Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161979 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Apa yang dikemukakan Montesquie dan John Locke maka terdapat perbedaan dalam melaksanakan "pemisahan kekuasaan" dalam sebuah negara. Jika teori Montesquie yang dijadikan pedoman, maka kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudisial memiliki kedudukan yang setara, akan tetapi jika teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke yang digunakan, maka diantara 3 (tiga) kekuasaan, maka kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara (supremasi parlemen). Setelah perubahan UUD 1945, sesuai dengan disepakati oleh PAH 1 MPR, maka sistem pemerintahan presidensil dengan mengatur antara lain mengenai pemilihan Presiden dan Wakil secara langsung dan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden dengan pelanggaran hukum. Diantara berbagai hal yang mengalami perubahan mengenai kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan di 'lonesl,a. Walaupun kedudukan MPR setelah perubahan UUD 1945 menjadi setara lembaga negara lainnya, akan tetapi dalam hal pemberhentian Presiden dan Presiden, MPR tetap sebagai lembaga pemutus apakah Presiden dan Wakil 'esilten memenuhi syarat untuk dimakzulkan (souvereignty of parliament).

If the theory Montesquie used as a guide, then the power of the executive, legislative, andjudicial have an equalfooting, but t{the theory of separation of powers setforth by John Locke used, then between 3 (three) Ci{ power, the legislative power is the supreme power in a state (the supremacy Ci{parliament). After the 1945 changes, in accordance with what was agreed by PAH I MPR, the presidential system Ci{ government is emphasized by setting among others concerning the election Ci{ President and Vice President directly and the impeachment Ci{ President and Vice President by reason Ci{ violation Ci{ the law. Among the many things that are changing the position and authority Ci{ the Assembly in the state system in Indonesia. Although the position Ci{the Assembly after the 1945 changes to be on par with other state agencies, but in the case Ci{ termination Ci{ the President and Vice President, the Assembly remains as a body breaker if the President and Vice President are eligible for impeached (souvereignty of parliament)."
Universitas Indonesia, 2011
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Widyaningsih
"Gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998 telah membawa dampak dan perubahan yang sangat krusial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menyusul adanya penyesuaian struktur-struktur berbangsa dan bernegara seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen Indonesia diidealkan berkamar tunggal (unikameral) dan dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.Seiring dengan adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, yaitu mengenai Pasal 1 (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar telah membawa konsekuensi perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sebagai lembaga negara seperti biasa.Perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut juga diikuti dengan perubahan komposisi keanggotaan Majelis permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari DPR dan DPD yang keduanya dipilih melalui Pemilihan Umum, lahirnya Dewan Perwakilan Daerah tersebut merupakan format baru parlemen Indonesia sehingga terjadi perubahan struktur keparlemenan di Indonesia. Disamping itu perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut juga berakibat pada perubahan Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden karena telah dipilih secara langsung .oleh rakyat. Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hanya bersifat insidentil tersebut akhirnya memunculkan perdebatan mengenai eksistensi kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat apakah akan terus dipertahankan atau ditiadakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau ditiadakan. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris secara bersamaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Sri Wahyuni
"Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan: Pertama, terkait dengan kedudukan hukum Ketetapan MPR/S dalam tata urutan peraturan perundangundangan serta implikasi yuridisnya, dan Kedua, mengenai pengujian Ketetapan MPR/S dan lembaga negara mana yang berwenang menguji Ketetapan MPR/S tersebut terhadap UUD NRI 1945. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan hukum Ketetapan MPR/S dalam sistem hukum nasional adalah peraturan perundangundangan yang tergolong dalam aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) yang berada setingkat di bawah UUD NRI 1945 dan setingkat di atas UU. Kedudukan demikian membawa implikasi yuridis bahwa secara materiil Ketetapan MPR/S tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan terhadap Ketetapan MPR/S tersebut dapat dilakukan pengujian (review) dengan batu uji UUD NRI 1945. Pengujian Ketetapan MPR/S dilakukan melalui mekanisme legislative review, dan lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR/S adalah MPR sendiri sebagai pembentuknya sesuai dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.

This research will focus on two main problems. First, the legal position of the MPR/S Decree in the law and regulations as well as legal implications. Secondly, MPR/S Decree review and regarding which institutions that has the authority to review. The method used in this research is judicial-normative which has its bearing on secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-analytical.
The result of this research shows that the fact that the legal position of MPR/S Decree in the system of national law is legislation pertained in the basic rule of state (staatsgrundgesetz) who are a notch below the UUD NRI 1945 and a notch top of UU. Thus the position of legal implications that materially MPR/S Decree must not be contrary and again UUD NRI 1945 and it can be reviewed. MPR/S Decree review is done trough legislative review mechanism, and state agencies that are authorized to perform is MPR itself as a constituent institution in accordance with the MPR Decree No. III/MPR/2000 and Parliement based on Article 4 MPR Decree No. I/MPR/2003.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42554
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Biondi Insani
"ABSTRAK
Hampir setiap negara yang memiliki konstitusi tertulis memiliki cara untuk mengubah konstitusi yang diatur di dalam konstitusi tersebut. Di Indonesia, berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, perubahan konstitusi dilakukan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun, pada masa Orde Baru, Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusi tertulis di Indonesia, diperlakukan sakral dan dikehendaki untuk tidak diubah. Hambatan selanjutnya adalah diaturnya dua produk hukum, yaitu TAP MPR/IV/1983 tentang referendum, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang refrendum. Kedua ketentuan ini, sangat mempersulit dan sangat tidak sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Bentuk penelitian ini adalah kepustakaan-normatif dimana penulis menggunakan teori-teori mengenai konstitusi dan perubahan konstitusi terhadap kewenangan MPR dalam mengubah konstitusi UUD di Indonesia sebelum dan sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pembahasan penelitian dikaitkan dengan prosedur atau mekanisme perubahan konstitusi dari beberapa negara lain dengan studi perbandingan konstitusi. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa setelah amandemen pengaturan dan mekanisme perubahan konstitusi diatur secara lebih rinci dan mekanisme perubahan konstitusi diatur sehingga konstitusi tidak begitu mudah, tetapi juga tidak begitu sukar untuk diubah.

ABSTRACT
Nearly every nation that possesses written constitution has a method to change or amend the constitution that is regulated within the constitution itself. In Indonesia, according to Article 37 of the 1945 Constitution Undang Undang Dasar 1945 , the People 39 s Consultative Assembly MPR has the right to and authority to change the constitution. However, during the New Order era, the 1945 Constitution as the written constitution in Indonesia is considered sacred to be changed. Furthermore, the political power made the possibility to change the constitution more difficult with the regulation of 2 legal products TAP MPR IV 1983 and Undang Undang No. 5 1985 about Referendum which are not in accordance with Article 37 of the 1945 Constitution. With a normative library research, theories about the constitution and the constitutional amendment were utilised to analyse the authority of MPR in changing the constitution before and after the 1945 Constitution. The research 39 s discussion is linked with the procedure and mechanism of the constitutional amendment from other countries with a comparative constitutional study. This study concludes that after the amendment, the regulation and mechanism of the constitutional amendment is more detailed and is regulated so that the constitution is not so easy nor difficult to change. "
2017
S68920
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasji
"Sejalan dengan perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia, sering muncul kebutuhan pengaturan mengenai suatu hal, yang landasan hukum konstitusinya kurang atau tidak jelas bahkan tidak ada. Ini menimbulkan kesulitan dalam membuat peraturan tersebut agar tetap sesuai dengan UUD 1945. Akibatnya, kadang-kadang muncul peraturan yang dirasakan bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Ketetapan MPR sebagai jenis peraturan khas Indonesia, telah mewarnai sistem pengaturan negara Indonesia. Persoalannya, apa fungsi Ketetapan MPR dalam sistem pengaturan negara di Indonesia, sehingga segala peraturan yang muncul tetap sesuai dengan UUD 1945. Dan hasil penelitian, memperlihatkan, bahwa Ketetapan MPR mengatur materi muatan pelaksanaan UUD 1945. Karena itu, Ketetapan MPR mempunyai fungsi merinci/menjabarkan/mengatur lebih lanjut dan menafsirkan ketentuan UUD 1945 untuk mengantisipasi kebutuhan pengaturan suatu hal oleh legislatif dalam bentuk UU atau oleh eksekutif dalam bentuk Perpu dan Keppres. Ketetapan MPR akan menjembatani antara UUD 1945 dengan UU/Perpu atau Keppres dalam mengantisipasi kebutuhan hukum (peraturan) yang landasan konstitusionalnya belum atau tidak jelas bahkan tidak ada, sehingga akan memberi landasan hukum bagi pembentukkan UU/Perpu/ Keppres dan peraturan lain di bawahnya. Dengan demikian, Ketetapan MPR membatasi kewenangan legislatif dan Presiden artinya Presiden bersama DPR tidak boleh membentuk UU dan Presiden tidak boleh membentuk Perpu/Keppres untuk mengatur suatu hal, apabila landasan hukum konstitusinya tidak jelas/ tidak ada; dan menciptakan kewenangan legislatif dan Presiden artinya legislatif Presiden bersama DPR berwenang membentuk UU dan Presiden berwenang membentuk Perpu/Keppres apabila Ketetapan MPR telah memberi landasan hukum pembentukannya melalui penjabaran/perincian atau penafsiran ketentuan UUD 1945. Fungsi demikian masih menghadapi kendala yuridis yakni belum adanya Ketetapan MPR yang menetapkan fungsi tersebut dan kendala institusional yakni MPR tidak aktif setiap saat sehingga tidak mempu mengantisipasi kebutuhan hukum yang ada. Karena itu, sebabnya MPR membentuk suatu ketetapan yang menetapkan hal di atas dan MPR lebih aktif untuk bersidang lebih dari satu kali dalam masa lima tahun Berta MPR menetapkan suatu Ketetapan tentang hak menguji material bagi semua peraturan perundang-undangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Abdillah
"Abstrak
Lembaga Quasi Non Governmental Organization atau yang biasa disebut sebagai Quango belum terlalu terdengar dalam khasanah lembaga negara di Indonesia. Namun bukan berarti lembaga tersebut tidak ada. Artikel ini mencoba mengulas mengenai keberadaan lembaga Quasi Non Governmental Organization (Quango) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di dalam artikel ini dijelaskan mengenai pengertian Quango beserta dengan karakteristiknya dari berbagai negara. Kemudian, artikel ini juga mengkaji bahwa berdasarkan karakteristik Quango tersebut, MUI dapat diklasifikasikan sebagai salah satu Quango yang ada di Indonesia. Artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi pustaka mengenai Quango dan pelaksanaannya di berbagai negara di dunia."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019
340 JHP 49:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"makalah ini disampaikan pada forum dialog nasional bidang hukum dan non hukum diselenggarakan oleh BPHN depkumham RI pada tanggal 26-29 juni 2007 di surabaya"
300 MHN 1:1 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Martini
"Keberadaan lembaga penasehat sepertinya hal Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia pada dasarnya bergantung kepada kebutuhan negara yang bersangkutan, serta dipengaruhi oleh latar belakang historis dari negara tersebut. Di Indonesia lembaga penasehat ini sudah ada sejak jaman kerajaan dulu. Lembaga penasehat Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia sedikitnya banyak diilhami oleh Raad van Nederlandsch Madre pada jaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai penasehat Gubernur Jenderal.
Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga penasehat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia kedudukannya adalah sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga tinggi lainnya dengan fungsi dan tugasnya memberikan nasehat, pertimbangan dan usul kepada Presiden. Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 lembaga ini dihapus dan baru muncul kembali setelah Dekrit 5 Juli 1959.
Sejak Orde Baru, Lembaga ini terus secara periodik didirikan. Walau dikatakan lembaga ini antara ada dan dada karena begitu kuat kekuasaan eksekutif sehingga tidak kelihatan peran yang telah dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung ini. Keberadaan Dewan Pertimbangan Agung ini sejak awal kemerdekaan memang sudah mulai dipersoalkan. Hal ini terus berlanjut, apalagi pada masa Orde Baru keberadaan lembaga penasehat ini tidak begitu kelihatan kiprahnya. Setelah reformasi dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa perubahan pula terhadap sistem ketatanegaran di Indonesia. Dalam hal ini Dewan Pertimbangan Agung juga tidak luput dari perubahan tersebut.
Terjadi perdebatan apakah Dewan Pertimbangan Agung ini terus dipertahankan dengan lebih meningkatkan peran dan fungsinya atau dihapus. Memang diakui banyak kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Agung ini sebagai lembaga penasehat, terutama pada rumusan peraturan perundangan yang mengatur tentang Dewan Pertimbangan Agung baik itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun peraturan perundangan yang lain tentang Dewan Pertimbangan Agung yang membatasi ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Dewan Pertimbangan Agung serta dibentuknya badan penasehat ekstra konstitusionil oleh Presiden sehingga menimbulkan kesan Dewan Pertimbangan Agung tidak diperlukan.
Akhirnya perdebatan seputar Dewan Pertimbangan Agung ini terjawab sudah pada Sidang Tahunan 2002 dimana disahkannya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Agung dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan menggantinya dengan suatu badan yang disebut Dewan Pertimbangan yang kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara tetapi berada dibawah Presiden. Maka berakhirlah tugas konstitusional Dewan Pertimbangan Agung dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI , 2001
328 IND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>