Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
[Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Gadjah Mada, Journal of Dentistry Indonesia], 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andi Syafina Fithri Fakhirah
"Latar Belakang: Berkurangnya kepadatan tulang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia dan jenis kelamin dan memiliki pengaruh terhadap perawatan kedokteran gigi. Radiograf panoramik digital dapat menjadi salah satu cara untuk memperkirakan penurunan densitas radiografik tulang.
Tujuan: Memperoleh nilai rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada individu pria dan wanita yang berusia 20 – 60 tahun di RSKGM FKG UI dari radiograf panoramik digital.
Metode: Menggunakan studi potong lintang dengan 300 sampel radiograf panoramik digital yang terbagi menjadi 150 sampel wanita dan 150 sampel pria dan dikategorikan berdasarkan kelompok usia berjumlah 75 sampel untuk setiap kelompok usia. Rerata densitas radiografik diperoleh di region of interest tulang kortikal tepi bawah mandibula menggunakan software I-Dixel Morita.
Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan nilai rerata densitas radiografik tulang pada kelompok wanita sebesar 92,80 sedangkan pada kelompok pria sebesar 97,46. Berdasarkan kelompok usia, kelompok usia 31- 40 memiliki rerata densitas radiografik paling besar yaitu 101,99 sedangkan nilai terendah pada kelompok usia 51-60 sebesar 86,43.
Kesimpulan: Rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita serta terus mengalami peningkatan dari usia 20 tahun dan mulai mengalami penurunan di usia lebih dari 40 tahun.

Background: Reduced bone density can be influenced by several factors such as age and gender and has an influence on dental treatment. Digital panoramic radiographs can be used to estimate decreased bone density.
Objective: To obtain the radiographic mean density of cortical bone at the inferior border of the mandible in male and female aged 20-60 years at RSKGM FKG UI using digital panoramic radiographs.
Methods: A cross-sectional study with 300 digital panoramic radiograph samples divided into 150 female and 150 male samples and categorized by age group into 75 samples for each age group. The mean radiographic density was obtained in the region of interest of the cortical bone at the inferior border of the mandible using the I-Dixel Morita software.
Results: the results of statistical analysis showed that the mean radiographic bone density in the female group is 92.80 while in the male group it is 97.46. Based on the age group, the 31-40 age group had the highest mean radiographic density which is 101.99, while the lowest value was in the 51-60 age group which is 86.43.
Conclusion: The mean radiographic density of cortical bone at the inferior border of the mandible in men is higher than in women and continues to increase from the age of 20 and begins to decrease at the age of more than 40 years.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elin Hertiana
"Densitas tulang adalah jumlah kandungan mineral per cm2 tulang, dibedakan menjadi 3 yaitu normal, osteopenia, dan osteoporosis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui risiko kegoyangan gigi melalui analisis densitas tulang. Diasumsikan bahwa densitas tulang rendah yang berhubungan dengan osteopenia/osteoporosis dapat berpengaruh secara langsung pada mikroarsitektur tulang alveolar, dan menyebabkan kegoyangan gigi. Subjek terdiri dari 22 pria dan 56 wanita berusia ≥ 50 tahun. Pengukuran densitas tulang mandibula dilakukan dengan radiograf panoramik dan periapikal DDIR (direct digital intraoral radiograph). Pengukuran densitas tulang skeletal dilakukan dengan QUS (Quantitative Ultrasound). Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara kebersihan mulut dan densitas tulang skeletal dengan kegoyangan gigi (p= 0,000, p=0,035, berturut-turut) serta diperoleh indeks perkiraan kegoyangan ≥50% dari seluruh gigi di mandibula.

Bone mineral density is the amount of bone mineral content in cm2. It can be classified into normal, osteopenia, and osteoporosis. This study was conducted to determine the risk assessment of tooth mobility through bone density analysis. Low bone density, which is associated with osteopenia / osteoporosis can affect directly the alveolar bone microarchitecture, and cause tooth mobility. The subjects consisting of 22 men and 56 women aged ≥ 50 years. Mandibular bone density measurements done by panoramic radiographs and periapical DDIR (direct digital intraoral radiograph). Bone mineral density measurement was performed with QUS (Quantitative Ultrasound). The result showed that there is a relationship between oral hygiene and bone mineral density with tooth mobility (p = 0.000, p = 0.035, respectively) and an index was formulated to estimate mobility of ≥ 50% out of teeth in mandible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanie Goenawan
"Pendahuluan Gangguan kepadatan tulang saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang berdampak pada kepadatan tulang. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor risiko individu seperti gender, usia, indeks massa tubuh (IMT), merokok, kualitas tidur, diabetes, aktivitas fisik, gangguan mental emosional (stress), dan lama shift malam dengan kepadatan massa tulang yang tidak normal pada pekerja shift malam dan untuk mengetahui interaksi antar variabel mana yang paling bertanggung jawab pada pekerja dengan kejadian kepadatan tulang yang tidak normal.
Metode Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional secara analitik pada 80 orang pekerja RSON untuk melihat kepadatan tulang dengan bone mineral density pada pekerja shift malam dengan faktor-faktor yang berhubungan yaitu gender, usia, indeks massa tubuh, merokok, kualitas tidur, diabetes, aktivitas fisik, gangguan mental emosional (stress), dan lama shift malam. Penelitian ini dilakukan dari November 2022-April 2023. Variabel bebas yakni pekerja shift malam, usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, merokok, gangguan mental emosional (stress), kualitas tidur, diabetes, dan aktivitas fisik. Skor Bone Mass Density (BMD) sebagai variable terikat. Dan keluaran yang dihasilkan adalah terdapat hubungan antara kepadatan tulang tidak normal dengan gender, usia, indeks massa tubuh, merokok, kualitas tidur, diabetes, aktivitas fisik, gangguan mental emosional (stress), dan lama shift malam.
Hasil Subjek penelitian didominasi oleh perempuan sebanyak 53 peserta (66,3%). Usia dibagi menjadi 2 dikarenakan median dari usia adalah 38 tahun. Didapatkan hasil pada usia pekerja,  pekerja sebagian besar berusia kurang dari 38 tahun sebanyak 42 pekerja (52,5%). Pada indeks massa tubuh didominasi dengan indeks massa tubuh gemuk sebanyak 52 pekerja (65%). Pekerja yang memiliki kebiasaan tidak merokok yakni 60 pekerja (75%). Diabetes pada pekerja didominasi oleh tidak memiliki diabetes sebanyak 70 pekerja (86,3%). Pada hasil pengisian dari kualitas tidur didapatkan hasil terbanyak pada kualitas tidur yang buruk sebanyak 47 pekerja (58,75%) dan gangguan mental emosional (stress) pada pekerja yang berasal dari pengisian kuesioner Self Reporting Questionnaire -20 (SRQ-20) didapatkan hasil yang tinggi pada tidak terdapat stress pada pekerja sebanyak 69 pekerja (86,25%). Pada hasil pengisian kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) untuk penilaian aktivitas fisik pada pekerja didapatkan hasil  dominan aktivitas fisik sedang 49 pekerja (61,3%). Lama kerja Shift malam yang dilakukan oleh seluruh pekerja yang mengikuti penelitian ini didapatkan didominasi oleh pekerja yang bekerja kurang dari 10 tahun sebanyak 43 pekerja (53,75%). Perihal kepadatan tulang pada pekerja didapatkan hasil pekerja yang memiliki kepadatan tulang yang normal sebanyak 60 pekerja (75%). Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui interaksi antar variabel dan untuk mengetahui variabel mana yang paling bertanggung jawab sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap  kepadatan tulang. Dari analisis multivairat menggunakan Metode Backwards Conditional didapatkan variable yang paling dominan terhadap terjadinya BMD tidak normal adalah IMT normal-kurus, usia >38 tahun, aktivitas fisik sedang, aktivitas fisik ringan, merokok, dan diabetes mellitus. Dengan nilai R square sebesar 0.367. Dilakukan kembali analisis multivariat metode enter dengan memasukkan variabel di atas dan ditambahkan dengan variabel shift malam, dan didapatkan hasil dengan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.378. Kemungkinan Odds Ratio(OR) pekerja dari lama shift malam >20 tahun untuk BMD tidak normal sebesar 1.454x lipat lebih besar dibandingkan lama shift < 20 tahun, namun tidak bermakna. Variabel yang paling dominan berisiko terjadinya BMD tidak normal adalah diabetes dan merokok. Dimana risiko terjadinya BMD tidak normal pada pekerja shift malam dengan diabetes sebesar 8.624x lebih tinggi dibandingkan pada pekerja shift malam dengan tanpa diabetes. Pada pekerja shift malam yang merokok didapatkan risiko terjadinya BMD tidak normal sebesar 4.963x lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja shift malam yang tidak merokok. Risiko terjadinya BMD tidak normal pada pekerja shift malam dengan aktifitas fisik sedang turun 80% mengalami penurunan dibandingan dengan pekerja shift malam yang pekerja shift malam yang tidak beraktifitas fisik sedang.
Kesimpulan Pada Prevalensi kepadatan tulang di pada pekerja shift malam di tempat kerja dengan pembagian 60 pekerja normal (Normal ≥ -1 SD) (75%) dan 20 pekerja (25%) terdapat kepadatan tulang tidak normal (Osteopenia -1 SD s/d -2,5 SD, Osteoporosis ≤ -2,5 SD). Didapatkan hubungan antara usia >38 tahun, diabetes, dan aktivitas sedang-tinggi dengan kepadatan tulang tidak normal pada pekerja shift malam. Pada analisis multivariat, seluruh variabel bisa menjelaskan penurunan skor kepadatan tulang (BMD) sebesar 36.7%. Terdapat variabel bermakna antara aktivitas sedang, diabetes, dan  merokok.


Introduction Bone density disorders are currently a public health problem that is currently a public health problem. Many factors have an impact on bone density. The purpose of the study was to determine the relationship of individual risk factors such as gender, age, body mass index, smoking, sleep quality, diabetes, physical activity, mental emotional disorders (stress), and night shift length with abnormal bone mass density in night shift workers and to determine which interactions between variables are most responsible for workers with abnormal bone density. 
Methods This study was an analytic cross-sectional study in 80 RSON workers to see bone density with bone mineral density in night shift workers with associated factors namely gender, age, body mass index, smoking, sleep quality, diabetes, physical activity, mental emotional disorders (stress), and length of night shift. This study was conducted from November 2022-April 2023. The independent variables were night shift workers, age, gender, body mass index, smoking, mental emotional disorders (stress), sleep quality, diabetes, and physical activity. Bone Mass Density (BMD) score as the dependent variable. And the resulting outcome is that there is an association between abnormal bone density with gender, age, body mass index, smoking, sleep quality, diabetes, physical activity, mental emotional disorders (stress), and length of night shift.
Results The study subjects were dominated by women as many as 53 participants (66.3%). Age was divided into 2 because the median age was 38 years. The results obtained in the age of workers, most workers are less than 38 years old as many as 42 workers (52.5%). Body mass index is dominated by obese body mass index as many as 52 workers (65%). Workers who have a non-smoking habit are 60 workers (75%). Diabetes in workers is dominated by not having diabetes as many as 70 workers (86.3%). The results of the filling of the sleep quality obtained the most results in poor sleep quality as many as 47 workers (58.75%) and mental emotional disorders (stress) in workers derived from filling out the Self Reporting Questionnaire -20 (SRQ-20) questionnaire obtained high results in the absence of stress in workers as many as 69 workers (86.25%). In the results of filling out the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) questionnaire for assessing physical activity in workers, the dominant result of moderate physical activity was 49 workers (61.3%). The length of night shift work carried out by all workers who participated in this study was found to be dominated by workers who worked for less than 10 years as many as 43 workers (53.75%). Regarding bone density in workers, it was found that 60 workers (75%) had normal bone density. In multivariate analysis, all variables can explain the decrease in bone density by 36.7%. Multivariate analysis was conducted to determine the interaction between variables and to determine which variables are most responsible as risk factors that affect bone density. From the multivariate analysis using the Backwards Conditional Method, it was found that the most dominant variables for the occurrence of abnormal BMD were normal-thin BMI, age> 38 years, moderate physical activity, light physical activity, smoking, and diabetes mellitus. With an R square value of 0.367. Multivariate analysis of the enter method was re-conducted by entering the above variables and adding the night shift variable, and the results were obtained in table 7 with a Nagelkerke R Square value of 0.378. The Odds Ratio(OR) probability of workers from night shift duration >20 years for abnormal BMD is 1.454x greater than shift duration <20 years, but not significant. The most dominant variables at risk of abnormal BMD are diabetes and smoking. Where the risk of abnormal BMD in night shift workers with diabetes is 8.624x higher than in night shift workers with no diabetes. In night shift workers who smoke, the risk of abnormal BMD is 4.963x higher than that of night shift workers who do not smoke. The risk of abnormal BMD in night shift workers with moderate physical activity decreased by 80% compared to night shift workers who did not have moderate physical activity. Conclusion In the prevalence of bone density in night shift workers in the workplace with a division of 60 normal workers (Normal ≥ -1 SD) (75%) and 20 workers (25%) there is abnormal bone density (Osteopenia -1 SD to -2.5 SD, Osteoporosis ≤ -2.5 SD). There was an association between age >38 years, diabetes, and moderate - high activity with abnormal bone density in night shift workers. In multivariate analysis, all variables could explain the decrease in bone density (BMD) score by 36.7%. There were significant variables between moderate activity, diabetes, and smoking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Diah Sastrawijaya
"Tujuan: Menganalisis faktor yang paling berpengaruh antara tinggi dan densitas
mandibula, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama tidak bergigi dan pengalaman
memakai gigi tiruan sebelumnya dengan kepuasan pasien terhadap hasil perawatan gigi
tiruan lengkap.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 92 subjek (55 laki-laki dan 37
perempuan) berusia 45 tahun ke atas yang memakai gigi tiruan lengkap dan dibuat di
RSGM FKG Universitas Indonesia. Subjek dipilih melalui consecutive sampling
method dan diminta mengisi kuesioner PDA-ID 1 bulan pasca insersi gigi tiruan
lengkap. 92 radiograf panoramik dari subjek tersebut digunakan untuk mengukur
ketinggian tulang (di regio anterior serta posterior mandibula) dan densitas mandibula
menggunakan metode Xie dan MCI (Mandibular Cortical Index). Uji intraobserver dan
interobserver dilakukan untuk mengetahui konsistensi pengukuran tinggi dan densitas
tulang mandibula di antara 2 pengamat. Skor PDA-ID digunakan untuk mengukur
kepuasan subjektif pada subjek dengan perbedaan kelompok usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, lama tidak bergigi dan pengalaman memakai gigi tiruan
sebelumnya.
Hasil: Hasil uji intraobserver dan interobserver menunjukkan tidak terdapat variasi
pengukuran antar pengamat untuk tinggi mandibula (p>0,05) serta Kappa Value
densitas mandibula = 0,78 tergolong baik. Analisis bivariat menunjukkan hubungan
bermakna pada tinggi tulang mandibula (p=0,000), tingkat pendidikan (p=0,013) dan
pengalaman memakai gigi tiruan sebelumnya (p=0,000). Variabel yang dapat diolah
kedalam analisis multivariat (p<0,250) yaitu tinggi mandibula (p=0,000), densitas
mandibula (p=0,160), tingkat pendidikan (p=0,013), jenis kelamin (p=0,174), lama
tidak bergigi (p=0,202) dan pengalaman memakai gigi tiruan sebelumnya (p=0,000).
Analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling berpengaruh pada kepuasan pasien
terhadap hasil perawatan gigi tiruan lengkap yaitu tinggi tulang mandibula di anterior
(p=0,000). Pengalaman memakai gigi tiruan sebelumnya merupakan faktor confounding
yang penting (selisih Odds Ratio = 30%).
Kesimpulan: Tinggi tulang mandibula di anterior merupakan faktor yang paling
berperan dalam kepuasan pasien terhadap hasil perawatan gigi tiruan lengkap.

Objective: To analyze the most important factor affecting patients satisfaction
towards complete denture treatment with vertical heights and bone density of mandible,
age, sex, education level, duration of edentulism, and denture experiences.
Method : A-cross sectional study assessed the data of 92 subjects (55 men, 37 women),
aged 45 years and older who wore complete denture constructed in Dental Teaching
Hospital Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia. All participants selected through
consecutive sampling methods were asked to complete the PDA-ID questionnaire at 1-
month post complete denture insertion. 92 Panoramic radiograph of the subjects were
used in this study to evaluate the vertical heights (at the anterior and posterior of
mandible) and bone density of mandible using Xie methods and MCI (Mandibular
Cortical Index). Intraobserver and interobserver reliability test for the height
measurement and bone density of mandible was assessed between two observer. PDAID score was compared between the patients with different age group, sex, education
level, duration of edentulism and previous denture experiences.
Result: Intraobserver and interobserver reliability test show there were no significant
difference in vertical height measurement of mandible (p>0,05) and bone density of
mandible (Kappa Value=0,78) between two observer. Statistically, there were
significant differences in patient satisfaction between different vertical heights of
mandible (p=0,000), education level (p=0,013) and previous denture experiences
(p=0,000). Predictive factors could be included in multivariate analysis (p<0,250) were
vertical heights of mandible (p=0,000), bone density of mandible (p=0,160), education
level (p=0,013), sex (p=0,174), duration of edentulism (p=0,202) and previous denture
experiences (p=0,000). Multivariate analysis shows patients satisfaction with complete
denture treatment was mostly affected by vertical heights of anterior mandible
(p=0,000). Meanwhile, the previous denture experiences was contributed as an
important confounding factor (Odd Ratio difference = 30%).
Conclusion:.Vertical height of the anterior mandible is a determinant factor affecting
patients satisfaction towards complete denture treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rachmaniah Nur Hanisa
"Latar Belakang: Defek tulang yang besar membutuhkan pendekatan regenerasi tulang. Material hidroksiapatit (HA) dan gelatin telah banyak diteliti dan dikombinasikan karena sifatnya yang saling melengkapi dan meningkatkan aktivitas regenerasi tulang. Penambahan zat alami seperti propolis yang salah satunya memiliki kandungan Caffeic Acid Phenethyl Esters (CAPE) dapat menstimulasi pertumbuhan jaringan dan meningkatkan kadar biomarker pertumbuhan tulang. Oleh karena itu kombinasi biomaterial HA-gelatin-propolis yang belum pernah dilakukan sebelumnya, diharapkan dapat meningkatkan aktivitas regenerasi tulang yang dapat dilihat dari kadar alkali fosfatase (ALP) dan osteokalsin (OC) yang disekresikan oleh osteoblas.
Tujuan: Menganalisis kadar ALP dan OC pada medium kultur biakan sel osteoblas setelah dipajan elusi hidroksiapatit, gelatin, dan propolis 6% .
Metode: Human Osteoblast Cell line MG-63 dibiakan dan dibagi menjadi 6 kelompok pajanan yaitu kontrol, HA, propolis 6%, HA-gelatin, HA-propolis 6%, dan HA-gelatin-propolis 6%. Kadar ALP dan OC dianalisis pada medium kultur 7, 14, dan 21 hari setelah pemajanan kemudian dikuantifikasi menggunakan Uji ELISA.
Hasil: Kadar ALP dan OC seluruh kelompok mengalami peningkatan pada hari ke-7 dan 14 serta pengalami penurunan pada hari ke-21. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok pajanan HA-gelatin-propolis 6% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok HA, propolis 6%, dan HA-gelatin menunjukkan kadar yang lebih tinggi dari kontrol. Perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05) terdapat pada kelompok propolis 6%. Kenaikan kadar ALP berkorelasi positif sedang dengan kenaikan kadar OC (r = 0,385, p=0,001).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna aktivitas proliferasi dan diferensiasi sel osteoblas yang dilihat dari kadar biomarker ALP dan OC pada pajanan elusi HA-gelatin-propolis 6% dibanding kelompok kontrol.

Background: Large bone defects require a bone regeneration approach. Hydroxyapatite (HA) and gelatin have been widely studied and combined because of their complementary properties and increasing bone regeneration activity. The addition of natural substances such as propolis, one of which contains Caffeic Acid Phenethyl Esters (CAPE) can stimulate tissue growth and increase levels of bone growth biomarkers. Therefore, the combination of HA-gelatin-propolis biomaterial that has never been done before, is expected to increase bone regeneration activity which can be seen from the levels of bone growth biomarkers alkaline phosphatase (ALP) and osteocalcin (OC) secreted by osteoblasts.
Objective: To analyze the levels of bone formation biomarkers such as ALP and OC in osteoblast cell culture medium after exposure to hydroxyapatite, gelatin, and propolis 6% elution.
Methods: This research is an in vitro laboratory study. Human Osteoblast Cell line MG-63 was cultured and divided into 6 groups, namely control, HA, propolis 6%, HA-gelatin, HA-propolis 6%, and HA-gelatin-propolis 6 %. ALP and OC levels were analyzed on culture medium 7, 14, and 21 days after exposure and then quantified using the ELISA test.
Results: ALP and OC levels in all groups increased on the 7th and 14th days and decreased on the 21st day. There was no significant difference in the HA-gelatin-propolis 6% exposure group compared to the control group. The 6% propolis and HA-gelatin groups showed higher levels than the control and a statistically significant difference (p<0.05) was found in the 6% propolis group. An increase in ALP levels was positively correlated with an increase in OC levels (r = 0.385, p = 0.001).
Conclusion: There was no significant difference in the proliferative and differentiation activity of osteoblasts as seen from the levels of biomarkers of ALP and OC in the HA-gelatin-propolis 6% elution exposure compared to the control group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Hari Swarjaya Sandi
"Latar Belakang : Platelet Rich Plasma (PRP) telah dilaporkan memiliki efek positif pada regenerasi tulang, serta pada penyembuhan jaringan. PRP telah dianggap sebagai sumber autogenous dari faktor pertumbuhan terkonsentrasi yang dapat digunakan secara klinis untuk meningkatkan penyembuhan luka. Namun, kontroversi mengenai manfaatnya dalam regenerasi tulang. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh PRP terhadap pembentukan tulang pada fraktur mandibula. Efek PRP pada graft tulang adalah masalah yang menguntungkan. Telah dilaporkan bahwa PRP memperbaiki regenerasi tulang dalam graft tulang. Kematangan graft tulang dikombinasikan dengan PRP secara signifikan lebih besar dari tanpa PRP. Graft tulang yang dikombinasikan dengan PRP menunjukkan sistem Harversian yang matang dan proporsi lamelar yang lebih besar dan menghasilkan stabilitas hasil pemasangan graft tulang yang lebih superior. Digunakan pemindaian CBCT untuk memperkirakan proses penyembuhan tulang pada garis fraktur karena teknik ini dianggap sebagai salah satu teknik yang akurat, dapat direproduksi, dan noninvasif untuk mengukur kepadatan tulang.
Tujuan : Mengetahui pengaruh penambahan Platelet Rich Plasma pada autogenous bonegraft terhadap densitas tulang (studi pada Ovis aries sebagai model manusia).
Material dan Metode : Penelitian metode eksperimental analitik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan Platelet Rich Plasma pada autogenous bonegraft terhadap densitas tulang (studi pada Ovis aries sebagai model manusia).
Kesimpulan : Tidak terdapat pengaruh penambahan Platelet Rich Plasma pada autogenous bonegraft terhadap densitas tulang (studi pada Ovis aries sebagai model manusia) pada periode waktu 3 minggu dan 6 minggu antara kelompok yang diberikan PRP dan kelompok yang tidak diberikan PRP.
Pada analisis sampel Non PRP 3 minggu dengan Non PRP 6 minggu terdapat perbedaan walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan antara rerata PRP dan non PRP pada 3 minggu dan 6 minggu dengan nilai p> 0,05.

Background : Although advances in understanding of peripheral nerve injury and regeneration and advances in surgical technique continue to be produced, successful results cannot be guaranteed after reconstructive surgery. Platelet Rich Plasma (PRP) has been reported to have a positive effect on nerve regeneration, as well as on tissue healing. PRP has been considered an autologous source of concentrated growth factors that can be used clinically to improve wound healing. However, controversy still exists regarding its benefits in bone regeneration. Thus, this study aimed to evaluate the effect of PRP on bone formation in mandibular fractures. The effect of PRP on bonegraft is a beneficial issue. It has been reported that PRP improved bone regeneration in bonegrafts, also that the maturity of bonegraft combined with PRP was significantly greater than that without PRP, and that bonegraft combined with PRP showed a mature Harversian system and a larger proportion of lamellar, resulting in stability of the results. placement of a superior bonegraft. CBCT scans are used to estimate the bone healing process at the fracture line as it is considered one of the most accurate, reproducible, and noninvasive techniques for measuring bone density.
Aim: To determine the effect of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bonegraft on bone density in sheep (Ovis aries).
Materials and Methods: This analytical experimental research method was conducted to determine the effect of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bonegraft on the total bone density in sheep (Ovis aries).
Conclusion: The addition of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bonegraft had no effect on the increase in bone density at 3 weeks after bonegraft application and there was no difference in bone density between the groups that were given PRP and the groups that were not given PRP. In the sample analysis of Non PRP 3 weeks with Non PRP 6 weeks there is a difference even though it was no statistically significant difference between the mean PRP and non-PRP at 3 weeks and 6 weeks with p value> 0.05
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 37-41
Periodontal treatment by conventional way will result in healing repair, which easily cause recurrence. Modification of treatment should be done to get an effective result, that is the regeneration of alveolar bone and to reduce inflammation. The objective of this study is to determine the alveolar bone regeneration after using DFDBA (Demineralize Freeze Dried Allograft). Quasi experimental designs with pre and post test method was used in this study, From 13 patients, 26 defects got conventional or regenerative treatment. The indicator of alveolar bone regeneration in bone height in radiographic appearence and level of osteocalsin in gingival crevicular fluid (GCF) were checked before and after the treatment, then the changes that occure were analyzed. The result of the research showed that alveolar bone regeneration only occurred to the group of regenerative treatment by using DFDBA. The conclusion is the effective periodontal tissue regeneration occurred at regenerative treatment by using DFDBA, and the osteocalsin in GCF can be used as indicator of bone growth."
Journal of Dentistry Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Rafini
"Latar Belakang: Perbaikan jaringan periodontal pasca splinting dapat ditinjau secara klinis atau radiografis. Evaluasi penyembuhan pada jaringan keras pada penelitian ini dianalisis dengan radiografis periapikal digital. Splinting periodontal adalah terapi pendukung perawatan periodontal untuk melindungi jaringan selama repair dan regenerasi pada terapi periodontal.
Tujuan: Analisis kehilangan dan kepadatan tulang alveolar serta keutuhan lamina dura setelah tiga bulan splinting pada gigi anterior mandibula dengan diagnosis periodontitis kronis dan kriteria kehilangan tulang alveolar 2/3 serviks secara radiografis digital.
Metode: Delapan puluh empat sisi sampel proksimal (mesial dan distal) dilakukan pengambilan radiografi periapikal digital dan di evaluasi perubahan keadaan tulang alveolarnya setelah di splinting (hari ke 1 dan 91).
Hasil: Hasil analisis statistika pada evaluasi setelah tiga bulan splinting untuk perubahan kehilangan-kepadatan tulang alveolar dan keutuhan lamina dura adalah 0,44; 0,256 dan 0,059 (p<0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perubahan kehilangan dan kepadatan tulang alveolar serta keutuhan lamina dura pasca tiga bulan splinting pada gigi anterior mandibula dengan periodontitis kronis yang kehilangan tulangnya sampai 2/3 serviks.

Background: The healing of periodontal splinting can be detected both with clinical and radiographic examination. In this study, the alveolar bone was evaluated by radiographic digital periapical analysis. Periodontal tooth splinting is periodontal support theraphy used to prevent periodontal injury during repair and regeneration of periodontal theraphy.
Objective: Radiographic digital periapical analysis of alveolar bone in the mandibular anterior region with chronic periodontitis and 2/3 cervical bone loss after three months periodontal splinting.
Methods: Eighty four proximal site (43 mesial and 41 distal) from 16 patients were examined by taking periapical digital radiographic and the bone loss, bone density and utility of lamina dura were detected after splinting (day 1 and 91).
Results: The statistical analysis after three months evaluation using T-test for bone loss, Wilcoxon sign rank test for bone density and utility lamina dura showed no significantly differences(p<0,05)(p=0,44, 0,256 and 0,059).
Conclusion: No radiographic change in bone loss, bone density and utility of lamina dura from chronic periodontitis with 2/3 alveolar bone loss after three months splinting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T34994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>