagai kelompok minoritas di Indonesia, kelompok LGBT Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender menjadi kelompok yang rentan untuk ditampilkan oleh media massa arus utama dengan cara yang tidak berimbang. Akibatnya, kelompok LGBT mengalami marginalisasi atas penggambaran tersebut. Dewasa ini, dunia maya memungkinkan kelompok LGBT untuk memiliki media komunitas mereka sendiri. Hadirnya media komunitas dianggap penting bagi kelompok LGBT sebagai corong untuk berbicara dan mengekspresikan diri. Makalah ini akan membahas mengenai pembungkaman media komunitas LGBT di dunia maya akibat dari kepanikan moral yang terjadi di Indonesia karena isu LGBT. Melalui studi dokumen serta wawancara yang dilakukan dengan beberapa media komunitas, penulis mendapatkan bahwa pembungkaman terjadi pada beberapa media komunitas dan tidak dirasakan oleh media komunitas lain. Media komunitas yang menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu, CONQ Webseries, KabarLGBT.org dan Melela.org. Terakhir, disimpulkan dalam makalah ini bahwa kepanikan moral akibat isu LGBT yang dibawa oleh media massa tidak serta-merta membuat semua aktivitas bermedia dari kelompok LGBT menjadi terhenti.

As a minority group in Indonesia, LGBT Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender becomes vulnerable to be depicted in an unbalance way by mainstream media. As a result, LGBT groups are marginalized. Nowadays, cyberspace allows LGBT to have their own community media. The presence of this community media is important for LGBT to talk and express themselves. This paper will discuss about the silence of Indonesian LGBT rsquo s community media in cyberspace due to the moral panic that occurred in Indonesia. The moral panic happened because of LGBT issues which are triggered by Indonesia rsquo s mainstream media. Through document studies as well as an interview conducted with a community media, author found that silencing occurred only in some community media and not perceived by others. The community media discussed in this paper are CONQ Webseries, KabarLGBT.org and Melela.org. Finally, it is concluded that the moral panic caused by LGBT issues brought by the mainstream mass media does not necessarily make all media activites of LGBT groups stalled."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Elda Nisya Auliainsani
"Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun undang-undang untuk mengkriminalisasi komunitas LGBT, termasuk pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia tentang mengkriminalkan kaum LGBT melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Peraturan Daerah Bogor tentang Pencegahan dan Penanganan Perilaku Penyimpangan Seksual. Dua kasus kontroversial tersebut menarik perhatian media dan aktivis, termasuk @WhatIsUpIndonesia (WIUI). Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana WIUI menegosiasikan ideologi pendukung dengan ideologi dominan dalam postingan Instagram mereka tentang kriminalisasi kaum LGBT. Korpus dua unggahan Instagram tentang kedua kasus tersebut dianalisis menggunakan analisis multimodal semiotik sosial dalam dua langkah: analisis tekstual dan analisis visual. Studi ini menemukan bahwa WIUI menegosiasikan nilai-nilainya yang relatif liberal dengan ideologi konservatif yang dominan di Indonesia dengan memilih ambivalensi melalui pergeseran fokus dan kurangnya kata penutup dalam rekontekstualisasi. Selain itu, meme yang digunakan juga membuktikan ambivalensinya dengan menggeneralisasi masalah dan memfokuskan perasaan kebingungan. Kesimpulannya, dua ideologi yang berlawanan dalam aktivisme media sosial dapat dinegosiasikan menggunakan ambivalensi daripada bersandar pada satu ideologi. Namun, keterbatasan penelitian ini menghalangi pemeriksaan menyeluruh tentang bagaimana WIUI berinteraksi dengan audiensnya.

There have been numerous attempts to draft legislation to criminalize the LGBT community, including a statement from the Coordinating Minister for Political, Legal, and Security Affairs of Indonesia on criminalizing LGBT people through the proposed revision of Indonesia's Criminal Code (RKUHP) and Bogor's Regional Regulation on the Prevention and Countermeasures Against Sexually Deviant Behavior. The two controversial cases attracted attention from the media and activists, including @WhatIsUpIndonesia (WIUI). This qualitative study aims to examine how WIUI negotiates the supported ideology with the dominant ideology in their Instagram posts about criminalizing LGBT people. A corpus of two posts about the two cases is analyzed using social semiotic multimodal analysis in two steps: textual analysis and visual analysis. This study finds that WIUI negotiates its relatively liberal values with the dominant conservative ideology in Indonesia by choosing ambivalence through the shifting focus and lack of concluding remarks in the recontextualization. Furthermore, the memes also prove their ambivalence by overgeneralizing the issue and primarily conveying confusion. In conclusion, two opposing ideologies in social media activism can be negotiated using ambivalence instead of leaning towards only one. However, the limitations of this research prevented a thorough examination of how WIUI interacts with its audience."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Dyah Prastuti
"Kelompok gay adalah bagian dari masyarakat. Orientasi seksual mereka yang berbeda Clengan kebanyakan orang menyebabkan mereka harus dilekatkan dengan berbagai anggapan serta stigma negatif Stigma negatif ini melekat begitu kuat ditambah lagi dengan adanya tekanan norma, baik norma budaya maupun norma agama.
Kehadiran buku seri GAYa NUSAN'IlARA (GN), sebagai produk dari organisasi gay dengan nama yang sama, dimanfaatkan kalangan gay sebagai sarana komunikasi untuk mengetahui keberadaan 'kawan sehati' -nya. Selain itu, media ini juga dimanfaatkan sebagai media' edukasi dan informasi aemi memberikan gambaran seluas-luasnya mengenai kelompok gay.
Penelitian ini dilakukan d.en gan tujuan mengungkapkan representasi kelompok gay yang muncul dalam buku seri GN ini. Di tengah gempuran pandangan negatif masyarakat terhadap gay, buku seri ini seolah menjadi angin segar bagi kehidupan kalangan gay sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis framing dari
Pan & Kosicki dan Van Dijk. Supaya persoalan ini dapat dilihat dalam kemngka yang lebih utuh, digunakan kerangka analisis Critical Discourse Analysis (CDA) dari Norman Fairclough. Dalam buku seri GN ini ditemukan bahwa sebagian kelompok gay masih merasa bersalah dan berdosa akan identitas mereka, sementara sebagian yang lain sudah bisa menerima identitas mereka sebagai takdir Tuhan. Mereka juga merasa bahwa selama ini dipandang secara keliru oleh masyarakat walaupun mereka merasa sama normalnya dengan anggota masyarakat lainnya. Karena itulah mereka menganggap kondisi mereka sebagai suatu kondisi yang masih memprihatinkan dan butuh perbaikan. Kondisi ideal
yang ingin dicapai adalah penerimaan yang lebih baik serta wacana yang lebih positif terhadap mereka.
Dari representasi ini, terungkap bahwa buku s ri GN telah melakukan proses counter-hegemony terhadap mitos-mitos negatif tentang gay yang telah menghegemoni pemikiran sebagian besar masyarakat. Sebagai k kuatan counter-hegemony, buku seri ini melakukan dekonstruksi terhadap. penggambaran kehidupan mereka sebagat gay sekaligus
medelegitimasi mitos yang menimpa mereka. Buku seri GN telah menjadi site of struggle dari pertarungan ideologi antara yang diyakini masyarakat umum {heteroseksrlal) dengan kelompok gay. Dalam wacana buku seri GN, kelompok gay telah.menjadi 'pemenang'
dalam pertarungan ideologi tersebut.
Gambaran tenta g representasi gay yang mu cui dalam buku seri GN serta proses komunikasi hegemonik dan counter-hegemonic yang terjadi di baliknya memperlihatkan satu hal ya·tu pentingnya melakufcan representasi secara tepat. Jika representasi tidak dilakukan secara tepat, bisa-bisa hal tersebut menimbulkan salah kaprah atau salah paham."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S4075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaeni Nur Khayati
"Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan merupakan kemampuan setiap individu untuk mencari pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Aksesibilitas bagi LSL sangat penting terkait dengan tujuan pengobatan bagi mereka dan dalam pengelolaan manajamen pandemi HIV. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional, purposive sampling. Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan LSL dalam mengakses fasilitas pelayanan di Daerah Istimewa Yogyakarta, telah di laksanakan pada bulan Juli 2023 di Poliklinik Edelweis RSUP Dr Sardjito Yogyakarta dengan melibatkan 60 responden, Yogyakarta. Hasil: Proporsi karakteristik demografi responden terdiri atas usia terbanyak adalah kelompok umur 24-45 tahun (65%), tidak menikah (90%), pendidikan tinggi (60%), bekerja (81,7%). Tidak ada hubungan antara status demografi responden dengan perilaku LSL dalam mengakses fasilitas kesehatan (p value usia 0,929, p status pernikahan 0,554, p pendidikan 0,929 dan p pekerjaan 1,00 (p hitung > α 0,05). Responden yang memiliki aksesibilitas pelayanan baik (38,3%) seluruhnya selalu mengakses fasilitas kesehatan, demikian pula 91,8% LSL yang memiliki akses tidak baik selalu mengakses fasilitas kesehatan. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kategori aksesibilitas yang dimiliki LSL dengan perilaku LSL dalam mengakses fasilitas kesehatan (p akses 0,276 (α > 0,05).

Accessibility to health services is personal ability to seek health services who needed. Accessibility for MSM is very important in terms of treatment goals for their diseases as important as management of the HIV pandemic. This research is quantitative research with cross sectional methode and purposive sampling. The aim is to analyze factors related to MSM in accessing health service facilities in the special Region of Yogyakarta. This research was held in July 2023 at the Edelweiss Polyclinic of Dr Sardjito General Hospital of Yogyakarta, involved 60 respondents on it. Results: The demographic characteristic respondents showed the highest proportion is adult age (24-45 years old), not married (90%), has higher education (60%), has a job (81,7%). There is no relationship between the sociodemographic character respondents an the MSMS bevaior to access health care facilities (p age 0,929, p marital status 0,554, p education 0,929, p job 1,00 (> α 0,05). Respondents who have good service accessibility (38.3%) always access health facilities. MSM who have poor access always access healthcare facilities (91.8%). There isi no relationship between accessability to health care services and utilization of health facilities by MSM p 0,279 > α 0.05)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhamad Rohma Rozikin
"Summary:
On LGBT and Islamic perspectives on the sexual orientation of LGBT people."
Malang: UB Press, 2017
297.4 MOK l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Audria Sabila Andjani
"Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat partisipasi para fans dalam fandom telah mencapai tingkat keterlibatan yang semakin tinggi. Karya fans yang berfokus pada slashing atau pada pasangan laki-laki telah sering menjadi subyek diskusi akademis karena dianggap sebagai wadah untuk mengeksplorasi konstruksi gender. Namun, hanya sedikit penelitian akademis yang dilakukan pada karya self-insert karena karya heterosexual diasumsikan tidak
memiliki potensi subversif yang sama seperti karya ‘slashing’. Penelitian ini akan berfokus pada karya self-insert dalam bentuk fan work baik dalam bentuk visual ataupun textual pada fandom anime pada khususnya, karena secara historis, fandom anime lebih dikenal sebagai fandom yang didominasi laki-laki. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan mengambil konsep dari gender performativity theory, penelitian ini akan membandingkan dan mengkaji protagonis wanita dalam karya self-insert di fandom anime dan bagaimana karya tersebut telah mengeksplorasi secara kreatif identitas gender dan seksual mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap norma gender konvensional.

In recent years, fan participation in their respective fandoms have reached new levels of higher and deeper involvement than ever before. Fan made works that focus on ’slashing’ or the pairing of two male characters have been subject to plenty of academic discussions as they offer rich data to explore gendered discourses in the narrative construction of fictional and real-life identities. However, there has been less academic research done on self-insertion fan works where the author inserts her own self into the narrative. Self-insertion fan works more often than not, focus on heterosexual relationships, and thus has been neglected by scholars as it is assumed that
heterosexual works do not have the same subversive potential as slash fan works do. Though self-insertion fan works has been seen as an inherently feminine practice, this paper will focus on self-insertion fan works in the form of fan fiction, and visual forms of self-insert fan works by the anime fandom in particular, as the anime fandom has been historically known to be more male dominated. By using a qualitative approach to the study and
drawing on concepts from gender performativity theory, this paper will compare and examine the female protagonists in several chosen self-insert fan works in the anime fandom and how the female authors have creatively explored and played with their gendered and sexual identities as a form of resistance to conventional gendered discourses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Sekar Farrasyifa
"“Bersebrangan” dari apa pun yang berada di dalam ruang dan garis “standar” mungkin dapat merepresentasikan pengalaman dan identitas queer/kwir. Perdebatan yang berkenaan dengan isur kwir kerap masih terlimitasi kepada anggapan bahwa individu seakan memang “sewajarnya” mempunyai ketertarikan seksual serta romantis sebagaimana kelompok normatif pada umumnya. Tidak lain untuk hidup berpasangan, berkeluarga, atau berprokreasi. Dalam kata lain, bahkan pembahasan mengenai queerness sendiri juga secara tidak langsung dibentuk oleh kerangka yang masih begitu lekat dengan (cis-hetero)normativitas. Adanya asumsi yang – disadari maupun tidak – menyamaratakan ketertarikan tiap individu lantas mengarahkan bahwa yang tidak merasakan hal tersebut sebagai “berbeda”; mereka yang menjadi tidak terlihat. Padahal, terdapat juga sebagian orang yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki ketertarikan tersebut; merekalah kelompok yang dikategorikan ke dalam payung istilah a-spec/aroace (aromantic/asexual spectrum). Melalui konsep performativitas serta fenomenologi kwir, saya berusaha memahami bagaimana keberulangan dan pengalaman queerness itu juga berhubungan dengan proses kwir mendekat dengan ruang-ruang yang dianggap “lain”. Riset ini dilakukan secara kualitatif; yakni melalui penyatuan observasi partisipan (disertai dengan wawancara mendalam) dan fenomenologi (kwir). Berangkat dari rumusan sebelumnya, dapat terlihat bagaimana dalam praktiknya performativitas itu hadir melalui ruang-ruang interaksi yang subtil; di mana melalui kesadaran menjadi “yang lain”, mereka menavigasi dan merayakan identitas sebagai kwir.

“Diverging” from whatever that is inside the “standardized” space and not staying in the “straight line” could perhaps represent the queer identities and experiences. Debates that pertain within queer issues still often become limited towards a presumption that all individuals would “initially” carry some types of sexual and romantic attractions like the normatives in general. Besides their gender and sexuality, that belief somehow expects us to imagine a life with a partner, bond a future family, or procreation. In other words, even the discussions about queerness itself are still subconsciously shaped by the (cis-hetero)normative tendencies. Hence, the widespread assumption that tries to align all the diverse individual attractions orientates those who do not feel it as “deviant”; those who become invisible. Whereas, there are some people who feel less intrigue; they do not or cannot sensate it altogether. They are commonly known under the umbrella term of a-spec/aro-ace (aromantic/asexual spectrum). To see this phenomenon, I dwell myself through the concept of performativity and queer phenomenology – by understanding how those ritualized repetitions and queers’ bodily experiences are also related with their consciousness to approach the “less proximate” spaces seen as “the others”. This study was done through qualitative methods; by combining participant observation (collected from in-depth interviews) and (queer) phenomenology. Departing from the problems mentioned, we would see how in practice performativity emerges by way of subtle interaction spaces; whereby, through the self-consciousness to become “the others”, they could navigate and celebrate their queerness as a whole."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kamilah
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter sebagai bentuk resistensi penyintas kekerasan seksual di Indonesia. Studi-studi terdahulu mengenai pengungkapan kasus kekerasan seksual membahas dua jenis pengungkapan, yaitu secara langsung dan secara daring melalui perantara media sosial. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi penyintas, khususnya melalui pewacanaan diskursus tandingan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Penelitian ini berargumen bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual di Twitter merupakan bentuk resistensi penyintas dan terwujud melalui diskursus tandingan yang memicu dialog publik mengenai kekerasan seksual. Diskursus tandingan penyintas beroperasi dalam online counterpublics, yaitu arena diskursif berbasis teknologi internet di mana kelompok marjinal mampu mengontestasikan eksklusi mereka dari ruang publik. Temuan penelitian menunjukkan diskursus tandingan penyintas terlihat dalam teks yang merebut kembali narasi kekerasan seksual dari perspektif penyintas, menggambarkan bentuk kekerasan yang beragam, serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Proses produksi teks utas juga merepresentasikan resistensi penyintas sebagai aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, terdapat kontestasi antara diskursus tandingan penyintas dengan diskursus dominan yang mereproduksi nilai-nilai rape culture di arena diskursif yang sama. Resistensi penyintas juga diinterpretasi secara berbeda-beda oleh publik sehingga arena diskursif yang ada tidak menjadi ruang aman bagi penyintas untuk bersuara. Oleh karena itu, pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter tidak menjadi jalur alternatif yang ideal bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan di tengah konteks sosiokultural Indonesia yang masih melanggengkan kekerasan seksual.

This study aims to explain how sexual assault disclosure on Twitter is a form of sexual violence survivors’ resistance in Indonesia. Previous studies on sexual assault disclosure mainly discussed two kinds of disclosure, which are direct or offline disclosure and disclosure through social media or online disclosure. However, there is little to no studies which analyzed the phenomenon as sexual violence survivors’ resistance through the construction of counter discourse, specifically using critical discourse analysis (CDA). This study argues that sexual assault disclosure on Twitter is a form survivors’ resistance which further manifested through counter discourse that encourages public discussion on sexual violence. Survivors’ counter discourse operates through online counterpublics, which is a discursive arena facilitated by the internet in which marginalized group contested their exclusion from the public sphere. The findings of this study show that survivors’ counter discourse can be seen through texts which reclaim sexual assault narrative, depict various sexual violence forms, and give social punishment to the perpetrators. The text production process also represents survivors’ resistance as an active actor in the decision-making process. However, there is a contestation between survivors’ counter discourse and the dominant discourse which reproduces rape culture values in the same discursive arena. Survivors’ resistance is also interpreted in different ways by the public, emphasizing how the discursive arena is not a safe space for survivors to speak up. Therefore, the sexual assault disclosure through Twitter is not an ideal alternative route for survivors to seek justice in the midst of Indonesia's sociocultural context which still perpetuates sexual violence"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>