Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurnayetti
"Pengelolaan sistem irigasi merupakan kegiatan yang demildan luasnya, dimana menyangkut bangunan fisik yang komplek; dan kelompok manusia, pada dasamya sangat tergantung pada keijasama. Tugas-tugas penting dalam irigasi seperti memperoleh, mengalokasikan, dan mendistribusikan air, porsi kegiatannya setara antara sosial dan teknis, jadi mengelola irigasi adalah domain yang tepat untuk menguji kapital sosial (Uphoff, 2000; 2002).
Sistem irigasi Bandar Halim semenjak dibangun kembali oleh pemerintah memiliki dualisme pengelolaan antara pemerintah dan petani. Pengelolaan oleh pemerintah mulai dari bendung sampai saluran utama sedangkan petani pada saluran tertier dan lahan usaha tani. Hal ini membawa permasalahan tersendiri karena dengan masuknya pemerintah, jaringan keija dan kesepakatan-kesepakatan antar individu petani menjadi terpecah-pecah ke kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini dampak dari pelaksanaan program secara sentralistik. Walaupun begitu petani tetap eksis menyelenggarakan pengelolaan irigasi untuk menunjang perekonomian mereka, dengan memfungsikan sistem julo-julo sebagai kapital sosial tradisional masyarakat. Untuk itu dilaksanakan Studi tentang praktik pengelolaan irigasi masyarakat guna mencari peluang pelaksanaan sinerjistik komplementer antara pemerintah dan petani untuk direkomendasikan.
Untuk menemukan jawaban, data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam terhadap inforrnan-informan kunci yaitu: pejabat irigasi mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, wilayah, dan petugas lapangan, serta pengurus organisasi P3A dan petani. Kcmudian aparat penyuluh pertanian lapangan (PPL), aparat Nagari, pemuka masyarakat, dan masyarakat biasa, data dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan bahwa sistem julo-julo merupakan kapital sosial yang handal dalam praktik pengelolaan irigasi di tingkat petani. Sebab sistem ini kaya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diperlukan dalam pengelolaan suatu sistem irigasi, yang diturunkan dari tradisi adat dan merupakan pandangan hidup rnasyarakat. Nilai persamaan dan kebersamaan yang melahirkan norma-norma keadilan, tanggung jawab dan solidariras, yang dimanifestasikan dalam pola awak sumo awak dan Iamak dek awak katuju dak urang, memfasilitasi pelaksanaan semua tugas-tugas panting irigasi seperti perolehan air, alokasi air, pemeliharaan, mobilisasi sumberdaya dan manajemen, serta resolusi konflik. Dari nilai-nilai tadi muncul rasa saling percaya dan solidaritas yang tinggi dan mampu memunculkan kesadaran kelompok individu, hal inilah penyebab eksistensi irigasi di tingiat petani sampai sekarang untuk menunjang perekonomian mereka.
Sementara itu di daerah wewenang pemerintah, pelalusanaan berdasarkan prosedur umum dari atas ditambah dengan keterbatasan jumlah petugas lapangan dibanding luas wilayah kerja, serta berlapisnya birokrasi pembina irigasi, kesemuanya berdampak pada kurang intensnya interaksi dan kornunikasi yang merupakan faktor penting dalam pembangunan relasi. Terutama sekali di batas wilayah wewenang pemerintah dan petani (daerah pintu bagi tertier), pelaksanaan berjalan tidak menurut prosedur dan tanpa kesepakatan yang jelas antara pctugas dan petani, Serta tidak ada kontrol dan sanksi bagi yang melanggar aturan. Semuanya itu berdampak pada cepatnya laju penurunan kondisi fisik.
Keunggulan konsep kapilal sosial julo-julo adalah karena tindakan individu dan pembangunan relasi antar individu lebih didasarkan atas pertimbangan moral, bukan atas keadilan penyebaran reward dan swa kepentingan. Kepercayaan dan solidaritas muncul dari ikatan moral dan emosional sehingga mampu menjaga keberlangsungan kerjasama terutama dalam tugas-tugas rutin irigasi, dalam bentuk rantai ikatan yang menjaga lancarnya kegiatan dalam skala luas (wilayah wewenang pelani). Sedangkan konsep kapital sosial yang didukung oleh para ahli diantaranya Uphoff dan Coleman, tindakan individu didasarkan atas pertimbangan swa kepentingan, pembangunan relasi atau kerjasama tak obahnya sebagai penyatuan swa kepentingan, karena tidak mampu diatasi atau dicapai secara individual. Kepercayaan merupakan hasil rasionalitas kalkulasi manfaat maksimal pembuatan jaringan, seterusnya norma dan nilai akan muncul apabila terdapat keadilan penyebaran reward. Hal inilah yang membedakan dengan konsep kapital sosial julo-julo, sehingga teori kapital sosial Uphoff dan Coleman kurang mampu menjelaskan temuan lapangan secara lebih dalam.
Regulasi dan aturan fomlal lainnya serta tata pelaksanaan sentralistik, tidak berkualitas untuk dijadikan sebagai sumber lcapital sosial di level makro sehingga tidal: mempunyai kekuatan untuk membangun relasi yang bersifat sinerji antara pemerintah dan masyarakat. Relasi sinerji menghendaki pembagian kerja seimbang (koproduksi) dan saling mendukung antara kedua belah pihak secara komplementer. Dampak pengelolaan sentalistik terhadap kemunduran jaringan fisik dan organisasi, serta melemahnya kapital sosial masyarakat yang seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk mendulcung program pembangunan nasional. Oleh sebab itu aturan-aturan formal yang bersifat umum dari pemerintah perlu didampingi dengan aturan-aturan informal masyarakat, agar praktik pengelolaan irigasi terselenggara dengan ketat dan lancar. Sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektihtas, serta menyentuh sampai ke level mikro (masyarakat).
Implikasi teoritik dari temuan menyatakan bahwa nilai persamaan dan kebersamaan yang turun dari idiologi dan tradisi adat yang dilmplementasikan dalam rasa solidaritas dan altruism menciptakan watak kerjasama yang mempertimbangkan kepentingan bersama, serta kesadaran kelompok pada individu. Rasionalitas atas pertimbangan rasa persamaan dan kebersamaan dapat rnenggalang kekuatan masyarakat secara bersama untuk mencapai tujuan bersama maupun menanggulangi permasalahan bersama. Kekuatan ini mampu menangkal kekuatan dari luar yang memaksakan pembahan mendasar pada tatanan sosial. Terbukti dengan perubahan mendasar pada sistem irigasi masyarakat semenjak dikelola oleh pemerintah, tetapi petani tetap bertahan dengan sistem mereka.
Berdasarkan temuan diajukan rekomendasi sebagai berikut: praktis: pembagian kerja antara petugas dan petani dalam aturan formal (prosedur PU dan AD&ART) yang bersifat umum perlu didampingi dengan aturan informal masyarakat sebagai sumber kapital sosial lokal, sebab pengelolaan irigasi di suatu daerah tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan atau tradisi adat setempat. Potensi lokal ini dapat digunakan sebagai penunjang pembangmman nasional. Kebijakan: pembuatan regulasi diharapkan berpotensi menjadi sumber kapital sosial di level makro dan lata pelaksanaan oleh pemerintah menguatkan, sehingga mampu menyentuh sarnpai ke level mikro. Dengan begitu memberi peluang pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi sebagai mitra dari pemerintah.
Rekomendasi model pengelolaan irigasi di Sumbar adalah dengan mengintegrasikan kelompok hamparan dengan sistem julo-julo ke dalam praktik pengelolaan kesatuan wilayah irigasi, untuk mengisi kekosongan peran akibat kurangnya tenaga petugas lapangan. Nagari diberi otonomi hak dan wewenang dalarn bertindak dan mengambil keputusan sehubungan dengan irigasi di daerahnya, karena Nagari merupakan bagian dari masyarakat lrigasi tersebut.

Irrigation management is one of the most widespread of human activities, and one intrinsically dependent upon cooperation. The uniformity of water as a resource and the ubicuity of gravity as force of nature make this is a good domain in which to look for general phenomena and relationships. Moreover, the essential tasks of acquiring, allocating and distributing water are as social as they are technical, so inigation management is an appropriate domain in which to examine social capital (Uphoff, 2000; 2002).
Bandar Halim irrigation systems, since being redeveloped by the government has dualistic management between the government and the farmers. Government management responsibility of the irrigation system starts from the weir to the main canal, and local authorithies under farmer management is Bom tertiary canal to their farrns. This dualistic management system brings some of its own problems with the entry of the government in its management. The system becomes disjointed or fragmented (breaking up into small units). The community based irrigation system causes the breakdown of its traditional social network and social commitment. This is the impact of the centralistic management.
However, the farmers succeed in managing their irrigation systems by using the traditional julo-julo system as a source of local social capital not only protect but that the improve their income. That is why this Study of the practical management of the community- based irrigation, an opportunity to complement the synergistic strength of management between the government and farmers is proposed as recommendation.
To acquire the data, the study uses documents, participant observations, indepth interviews from key informants such as persons in charge of irrigation institutions from, the provincial to lowest level, that is the person who works closely with the farmers and the water user organizations (PBA). Information obtained from the key informants in the community such as the Nagari informal leaders, and people in general. This research and analysis are descriptive qualitative in nature.
The study finds that the julo-julo system is a viable social capital in the practical irrigation management at the farmers level. This is because the juio-juio system is rich with social values and norms needed to manage an irrigation system, these norms and values deriving from the customary tradition is the way of life of the local society. The value of social cohesion (persamaan) and tagerherrress (lcebersamaan) produced social norms such as justice, responsibility, and solidarity that manifest in the awak some awak and Iama/c dek awrrk, katuju delc rrrang systems, that facilitate all essential management tasks of irrigation such as water acquisition, water allocation, maintenance, resource mobilization and management, and conflict resolution. These values also create mutual trustworthness and solidarity that build collective conscience of the individuals. All these aspects of the existing irrigation management system at the farmers level are found to the supportive of their economy.
While, at the govemmental authority level, its management is based on general procedures (formal rules), with minimum number of field ofEcials compare to its large working area, and intractable irrigation supervision bureaucracy results in the lack of interaction and communication that is an essential factor to build good relations. Especially, the division of responsibility between government and farmer (tertiary box area), the management is carried out without formal procedures and clear social commitment between field officials and farmers, there is no control or sanction on those who break the rules. All these impact on the degradation of the physical conditions of the irrigation system.
The capability of the social capital of the julo-julo is that individual action and relations built among individuals are on moral considerations, not only just reward sharing and self interest. Beliefs and solidarity exist from moral and emotional ties that make them to he able to sustain cooperation,/networl-ring, especially in routine tasks of irrigation operation in the form of social ties that cover a vast area. The social capital concept as elaborated by Uphoff (2000, 20002) and Coleman (2000), individual action based on consideration of self interest, relations built or cooperation such a unity of self interest, because the people could not achieve the means to resolve their individual problem. Their belief is produced by a rational calculation about maximal use of social networking, such that norms and values will exist if there is just distribution of reward. The social concept by Uphoff and Coleman thus could not explain our more indepth and widespread field Endings.
Regulations and other fonnal rules with centralistic govemance program, are not able to be a resource of social capital at the macro level at it is powerless to build synergistic relations between the government and society. Synergistic relations need clear labor differentiation as coproduction to mutually support each other in a complenrantary manner. The impact of the centralistic management is the deterioration of the physical inigation construction and its organization. The strength of the local social capital can actually be used for national development. Therefore, the general formal mles from the government need to be accompanied by societal informal rules, so that the management of the inigation will be sh'ict and effective and efficient. Whwn this is achieved its benefits will be felt by the community.
The theoretical implication from our study findings suggest that the value of the social cohesion and togetherness stemming from the local ideology and customary traditions that were found in the feelings of solidarity and altruism result in the cooperative character that take into account mutual interest, as well as collective conscience to the individual. The rationality on mutual interest and togetherness is able to mobilize the strength of the community to achieve their common objective or overcome their mutual problems. This community strength is able to overcome expand its influence that may threaten or change the local social structure. Even though with the basic change in the management system carried out by the govemment, the farmers are still able to continue to maintain their local system of management.
The recommendations of study are in practical and policy recommendations as follows : Practical recommendation: differentiation of labor between government and farmer in formal rules (procedures of government) that are general needs to be accompanied by societal informal rules as a local social capital resource, as the irrigation management in one area cannot be in isolation or out of context of every day habits or customary traditions. This local indigenous because the management of irrigation in one area cannot be separated from. This local indigenous wisdom could used to facilitate national development. Policy recommendation: the govemment has to make irrigation regulations as a potential social capital resource at the macro level and governance by strengthening its regulatory structure or framework management, such that they can have as effect at the micro level, thus providing the opportunity for the local community to participate as a effective partner.
For West Sumatera as a whole, the study recommends the integration of this irrigation management model into the surrounding adjacent areas with the ,info-julo system in the practice of a wide areal irrigation system to fill the lack of Held manpower. The Nagari should be given the autonomy rights and responsibility to take action and decision conceming irrigation matter in their distr-ics because the Nagari represents an integral part of the West Sumatera irrigation community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Anggraini Oktavia
"Ikatan-ikatan pada struktur sosial dan budaya masyarakat Saniangbaka yang berdasarkan kepercayaan anggotanya telah mampu menciptakan kekuatan sosial-ekonomi pada masyarakat Saniangbak secara keseluruhan. Pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada Kapital Sosial yang tertambat pada struktur sosial masyarakat Minangkabau, yaitu dalam bentuk organisasi warga Saniangbaka di Jakarta. Dalam membahas hal tersebut diteliti a). Apakah struktur sosial dan budaya Minangkabau berpengaruh terhadap struktur dan organisasi IWS di Jakarta, b). Apakah dari struktur sosial dan budaya Minangkabau dan struktur organisasi IWS di Jakarta itu muncul kapital-kapital sosial yang fungsional, c). Apakah dari struktur budaya itu muncul kapital-kapital budaya.
Adapun tujuan penelitian pada tesis ini adalah sebagai berikut: a). Untuk mengidentifikasi kapital sosial yang tertambat pada struktur sosial Minang dan organisasi IWS, b). Untuk mengidentifikasi kapital budaya Minang dan organisasi IWS, c). Untuk mengidentitikasi fungsi kapital sosial bersama kapital-kapital lainnya dalam mencapai tujuan-tujuan orang Saniangbaka di Jakarta.
Kajian ini di teliti dengan menggunakan kerangka berfikir tentang ikatan struktur sosial-budaya masyarakat Saniangbaka mengenai kapital sosial sebagai suatu nilai Mutual Trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat terhadap pemimpinnya. Kapital sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norrna-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. (Putnam: 1993) Putnam ( l993B: 3) juga melihat bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan "Civic Engagement" dapat mernfasilitasi koordinasi dan komunikasi, serta komunitas. Jaringan Civic Engagement seperti: relasi-relasi ketetanggaan, koperasi-koperasi, perkumpulan massa partai, kelompok-kelompok olahraga, dan assosiasi-assosiasi yang Iain, menggambarkan interaksi horizontal yang intensif. Sebab itu, secara hipotetik Putnam (1993a: 173) menyatakan semakin padatjaringan-jaringan di dalam komunitas, semakin mungkin warga warga bekerja sama untuk memperoleh manfaat secara bersama-sama (mutual benefit).
Pendekatan penelitian kali ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada warga Saniangbakar di Jakarta yang berasal dari Saniangbaka Kabupaten Solok-Sumatera Barat. Penggalian data dan informasi dilakukan pada organisasi masyarakat Saniangbaka di Jakarta yaitu dalam organisasi Ikatan Warga Saniangbakar (IWS). Kelompok-kelompok yang berada dalam organisasi tersebut dijadikan subjek penelitian karena mereka tergabung dalarn Ikatan Warga Saniangbakar yang telah lama menjalani semua aktifitas masyarakat Saniangbakar di Jakarta.
Dalam penelitian ini, dipilah yang menjadi informan dalam melengkapi informasi tentang Warga Saniangbakar di Jakarta Adapaun Informan yang dituju terbagi atas dua yaitu informan kunci (key informan) dan informan biasa. Informan Kunci dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth inrerview) Pengumpulan data penelitian yang dilalcukan pada metode kualitatif. Pertama, data atau informasi yang di dapat melalui wawancara mendalam (indepth Interview). Kedua. peneliti juga melakukan pengarnatan lapangan atau observasi untuk menambah informasi. Untuk menambah informasi dilakukan wawancara dengan melakukan kuisioner dan pengamatan yang mana peneliti ikut berperan serta. Dengan didapatkannya data lapangan, maka kemudian dilakukan analisa data hasii penelitian mulai dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Huberman dan Miles, 1994: 428-429). Data yang ada dipilah-pilah, hasil penelitian kemudian dikelompokkan kedalam pola-pola, kategori-kategori, atau tema-tema tertentu (Creswell, 1994: 154).
Hasil penelitian didapat bahwa struktur sosial-budaya yang melekat kuat pada individu-individu dalam masyarakat Saniangbaka, memunculkan kapital-kapital yang berfungsi sebagai pemersatu dan pendorong kesejahteraan masyarakat Saningbakar. Jadi masih ada struktur sosial-budaya pada masyarakat Saniangbaka di perantauan. Jaringan-jaringan yang terbentuk, berbentuk jaringan kerjasama anggota-anggota Ikatan Warga Saniangbaka, baik dengan anggotanya sendiri maupun dengan anggota organisasi dan masyarakat lain secara informal ataupun formal, seperti: Perdagangan dan organisasi yang berperan rneningkatkan kesejahteraan anggota Ikatan warga Saniangbaka. Kapital sosial masyarakat Saniangbaka juga membentuk kapital fisik, kapital Manusia dan kapital-kapital lainnya: Agama, bahasa dan perdagangan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neffy Indra Y
"Transportasi merupakan sarana dan prasarana yang penting dalam aktivitas manusia, digunakan oleh penduduk untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain atau dani tempat asal ke tempat tujuan, dalam usahanya untuk memperkecil kendala jarak, biaya dan waktu tempuh peranan Transportasi bagi suatu kota sangat penting., kelancaran lalulintasnya merupakan faktor pendorong terjadinya arus pergerakan penduduk , sekaligus juga memperluas jarak jangkau suatu kota terhadap wilayah pengaruhnya terutama dalam proses produksi, konsümsi dan distribusi barang dan jasa. Demikian juga halnya dengan Kotamadya Solok, walaupun Kotamadya Solok baru terbentuk pada tahun 1971, tetapi sebelumnya telah menjadi pusat pelayanan bagi Daerah Kabupaten Solok, terutama dalam pelayanan transportasi. Dilihat dari letaknya yang strategis di persimpangan jaringan transportasi baik regional, maupun lokal, sehingga peranan transportasi sangat penting bagi kota ini, karena faktor transportasi dapat mempengaruhi intensitas interaksi manusia antar ruang, antara pusat kota dengan wilayah pengaruhnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, permasalahan yang saya kedepankan adalah
1. Bagaimana Pola Jaringan Transportasi di Kotamadya
2. Bagaimana Tingkat Pengaruh Pelayanan Transportasi Kota Solok terhadap Kabupaten Solok sebagai wilayah pengaruh."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1991
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Hasti Hasmira
"Penelitian komunikasi organisasi dari sudut pandang budaya mencakup lebih daripada penelaahan pertukaran resmi pegawai antara orang-orang yang terpilih yang memiliki status. Mengetahui budaya organisasi berarti mengetahui di lingkungan mana organisasi itu berada, di mana lingkungan tersebut mempengaruhinya sehingga menjadi ciri organisasi itu. Keadaan lingkungan suatu organisasi bisa dipahami melalui analisis terhadap segmen-segmennya, yaitu bagian-bagian dari lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku maupun performansi organisasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah masyarakat sebagai lingkungan sosial yang potensial berhubungan atau berinteraksi dengan organisasi yang bersangkutan.
Propinsi Sumatera Barat, yang dikenal dengan Minangkabau, mempunyai tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan falsafah "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabuillah, Syarak mangato, adat mamakai". Budaya Minangkabau, dilihat dari aspek kepemimpinan tigo tungku sajarangan sebagai budaya daerah memiliki pengaruh terhadap pemerintah daerah dilihat dari dimensi pengambilan keputusan dalam melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana pengaruh Kepemimpinan Tigo Tungku Sajarangan sebagai salah satu aspek budaya lokal daerah dalam pengambilan keputusan sebagai dimensi yang diamati dalam organisasi pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi budaya organisasi dari Piti sithi Amnuai dan Edgar H. Schein digunakan sebagai referensi utama. Sedangkan untuk melihat hubungan antara budaya macro dengan budaya micro, Penulis menggunakan teori dari Charles Hampden-Turner. Untuk melihat budaya masyarakat secara umum, Penulis menggunakan defenisi dari Kroeber dan Kluckhohn. Untuk melihat budaya Minangkabau, penulis menggunakan beberapa literatur tentang budaya asli Minangkabau. Sedangkan untuk melihat konsep otonomi daerah, Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif. Obyek penelitian dalam studi ini adalah Pemda Kabupaten Solok, dengan narasumber para pimpinan di Pemerintah Daerah Kabupaten Solok. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan (observasi), wawancara mendalam (depth interview) dan penelaahan dokumen, hasil survei dan data apapun yang dapat menguraikan suatu kasus secara rinci.
Teknik analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis kualitatif yaitu teknik yang mendasarkan pada data kualitatif. Kualitatif analisis data adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah dibaca.
Dari hasil penelitian di dapat bahwa secara umum, budaya lokal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengambilan keputusan di Pemerintah Daerah Kabupaten Solok. Lebih khususnya, terhadap badan eksekutif daerah ini tidak terpengaruh oleh budaya daerah, karena pengaruh pemerintahan sentralistik dan partai politik. Tidak demikian halnya dengan badan legislatif, ada beberapa produk hukum yang dihasilkan yang diwarnai oleh budaya lokal yang berlaku."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirawan Widiyanto
"Salah satu infrastruktur bidang pekerjaan umum yang penting untuk diukur outcomenya adalah jaringanirigasi. Daerah irigasi Anai di Sumatra Barat merupakan daerah irigasi terluas sehingga outcome yang dapat dihasilkan juga besar. Tujuan dari penelitan ini adalah untuk menentukan variabel dan indikator outcome infrastruktur irigasi dengan menggunakan teknik Delphi. Teknik Delphi dilakukan melalui Focus Goup Discussion (FGD) hingga menghasilkan 5 variabel dan 11 indikator. Hasil enelitian menunjukan variabel yang paling penting dalam pengukuran outcome dari pembangunan infrastruktur jaringan irigasi adalah variabel Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani dan Tingkat Luasan Layanan Irigasi."
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, 2012
352 JSEPU 5 (3) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aslim Djohar
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini (1) mendiskripsikan saluran pernapasan kentang mulai dari petani produsen ke konsumen. (2) mendiskripsikan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. (3) menganalisis efisiensi pemasaran.
Penelitian ini merupakan studi kasus di Kecamatan Lembah Gunaand Kabupaten Solok Sumatera Barat. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah Multistage Sampling dan Snow Ball Sampling. Sampel keseluruhan berjumlah 53 orang petani kentang 3 orang pedagang pengumpul, 10 orang tengkulak dan 30 orang pedagang pengecer. Data-data yang dapat dianalisis dengan regresi linier berganda dan dibantu dengan analisis diskriptif yang disajikan dalam bentuk tabulasi, analisis integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga.
Hasil penelitian menunjukkan ada 3 saluran pemasaran yang dominan (I) saluran pendek dari produsen -4 pengecer -4konsumen (21%) saluran menengah dari produsen --4 tengkulak --4 pedagang pengumpul --4 pengecer konsumen (19%) (2) Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pedagang adalah: Pembelian, penjualan, pengangkutan, permodalan. Standarisasi hanya dilakukan oleh tengkulak dan pedagang pengumpul, penyampaian informasi pasar hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul.. Ternyata pemasaran belum efisien, sesuai dengan hasil analisis bahwa :
a. Distribusi margin belum merata antar lembaga pemasaran
b. Koefisien kerelasi integrasi pasar adalah 0,62 yang berarti bahwa keadaan pasar bukan dalam persaingan sempurna, koefisien korelasi < 1 berarti pasar pada persaingan sempurna (Zulkifli.A, 1982 h.169)
c. Koefisien elastisitas transmisi harga sebesar 0,672 ( 1) yang berarti bahwa bentuk pasar tidak bersaing sempurna. Koefisien elastisitas transmisi harga > 1 pasar tidak dalam persaingan sempurna (Zulkiffi A., 1982 h.169)
Berdasarkan hasil analisis perlu adanya penyampaian informasi. pasar yang cepat dan tepat kepada produsen dan konsumen. Perlu juga dipikirkan untuk membangun tempat penyimpanan yang memenuhi standar serta industri pengolahan untuk dapat menampung kelebihan produksi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghivo Pratama
"Penelitian ini mencoba untuk melihat pembangunan desa pada bidang pertanian melalui peran pemerintah lokal (wali nagari) dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah sampel 90 anggota kelompok tani sebagai responden. Hasil peran pemerintah desa yang cenderung rendah menyebabkan pembangunan desa yang buruk. Sedangkan, modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tidak berhubungan.

This thesis purposes are to measure the influences of local govemace (wali nagari) and social capital roles toward rural development. This research use quantitative approach with 90 members of fanner groups as the respondent. The role of local governance toward rural development is tending to low. In the other hand, there is no influence between social capital and rural development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardinal
"Dalam Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004?2009 yang memuat 10 program, yang diamanatkan kepada Departemen Kesehatan salah satunya adalah program lingkungan sehat yang dalam pelaksanaannya telah disusun Rencana strategis Departemen Kesehatan tahun 2005?2009 termasuk indikatornya (Depkes RI, 2007). Salah satu kegiatan Program lingkungan sehat adalah penyediaan air bersih dan sanitasi dasar. Program penyehatan air bersih dilaksanakan untuk pemenuhan akses masyarakat terhadap air bersih, tidak hanya untuk pemenuhan segi jumlah/debit, namun kualitas/mutu air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat juga harus menjadi prioritas. Untuk itu diperlukan kerja keras dari pemegang program penyehatan air, khususnya sanitarian puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan progran tersebut di tingkat puskesmas.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2007 di Kabupaten Solok. Tujuan dari penelitian ini adalah didapatkannya gambaran kinerja petugas Sanitasi Puskesmas dan faktor-faktor yang berperan pada kinerja petugas sanitasi puskesmas dalam pelaksanaan program penyehatan air di Kabupaten Solok Tahun 2007. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam, Diskusi Kelompok Terarah dan observasi, dengan informan Sanitarian puskesmas dilanjutkan triangulasi sumber dengan Kepala Puskesmas dan Kepala Bidang PL & PKM Dinas Kesehatan Kabupaten Solok.
Rendahnya kinerja sanitarian puskesmas dalam pelaksanaan program penyehatan air bersih dilihat dari Cakupan IS rendah, Penyuluhan Kurang, Pembinaan Pokmair Kurang, Pengawasan air Kurang , Sistem informasi program tidak jalan. Faktor yang berperan dalam kinerja sanitarian tersebut adalah; kemampuan dan keterampilan sanitarian yang kurang terasah, supervisi baik dari Kabupaten maupun Kapala Puskesmas kurang; pelatihan sanitarian frekwensi yang kurang serta tidak sesuai kebutuhan, motivasi sanitarian yang rendah, imbalan dan dana operasional kurang, adanya beban kerja tambahan, sarana dan prasarana tidak memadai, kurang prioritas program oleh Kepala Puskesmas, akses sebagian wilayah kerja yang tidak lancar terutama untuk kecamatan terisolir, serta kebijakan Dinas Kesehatan terutama kebijakan anggaran yang belum memprioritaskan anggaran program kesehatan lingkungan atau program air bersih.
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah agar kebijakan Dinas Kesehatan Kabupaten Solok pada program penyehatan air pelaksanaanya diintegrasikan dengan kegiatan puskesmas luar gedung dengan didukung tersedianya sarana dan prasarana, alokasi dana opersional sesuai dengan kebutuhan; Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan; Pelaksanaan supervisi yang berkesinambungan, Pelatihan sanitarian sesuai dengan kebutuhan kerja di lapangan, pembuatan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis program sesuai kebutuhan sanitarian, pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, pengadaan sarana dan prasaran sanitarian, merancang program pemberian reward bagi sanitarian teladan.

President Regulation No 7 in 2005 concerning National Development Planning at Middle Period (RPJMN) of 2004-2009 which conclude 10 programs that are instructed to Health Department. One of them is health environment program which its accomplishment arranged a strategic planning of Health Department at period of 2005- 2009 including its indicator (Health Department of Indonesian Republic, 2007). One of health environment program activity is preparing hygienic water and basic sanitation. Healthy program of hygienic water is accomplished to fulfill public access to hygienic water, not only a quantity supplied, but quality of hygienic water which is consumed by public must become a priority. Therefore, it needs a hard work from water healthy program holder, especially for sanitation officer at primary health care as leader of this program accomplishment at primary health care level.
This study was conducted from March until May 2007 at district of Solok. This study aim is to get describing of sanitation officer performance at primary health care and the factors which related to sanitation officer performance at primary health care on accomplishment of water healthy program at district of Solok in 2007. This study used a qualitative method by in depth interview, directed group discussion and observation, informant is sanitation officer at primary health care, and then source triangulation with a leader of primary health care and leader of PL and PKM of Health Service Department at district of Solok.
Low performance of sanitation officer at primary health care on accomplishment healthy program of hygienic water if it was seen from low IS coverage, less counseling, less training of Pokmair, less monitoring of water, information system program is not functioned. The factors which are important on sanitation officer performance such as : less ability and skill of sanitation officer, less supervision of district and primary health care leader, less training frequency of sanitation officer and the need is not available, low motivation of sanitation officer, less reward and operational fund, many extra jobs, facility and basic facility are not adequate, less program priority by leader of primary health care, work area access is not good especially for isolated district, and Health Service Department policy especially for budget policy which does not prioritized budget of development health program or hygienic water program.
It was suggested to Health Service Department policy at district of Solok on water healthy program in order its accomplishment is integrated with primary health care activity out of building by supporting of available facility and basic facility, operational fund allocation is available with the need, health information system development, accomplishment of continuity supervision, sanitation officer training is available with job need at work area, making of accomplishment guide and program technique guide are available with sanitation officer need, training to improve ability and skill, levying facility and basic facility of sanitation officer, arranging reward program for expert sanitation officer.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T41301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Taufik Sukma Wijaya
"Kabupaten Solok Selatan mempunyai luas 357.533 Ha. Yang sebagian besar merupakan kawasan hutan seluas 235.734 ha (65,9 %), selain berfungsi sebagai kawasan lindung juga diperuntukan bagi hutan nagari dan atau hutan masyarakat. Aspek-aspek yang menjadi sorotan adalah telah terjadi kehilangan hutan di Kabupaten Solok Selatan sebanyak 6,37 persen atau setara dengan 21 ribu hektar. Pada tahun 1994 luas hutan di Solok Selatan tercatat 146 ribu hektar atau sekitar 43 persen, pada tahun 2002 terjadi penurunan menjadi 125 ribu hektar atau tinggal 36 persen dari total wilayah Solok Selatan. Penurunan tutupan hutan di Kabupaten Solok Selatan ini disebabkan karena perubahan fungsi kawasan menjadi perkebunan sawit. Tutupan hutan di Solok Selatan diperkirakan akan terus berkurang disebabkan karena di wilayah ini juga terdapat perusahaan yang memegang izin HPH.
Dari data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, serta observasi ditemukan bahwa benar adanya masyarakat tidak mengetahui batas kawasan hutan sehingga menyebabkan masyarakat menyerobot hutan lindung. Penyebab masyarakat merambah hutan dikarenakan kurangnya lahan budidaya. Di Kabupaten Solok Selatan jumlah lahan yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat hanya sebesar 30 % sisanya 70 % merupakan kawasan hutan lindung.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Penulis mengapresiasi upaya Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam upaya melestarikan hutan melalui program-program nya. Diharapkan program-program pembinaan, pendampingan dan pengawasan sebagaimana yang telah disusun oleh Dinas Kehutanan dapat menyentuh langsung masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung.

Southern Solok district extends 357.533 Ha. Most of that region is 235.734 Ha forest area (65,9%), as a protected area is also designed for nagari forest or community forest village.The main aspects of forest loss has occuned 6,37% or 21 Ha. In 1994 Southern Solok forest are was 146.000 Ha or 43% and in the year of 2002 has been a declined to 125.000 Ha or about 36 % from the total range of Southern Solok. The reduction of the forest in Southern Solok is the changes of function from forest in to oil palm forest cover in southern solok is continue to decrease because in this region there is a company that holds the concession license.
The data collected through interview and observations,discovered that people do not know the forest boundaries that causing people grab the protected forest.In southern solok amount of land cultivated by the people only by 30 % and 70 % remaining is a protected forest area.
The results of the study concluded that the outher appreciate the efforts of a local government or Dinas Kehutanan dan Perkebunan to preserve the forest through the programs.the programs are expected to coaching,mentoring and supervision as it has been drafted by Dinas Kehutanan dan Perkebunan may directly touch the people that living close in protected forest"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>