Ditemukan 23025 dokumen yang sesuai dengan query
"Esensi kehadiran MK adalah konsekuen logis konstitusional berakhirnya era daulat parlemen (politik) ke daulat konstitusi. Era daulat parlemen ditemukan dalam ketentuan konstitusi terdahulu bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Majelis ini terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. (pasal 1 ayat (2) jo Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan).Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, ketentuan di atas telah berubah. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jadi sehak perubahan ketiga, kedaulatan tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai ikon puncak kekuasaan parlemen melainkan dilaksanakan rakyat menurut konstitusi. Disinilah sejarah ketatanegaraan Indonesia mulai berdetak di mana segala aktifitas kekuasaan legislatif eksekutif yudikatif dan cabang kekluasaan lainnya harus tunduk pada daulat konstitusi."
342 JTRA 11:3 (2006)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Tursucianto Elkian Setiadi
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan, mekanisme, dan pelaksanaan pengangkatan Jabatan Hakim Agung setelah berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2009 Juncto UU Nomor 5 Tahun 2004 Juncto UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Implikasi mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap UUD NRI T 1945. Pengangkatan Jabatan Hakim Agung merupakan unsur penting dalam Hukum Tata Negara, diperlukan pengaturan, mekanisme yang jelas, dan harus terus menerus terjamin pelaksanaannya. Pada Tahun 2013, tiga orang calon hakim agung memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) UU Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD NRI T 1945, karena kewenangan DPR seharusnya tidak "memilih" akan tetapi "menyetujui" calon hakim agung. Tahun 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer yang berupa Putusan Mahkamah Konstitusi dianalisis dengan menggunakan penafsiran. Hasil penelitian menunjukan dalam pengangkatan Jabatan Hakim Agung setelah berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2009 Juncto UU Nomor 5 Tahun 2004 Juncto UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dalam Pengaturan dan Mekanisme terdapat kekurangan yaitu terjadinya ketidak konsistenan antara Konstitusi dengan Peraturan Perundang-Undangan, serta dalam pelaksanaan pengangkatan sering terjadi permasalahan yaitu tidak terpenuhinya pengusulan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial ke DPR. Implikasi Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut terhadap pengangkatan Jabatan Hakim Agung adalah adanya perubahan mekanisme pengangkatan hakim agung, yaitu dilakukan pembatasan kewenangan DPR yaitu hanya berhak "menyetujui" calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
This thesis discusses the regulation, mechanism, and implementation the appointment of Supreme Court Judge Position after Law No. 3 of 2009 Juncto Law No. 5 of 2004 Juncto Law No.14 of 1985 concerning The Supreme Court and the Implication of the Constitutional Court Decision No. 27/PUU-XI/2013 about case Consitutional Review of Law No. 3 of 2009 about on the Second Amendment Law No. 14 of 1985 concerning The Supreme Court and the Law No. 18 of 2011 concerning Amendment to Law No. 22 of 2004 concerning The Judicial Commission to UUD NRI T 1945. The Appointment Supreme Court Judge Position is an important element in Constitutional Law, is needed regulation, clear mechanism, and should be guaranteed continuous in implementation. In The Year 2013, the three Candidates for Supreme Court Judge appealed to the Constitutional Court to declare Article 8 paragraph (2), (3), and (4) the Supreme Court Act and Article 18 paragraph (4) of the Judicial Commission contrary to Article 24A paragraph (3) UUD NRI T 1945, because of the authority of the Parliament should not "choose" but "approve" Candidates for Supreme Court Judge. In 2014, the Constitutional Court granted the petition of the applicant in its entirety. This study examines the use of normative legal research methods. Primary legals materials that Constitutional Court Decision are analyzed by using interpretation. The results showed in the appointment of Supreme Court Judge Position after Law No. 3 of 2009 Juncto Law No. 5 of 2004 Juncto Law No.14 of 1985 concerning The Supreme Court, in the regulation and the mechanism there is the deficiency that happened inconsistency between the Constitution with Regulations State Institusions, and the implementation of appoinment there are problems of the non-fulfillment of the nomination of Supreme Court Judge by the Judicial Commission to the Parliament. Implications of the Decision of the Constitutional Court against the appointment of Supreme Court Judge Position is a change in the mechanism of appointment of Supreme Court Judge, limiting the authority of Parliament is only entitled "approve" candidate for Supreme Court Judge proposed by the Judicial Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54997
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rita Triana Budiarti
"Biography of Hamdan Zoelva, chairman of Indonesian Constitutional Court, 2013-2015."
Jakarta: Pusat Konstitusi Press, 2015
342 RIT p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Women Judges in the Muslim World: A Comparative Study of Discourse and Practice fills a gap in academic scholarship by examining public debates and judicial practices surrounding the performance of women as judges in eight Muslim-majority countries (Indonesia, Malaysia, Pakistan, Syria, Egypt, Libya, Tunisia and Morocco). Gender, class, and ethnic biases are inscribed in laws, particularly in the domain of sharia-derived family law. Editors Nadia Sonneveld and Monika Lindbekk have carefully woven together the extensive fieldwork and expertise of each author. The result is a rich tapestry that brings out the various effects of women judges in the management of justice. In contrast to early scholarship, they convincingly prove that the woman judge does not exist. "
Leiden: Brill, 2017
e20498026
eBooks Universitas Indonesia Library
Muhammad Brillyan Alvayedo
"Hakim sebagai peran terpenting dalam dunia persidangan diharuskan untuk menjaga perilaku dan perbuatannya baik mengenai substansi dalam persidangan maupun berkegiatan sehari-hari di luar persidangan. Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dibentuk sebagai pedoman bagi hakim dalam berperilaku yang dimana wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim memiliki peran dalam penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, namun seberapa besar wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam fungsi pengawasan hakim tersebut dan hakim tidak dapat serta merta dihukum apabila melanggar prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim, terdapat penyelesaian hukum untuk membuktikan perbuatan pelanggaran oleh hakim dan penjatuhan sanksi kepada hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Peneliti memakai metode penelitian Yuridis Normatif dengan sifat deskriptif analisis yang memakai data sekunder dari menerapkan alat pengumpul data meliputi studi kepustakaan dengan Metode analisis data secara Kualitatif. Pertanyaan penelitian Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lemahnya fungi pengawasan dari Komisi Yudisial terhadap penjatuhan sanksi yang hanya berupa rekomendasi merupakan fokus utama dalam pembenahan hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal ini juga turut memberikan implikasi terhadap penyelesaian hukum yang dimana seharusnya para pengawas hakim saling bahu membahu dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Judges as the most important role in the world of trial are required to maintain their behavior and actions both regarding substance in the trial and daily activities outside the trial. Through a Joint Decision of The Chairman of The Supreme Court Republic of Indonesia and The Chairman of The Judicial Commission Republic of Indonesia Number 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, the Code of Ethics and Guidelines of Conduct for Judges was established as a guide for judges in their behavior which The authority of the Judicial Commission as an external supervisor of judges has a role in enforcing the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, but how much authority does the Judicial Commission have in the supervisory function of these judges and judges cannot be immediately punished if they violate the basic principles of the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, there is a legal settlement to prove violations by judges and the imposition of sanctions on judges who are proven to have violated the code of ethics and guidelines of conduct for judges. The researcher uses a normative juridical research method with descriptive analysis that uses secondary data from applying data collection tools including literature study with qualitative data analysis methods. The results of this study indicate that the weak supervisory function of the Judicial Commission against the imposition of sanctions that are only in the form of recommendations is the main focus in improving the relationship between the Supreme Court and the Judicial Commission. This also has implications for legal settlements where supervisory judges should work hand in hand in upholding the basic principles of the Code of Ethics and Guidelines of Conduct of Judges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dewi Masyitha
"Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas dan penjaga etika hakim, memiliki peran penting dalam tegaknya kekuasaan kehakiman yang bersih. Lembaga ini memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya karena dengan sumber daya manusia yang terbatas harus menaungi ribuan hakim yang tersebar di seluruh Indonesia sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial. Permasalahan yang diangkat adalah kompleksitas pembentukan jabatan fungsional penata kehakiman dan kesiapan Komisi Yudisial atas keberadaan dan pembentukan jabatan fungsional tersebut. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif, menggunakan terutama data sekunder menganalis Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 84 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penata Kehakiman dan peraturan-peraturan terkait, dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian bahwa jabatan fungsional penata kehakiman adalah yang pertama dan satu-satunya yang berada di bawah pembinaan Komisi Yudisial, Pembentukan Jabatan ini kompleks karena menggabungkan tugas dan fungsi pencegahan, penegakan, serta seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung yang tujuan pelaksanaannya sangat berbeda dan memiliki peraturan pelaksananya masing-masing yang belum terharmonisasi, serta masih adanya kendala dalam penempatan unit pembina. Adapun kesiapan Komisi Yudisial selaku instansi Pembina masih dalam tahap awal dan persiapan Komisi Yudisial terkendala dengan belum adanya pusat pendidikan dan pelatihan, belum adanya harmonisasi peraturan, dan jumlah persediaan pegawai yang belum memadai. Perlu adanya harmonisasi peraturan pelaksana, pengaturan perbantuan tugas dan perpindahan pegawai, pembentukan pusat pendidikan dan pelatihan, serta langkah-langkah lain yang diperlukan.
The Judicial Commission as a supervisory institution and guard of judge ethics, has an important role in upholding a clean judicial power. This institution has limitations in carrying out its duties and authorities because with their limited human resources, they must oversee thousands of judges spread throughout Indonesia as the object of supervision of the Judicial Commission. The issues raised are the complexity of establishing the functional position of judicial administrator and the readiness of the Judicial Commission for the presence and establishment of the functional position. The research method used is normative juridical, using mainly secondary data to analyze PANRB Ministerial Regulation Number 84 of 2020 concerning the Functional Position of the Judiciary and related regulations, with a qualitative approach. The results of the research that the functional position of the judiciary is the first and the only one functional position belonging to the Judicial Commission. The formation of this position is complex because it combines the duties and functions of preventing, enforcing, and selecting Candidates for Supreme Court Justices and Candidates for Ad Hoc Judges at the Supreme Court whose implementation objectives are very different and have their respective implementing regulations that have not been harmonized, and there are still obstacles in the placement of the supervisory unit. As for the readiness of the Judicial Commission as the founder agency, it is still in the early stages and the preparation of the Judicial Commission is constrained as it should be equipped with an education and training center, there is no harmonization of regulations, and the number of staff supplies is not adequate. Based on these matters, There is a need for harmonization of implementing regulations, arrangements for task assistance and employee transfer, establishment of education and training centers, as well as other necessary measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yuana Berliyanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S21953
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Puspita Thoimatunnisaa
"Skripsi ini membahas kewenangan hakim untuk memutus perkara dikaitkan kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan Metode penelitian adalah penelitian yuridis normatif Putusan Nazril Irham dan M Arifin bin Sukari dibahas sebagai bahan analisis skripsi Berdasarkan hasil analisis bahwa asas stelsel aktif hakim mengenai pengubahan surat dakwaan pada proses ajudikasi tidak bisa dilakukan karena KUHAP menganut sistem spesialisasi diferensiasi dan kompartemenisasi hakim tidak memiliki kewenangan memutus perkara berdasarkan ketentuan perundang undangan yang tidak didakwakan oleh jaksa atau di luar surat dakwaan Putusan Nazril Irham bukan merupakan putusan di luar surat dakwaan karena hakim telah mempertimbangkan semua unsur tindak pidana delik Sementara itu putusan judex factie M Arifin bin Sukari termasuk putusan di luar surat dakwaan karena hakim tidak mempertimbangkan semua unsur tindak pidana delik
This research focuses on the judge rsquo s authority to make the court judgment which is related to the prosecutor rsquo s authority to conduct prosecution Normative juridical method is used to analyze the data The judgment of Nazril Irham and M Arifin bin Sukari are being analyzed in this research The result of this research concludes that the principle of stelsel active of the judges to amend an indictment in adjudication process is not allowed Since the Code of Criminal Procedure consists of the specialization differentiation and compartment system The judges are prohibited to impose criminal charges that is not stated in the indictment The verdict of Nazril Irham case is not one kind of such indictment because the judges have considered all the elements of crime delict Meanwhile the verdict judex factie of M Arifin bin Sukari is one kind of court judgment that impose charges which is over the indictment and did not considered all the elements of crime delict "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45572
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Duncan Kennedy, seorang penganut realisme hukum, secara sinis pernah berujar, Teachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is disticnt, as a method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is never a correct legal solution that is other than the correct ethical or political solution to that legal problem. seandainya sinyalemen kennedy benar subjek yang digugat, tentu tak hanya para dosen lembaga pendidikan tinggi hukum, melainkam juga mereka yang berprofesi sebagai fungsionaris atau praktisdi hukum, utamanya para hakim.Tulisan ini tidak berangkat dari pandangan kaum realis yang sejak awal sudah menafikan penalaran hukum, tapi bertolak dari asumsi tetap ada sesuatu yang disebut penalaran hukum tersebut. Penalaran ini mempunyai karakteristik unik, khususnya bila dilihat dari perspektif para hakim, terlebih lagi para hakim di MK. Tulisan ini bertujuan menguraikan sekilas tentang filosofi bernalar yang idealnya dapat diteraspkan hakim konstitusi dalam masa transisi konstitusionalitas yang disebut dsebut kontekstual dengan kondisi kekinian sistem hukum indonesia.Jika kita kembali pada pernyataan diatas, sesungguhnya gugatan tersebut cukup berdasar. Aada dua alasannya, Pertama, karena objek yang dinalar tidak pernah jelas. Objek yang bernama hukum itu amat kompleks dan multifaset. Kedua, Sang subjek yang menalar pun merupakan mahluk yang tidak steril, tidak bebas nilai dan penuh dengan kepentingan."
342 JTRA 11:3 (2006)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1984
340 IND h
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library