Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32520 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indang Trihandini
"Hubungan antara Merokok sebagai Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi dari berbagai Komplikasi Kronis pada Lansia dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Merokok dikenal sebagai variabel yang dapat diubah melalui aktifitas intervensi yang spesifik. Saat ini di Indonesia belum terdapat penelitian mengenai komplikasi kronis di antara para lansia penderita Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari risiko dari aktifitas merokok terhadap komplikasi kronis di antara para lansia penderita DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2007. Sebanyak 1.565 lansia (usia 60++ tahun) penderita DM tipe 2 dipilih secara acak. Sebanyak 70-80% dari para lansia tersebut memiliki komplikasi kronis, dan 32,11% sampel penelitian adalah perokok. Para lansia yang merokok lebih dari 24 batang per hari memiliki risiko 2,5 (95% CI, 1,54-3,97), sementara itu lansia yang merokok 1-12 batang per hari, dan yang merokok 13-24 batang per hari memiliki risiko masing-masing setinggi 1,3 dan 1,6 untuk terserang komplikasi kronis dibandingkan mereka tidak merokok, terkontrol secara usia, tingkat obesitas, dan aktifitas fisik. Persentase perokok di antara para lansia penderita DM tipe 2 cukup tinggi. Sebagian besar dari mereka memiliki tingkat pendidikan, tingkat status sosioekonomi, aktifitas fisik, serta tingkat konsumsi buah dan sayur yang rendah. Mereka pun kurang memiliki akses terhadap layanan kesehatan. Merokok meningkatkan risiko komplikasi kronis DM tipe 2.

Smoking is known as a variable that can be changed through a specific intervention activity. Recently in Indonesia, research related to chronic complication among elderly with type 2 Diabetes Mellitus (DM) was not available. This research has objective in exploring the risk of smoking towards chronic complication among elderly with type 2 DM. This research was using Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2007. Riskesdas is a representative Indonesia Health Survey. 1,565 elderly (aged 60++ years) with type 2 DM have selected by random. 70-80% of the elderly have Chronic Complications and 32.11% of the sample is smokers. The elderly who smoke more than 24 cigarettes per day have risk 2.5 (95% CI, 1.54-3.97), smoker 1-12 cigarettes per day, and smoker 13-24 cigarettes per day have risk 1.3 and 1.6 respectively to get chronic complication compared with those who do not smoke, controlled by age, obesity, and physical activity. The proportion of smokers among elderly with type 2 DM is high, most of them are low education, low socioeconomic status, lack of access to the health services, low of physical activity, and low consume vegetables and fruit. Smoking increases the risk of chronic complication of type 2 DM."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Indang Trihandini
"Smoking is known as a variable that can be changed through a specific intervention activity. Recently in Indonesia, research related to chronic complication among elderly with type 2 Diabetes Mellitus (DM) was not available. This research has objective in exploring the risk of smoking towards chronic complication among elderly with type 2 DM. This research was using Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2007. Riskesdas is a representative Indonesia Health Survey. 1,565 elderly (aged 60++ years) with type 2 DM have selected by random. 70-80% of the elderly have Chronic Complications and 32.11% of the sample is smokers. The elderly who smoke more than 24 cigarettes per day have risk 2.5 (95% CI, 1.54-3.97), smoker 1-12 cigarettes per day, and smoker 13-24 cigarettes per day have risk 1.3 and 1.6 respectively to get chronic complication compared with those who do not smoke, controlled by age, obesity, and physical activity. The proportion of smokers among elderly with type 2 DM is high, most of them are low education, low socioeconomic status, lack of access to the health services, low of physical activity, and low consume vegetables and fruit. Smoking increases the risk of chronic complication of type 2 DM.

Hubungan antara Merokok sebagai Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi dari berbagai Komplikasi Kronis pada Lansia dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Merokok dikenal sebagai variabel yang dapat diubah melalui aktifitas intervensi yang spesifik. Saat ini di Indonesia belum terdapat penelitian mengenai komplikasi kronis di antara para lansia penderita Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari risiko dari aktifitas merokok terhadap komplikasi kronis di antara para lansia penderita DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2007. Sebanyak 1.565 lansia (usia 60++ tahun) penderita DM tipe 2 dipilih secara acak. Sebanyak 70-80% dari para lansia tersebut memiliki komplikasi kronis, dan 32,11% sampel penelitian adalah perokok. Para lansia yang merokok lebih dari 24 batang per hari memiliki risiko 2,5 (95% CI, 1,54-3,97), sementara itu lansia yang merokok 1-12 batang per hari, dan yang merokok 13-24 batang per hari memiliki risiko masing-masing setinggi 1,3 dan 1,6 untuk terserang komplikasi kronis dibandingkan mereka tidak merokok, terkontrol secara usia, tingkat obesitas, dan aktifitas fisik. Persentase perokok di antara para lansia penderita DM tipe 2 cukup tinggi. Sebagian besar dari mereka memiliki tingkat pendidikan, tingkat status sosioekonomi, aktifitas fisik, serta tingkat konsumsi buah dan sayur yang rendah. Mereka pun kurang memiliki akses terhadap layanan kesehatan. Merokok meningkatkan risiko komplikasi kronis DM tipe 2."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dyana Santika Sari
"Penderita obesitas di dunia terus meningkat tidak hanya di negara maju namun negara berkembang seperti Indonesia. Peningkatan kejadian obesitas ternyata juga sejalan dengan peningkatan kejadian Sindrom Metabolik (SM) salah satunya adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Pengukuran obesitas yang selama ini dilakukan belum akurat. ABSI menggabungkan hasil ukur lingkar pinggang dengan IMT dan tinggi badan sebagai upaya mencari indikator antropometri baru yang lebih valid dalam menggambarkan bahaya dari kegemukan dan obesitas. Sedangkan untuk memperkiraan kejadian Diabetes agar menjadi lebih akurat diperlukan durasi obesitas. Aktivitas fisik diduga menjadi faktor utama yang mempengaruhi kejadian obesitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain studi kohor retrospektif. Analisis penelitian menggunakan survival dengan regresi cox. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 2.591 orang dewasa dengan obesitas di 5 Kelurahan di Kota Bogor.
Hasil penelitian ini menunjukkan ketahanan terhadap DM Tipe 2 paling rendah terjadi pada orang obesitas yang melakukan aktivitas fisik rendah dibandingkan dengan yang beraktifitas sedang dan tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi survival time antara lain umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, asupan karbohidrat, dan asupan lemak.

Obese people in the world continue to increase not only in developed countries but developing countries like Indonesia. The increase in the incidence of obesity was also in line with the increase in the incidence of Metabolic Syndrome (SM), one of which was Type 2 Diabetes Mellitus. Obesity measurements that had been carried out had not been accurate. ABSI combines waist circumference measurements with BMI and height in an effort to find new anthropometric indicators that are more valid in describing the dangers of obesity and overweight. Whereas to estimate the incidence of diabetes in order to be more accurate the duration of obesity is needed. Physical activity is thought to be the main factor affecting the incidence of obesity.
This study uses a quantitative approach using a retrospective cohort study design. Research analysis uses survival with cox regression. The number of samples in this study was 2,591 obese adults in 5 villages in the city of Bogor.
The results of this study showed the lowest resistance to Type 2 DM occurred in obese people who did low physical activity compared to those with moderate and high activity. Other factors that affect survival time include age, sex, family history, carbohydrate intake, and fat intake.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Fadhila
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan kelainan metabolik yang terjadi karena penurunan sensitifitas insulin. Latihan fisik mempunyai peranan penting dalam manajemen diabetes melitus tipe 2 dan menurunkan kadar glukosa darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan rentang gerak sendi aktif terhadap kadar glukosa darah penyandang diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan desain one group pretest-posttest dengan jumlah sampel 37 orang yang diambil dengan teknik consecutive sampling pada ruang perawatan penyakit dalam RSUD Pasar Minggu. Responden diberikan intervensi latihan rentang gerak sendi aktif selama 30 menit yang dilakukan 2 jam setelah makan yang diperkirakan antara jam 09.00-10.00 WIB. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu responden dilakukan sebelum dan segera setelah latihan rentang gerak sendi aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh latihan rentang gerak sendi aktif yang signifikan terhadap kadar glukosa darah sewaktu penyandang diabetes melitus tipe 2 antara sebelum dan setelah latihan (p=0,000; α 0,05). Namun, disarankan untuk mengevaluasi pengaruh latihan ini dengan meningkatkan frekuensi latihan dan mempertimbangkan jenis pengobatan diabetes responden.

Type 2 diabetes mellitus is a metabolic disorder that occurs due to decreased insulin sensitivity. Physical exercise plays an important role in management of type 2 diabetes mellitus and a decreases blood glucose levels. The aim of this study was to determine the effect of active range of motion exercises on the blood glucose levels in patients with type 2 diabetes mellitus. This research is an experimental study used the one group pretest-posttest design. Thirty seven respondents were selected using consecutive sampling technique in general ward in Pasar Minggu Hospital. Respondents were given 30-minute active range of motion exercise which were carried out 2 hours after meals which were estimated between 09.00-10.00 WIB. Blood glucose level was measured before and immediately after active range of motion exercise. The results showed that active range of motion exercises had a significant effect in reducing blood glucose levels of patients with type 2 diabetes mellitus between before and after exercise (p = 0,000; α 0,05). However, it is recommended to evaluate the effect of this exercise by increasing the frequency of exercise and considering the type of diabetes treatment respondents."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T54492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dikha Ayu Kurnia
"Penyandang DMT2 memiliki beban fisik dan psikologis pada status kesehatannya setelah menyandang DMT2, yang dapat mempengaruhi pencapaian HbA1c < 7% masih belum optimal. Oleh sebab itu, salah satu keberhasilan dalam mencegah komplikasi kronik adalah pengukuran kesadaran diri status kesehatan penyandang DMT2 yang berlangsung selama seumur hidup. Status kesehatan merupakan kondisi yang menggambarkan kesehatan baik secara fisik dan mental. Sayangnya, penyandang DMT2 belum dapat menilai dirinya sendiri dan memantau status kesehatan karena belum ada instrumen yang mudah dipakai dan digunakan sebagai alat evaluasi. Instrumen tersebut diperlukan untuk mengukur status kesehatan diri agar penyandang DMT2 dapat memperluas kesadaran dirinya sehingga akan terlibat aktif dalam perawatan kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengembangkan instrument kesadaran diri status kesehatan. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertama adalah pengembangan instrument; tahap kedua adalah uji validitas secara empirik; dan tahap ketiga adalah penormaan dan interpretasi instrumen. Tahap pengembangan instrumen terdiri dari validasi konstruk oleh 3 pakar, merancang instrumen, dan uji validitas isi rancangan instrumen oleh 6 pakar. Pada tahap uji validitas secara empirik, uji validitas konstruk melibatkan 602 penyandang DMT2 dengan komplikasi kronik. Hasil penelitian tahap 1 mendapatkan 100 butir pernyataan (CVI 1) mencakup 4 dimensi, yaitu kemitraan perawat, dialog, pola kesadaran diri, dan status kesehatan. Uji Confirmatory Factor Analysis (CFA) pada tahap dua menghasilkan 77 butir pernyataan yang fit unidimensional mengukur kesadaran diri status kesehatan. Tahapan ketiga menghasilkan skala dan skor kesadaran diri yang mudah dijumlahkan oleh penyandang DMT2 dengan terdiri dari kesadaran diri rendah (0-23), kesadaran diri sedang (31-57) dan kesadaran diri tinggi (58-77).

People with T2DM have a physical and psychological burden on their health status after having T2DM, which can affect the achievement of HbA1c < 7% is still not optimal. Therefore, one of the successes in preventing chronic complications is the measurement of self-consciousness of the health status of people with T2DM that lasts for a lifetime. Health status is a condition that describes health both physically and mentally. Unfortunately, people with T2DM have not been able to assess themselves and monitor their health status because there is no instrument that is easy to use and use as an evaluation tool. Instruments are needed to measure health status so that people with T2DM can expand their self-consciousness so that they will be actively involved in health care. This study aims to develop a self-consciousness of health status instrument. The research is divided into three stages, namely the first stage is instrument development; the second stage is empirical validity testing; and the third stage is instrument normalization and interpretation. The instrument development stage consists of construct validation by 3 experts, designing the instrument, and testing the content validity of the instrument design by 6 experts. In the empirical validity stage, the construct validity test involved 602 people with T2DM with chronic complications. The results of phase 1 research obtained 100 statement items (CVI 1) covering 4 dimensions, namely nurse partnership, dialogue, self-awareness patterns, and health status. Confirmatory Factor Analysis (CFA) test in stage two resulted in 77 unidimensional fit statement items measuring health status self-awareness. The third stage resulted in a self-awareness scale and score that is easily summarized by people with T2DM and consists of low self-awareness (0-23), moderate self-awareness (31-57), and high self-awareness (58-77)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Hendarto
"Latar Belakang: Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya hubungan antara diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan kejadian hipotiroid subklinis (HSK). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada DMT2 yang disertai HSK, angka kejadian retinopati ternyata lebih tinggi dibanding pada DMT2 yang tanpa disertai HSK. Pasien HSK sendiri diketahui mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian dislipidemia. Bagaimana hubungan antara dislipidemia dengan retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK, sampai saat ini masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui proporsi HSK pada pasien DMT2, hubungan antara HSK dengan kontrol glukosa darah, HSK dengan dislipidemia, serta hubungan antara dislipidemia dengan kejadian retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Sampel adalah pasien dewasa yang sudah didiagnosis DMT2 minimal 1 tahun, yang berobat ke poliklinik rawat jalan Divisi Metabolik Endokrin RSCM yang memenuhi kriteria inklusi. Data-data yang dikumpulkan adalah kontrol glukosa (HbA1c), profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida), TSHs, fT4 dan data retinopati. Data diambil dari rekam medis maupun pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Proporsi penyakit HSK pada pasien DMT2 sebesar 7.2 % dan sebagian besar berusia di atas 60 tahun. Tidak didapatkan perbedaan proporsi antara lakilaki dan perempuan. Dari analisis didapatkan pasien DMT2 dengan kontrol gula darah yang buruk (HbA1c >7) memiliki risiko 3,664 kali lebih besar mengalami HSK dibanding dengan pasien DMT2 yang gula darahnya terkontrol baik (p:0,010). Pada pasien DMT2 dengan HSK yang disertai dislipidemia, risiko terkena retinopati 2,76 kali lebih besar dibanding pasien tanpa dislipidemia (p:0,014).
Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara HSK dengan kontrol gula darah (HbA1c) pada pasien DMT2. Terdapat hubungan antara HSK dan dislipidemia pada pasien DMT2. Terdapat hubungan antara dislipidemia dengan kejadian retinopati pada pasien DMT2 dengan HSK.

Background: Some recent studies suggest that there is a link between type 2 diabetes mellitus (T2DM) and the incidence of subclinical hypothyroid (SCH). Other studies have shown that if a T2DM is accompanied SCH, the incidence of retinopathy was higher than in the T2DM without SCH. SCH patients themselves are known to have a high risk of occurrence of dyslipidemia. The the relationship between the incidence of dyslipidemia and retinopathy in patients with T2DM with SCH, is still unknown.
Objective: To determine the proportion of SCH in patients with T2DM, the relationship between SCH and glycemic control (HbA1c), SCH with dyslipidemia, and dyslipidemia with the incidence of retinopathy in T2DM patients with SCH.
Methods: The study design used is cross sectional. Sample were adult patients who have been diagnosed with T2DM at least 1 year, who went to the outpatient ward of Metabolic Endocrine Division, Cipto Mangunkusumo Hospital. Collected data include glycemic control (HbA1c), lipid profile (total cholesterol, LDL, HDL, triglycerides), TSHs, FT4 and retinopathy data. Data were retrieved from medical records and laboratory tests.
Results: The proportion of SCH in patients with T2DM 7.2%, and mostly aged over 60 years. There were no differences in the proportion between men and women. From the analysis reveals the T2DM patients with poor blood sugar control (HbA1c >7) had 3.664 times greater risk of developing SCH compared with T2DM patients with well-controlled blood sugar (p:0.010). In patients with T2DM with SCH accompanied dyslipidemia, retinopathy risk 2.76 times greater than patients without dyslipidemia (p:0.014).
Conclusion: There is a significant relationship between the SCH and glycemic control in patients with T2DM, SCH and dyslipidemia and also between dyslipidemia and retinopathy in T2DM patients with HSK.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vannya Damayanti Pradani
"Diabetes melitus merupakan penyakit yang menjadi perhatian seluruh dunia karena mengalami peningkatan angka penderitanya yang drastis secara global. Di Indonesia, diabetes melitus menjadi penyebab kematian terbesar ketiga. Untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas akibat komplikasi diabetes melitus, perlu dilakukan upaya manajemen diri. Salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap manajemen diri adalah literasi kesehatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara literasi kesehatan dengan manajemen diri penderita diabetes melitus tipe 2 di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional pada 62 orang yang dipilih melalui purposive sampling. Hasil analisis melalui uji fisher’s exact menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara literasi kesehatan dan manajemen diri pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Kota Depok (p-value = 0,510, p > α). Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk membuat program kesehatan yang meningkatkan literasi kesehatan dan manajemen diri.

Diabetes mellitus is a disease that has become a worldwide concern due to the drastic increase in the number of sufferers. In Indonesia, diabetes mellitus is the third leading cause of death. To reduce mortality and morbidity due to complications of diabetes mellitus, self-management efforts need to be made. One factor that can influence self-management is health literacy. The purpose of this study was to determine the relationship between health literacy and self-management of patients with type 2 diabetes mellitus in Depok City. This study used a quantitative observational analytic method with a cross-sectional approach on 62 people selected through purposive sampling. The results of the analysis through fisher's exact test showed no significant relationship between health literacy and self-management in patients with type 2 diabetes mellitus in Depok City (p-value = 0.510, p> α). This study can be used as a basis for creating health programs that improve health literacy and self-management."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Babaie, Naemeh Ali
"Investigasi Hubungan antara Kesehatan Psikis dan Insomnia pada Ibu Hamil di Pusat Kesehatan Masyarakat di Estahban.
Masa kehamilan adalah masa yang paling sensitif dalam hidup seorang
perempuan yang menyebabkan
perubahan fisik maupun psikis. Gangguan tidur
adalah salah satu hal yang dilaporkan oleh ibu hamil. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konsekuensi psikologis seorang ibu hamil. Studi ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
kesehatan psikis dan
insomnia pada ibu hamil di pusat kesehatan masyarakat di Estahban. Studi
deskriptif dan analitik
ini telah dilakukan pada 182 ibu hamil yang
berkunjung ke pusat kesehatan masyarakat di Estahban pada tahun 2015. Alat ukur yang digunakan pada studi ini adalah general health
questionnaire 28 (GHQ 28) dan insomnia severity index (ISI). Data dianalisa dengan Chi-Square dan uji korelasi Pearson menggunakan software SPSS 22. Hasil studi menunjukkan bahwa 46,2% sampel diduga mengalami perubahan mental, and 58,8% mengalami insomnia. Terdapat hubungan bermakna antara skor total kesehatan psikis dan skor total insomnia (r=0,58, p<0,05). Terdapat juga hubungan yang bermakna antara semua variabel keehatan psikis dan insomnia (p<0,05). Hasil menunjukkan adanya perubahan psikis dan juga insomnia diantara sampel pada studi ini. Oleh karena itu, edukasi dan konseling mengenai kesehatan pada masa kehamilah adalah penting.

Pregnancy is the most sensitive period in women's life which makes many physical and mental changes. Sleep problems are one of the issues that are reported by pregnant women. It appears to be associated with psychological consequences in pregnant women. This study aims to investigate the relationship between mental health and insomnia in pregnant women referred to health centers in estahban. This descriptive-analytic study has been done on 182 pregnant women referred to health centers of Estahban in 2015 by available sampling method. Research tools used in this study were general health questionnaire 28 (GHQ 28) and insomnia severity index (ISI).Data were analyzed using Chi-Square and Pearson Correlation tests in SPSS 22 software. Research findings showed that 46.2% of women were suspected of mental disorders, and 58.8% of them suffered from insomnia. According to Chi-square test, there was a significant relationship between total score of mental health and a total score of insomnia (r=0.58, p<0.05). Also, a significant relationship was observed in all variables of mental health and insomnia (p<0.05). Results indicate a high level of mental disorders as well as insomnia among pregnant women; also, the mutual effect of these diseases on each other. As a result, sleep hygiene education as well as appropriate consideration and counseling to pregnant women to treat disorders for achieving a safe pregnancy are recommended."
Shiraz University of Medical Sciences. Estahban Paramedical College, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novanza Rayhan Natasaputra
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) disandang oleh 10,7 juta orang di Indonesia dan menjadi tiga besar penyakit tidak menular penyebab kematian. Sebagian besar kematian terjadi akibat komplikasi yang diawali oleh kontrol glikemik kadar HbA1c yang tidak adekuat, dan diasosiasikan dengan aspek multifaktorial seperti karakteristik sosiodemografi maupun perilaku individu dalam merawat diri—Self-Care Behaviour. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara tingkat kontrol glikemik pada penyandang DMT2 dengan karakteristik sosiodemografi dan perilaku self-care yang dimiliki. Metode: Studi ini menggunakan desain potong-lintang terhadap data sekunder yang dikumpulkan sebelumnya pada Kohor Penyakit Tidak Menular Bogor 2021. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner Self-Care Behaviour yang divalidasi dalam bahasa Indonesia, pengukuran kadar HbA1c serta karakteristik penyandang. Populasi studi adalah penyandang DMT2 di lima fasilitas kesehatan primer di Kota Bogor. Sampel dianalisis menggunakan uji Chi-Square dan perhitungan odds ratio. Hasil: Analisis dilakukan pada 237 responden, terdiri atas 90 responden kelompok usia lansia (38%) dan 147 dewasa (62%). Jenis kelamin responden didominasi perempuan sebanyak 171 responden (72,2%) dan 66 responden laki-laki (27,8%). Sebanyak 149 responden (62,9%) memiliki skor Self-Care Behaviour yang baik. Sejumlah 134 responden (56,6%) memiliki kadar HbA1c yang terkontrol. Empat dari tujuh komponen Self-Care Behaviour—pengetahuan, motivasi, dukungan, dan efikasi—berhubungan dengan kontrol glikemik (p<0,001). Efikasi menjadi prediktor kadar HbA1c terkontrol paling kuat (Odds ratio [OR]: 9,7; 95% Confidence Interval [CI] 5,27–17,67). Skor keseluruhan Self-Care Behaviour yang baik meningkatkan probabilitas kadar HbA1c terkontrol 9,1 kali (95% CI 4,94–16,7) dibanding skor kurang baik. Komponen komunikasi, sikap, dan pembiayaan tidak memiliki hubungan signifikan. Tingkat pendidikan dan riwayat DMT2 di keluarga berhubungan dengan tingkat keseluruhan Self-Care Behaviour dan dengan kontrol kadar HbA1c. Kesimpulan: Aspek perilaku self-care pada penyandang DMT2 mempunyai dampak substansial dan signifikan terhadap kontrol glikemik yang dimiliki penyandang.

Introduction: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) affects 10.7 million individuals in Indonesia and ranks among the top three non-communicable diseases leading to death. Most of mortality result from complications initiated by inadequate glycemic control, associated with multifactorial aspects such as sociodemographic characteristics and individual self-care behaviour. This study aims to explore the relationship between glycemic control levels in individuals with T2DM and their sociodemographic characteristics and self-care behavior. Method: This study is a cross-sectional study utilizing previously collected secondary data from the Non-Communicable Disease Cohort in Bogor 2021 Data were collected using a validated Self-Care Behaviour questionnaire in Bahasa Indonesia, along with primary data of HbA1c levels and respondent socio-characteristics. The study population consisted of individuals with T2DM from five primary healthcare facilities in Bogor city. The samples were analyzed using Chi-Square test and risk calculation. Result: The research analysis included 237 respondents, consisting of 90 elderly (38%) and 147 adults respondents (62%). The respondents were predominantly female, with 171 respondents (72.2%) compared to 66 male respondants (27.8%). A total of 149 respondents (62.9%) exhibited good Self-Care Behaviour scores. Approximately 134 respondents (56.6%) maintained controlled HbA1c levels. Four out of seven Self-Care Behaviour components—knowledge, motivation, support, and efficacy—were associated with glycemic control (p<0.001). Efficacy identified as the most influential predictor for controlled HbA1c levels (odds ratio [OR]: 9.7, 95% Confidence Interval [CI] 5.27–17.67). An overall good Self-Care Behaviour score is associated with a 9.1-fold increased probability of achieving controlled HbA1c levels (95% CI 4.94–16.7) compared to group with poor score. Self-Care Behaviour components of communication, attitude, and financing were not signicifantly associated. Education level and a family history of T2DM were associated with overall Self-Care Behaviour and with HbA1c control."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nguyen, Thi Xuan Ngoc
"Hubungan antara Obesitas dan Status Periodontal Pasien di Vietnam: Studi Pendahuluan. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi status periodontal serta hubungan antara obesitas dan status periodontal pasien-pasien yang baru pertama kali mengunjungi Institute of Traditional Medicine, Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Terdapat 118 pasien berumur 18 tahun atau lebih yang terdiri dari 56 subjek penelitian yang mengalami obesitas (IMT≥27,5 dengan rata-rata umur 33,8 tahun, 11 orang pria dan 45 orang wanita), dan 62 orang subjek penelitian non-obesitas (IMT<27,5 dengan rata- rata umur 34,3 tahun, 4 orang pria dan 58 orang wanita) yang terdaftar di institusi tersebut dalam kurun waktu 5 bulan dari bulan Februari hingga Juni 2014. Informasi mengenai karakteristik sosio-demografi dan kebiasaan mereka dalam merawat gigi dikumpulkan melalui kuesioner. Penelitian ini mengkaji status periodontal (PLI, GI, BOP, PD, dan CAL), dan dilakukan pengukuran indeks antropometri. Kelompok yang mempunyai obesitas memiliki prevalensi periodontitis yang secara signifikan lebih tinggi (39,3%) dibandingkan dengan kelompok non-obesitas (16,4%). Nilai rata-rata GI, BOP, PD, dan CAL pada subjek penelitian yang mengalami obesitas juga jauh lebih tinggi daripada subjek penelitian non-obesitas. Dalam hal latar belakang pendidikan yang lebih rendah, kunjungan ke dokter gigi serta tindakan pembersihan karang gigi rutin, persentase yang lebih tinggi ditemukan pada kelompok non-obesitas daripada kelompok obesitas. Analisis regresi logistik ganda yang dilakukan menunjukkan bahwa umur (OR=3,10), rutinitas kunjungan ke dokter gigi (OR=3,34) dan obesitas (OR=2,79) merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan signifikan terhadap periodontitis. Status periodontal subjek penelitian yang mengalami obesitas lebih buruk daripada subjek yang non- obesitas. Terdapat kemungkinan bahwa obesitas merupakan faktor risiko periodontitis pada pasien di Vietnam.;This study aims to investigate periodontal status, and the relationship between obesity and periodontal status in patients who first visited the Institute of Traditional Medicine, Ho Chi Minh City, Vietnam. 118 patients aged 18 or older, including 56 obese subjects (BMI≥27.5, mean age: 33.8, males: 11, females: 45) and 62 non-obese subjects (BMI<27.5, mean age: 34.3, males: 4, females: 58) were enrolled for a period of 5 months from February 2014 to June 2014. The information on socio-demographic characteristics and dental habits were collected by questionnaire. Periodontal status (PLI, GI, BOP, PD, CAL) was examined and the anthropometric index was measured. There was significantly higher prevalence of periodontitis (39.3%) in the obese group than the non-obese group (16.4%). Means of GI, BOP, PD, and CAL in obese subjects were significantly higher than those in non-obese subjects. Significantly higher percentages of subjects who had lower education, visited dental offices, scaled and polished their teeth regularly were in the non-obese group than in the obese group. Multiple logistic regression analysis revealed that age (OR=3.10), routine of dental visit (OR=3.34) and obesity (OR=2.79) were risk factors significantly related to periodontitis. Periodontal status in obese subjects was poorer than non-obese subjects. Obesity might be the risk factor for periodontitis in Vietnamese patients.

This study aims to investigate periodontal status, and the relationship between obesity and periodontal status in patients who first visited the Institute of Traditional Medicine, Ho Chi Minh City, Vietnam. 118 patients aged 18 or older, including 56 obese subjects (BMI≥27.5, mean age: 33.8, males: 11, females: 45) and 62 non-obese subjects (BMI<27.5, mean age: 34.3, males: 4, females: 58) were enrolled for a period of 5 months from February 2014 to June 2014. The information on socio-demographic characteristics and dental habits were collected by questionnaire. Periodontal status (PLI, GI, BOP, PD, CAL) was examined and the anthropometric index was measured. There was significantly higher prevalence of periodontitis (39.3%) in the obese group than the non-obese group (16.4%). Means of GI, BOP, PD, and CAL in obese subjects were significantly higher than those in non-obese subjects. Significantly higher percentages of subjects who had lower education, visited dental offices, scaled and polished their teeth regularly were in the non-obese group than in the obese group. Multiple logistic regression analysis revealed that age (OR=3.10), routine of dental visit (OR=3.34) and obesity (OR=2.79) were risk factors significantly related to periodontitis. Periodontal status in obese subjects was poorer than non-obese subjects. Obesity might be the risk factor for periodontitis in Vietnamese patients."
Faculty of Odonto-Stomatology;University of Medicine and Pharmacy. Faculty of Odonto-Stomatology, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>