Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Yani Basuki
"Disertasi atau penelitian ini mengkaji tentang Reformasi TNI dari perspektif sosiologi. Ada ernpat aspek kajian yang hendak dibahas. Pertama, kajian kritis tentang proses dan progres Reformasi TNI yang telah berlangsung kurang lebih 9 tahun (1998-2007). Kedua, membandingkan bagaimana pandangan internal-eksternal TNI dan pandangan media tentang Reformasi TNI. Ketiga, memperbandingkan bagaimana pola dan profesionalitas Reformasi TNI sebagai sebuah kasus mundurnya militer dari politik (military withdrawal from politics) dengan 71 kasus pola dan profesionalitas rnundumya militer dari politik yang pernah terjadi di beberapa negara lain. Keempat, mengkaji tentang perubahan TNI, apakah setelah 9 tahun melaksanakan Reformasi Internal, posisi TNI sudah Iebih fungsional dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia saat ini ?.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana Reformasi TNI sebagai sebuah proses mundurnya militer dari politik yang berlangsung di tengah perubahan konfigurasi masyarakat global maupun nasional. Reformasi TNI tidak berlangsang di diruang hampa (invacuum social system), bahkan berlangsung ditengah masyarakat yang sedang dalam "euphoria" reformasi. Bagaimana dinamika dan interaksi sosial yang ada dalam kerangka memposisikan diri TNI secara tepat dalam sistem sosial bangsa Indonesia dan lebih fungsional, sinergi dengan fungsi-fungsi yang lain. Bagaimana pola dan profesionalitas perubahan yang mewarnai proses dan progres reformasi TNI yang sudah berlangsung selama ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dirancang dengan menggabungkan antara metode. kuantitatif dan kualitatif. Meskipun masing-masing pendekatan tersebut memiliki paradigma yang berbeda, namun penggabungannya sangat dimungkinkan. Penggabungan kedua pendekatan dengan satu obyek yang sama secara bergantian, diharapkan menghasilkan temuan yang Iebih komprehensif karena menggabungan keduanya juga dalam kerangka trianggulasi penelitian kualitatif (Susan Stainback, 1988 ; Sugiyono, 2006). Untuk memperoleh data yang diharapkan, maka digunakan ernpat teknik pengumpulan data, yaitu studi dokumentasi, penyebaran angket, wawancara mendalam ( in depth inrenrfew) dan focus group discussion (FGD).
Landasan teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori tentang mundurnya militer dari politik (military withdrawal from politics) Talakder Maniruzzaman (1998) dan teori fungsionalisme struktural, Talcott Parsons (1957) dan Robert K. Morton (1957). Dalam hasil penelitiannya, Talukder Maniruzzaman menetapkan tentang bagaimana kriteria pola dan prafesionalitas yang timbul dalam 71 kasus mundurnya militer dari politik . Ia membagi dalam lima macam pola mundurnya militer dari politik. Yaitu : a) Mundur secara terjadwal dan terencana segera setelah diIangsungkan Pemilihan Umum, b) Mundur secara mendadak setelah menyerahkan kekuatan pemerintah sipil sementara, c) Mundur lewat revolusi sosial, d) Mundar Iewat pemberantasan massal, e) Mundur karena invasi atau intervensi negara asing. (falukder Manirazzaman,1998 hal 31-33).
Sementara tentang profesionalitas mundurnya militer dari politik, Talukder M membagi dalam 2 kriteria, yaitu mundur secara "Profesional" dan secara ?tidak profesional". Tentara yang profesianal, keluar dari dunia politik secara terencana dan penuh pertimbangan, dan mundur dengan keyakinan bahwa ia telah memenuhi semua tujuan intervensinya atau merasa bosan dan merasa tidak mampu lagi untuk memerintah. Sedang Tentara yang tidak professional mundur dari politik dengan mendadak dan tiba-tiba, terlibat dalam beberapa kali intervensi dan kemudian kembali ke barak hanya merupakan penundaan terhadap prospek demiliterisasi politik dalam jangka panjang di negara-negara tersebut. Militer mereka terpecah-pecah oleh berbagai loyalitas primordial dan sektarian (Talukder Maniruzzaman, 1998:277-278).
Dalam perspektif fungsionalis Talcott Parsons (1937) dan Robert Merton (1957), setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, katena hal itu fungsional. Suatu nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional ; bila perubahan sosial tersebut mengganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan fangsional ; bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional. (Paul B. Horton & Chester I, 1993:l8).
Merton (l963:105), mendefinisikan fungsi sebagai ?konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu". Sedang (Rocher, 1975:-40) mendefinisikan fungsi (function) adalah "Kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem". Sementara Parsons bersama dan bersinergi dengan fungsi-fungsi komponen bangsa lainnya. Komitmen TNI ke depan adalah, bahwa semua tindakan TNI senantiasa : 1) Harus dalam kerangka pelaksanaan tugas negara. 2) Dalam rangka pemberdayaan kelembagaan fungsional. 3) Posisi, peran dan tindakan TNI harus berdasarkan kesepakatan bangsa melalui mekanisme institusional yang ada 4) Ditempatkan dan menempatkan diri sebagai bagian dari sistem Nasional. 5) Ditetapkan melalui ketetapan-ketetapan yang diatur secara konstitusional.
Dalam progres implementasi Reformasi yang berlangsung secara gradual dan berlanjut telah tercatat adanya 31 poin perubahan yang meliputi aspek struktur, kultur dan doktrin. Dua puluh enam diantaranya bersifat final, dan lainnya merupakan proses berlanjut. Pada dasarnya setiap perubahan paradigma, struktur dan doktrin, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap perubahan kultur atau perilaku. Namun masih banyak pula masyarakat yang kurang memahami adanya perubahan-perubahan tersebut. Kasus-kasus pelanggaran oknum prajurit TNI sering direpresentasikan belum berubahnya kultur TNI. Begitu juga kiprah purnawirawan TNI (yang statusnya sudah sebagai masyarakar sipil) di berbagai bidang kehidupan yang digeluti, sering dihubungkan dan atau direpresentasikan sebagai kebijakan pimpinan atau institusi TNI. Padahal keberadaan dan kegiatan mereka sudah tidak lagi ada hubungan struktural dengan institusi TNI.
Tentang pandangan internal dan ekternal TNI, melalui survey atau pengisian angket terhadap 2.400 orang responden dan melalui uji statistik Chi Square dan atau V. Cramer menunjukkan bahwa secara prinsip tidak ada perbedaan pandangan internal dan eksternal TNI terhadap 10 items pertanyaan seputar reformasi TNI. Begitu juga pandangan media tentang progres Reformasi TNI menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan agenda atau pandangan antara HU Kompas dan HU Republika (yang menjadi sampel dalam penelitian ini), baik dalam penempatan berita maupun isi dan kecenderungan beritanya.
Tentang pola Reformasi TNI. Jika pola Reformasi TNI diperbandingkan dengan 5 pola mundurnya militer dari politik (military withdrawal from politics) pada beberapa negara Iain, maka dengan melihat faktor kesamaan dan perbedaan serta kekhusannya, dapat dirumuskan bahwa Reformasi TNI berlangsung secara gradual, bertingkat dan berlanjut. Tidak terkait dengan dilangaungkannya Pemilu terlebih dahulu. Tidak disertai penyerahan kekuasaan sipil sementara, tanpa revolusi sosial tanpa pemberontakan massal, tidak ada invasi atau intervensi asing. Sedang profesionalitas Reformasi TNI apabila diperbandingkan dengan profesionalitas dari kasus-kasus mundurnya militer dari politik pada beberapa militer negara asing, maka antara perbedaan, kesamaan dan ke ?khasan?nya, kriteria Reformasi TNI termasuk dalam kriteria mundur dari politik secara profesional. Dalam hal ini : Reformasi TNI dilaksanakan secara gradual, bertingkat dan berlanjut. Tidak mendadak, tidak tergesa-gesa. Telah ada pemikira-pemikiran reformis yang mendahului. Dilaksanakan dengan dilandasi kesadaran adanya kesalahan dalam format politik Negara di masa lalu. TNI ingin menata posisi dan perannya yang tepat dalam tatanan kehidupan nasional yang demokratis dan fungsional bersama fungsi-fungsi/komponen bangsa Iainnya. Reformasi internal merupakan tekad dan komitmen TNI dan juga bangsa Indonesia pada umumnya.
Tentang Refungsionalisasi Peran TNI. Dalam perspektif sosiolagis-fungsionaIis, Reformasi Internal TNI merupakan upaya TNI untuk merefungsionalisasi perannya yang di masa lalu dinilai ?disfungsi?. Dengan telah adanya 31 item perubahan baik dari aspek struktur, kultur maupun doktrin, dan didukung data-data hasil penelitian lainnya, kondisi TNI saat ini telah lebih fungsional baik bagi stake holder TNI, TNI sendiri, Negara maupun Masyarakat. Namun demikian untuk optimalisasinya masih dipengaruhi oleh kondisi yang berkaitan dengan tingkat profesionalisme yang ada saat ini, kejelasan rumusan tugas dan bagaimana reformasi subsistem sosial atau masyarakat Indonesia lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis merekomendasikan bahwa TNI sebagai salah satu komponen atau sub sistem dari sistem sosial bangsa Indonesia memikul tugas dan tanggung jawab strategis sebagai komponen utama di bidang pertahanan. Oleh karena itu untuk mewujudkan TNI yang profesional, fungsional dan memiliki daya tangkal (deterrence) tinggi, tidaklah cukup hanya dirumuskan oleh TNI sendiri, juga tidak oleh pihak ekternal semata, tetapi harus melihatkan internal TNI dan komponen bangsa lainnya secara proporsional. Oleh karena itu, terbukanya ruang publik untuk mengkomunikasikan proses dan progres Reformasi TNI sangat penting."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D832
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perlmutter, Amos
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000
355.03 PER mt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Anwar
"Era reformasi yang menggema di tahun 1998 telah menyentuh seluruh aspek kehidupan bangsa. Segala aspek dituntut untuk berubah sebagai cara untuk meninggalkan warisan tradisi Orde Baru. Militer sebagai lembaga yang mendukung kekuasaan rezim, tak luput dari tuntutan perubahan. Wacana sipil-militer pun menjadi pembicaraan menarik, karena militer turut berperan aktif dalam warisan tradisi Orde Baru, khususnya dalam wilayah politik.
Oleh karena itu, fokus perhatian tertuju pada peran politik militer. Sejak masa kepemimpinan Orde Lama, peran politik militer telah berlangsung. Di masa Orde Baru, peran tersebut semakin meningkat, bahkan militer turut mendukung tatanan pemerintahan selama lebih dari 30 tahun. Bersama dengan Golkar dan Birokrasi, Soeharto berhasil mengorganisir militer sebagai kekuatan politik yang turut menjamin stabilitas kekuasaan di bawah kepemimpinanya.
Dalam meneliti peran politik militer ini, teori yang dipakai adalah teori relasi sipil-militer, peran politik militer, dan teori konsolidasi demokrasi. Ketiga teori ini dianggap mampu menggambarkan praktik poiitik militer di masa Orde Lama, Orde Baru dan pergeserannya di masa pasca Orde Baru. Metode yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah metode kualitatif, dengan memakai pendekatan kepustakaan (library research). Sumber-sumber data diperoleh dengan mengkaji buku-buku yang terkait dengan objek penelitian sorta melakukan wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan objek penelitian.
Berdasarkan temuan penelitian, era pasca Orde Baru menunjukkan kecenderungan menguatnya profesionalisrne militer. Militer terfokus pada fungsi pertahanan sebagai tugas utamanya. Civil society menjadi pilar utama, menggantikan dominasi militer. Lewat kebijakan sipil di DPR, kepentingan militer juga memperoleh perhatian utama, khususnya upaya untuk meningkatkan anggaran kesejahteraan dan belanja militer. Dengan demikian, peran politik militer di Indonesia pasca Orde Baru semakin menurun, seiring reformasi internal di tubuh militer sendiri. Kondisi ini sejalan dengan upaya konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

Reformation era launched year 1998 has touched entire aspect of life nation. All aspect claimed to change as mode to leave heritage of New Order tradition. Military as institute support regime power don?t miss from change demand. Discourse of civil-military even also becomes interesting discussion because military partake the active sharing in heritage of New Order tradition, especially in political region.
Therefore, the focus attention concentrated to the political role of military. Since a period of Old Order leadership, political role of military has taken place. In period of New Order, the role progressively mount, even the military partake to support system of govemance during more than 30 years. Along with Golkar and Bureaucracy, Soeharto succeed to organize military as strength of politics which partake to guarantee stability of power under his leadership.
In study of political role of military, the theory which used is civil-military relationship theory, political role of military, and the consolidation of democracy theory. Those three theories are assumed able to depict political practice of military in a period of Old Order, New Order and its friction in a period of post New Order. Method that used in this thesis is qualitative method, with is bibliographical approach (library research). Data resources obtained by studying relevant books with research object and also conducting interview with various parties that concerned directly in policy intake with research object.
Pursuant to research Ending, post New Order era shows tendency of strengthen of military professionalism. Military focused at defender function as its main duty. Civil Society becomes especial pillar, replacing military domination. Through civil policy Indonesia House of Representative (DPR), military interest also gets especial attention, especially attempt to increase the military expense and prosperity budget. Thereby, political role of military in Indonesia downhill post New Order progressively, along the internal reform inside military. This condition is in parallel with effort of democracy consolidation which is underway in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcellino Sebastian
"Sejak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Jepang berada di bawah kependudukan Sekutu selama 7 tahun, yaitu 1945-1952. Dalam Konstitusi Jepang yang diberlakukan sejak pada tahun 1947, terdapat pasal (pasal 9) yang memuat larangan bagi Jepang untuk memiliki militer. Namun, kondisi Jepang yang rentan terhadap ancaman negara lain, seperti RRC, Rusia dan Korea Utara membuat Jepang membutuhkan perlindungan dari Amerika. Di sisi lain Amerika melihat Jepang sebagai garis depan dalam menghadapi pengaruh komunisme di Asia pada masa Perang Dingin. Oleh karena itu Amerika merasa perlu membangun pangkalan militer di Jepang. Setengah beberapa dekade ketergantungan dan kehadiran Militer Amerika Serikat di Jepang menjadi perdebatan dalam masyarakat Jepang. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pro kontra terkait keberadaan militer AS di Jepang dan factor penyebabnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui wawancara terstruktur terhadap berbagai narasumber yang berdomisili di wilayah Jepang dengan kerangka teori dari Foucault tentang kekuasaan dan Barry Buzan tentang pertahanan negara.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa di satu sisi, Jepang masih membutuhkan militer Amerika Serikat, namun di sisi lain keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan beberapa masalah bagi Jepang. Keberadaan militer Amerika di Jepang diperlukan terutama dikaitkan dengan perkembangan kondisi geopolitik di kawasan Asia Timur pada tahun 2022. Antara lain memanasnya hubungan RRC-Taiwan pada bulan Juli 2022, kembalinya uji coba rudal balistik Korea Utara diatas wilayah Jepang pada Oktober 2022, dan tegangnya hubungan Jepang-Rusia sebagai imbas dari invasi Ukraina pada Februari 2022. Di sisi lain, masalah yang timbul di daerah sekitar markas AS (terutama kepulauan Okinawa) seperti tindakan kriminal para personil militer AS dan polusi yang ditimbulkan membuat keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan permasalahan bagi Jepang. Apalagi pemerintah Jepang juga harus membayar ‘Anggaran Simpati’ untuk memelihara pasukan AS di wilayahnya. Hal itu merupakan beban bagi pemerintah Jepang.

Since Japan's defeat in World War II, Japan was under Allied occupation. Within the Japanese Constitution that was published in 1947, lies an article (Article 9) which prohibits Japan from possessing a military. This however left Japan's vulnerable to threats from neighboring countries such as the PRC, the Soviet Union and North Korea and thus required Japan to ask America for military protection. On the other hand, America saw Japan as the front line in preventing the spread of communism in Asia during the Cold War. Because of that America felt the need to build military bases in Japan. After more than half a century later, Japans dependency of the United States Military presence Japan is still prevalent and has becoming a debate within the Japanese Society. This study investigates the pros and cons regarding the presence of the US military in Japan and the multiple factors behind it. The method used in this research is a qualitative method through structured interviews with various sources (in this case, Japanese Nationals) who reside in Japan with the theoretical framework of Foucault on strength and Barry Buzan on national defense.

The results of this study found that on the one hand, Japan still needs the United States military, but on the other hand the presence of the United States military creates several problems for Japan. America's presence in Japan is needed, especially in relation to geopolitical developments in the East Asia region in 2022. This include the rising tension of PRC-Taiwan relations in July 2022, the return of North Korea's ballistic missile tests over Japanese territory in October 2022, and the worsening of Russo-Japan relations as a result of the invasion of Ukraine in February 2022. On the other hand, problems within in the area around US bases (especially the islands of Okinawa) such as criminal acts of US military personnel and various pollutions caused by military activities. Moreover, the Japanese government also has to pay the 'Sympathy Budget' to maintain US troops on its territory which is becoming a huge burden for the Japanese government to bear."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amarulla Octavian
"Summary
Global perspectives of military sociology and its contribution to the transformation of the Indonesian Armed Forces."
Jakarta: UI-Press, 2012
355.03 AMA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Imparsial, 2006
355 GAM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hermawan Sulistyo
Jakarta: Pensil-324, 2004
322.5 HER b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: The Ridep Institute-Friedrich Ebert Stiftung, 2007
355 MET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Indonesia Corruption Watch, 2003
355 BIS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Ma`arif
"Penelitian (disertasi) ini menelaah pergeseran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di era reformasi, khususnya setelah terbitnya UU No. 34/2004 tentang TNI. Fokus kajian disertasi ini dirumuskan dalam tiga research question berikut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat sipil dan para perwira TNI mengenai eksistensi lembaga teritorial bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan (Dephan) dalam era demokratisasi dan arus perubahan masyarakat? Kedua, prasyarat macam apakah yang dibutuhkan TNI baik secara internal sebagai key factor maupun eksternal (driving force) dalam upaya menuju militer profesional? Ketiga, skenario macam apakah yang dapat dibentangkan bagi berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh dalam melakukan reformasi lembaga teritorial, bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan dalam rangka menuju militer profesional di masa depan?
Ada pun tujuan penelitian adalah rnemahami secara tuntas dan mendalam pandangan atau gagasan masyarakat sipil serta perwira TNI tentang eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, Serta hubungan TNI dengan DepartemenPertahanan dalam rangka membangun tentara profesional di masa mendatang.
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan dalam pola metode kualitatif (qualitative method). Fenomena yang diangkat mengisyaratkan pernbacaan terhadap apa yang ada di balik fakta sehingga dipandang lebih relevan menggunakan pendekatan kualitatif dalam ilmu sosial, Pendekatan kualitatif memiliki akses dan perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:13), metode-metode kualitatif dapat perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta. Seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:l3), metode-metode kualitatif dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena (symtom, gejala) yang seringkali merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Selain itu, penelitian ini juga mencoba menggunakan teknik skenario (scenario technique), khusus untuk konteks penawaran alternatif atau mendesain pilihan-pilihan kemungkinan bagi upaya reformasi internal TNI menuju militer profesional sesuai semangat UU TNI dan tuntutan perubahan dalam masyarakat. Teknik skenario, manumt Schwartz (199125) merupakan "a toolfor ordering one ?s perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively: a set of organized woysfor ns to dream ejectively about our own fixture. Concretebr, the resemble a set of stories, either written out or often spoken". Selanjutnya dikatakan, however, these stories are built around carefully constructed plots that make the significant elements of the world scene stand out bolaju. This appoarch is more a diciplined way of thinking than a formal metodology.
Guna mendapatkan data yang dibutuhkan, beberapa teknik koleksi data telah berusaha digunakan yakni penyebaran kuesioner, focused group discussion (FGD), dan wawancara mendalam (in depth interview). Informan penelitian tersebar di dua belas kota sesuai wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) yang ada di Indonesia. Sandaran teoretik yang digunakan dalam penelitian (disertasi) ini adalah teori Huntington tentang militer profesional. Menurutnya, militer profesional adalah militer yang memiliki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesatuan (corporateness) Dia menulis, ?the first step in analyzing the professional character of modern o_[¢'icer corps is to define professionalism. T716 distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
Bagi Huntington, intinya adalah berubahnya korps perwira militer dari bentuk ?penakluk? (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari ?tentara pencari keuntungan materi? menjadi ?tentara karena panggilan suci memberikan pelayanan kepada masyarakat- Huntington melihat profesi militer merupakan produk terbaru masyarakat modern.
Huntington menggolongkan secara dikotomik kaum militer ke dalam dua kategori, yakni ?militer profesional? dan ?militer pretorian?. Militer profesional umumnya dijumpai di negara-negara Barat, di mana militer merupakan kelompok profesional untuk menjaga negara. Mereka juga memiliki ketertundukan kepada pemerintahan sipil. Ia berada di bawah supremasi sipil. Sedangkan prajurit pretorian adalah tentara yang turut terlibat dan melakukan intervensi dalam kehidupan poIitik.
Dalam kerangka peran militer dalam masyarakat (the role of the military in society), Huntington mengajukan terminologi civilian control (kontrol sipil) yang dibedakan antara "subjective civilian control " (kontrol sipil subyektif) dan ?objective civilian control ? (kontrol sipil objektif). Kontrol sipil subyektif, di mana kekuatan sipil berusaha memaksimalkan kekuasaan serta berusaha menarik tentara ke dalam dan untuk kepentingannya, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Sedangkan kontrol sipil objektif, yakni memaksimalkan profesionalisme militer itu sendiri. Secara lebih tegas, kontrol sipil objektif adalah pembagian kekuasaan politik di antara militer dan kelompok-kelompok sipil untuk menciptakan situasi kondusif bagi munculnya sikap dan perilaku profesional di antara para anggota korps perwira. Kontrol sipil objektif, dengan demikian, menentang secara Iangsung kontrol sipil subyektif. Kontrol sipil subyektif mencapai tujuan akhirnya dengan men-sipilkan pihak militer. Sementara kontrol sipil objektif mencapai tujuan akhimya dengan memiliterkan pihak militer, menjadikan mereka alat negara Inti kontrol sipil objektif adalah pengenalan akan profesionalisme militer yang mandiri, sedangkan inti dari kontrol sipil subyektif adalah penyangkalan terhadap kemandirian militer.
Teori militer profesional yang dikembangkan Huntington seringkali dikenal sebagai the old professionalism, Di seberang pemikiran itu, muncul teori the new professionaIism yang diajukan oleh Alfred Stepan, yang diangkat dari fenomena militer di negara-negara sedang berkembang. Dalam the new professionalism, militer turut terlibat dalam kehidupan politik dan turut terlibat dalam menangani masalah ancaman yang muncul dari kalangan masyarakat di dalam negeri suatu negara.
Terhadap pertanyaan penelitian yang disebutkan di atas, temuan penelitian (disertasi) ini menunjukkan ada tiga pembelahan pandangan baik tentang lembaga Koter maupun bisnis TNI serta hubungan TNI dengan Dephan, yakni pandangan konservatif, progresit; dan moderat.
Menyangkut eksistensi Komando Tedtorial (Koter), kelompok pandangan konsenratif berpendirian, bahwa lernbaga tersebut, secara struktural, tetap dipertahankan seperti yang ada saat ini, tetapi secara fimgsional ia harus dikembalikan seperti semula yang semata-mata diorientasikan untuk menangani bidang pertahanan serta fungsi-fungsi teritorial lainnya jika diminta oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan pandangan progresif mengisyaratkan pembubaran total lembaga teritorial, karena ketika TNI hanya melakukan peran dan fungsi semata-mata di bidang pertahanan maka Koter pun menjadi tidak relevan. Kemudian pandangan moderat mengajukan tesis refungsionalisasi lembaga tritorial. Artinya, Koter tetap dipertahankan tetapi peran dan fungsi yang dijalankan hanya dalam lingkup pertahanan dari sisi matra darat dan menutup seluruh peluang bagi keterlibatan TNI dalam politik praktis dan bisnis. Di samping itu, kelompok moderat juga berpandangan bahwa TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat membentangkan struktur organisasinya sesuai kebutuhan pertahanan dalam perspektif matra laut dan matra udara, dengan melaksanakan pmberdayaan wilayah pertahanan sesuai matra masing-masing.
Mengenai bisnis TNL kalangan konservatif memandang bisnis TNI mampu memberikan dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Kalau kemudian bisnis TNI itu dialihkan ke negara, hal itu tidak dilakukan secara total. Artinya masih ada bentuk bisnis tertentu yang harus tetap dipertahankan untuk dikelola TNI yakni koperasi dan yayasan-yayasan nonproit, terutama yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Sementara kalangan progresif memandang bahwa tentara profesional mensyaratkan untuk tidak terlibat sedikit pun dalam segala bentuk kegiatan bisnis. Hak dan akses bagi TNI berbisnis harus dicabut dan ditutup secara total. Bisnis dapat mengganggu dan mengacaukan profesionalisme TNI- Segala wujud bisnis yang ada selama ini harus diambil alih total oleh pemerintah, dan pemerintahlah yang kemudian bertanggung jawab untuk membiayai kebutuhan TNI dan kesejahteraan prajurit. Kemudian, kalangan moderat berpendirian bahwa bisnis TNI yang bersifat legal dan institusional hams diaudit dan dipilah-pilah terlebih dahulu sehingga dapat diketahui mana yang sehat dan yang tidak sehat. Bisnis yang sehat harus segera diambil alih oleh negara, sedangkan yang tidak sehat dibubarkan. Tetapi pengambil alihan oleh pemerintah itu harus diikuti dengan kompensasi yang jelas kepada TNI bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Mengenai hubungan struktural antara TNI dengan Dephan. Dalam pandangan konservatif TNI harus tetap berada langsung di bawah Presiden karena Presiden merupakan Panglima Tertinggi TNI. Dalam konteks demikian, antara institusi TNI dengan Dephan berada pada posisi sejajar. Sementara itu, pandangan progresif seeara tegas menempatkan TNI di bawah Dephan, sebagai salah satu wujud dari pengakuan terhadap supremasi sipil. Sedangkan pandangan moderat berpendirian, sesungguhnya letak persoalannya tidaklah pada apakah TNI di bawah Presiden atau di bawah Dephan, tetapi lebih pada bagaimana TNI dapat melaksanakan peran kemiliterannya dengan baik yang didasarkan pada level fungsi yang tegas dan konsisten.
Hal itu semua terkait dengan upaya rnembangun TNI sebagai militer profesional. Profesionalisme TNI dapat dicapai jika melepaskan diri atau dilepaskan dari keterlibatannya dalam politik praktis, tidak berbisnis, dan tidak menjadikan lembaga teritorial sebagai sarana ke arena sospol. Pengakuan dan kedudukan pada supremasi sipil di mana Salah satu wujudnya adalah kesediaan TNI diposisikan di dalam Dephan. Kritenia militer profesional sepeni diisyaratkan Huntington tersebut juga harus melekat pada did TNI.
Saat ini TNI sesungguhnya sudah cukup jauh meninggalkan citra diri dan perilaku pretonan Semakin jauh dari pretorian semakin jauh pula dari tekanan subjective civilian control, dan ini sekaligus bermakna bahwa TNI semakin mendekati arena objective civilian control. Hal ini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan civii society serta konsolidasi demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejak awal reformasi hingga saat ini TNI masih dalam proses transisi menuju militer profesional. Dalam hubungan ini, TNI cenderung bergerak dari new professionalism (ala Stepan) ke old professionalism (ala Huntington), tetapi tidak murni seperti yang dipahami dalam teori, karena aspek-aspek tertentu dari new professionalism tidak bisa dilepaskan dalam peran dan fungsi TNI. Pada kenyataannya antara objective civilian cintrol dengan subjective civilian control tidak dapat dipisahkan secara hitam putih.
Dengan demikian, profesionalisme dalam konteks TNI, Iebih merupakan pemaduan antara new professionalism (Stepan) dengan old professionalism dan memiliki komitmen kuat untuk terlibat secara tulus -berdasarkan perintah pemerintah sipil- dalam tugas-tugas nonpertahanan demi kemanusiaan, solidaritas sosial, kebaikan bersama, dan keterhormatan bangsa.
Tentara profesional dalam konteks Indonesia adalah tentara yang memiliki prinsip-prinsip profesionalisme kemiliteran dalam pengertian old professionalism, memenuhi kriteria yang diamanatkan UU TNI, memiliki aspek-aspek new profesionalism, konsisten terhadap objective civilian control, berikut memegang teguh etika militer, Sumpah Prajurit, dan Etika Perwira. Sosok TNI yang demikianlah yang menjadi role expectation masyarakat. Pada giliran di tingkat role taking masyarakat akan mengakuinya ke depan ada optimisme TNI mampu membangun dan membuat peran (role making) secara lebih baik.
Membentuk TNI sebagai militer profesional membutuhkan sejumlah prasyarat tertentu seperti prasyarat ekonomi, prasyarat sosial, prasyarat politik, prasyarai teknologi, dan prasyarat kurikulum pendidikan militer. Tetapi untuk semua itu membutuhkan political will negara dan dukungan civil society untuk menopangnya.
Untuk kepentingan reformasi TNI berkait dengan eksistensi Koter, biasis TNI, dan hubungan TNI-Dephan, serta upaya rnendorongnya menuju profesionalisme militer, penelitian ini merekomendasikan tiga skenario. Pertama, melakukan refungsionalisasi Iembaga Koter. Kedua, mengalihkan bisnis TNI kepada pemerintah disertai kompensasi yang jelas. Ketiga, memososikan TNI berada di dalam Dephan, yakni tipe koordinasi, model Amerika.

This research (thesis) examines the shift of the Indonesian Armed Forces (TNI) in the reform era, particularly after the issuance of the Law No. 34/2004 concerning TNI. Focus of the review of this thesis is formulated in the following three research question: First, what is the opinion of civil society and the TNI officers regarding the existence of territorial institutions, TNI?s business, and the relationship of TNI and the ministry of Defense (Dephan) in the democratization era and the community?s changing trend? Second what type of prerequisite is needed by TNI, both intemally as key factors, or externally (driving fame) in its effort toward professional military? Third what type of scenario could be prepared for various possibilities that are possible to conduct the reformation of territorial institutions, TNI's business, as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense toward professional military in the future?
The objective of this research is to completely and thoroughly understand the civil society?s and TNI ofticer's idws regarding the existence of territorial institutions TNI?s business and the relationship of TNI and the Minisuy of Defense in building professional army in he future.
This research is designed and carried out in a qualitative method pattern. The phenomenon highlighted gives a signal to the reader regarding what exist behind the facts so that it is considered more relevant to using qualitative approach. In social science, the qualitative approach has adequate and relevant access and methodology tools that could be used to reveal any issues exist behind the fact. As quoted by Strauss and Corbin (l997:l3), the qualitative methods could be used to find out and understand what exist behind any phenomenon (symptom) that is often difficult to understand.
Additionally, this research tries also to use special scenario technique for alternative offering context or to design possible choices for the TNI?s internal reformation effort toward professional military according to the spirit of the Law of TNI, and change demand in the society. The scenario technique, according to Schwartz (1991:5) is... "a tool for ordering one is perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively, a set of organized ways for us to dream efectively about our own fitture. Concretely, this resembles a set of stories either written out or often spoken ". Furthermore, it is stated that, however, these stories are built around carejitlly constructed plots ? that make the significant element of the world scene stand out boldly. This approach is more a disciplined way of thinking than a formal methodology.
In order to obtain data required, several data collection techniques have been used, namely dissemination of questionnaires, Focused Group Discussion (FGD), and in depth interview, Research informant spreads in twelve cities, pursuant to the Regional Military Command (Kodam) exist in Indonesia.
Theoretical base used in this resmrch (thesis) is the Huntington theory of professional military. According to hitn, a professional military is a military that has the expertise, responsibility, and corporateness He wrote, ?the first step in analysing the professional character of modern officer corps is to define professionalism". The distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
For Huntington, the essence is the change of the military officer corps liorn conqueror type (warrior) into professional group. The professionalism of this officer corps is marked by the change nom ?army that looks for material advantages? into ?army by sacred call to serve the community". Huntington viewed that the military profession is the most recent products of modern society. Huntington classified in dichotomy manner, the military groups into two categories, namely ?professional military? and ?praetorian military?. The professional military is generally found in West countries, where military is a professional group to safeguard the country. They subject to the civil society. They are under the civil supremacy. Meanwhile, practorian troops are those involved and conduct intervention in political life.
In the frame of the role of military in society, Huntington proposes the terminology civilian control, which differs from the ?subjective civilian control? and "objective civilian control ?. The subjective civilian control is the civil power trying to maximize their power while trying to draw the military inside and for its interest either political or economic interest, wherms, the objective civilian control, namely to maximize the military professionalism itself in a stricter manner, objective civilian control is the distribution of political power between military and civil groups to create conducive circumstance for the awakening of professional attitude and behavior among the officer corps member. The objective civilian control therefore, directly is in opposition to the subjective civilian control. The subjective civilian control achieves its ultimate goal by civilizing the military groups. Meanwhile, the objective civilian control achieves its ultimate goals by militarizing the military groups and putting them as a state apparatus. The essence of the objective civilian control is the identification of independent military professionalism, whereas the essence of subjective civilian control is the denial of military independence.
The professional military theory developed by Huntington oiten referred to as the old professionaifsm. Opposing the thought, the new professionalism theory raised, which was proposed by Alfred Stepan highlighted from military phenomena in developing countries. In the new professionalism theory, the military is involved in political life and involved in handling any threat issues occur from the domestic community in a particular country.
Toward the research questioned raised above, findings of this research (thesis) show that there are three different views of Territorial Command institutions and the TNI?s business as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense, namely conservative, pro gr'essive, and moderate view.
Related to the existence ofthe Territorial Command (Koter), the conservation-view groups made an opinion that the institution, structurally, shall be maintained as current situation but functionally, it shall be restored to its original condition that is merely oriented to handle defense sector as well as other territorial functions upon request by Regional Govemment. Whereas, the progressive view signaled total dismiss of territorial institution, since TNI has errried out only their sheer roles and functions, the Territorial Command is no longer relevant. Furthennore, the moderate view proposes the territorial institution refunctionalization thesis which means that the Territorial Command shall be maintained but the role and function perforrned shall only in defense and land-dimension scope, and close the entire opportunities for TNI in practical politics and business. Additionally, the moderate group has an opinion also that the Navy and Air Force of TNI may expand its organizational structure according to defense requirement in sm-dimension and air-dimension perspective by empowering the defense territories according to respective dimension.
Regarding TNI's business, conservative group view that TNI's business is able to provide and improve officer?s welhre. Should the TNI?s business handed over to the State, such thing shall not be totally done, It means that there are certain types of business that shall be maintained to be handled by TNI, namely cooperatives and not-for-profit fotmclations particularly those run in education and health sector. Meanwhile, progressive group views that professional military requires not to get involved in any types of business activities. It means that the access for TNI to run business shall be totally revoked and closed since the business may distort and ruin the TNI?s professionalis.m Any types of busineses that are operated up to now shall be totally handed over by the government, and it is the government that shall be responsible for financing the TNI's needs and the military?s welfare. Furthermore, moderate group have an opinion that TNI?s legal and institutional business shall be audited and sorted first so that it will be able to identify which businesses are healthy and unhealthy. The healthy businesses shall be taken over by the State, whereas the unhealthy ones shall be dismissed. However, the government?s taking over shall be followed by clear compensation for TNI, for the interest of military?s welfare enhancement.
Concerning th structural relationship between TNI and the Ministry of Defense. In conservation?s opinion, TNI shall be put directly under the President since the President is the Ultimate Commander of TNI. In such context, the position of TNI and the Ministry of Defense is parallel Wherms, the progressive view strictly places TNI under the Ministry of Defense as a realization and recognition of civil supremacy. Whereas, moderate view has an opinion that the problems indeed not regarding whether TNI shall be placed under the President or under the Ministry of Defense but rather on how TNI will carry out its military role in good manner based on a strict and consistent function level.
These all related to the effort of building TNI as a professional military, The professionalism of TNI could be achieved if it releases itself or is released from any practical politic, not conduct any businesses nor make any territorial institutions as a means for social and political world Recognition and compliance with civil supremacy, where one of its realizations, is the willingness of TNI to be positioned under the Minntry of Defeme. Professional military criteria as required by Huntington shall also inherit in TNI.
At this time, TNI has quite tar left its practorian image and behavior. The further from practorian, the further from the pressure of subjective civilian control and this simultaneously means that TNI is getting closer to the objective civilian control sphere. This certainly gives positive impact on the development of civil society and the democracy consolidation in societal and national life.
Since the early reform up to now, TNI remains in a transition process toward professional military. In this regard, TNI tends to move fiom new professionalism (ala Stepan) to old professionalism (ala Huntington) but not in pure sense as understood in theory since particular aspects of the new professionalism could not be released hom tl1e TNl?s roles and functions. In fact, it is impossible to strictly separate the objective civilron control and subjective civilian control.
Thus, professionalism in TNI context is rather becoming the combination of new professionalism (Stepan) and the old professionalism (Huntington). Such professional miitary in this research is called ?The Patriot Professional The patriot professional military is a military that in addition to its presence in professionalism-character posture is also called and strongly committed to be sincerely involved based on the civil government?s command in non-defense duties for the sake of humanity, social solidarity, mutual benefit, and nation?s dignity.
Professional troops in Indonesian context are the troops that have military professionalism principles in term of old professionalism, satisfy the criteria set out in the Law of TNI, have new profasionalism aspect, consistent to the Objective civilian control, and strictly stick to the military ethics, 0fficer?s Oath, and officer?s Ethics. Such TNI?s image becomes the society?s role expectation. In turn, at the role raking level, the society will recognize it. In the future, optimism occurs that TNI will be able to build and make a better role.
Establish TNI as a professional military requires various certain prerequisites such as economic, social political, technological prerequisite and military education curriculum prerequisite. However, the entire things require the State's political will and support by civil society to support them.
For the interest of TNI reform related to the existence of TNI's Territorial Command and the relationship of TNI - Ministry of Defense, as well as the effort to encourage it toward military professionalism, this research recommends three scenarios. Firstly, carry out the refunctionalization of Territorial Command institution. Secondly hand over the TNl?s business to the government, accompanied with clear compensation. Thirdly. position between the TNI and the Ministry of Defense, using' the coordination type (American model), where there shall be coordinating of duties and authorities between TNI and the Ministry of Defense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D801
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>