Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148160 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karta
"ABSTRACT
This dissertation discusses tau-tau as one of the funeral equipment (mmbu solo?) for
the Torajan noble society (lana' bulaan). Tau-tau is a ?statue? of a deceased person.
There are 3 kinds of tau-tau: tau-tau nangka', tau-tau lampa?, and batelepong. After a
funeral, only tau-tau nangka is placed on top of a cliff, alongside other previous tau-tau
nangira, while tau-tau lampa and batelepong are thrown to the shrubs.
At first, tau-tau was worshiped and mourned by the Aluk to Dolo Torajan family and
community, but as the Torajan people left the Aluk to Dolo belief and most change
their belief to Christiani or some change to Islam, tau-tau is no longer worshiped and
mourned, but used to maintain and reinforce nobility. Therefore, tau-tau Aluk to Dolo
rituals are modified according to the belief of a family who practice the ritual.
The phenomenon mentioned above is a general picture and a small part of tau-tau's
existence and rituals in the past to present. Therefore, it is interesting to study it further;
although Aluk to Dolo belief is gradually left behind by the Torajan people, almost all
the principles are still practiced in various rituals, to maintain custom and tradition in
Torajan.
This research's question is how the Torajan community conducts funeral where tau-tau
is still made as a symbol of Torajan's nobility (although they do not practice Aluk to
Dolo), and the use of it in social life and rambu solo'ritual which are conducted by
Torajan Aluk to Dolo community and modern Torajan community.
This research uses Radcliffe-Brown's structure and function concept (1952), Durkheim
(1954), Turner (1957, 1974), who suggest that religion reflects the structure of a social
system, and functions to maintain the system throughout time. Structure and function concept sees the community as a system of social structures. Structure in this case is
real pattems of relations or interactions among various social components - pattems
which relatively last longer because those interactions occur in an approximately
organized way (Saifuddin, 2009. The function of religion is an effort to strengthen and
reaffirm social solidarity, and as something that has a signilicant symbol to a group or
community. The existence of tau-tau?s function and meaning which continuously
changed and modified (no longer suitable with Aluk to Dolo), is an indication that the
tau-tau they made no longer has a sacred meaning.
Findings in this research are: 1) Tau-tau is a personification, regarded as a reincarnation
and the residence of the deccased?s spirit after a series of Aluk to Dolo ceremonies.
Tau-tau is accepted as a depiction of the deceased, not only shaped by association of
costume and ritual which affirms tau-tau as a ?reincarnation? of the deceased, but also
caused by the positive response from Torajan conununity which submits to and accepts
the lau-tau and considers it resembles, even similar to the deceased. This made tau-tau
is highly respected and worshiped by the family and Torajan community in general, as
if the person is still alive. 2) Tau-tau represents nobility. This is because the making of
tau-tau is based on social stratification in Aluk to Dolo, which is still held firmly by
Toraja community up until now. Tau-tau as a representation of nobility also shows in
how attributes, costume, and how the costume is worn by tau-tau. For example, the
headband (passapu) on men, chignon (simbolon) on women, clothes (bayu), knee-
length trousers (seppa tallu buku), sarong (dodo), puch to store betel and nut (sepu).
In daily life, only noble society is allowed to wear the costume, while common people
are not allowed to.
Conclusion: The outcome of this research shows that the production of tau-tau as one
of the funeral equipments in Toraja?s noble families up to this day, has a close relation
to an elfort of reaffirmation and reconfirmation in group solidarity, and has a significant
symbol in the families' social status in many ways, particularly in ceremonies where it is
very respected by the Toraja community. The existence of tau-tau in a Toraja's noble
family funeral was a part of a religious ritual, Aluk to Dolo. Therefore, it is not easy for
a noble to remove a habit of making a tau-tau or a statue portraying a deceased person,
even though they have left Aluk to Dolo belief.
Therefore, there are different kinds of tau-tau that consist of: 1) Original tau-tau (tau-
tau Aluk to Dolo). It has a simple shape, not proportional, and entirely different from
the deceased, placed at the funeral site, a spirit is believed to reside in the tau-tau, and
is sacred. 2) Realistic tau-tau (Christian tau-tau). ldeal in shape and proportion, and
resembles the deceased, placed at the funeral site, and profane. 3) Portrait statue. The
shape, proportion and its style consider more on the artistic value to replicate the
deceased, and placed in houses as an artwork. 4) Souvenir tau-tau. Made with various
shapes, sizes, and materials, and sold around the funeral site and souvenir stores in
Rantepao and Makale."
2007
D819
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Indiwara Pakan Rahardjo
"ABSTRAK
Skripsi ini menitikberatkan pembahasannya pada upacara pemakaman masyarakat Toraja Sa'dan di Kelurahan Pangala yang masih terus diselenggarakan oleh masyarakat setempat hingga sekarang ini. Kemudian, dari pembahasan upacara pemakaman ini akan dapat difahami struktur sosial di Kelurahan Pangala tersebut. Dalam skripsi ini digambarkan bagaimana upacara kematian dan pemakaman yang tradisional dan yang sekarang ini diselenggarakan. Di mana terlihat ada perbedaan pada kedua upacara tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya proses modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Toraja Sa'dan tersebut, yaitu antara lain dengan masuknya agama Kristen dan pendidikan barat. Kemudian dalam skripsi ini juga digambarkan secara lengkap bagaimana upacara pemakaman masa kini diselenggarakan, dengan mengambil contoh dari dua upacara pemakaman yang terjadi di Kelurahan Pangala, Tana Toraja pada dewasa ini. Maksud penggambaran kedua upacara pemakaman tersebut adalah untuk melihat struktur sosial masyarakat Toraja Sa'dan di Kelurahan Pangala dewasa ini. Maksud permasalahan yang ingin dilihat dalam skripsi ini adalah mengapa dan bagaimana upacara pemakaman orang Toraja Sa'dan masih dapat bertahan sampai sekarang. Masalah tersebut didasarkan atas proposisi bahwa suatu upacara pemakaman sekarang ini dapat masih berlangsung, karena ada struktur sosial masyarakat setempat yang mendukungnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upacara pemakaman dewasa ini dapat bertahan karena struktur sosial masyarakat setempat masih mendukung upacara pemakaman orang Toraja Sa'dan, di Kelurahan Pangala Tana Toraja. Hal tersebut dapat dilihat dari peran-peran dan kedudukan-kedudukan yang ada dalam upacara serta hubungan-hubungan sosial yang bersifat tradisional yang masih terwujud dan memegang peranan penting dalam upacara pemakaman orang Toraja Sa' dan, khususnya di Kelurahan Pangala. Tana Toraja"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glenn Peter Thomas
"ABSTRAK
Dalam masyarakat pertanian yang ada di desa-desa, ternyata pertukaran sosial maupun ekonomi dilakukan secara ekstensif, meliputi berbagai aspek kehidupan. Salah satu arena dimana pertukaran sosial terwujud ialah dalam upacara sekitar daur hidup (life cycle) Salah satu upacara daur hidup ialah upacara kematian. Dalam upacara kematian, pertukaran sosial dapat berbentuk saling memberikan tenaga bantuan, benda-benda, termasuk hewan, dalam hal kerbau dan babi yang dipergunakan sebagai hewan sesaji dalam pelaksanaan upacara kematian tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Sartika
"Pada tahun 1818 seorang Imam Katolik asal Austria menciptakan sebuah lagu natal yang berjudul “Stille Nacht, heilige Nacht” yang terkenal hingga ke penjuru dunia dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, bahasa nasional hingga ke dalam bahasa lokal. Namun, masyarakat beranggapan bahwa lagu tersebut berasal dari bahasa Inggris, “Silent Night”. Dalam perkembangannya lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, bahasa Toraja. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan lirik bahasa Indonesia lagu “Malam Kudus” versi Kidung Mahasiswa Kristen ke dalam lirik bahasa Toraja “Makarorrong, Bongi Maindan” menggunakan teori strategi penerjemahan Åkerström (2009) dan metode komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna yang terdapat dari TSu dan TSa. Penelitian ini menunjukkan penerjemahan tidak langsung dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Toraja di mana penulis menemukan banyak perubahan dari TSu ke dalam TSa. Meskipun demikian, lirik dalam TSa tetap tersampaikan dengan baik dari keseluruhan TSu.
In 1818, an Austrian Catholic priest composed a Christmas carol entitled "Stille Nacht, heilige Nacht" which gained widespread acclaim globally and was subsequently translated into various international languages, national languages, and even local languages. However, there has been a common misconception among the public that the song originated in English as "Silent Night." Over time, this song was translated into the local language of Toraja. This research analyzes the translation strategies employed in rendering the Indonesian lyrics of the song "Malam Kudus" from the Kidung Mahasiswa Kristen into Toraja lyrics titled "Makarorrong, Bongi Maindan" utilizing Åkerström's translation strategy theory (2009) and a comparative method to identify similarities and differences in meaning between the German source text (ST) and the Toraja translation (TT). The study reveals an indirect translation process from German to Toraja, wherein numerous modifications were identified from ST to TT. Nevertheless, the conveyed meaning in TT remains effective when considering the entirety of ST.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raodah
"ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik dan dinamika perkembangan pakaian adat suku Toraja yang ada di Sulawesi Selatan. Pakaian adat suku Toraja berdasarkan fungsi penggunaannya terbagi dua yaitu pakaian sehari-hari dan pakaian upacara adat. Pakaian untuk wanita Toraja yaitu baju pokko dan do'doan laki-laki memakai celana seppa tallung buju dan sambu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa pakaian adat suku Toraja beserta perhiasan yang dikenakan memiliki makna yang simbolik yang melambangkan stratifikasi sosial orang yang memakainya. Warna cerah dipakai pada upacara syukuran atau Rambu Tuka dan warna hitam dipakai pada upacara kedukaan atau Rambu Solo. Dalam perkembangannya pakaian adat Toraja mengalami pergeseran nilai dan fungsi pada penggunaannya. Perubahan tampak pada pakaian adat pengantin Toraja, yang mengalami perubahan pada bahan yang digunakan, maupun model yang sudah mengikuti trend mode zaman sekarang."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ninawati
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S7536
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S7360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Sartika
"Pada tahun 1818 seorang Imam Katolik asal Austria menciptakan sebuah lagu natal yang berjudul “Stille Nacht, heilige Nacht” yang terkenal hingga ke penjuru dunia dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, bahasa nasional hingga ke dalam bahasa lokal. Namun, masyarakat beranggapan bahwa lagu tersebut berasal dari bahasa Inggris, “Silent Night”. Dalam perkembangannya lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, bahasa Toraja. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan lirik bahasa Indonesia lagu “Malam Kudus” versi Kidung Mahasiswa Kristen ke dalam lirik bahasa Toraja “Makarorrong, Bongi Maindan” menggunakan teori strategi penerjemahan Åkerström (2009) dan metode komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna yang terdapat dari TSu dan TSa. Penelitian ini menunjukkan penerjemahan tidak langsung dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Toraja di mana penulis menemukan banyak perubahan dari TSu ke dalam TSa. Meskipun demikian, lirik dalam TSa tetap tersampaikan dengan baik dari keseluruhan TSu.

In 1818, an Austrian Catholic priest composed a Christmas carol entitled "Stille Nacht, heilige Nacht" which gained widespread acclaim globally and was subsequently translated into various international languages, national languages, and even local languages. However, there has been a common misconception among the public that the song originated in English as "Silent Night." Over time, this song was translated into the local language of Toraja. This research analyzes the translation strategies employed in rendering the Indonesian lyrics of the song "Malam Kudus" from the Kidung Mahasiswa Kristen into Toraja lyrics titled "Makarorrong, Bongi Maindan" utilizing Åkerström's translation strategy theory (2009) and a comparative method to identify similarities and differences in meaning between the German source text (ST) and the Toraja translation (TT). The study reveals an indirect translation process from German to Toraja, wherein numerous modifications were identified from ST to TT. Nevertheless, the conveyed meaning in TT remains effective when considering the entirety of ST."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Sartika
"Pada tahun 1818 seorang Imam Katolik asal Austria menciptakan sebuah lagu natal yang berjudul “Stille Nacht, heilige Nacht” yang terkenal hingga ke penjuru dunia dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, bahasa nasional hingga ke dalam bahasa lokal. Namun, masyarakat beranggapan bahwa lagu tersebut berasal dari bahasa Inggris, “Silent Night”. Dalam perkembangannya lagu tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, bahasa Toraja. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan lirik bahasa Indonesia lagu “Malam Kudus” versi Kidung Mahasiswa Kristen ke dalam lirik bahasa Toraja “Makarorrong, Bongi Maindan” menggunakan teori strategi penerjemahan Åkerström (2009) dan metode komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan makna yang terdapat dari TSu dan TSa. Penelitian ini menunjukkan penerjemahan tidak langsung dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Toraja di mana penulis menemukan banyak perubahan dari TSu ke dalam TSa. Meskipun demikian, lirik dalam TSa tetap tersampaikan dengan baik dari keseluruhan TSu.

In 1818, an Austrian Catholic priest composed a Christmas carol entitled "Stille Nacht, heilige Nacht" which gained widespread acclaim globally and was subsequently translated into various international languages, national languages, and even local languages. However, there has been a common misconception among the public that the song originated in English as "Silent Night." Over time, this song was translated into the local language of Toraja. This research analyzes the translation strategies employed in rendering the Indonesian lyrics of the song "Malam Kudus" from the Kidung Mahasiswa Kristen into Toraja lyrics titled "Makarorrong, Bongi Maindan" utilizing Åkerström's translation strategy theory (2009) and a comparative method to identify similarities and differences in meaning between the German source text (ST) and the Toraja translation (TT). The study reveals an indirect translation process from German to Toraja, wherein numerous modifications were identified from ST to TT. Nevertheless, the conveyed meaning in TT remains effective when considering the entirety of ST."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkeliku, Agustinus Sem Porak
"Disertasi ini mengkaji perkembangan judi dalam ritual adu kerbau (ma’pasilaga tedong) dalam upacara pemakaman rambu solo’ di Tana Toraja dan Toraja Utara. Perkembangan judi dalam atraksi ma’pasilaga tedong yang menggambarkan perubahan dalam masyarakat Toraja baik itu perubahan struktur sosial dan juga perubahan ritual. Pelaksanaan upacara rambu solo’ yang semakin mewah menjadi fenomena akan perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat Toraja. Perkembangan judi dalam permainan adu kerbau dapat menjadi jendela untuk melihat perubahan sosial dan kebaharuan dalam ritual. Ma’pasilaga tedong tidak bisa dilepaskan dari ritual rambu solo’ karena kerbau dan permainan adu kerbau bagian dari ritual. Selama kerbau masih ada kerbau dan menjadi hewan kurban dalam upacara rambu solo' adu kerbau akan selalu ada dalam rambu solo’. Permainan selalu terbuka pada tindakan judi yang dapat melahirkan pranata baru. Pertanyaan yang bisa diajukan terhadap fenomena ini adalah bagaimana perubahan tersebut terjadi dan bagaimana para aktor berperan sebagai agen perubahan? Data diperoleh melalui penelitian dengan menggunakan metode etnografi yang menekankan observasi terlibat dan wawancara mendalam. Melalui observasi peneliti terlibat dalam ritual dan hadir dalam arena judi. Data-data observasi diperkuat dan dilengkapi melalui wawancara mendalam dengan para tokoh adat dan pelaku ritual serta aktor judi. Data lapangan juga diperkaya dengan penelusuran literatur. Data dianalisa berdasarkan perspektif ritual sebagai proses perubahan sosial. Ritual adalah tindakan untuk memberi penghormatan kepada yang meninggal yang bisa menguatkan ikatan para pelaku ritual dengan para leluhur. Fungsi ritual juga memperkuat ikatan sosial di antara pelaku ritual. Selanjutnya tindakan pengorbanan yang selalu menyertai ritual menjadi sarana (kendaraan) untuk mempresentasikan status sosial dan mengkonstruksi pranata judi.

This dissertation discusses the development of gambling in the buffalo fighting ritual (ma'pasilaga tedong) in the rambu solo' funeral ceremony in Tana Toraja and North Toraja. The development of gambling in the ma'pasilaga tedong attraction depicts changes in Toraja society, both changes in social structure and also changes in rituals. The increasingly luxurious implementation of the rambu solo' ceremony is a phenomenon that reflects the changes that are taking place in Toraja society. The development of gambling in buffalo fighting games can be a window to see social changes and newness in rituals. Ma'pasilaga tedong cannot be separated from the rambu solo' ritual because buffalo and buffalo fighting games are part of the ritual. As long as there are still buffaloes, and they are sacrificial animals in the rambu solo ceremony, buffalo fighting will always be in rambu solo'. The game is always open to gambling actions that can give birth to new institutions. The questions that can be asked about this phenomenon are how does this change occur, and how do actors act as agents of change? Data was obtained through research using ethnographic methods, which involved observation and in-depth interviews. Through observation, researchers were involved in rituals and were present in the gambling arena. Observational data is strengthened and complemented through in-depth interviews with traditional leader ritual practitioners and gambling actors. Field data was also enriched by literature searches. Data were analyzed based on the perspective of ritual as a process of social change. Rituals are actions to pay respects to the dead which can strengthen the bonds of ritual practitioners with their ancestors. The ritual function also strengthens social ties between ritual practitioners. Furthermore, the act of sacrifice that always accompanies the ritual becomes a means (vehicle) for presenting social status and constructing gambling institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>