Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heriyandi Roni
"Perubahan politik nasional di Indonesia pada tahun 1998 adalah runtuhnya rejim Orde Baru. Perubahan tersebut membawa implikasi kepada Golkar. Implikasi positif adalah terjadinya perubahan dalam pengambilan keputusan partai. Pengambilan keputusan dalam penentuan calon presiden dan ketua umum partai tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan seseorang sebagaimana terjadi selama Orde Baru tetapi menggunakan mekanisme bottom up, melalui pemilihan dan kewenangan suara untuk menentukan pilihan melibatkan unit-unit organisasi di Partai Golkar. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan caIon presiden dan ketua umum partai, khususnya di Munaslub 1993, Munas VII 2004 dan di Konvensi Partai Golkar.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kontruktivisme, dengan pengumpulan data digunakan melalui wawancara dan didasarkan kepada sumber-sumber lain. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualititatif.
Dalam menjelaskan proses demokratisasi yang berlangsung digunakan beberapa teori antara lain teori Demokrasi dan Demokratisasi, teori Partai Politik, dan Teori Elit. Temuan - temuan dalam studi ini dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, penentuan ketua umum dalam masa transisi di Munaslub 1998, Munas VII 2004 dan penentuan calon presiden melalui model konvensi menggambarkan adanya proses demokratisasi internal di Pattai Golkar. Kedua, kasus pemilihan tersebut memberikan gambaran yang cukup kompleks tentang power strugle antar faksi di tingkat elit partai golkar. Peta faksi-faksi tersebut di setiap kasus berubah-ubah. Dalam studi ini, di kasus pemilihan ketua umum terlihat kelompok kepentingan pragmatis kekuasaan yang memenangkan power strugle tersebut. Ketiga, Dalam kasus Konvensi Partai Golkar, implementasi demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara pemilihan, dipercepat adanya kasus hukum Akbar Tanjung. Untuk menghindari perpecahan internal maka konvensi disepakati sebagai model untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar. Keempat, studi ini juga menemukan bahwa proses pelaksanaan konvensi partai meningkatkan citra (image building) Partai Golkar. Pada pemilihan umum legislatif 2004 di tengah kemorosotan perolehan suara partai-panai lain dilihat dari hasil pemilihan umum 1999, Partai Golkar berhasil mempertahankan perolehan suara.
Secara teoritis, studi ini menunjukan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan yaitu teori Larry Diamond, Juan Linz, Seymour M Lipset dan Jose Abueva tentang nilai-nilai demokrasi prosedural, teori Maswadi Rauf dan Anders Uhlin tentang adopsi nilai-nilai demokrasi sebagai proses dernokratisasi. Alan Ware tentang model keputusan organisasl, dan Gaetano Mosca tentang sirkulasi clit. Tetapi tcori Robert Michel tentang Oligarki dalam tingkat organisasi seeara luas bersifat terbatas dan perlu direvisi. Dalam sistem pengambilan keputusan yang semakin otonom di unit-unit organisasi, DPD I, DPD II dan Ormas-Ormas semakin berdaya menentukan pilihan sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kepurusan dapat membatasi pengaruh dan intervensi pimpinan pusat partai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyono Asnan
"Maksud dan tujuan penelitian mengenai Sirkulasi Elite Partai GOLKAR Pasca Orde Baru adalah pertama, untuk rnenggambarkan seperti apa sirkulasi atau pergantian elite Partai GOLKAR pasea Orde Baru. Kedua, untuk mengetahui perbedaan bentuk sirkulasi elite GOLKAR ketika semasa Orde Baru yang tergantung restu elite dalam hal ini Ketua Dewan Pembina GOLKAR Soeharto dan semasa reformasi, apakah mengalami perubahan seiring tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Ketiga, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang texjadi di Partai GOLKAR sehingga rnenyebabkan organisasi ini tetap kukuh berdiri di tengah badai perubahan? Keempat, untuk mengetahui apakah sirkulasi elite dan perubahan-perubahan di Partai GOLKAR tersebut mempunyai dampak terhadap proses demokratisasi di tubuh GOLKAR.
Dalam penelitian ini digunakan teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Paretto, C. Wright Mills dan Robert Michels. Konsep teori elite yang dikemukaan mereka pada dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial masyarakat pasti terdapat kelompok sosial yang mempunyai kemampuan, kekayaan dan kecakapan tertentu yang dapat membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang mempunyai kelebihan ini oleh para teoritisi elite disebut sebagai kelompok elite. Dalam struktur kekuasaan, kelornpok elite ini biasanya memegang peranan lebih besar dibanding kelompok lainnnya. Mereka biasanya menjadi pemimpin di dalam struktur kekuasaan. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada diluar kekuasaan mengambil sikap oposisi atau sebagai kelompok yang mengkoreksi segala kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Sebenarnya, kedua kelompok ini saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan.
Dalam proses Sirkulasi Elite di GOLKAR Pasca Orde Baru nampak sekali terjadi perubahan seiring perubahan politik di luar GOLKAR. Sirkulasi elite yang sebelumnya tergantung sepenuhnya kepada presiden Soeharto, telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik di luar GOLKAR. Faksi-faksi yang ada di GOLKAR mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Perubahan ini nampak terlihat saat GOLKAR menggelar Munaslub tahun 1998 dan Munas VII GOLKAR di Bali. Semua kelompok baik penguasa (Srigala) maupun oposisi (Singa) saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah. Perubahan-perubahan ini telah menjadikan GOLKAR lebih demokratis dibanding semasa kekuasaan Orde Baru. Terjadi ledakan panisipasi yang cukup besar dari arus bawah (DPD I dan II) setelah jatuhnya presiden Soeharto.
Dari dua kali perubahan elite di GOLKAR, nampak kepentingan negara ikut mempengaruhi proses sirkulasi elite. Munaslub 1998 kepentingan negara terpersonifikasikan ke dalam diri B.J. Habibie. Habibie sangat berkepentingan untuk mernpertahankan kekuasaannya sehingga ia perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin GOLKAR yalmi Akbar Tandjung. Sedangkan dalam Munas VII GOLKAR di Bali, kepentingan negara terwakili pada diri Jusuf Kalla. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat berkepentingan untuk menjinakkan sikap oposisi GOLKAR yang tergabung dalam koalisi kebangsaan. Langkah ini diambil untuk mengamankan kebijakan pemerintali agar mendapat dukungan dari parlemen. Dukungan dari parlemen ini sangat penting untuk memperkokoh kebijakan pemerintah dan untuk menjamin kelangsungan program pemerintah maka negara perlu menguasai Partai GOLKAR. Faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi elite di GOLKAR adalah kharisma elite (pengaruh elite), idiologi dan kepentingan politik sesaat elite yang biasanya bersifat oportunistik.
Dari hasil penelitian tersebut, nampak sekali bahwa teori elite yang dikemukakan oleh Pareto, Mosca, Michels dan Mills jika diterapkan di GOLKAR tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Perlu memperhatikan nilai-nilai lokal dimana organisasi itu berada. Hal ini wajar mengingat kondisi sosial politik saat teori ini muncul yakni di Italia dan Amerika Serikat berbeda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat di Italia dan Amerika Serikat tentunya lebih maju dibanding dengan kondisi masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwo Sukmono
"Di era reformasi dituntut adanya perubahan baik dalam bidang politik, social maupun ekonomi. Untuk memenuhi tuntutan perubahan tersebut, maka peran partai politik sebaiknya ditingkatkan. Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu partai politik yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi harus menunjukkan eksistensinya secara menyeluruh, terpadu dan terencana, namun hingga saat ini eksistensi tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan haI tersebut diatas, maka penulis akan mengadakan penelitian tentang :
1. Apakah demokratisasi internal Partai Golkar telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi
2. Sejauhmana demokratisasi internal Partai Golkar mampu meningkatkan Integrasi Bangsa ?
3. Sejauhmana demokratisasi internal Partai Golkar mampu meningkatkan Ketahanan Nasional ?
Penelitian akan difokuskan kepada persepsi atau tanggapan pimpinan partai DPP Partai Golkar, Pimpinan KINO, Pimpinan DPD I Partai Golkar DKI Jakarta dan Pimpinan DPD II Partai Golkar se- DKI Jakarta terhadap Demokratisasi Internal yang dilakukan Partai Golkar dalam meningkatkan Ketahanan Nasional. Untuk mengetahui penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan Paradigma Konstruktivisme.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan melakukan perbandingan dan hasil interaksi antara peneliti dan yang diteliti serta cara pandang terhadap obyek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap peran Demokratisasi Internal Partai Golkar dalam meningkatkan Ketahanan Nasional yang dilakukan oleh Partai Golkar telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, mampu meningatkan Integrasi Bangsa dan meningkatkan Ketahanan Nasional, maka berdasarkan hasil penelitian Proses Demokratisasi Internal Partai Golkar adalah verifikasi.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara akademis dan berguna bagi Pimpinan Partai dan mahasiswa pada masa yang akan datang.

In this reform era changes are demanded either in political, social or economic areas. In order to fulfill the change demands, then the role of political parties need to be improved. Golongan Karya (Golkar) party one of major political parties is one of main democratic pillars should show its existence in comprehensive, integrated and planned manner, however until now this existence has not shown the maximum results.
Based on the above matter, then the writer is going to conduct a research concerning:
1. Has Golkart Party's internal democratization run in accordance with democratic values?
2. How far Golkar Party's internal democratization is capable to improve National Integration?
3. How far Golkar Party's internal democratization is capable to improve National Resilience?
This research would be focused on perception or response of the leaders of Golkar Party Central Board, KIND Leaders, Provincial Board of Greater Jakarta Golkar Party and Leaders of RegentallCity Board Golkar Party of Capital Jakarta in improving National Resilience. To implement the research by conducting Constructivism Paradigm.
Research methodology that used is qualitative methodology, by comparing and interaction results between the researcher and research object and point of view to the research object.
Based on research results, then it is concluded that the perception toward the role of Golkar Party Internal Democratization by improving National Resilience conducted by Golkar Party has been in line with democratic values, capable to improve National Integration and improve National Resilience, so based on the research results the Internal Democratization Process of Golkar Party is verification.
This research is hoped to be beneficial academically in brings benefits for the Party Leader and students in the future.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liddle, R. William
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992
324.259 8 LID p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meissy Sabardiah
"Partai Politik memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan demokrasi di suatu negara, mengingat kedudukannya sebagai peserta pemilihan umum yang berusaha menjaring suara dan aspirasi masyarakat untuk meraih kekuasaan dalam negara dan mewujudkan aspirasi tersebut dalam kebijakan publik. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik maka terhadap parpol dapat diajukan gugatan perwakilan masyarakat sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran Undang-undang oleh partai politik tersebut, dimana apabila terbukti maka terhadap partai yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi diantaranya sanksi pencabutan hak partai politik untuk ikut serta dalam pemilu. Proses penjatuhan sanksi di atas dilakukan setelah melalui proses peradilan di Mahkamah Agung yang diatur lebih lanjut melalui PERMA No. 2 tahun 1999 Tentang Pengawasan Partai Politik sebagai pedoman dalam melaksanakan proses peradilan termaksud. Pengaturan ini tidak mengatur Hukum Acara apa yang dijadikan acuan dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus perkara tersebut. Namun dalam kasus, mekanisme peradilan terhadap gugatan atas partai politik dilakukan dengan berpedoman pada Ketentuan H.I.R dan ketentuan dalam PERMA No. 2 tahun 1999."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Mahdi
"Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973.
Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet.
Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya.
Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rachman
"Studi ini meneliti citra khalayak terhadap Golkar. Secara spesifik, studi ¡ni diarahkan pada upaya menjawab 3 (tiga) pertanyaan pokok sebagai berikut: (1) Bagaimana persepsi khalayak terhadap Golkar pada saat ini? Apakah citra mereka tentang Golkar masih terkait dengan posisi Goikar di masa lalu (Orde Baru)? (2) Apakah citra khalayak tersebut (positif atau negatif) mempunyai hubungan/asosiasi yang signifikan dengan faktor sosic demografiS (khususnya umur, pendidikan dan tempat tinggal) ? (3) Sagaimafla persepsi khalayak terhadap Partai-Partai Politik Iainnya khususnya yang termasuk dalam 5 (lima) besar pemenang Pemilu (PDI Perjuangan, PPP, PKB dan PAN)? Apakah citra negatif hanya berlaku bagi Golkar atau juga melekat pada keempat partai politik Iainnya?
Penelitian dilakukan terhadap warga masyarakat berusia 17 tahun ke atas, khususnya yang berdomisili di Jakarta Timur, Depok, Bogor dan Purwakarta. Jumlah sampel seluruhnya 340 responden. Penarikan sampe dJakukan secara acak melalui teknik ?multi stage random sampling?.
Hasil studi menunjukkan bahwa secara umum, mayoritas responden dalam penelitian ini mempunyai pandangan yang ?negatif? terhadap visi, misi dan identitas dan 5 (lima) partai besar pemenang pemilu yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Pandangan negatif tersebut terungkap dan jawaban mereka yang umumnya menilai bahwa kelima partai tersebut sebagai : (1) lebih mementingkan tokoh dalam kampanye pemilu ketimbang program, (2) hanya peduJi pada rakyat kecil saat menjelang pemjlu (3) hanya mengobral janjijanji politik dalam kampanye, (4) (5) Lebih mementingkan diri dan golongannya politik uang, dan besar kadernya tidak Iayak untuk duduk darjpada rakyat, (6) sebagnya hanya mengejar kedudukan sebagai anggota legislatif, dan (7) elit politik negatif tersebut terutama lebih menonjol pada golkar dibandingkan dengan keempat partai politik lainnya.

This study is concerned with the audiences image towards Golkar. The study specifically addressed 3 (three) basic questions: (1) How do audiences presently perceive Golkar? Are their perceptions associated with Golkar's position during the New Order (Orde Baru) era ? (2) Are there significant relationships between their perception and their socio-demographic characteristics i.e age, education and social-environment? (3) How do they perceive the other 4 (four) big political parties (PDI Perjuangan, ppp, PKB and PAN) ? Are their perception of these four political parties different with their perception of Golkar?
The study was carried out in East Jakarta, Depok, Bogor and Purwakarta. The subjects were community members, 17 years of age and above. The total sample was 340, and selected randomly through multi stage random sampling technique.
The findings revealed that, overall majority of the respondents held a negative view towards the vision, mission and identity of the 5 (five) big political parties (PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB arid PAN). This was reflected from the data in wtiich, those political parties were viewed as: (1) concerned more with their leaders than the platforms, (2) paid attention to common people only during the campaign, (3) full of promises during the camnpaign, (4) oriented more to their own group interests, (5) involved in money politics, (6) majority of their cadres were not eligible to become parliament members, and (7) their elites only fought for the strategic positions in executive. Nevertheless, their negative perception towards Golkar was stronger compared to the other 4 (four) political parties. When asked about identity, position, vision and mission of the party, only few respondents who viewed Golkar as : (1) open to all people from various groups and layers, (2) independent from the current government, and (3) having clear vision and mission. On the other hand, majority of the respondents perceived the other four political parties as possessing clear Vision and mission. It should be noted, that their positive view was particularly strong for PDI Perjuangan. Golkar according to the majority of respondents? perception was associated with the following characteristics : (1) inseparable part of the New Order (ORBA) regome, (2) was big because of Suharto?s dominant role, (3) full of corruption, collution and nepotism practices, (4) involved in money politics, (5) not democratic, (6) ignored the common people?s aspirations and interest, and (7) was not categorized as a modern political party.
The study also found significant relationships between the respondents? image and their socio-demographic characteritics i.e. age, education and social environment. It can be summarized that, the respondents who held negative image towards Golkar were else who lived in urban areas, younger in their age, and possessed higher educational background.
Based on the study findings, it is necessary for Golkar to change their identity as well as their vision and mission. This can be done, among other things, by way of evaluating the current ?positioning ? and ?orientation? strategy (repositioning and reorientation strategy). In this regard, Golkar should carry out internal consolidation, self-evaluation, and nation-wide socialization programs, in order to convince all people that the current Golkar is completely different from Golkar during the New Order era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T6118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaiyatul Akmar
"Penelitian ini meneliti konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera tahun 2016 antara anggota DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS yaitu Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman. Konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS bukanlah konflik yang hanya bersifat Individualistis tetapi juga bersifat Faksional. Konflik ini dipicu akibat pemecatan yang dilakukan Pimpinan DPP PKS kepada Fahri Hamzah karena tidak patuh pada putusan Pimpinan partai dan melanggar AD/ART partai.
Fokus penelitian ini adalah pada mengapa faksionalisasi dapat mempengaruhi konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera antara Fahri Hamzah dengan pimpinan DPP PKS. Teori utama yang digunakan ialah teori konflik politik Maswadi Rauf dan Marcus Mietzner, serta didukung oleh teori dari ahli lain mengenai faksionalisasi Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine. Rauf menyatakan bahwa konflik timbul karena kelangkaan posisi dan sumber-sumber, tetapi Mietzner mengungkapkan bahwa konflik internal partai disebabkan karena partai politik yang tidak terlembaga dengan baik yang ditunjukkan dari gagalnya mekanisme resolusi konflik internal partai. Sedangkan Beller dan Belloni menyatakan bahwa keberadaan faksionalisasi di tubuh partai dapat dipahami sebagai pemicu konflik karena kecenderungan aktor yang bertindak secara kolektif demi mencapai tujuan bersama.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan DPP PKS disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh pencampuran antara nilai-nilai (values) PKS yang sudah dilanggar oleh Fahri Hamzah yang bercampur dengan eksistensi Faksi yang bersaing secara tidak sehat di internal PKS. Sedangkan faktor eksternal disebabkan karena adanya kepentingan politik dari pemerintah akibat kritik keras Fahri Hamzah terhadap pemerintah karena hubungan antara KPK dengan PKS kurang baik setelah LHI ditangkap.
Pada penelitian ini  disimpulkan bahwa konflik antara Fahri Hamzah dengan pimpinan partai terjadi akibat dari faksionalisasi yang tidak terlembaga dengan baik sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan partai yang tentu saja tidak terorganisir oleh semua kalangan PKS.

This research discusses about the Prosperous Justice Party internal conflict in 2016 between members of the Republic of Indonesia DPR for the 2014-2019 period namely Fahri Hamzah and the Prosperous Justice Party Leaders of the Syuro Council namely Habib Salim Segaf Al-Jufri and President party Mohamad Sohibul Iman. The conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders is not a conflict that is only individualistic but also factional. The conflict was triggered by the dismissal carried out by the Prosperous Justice Party Leader to Fahri Hamzah because he did not comply with the party leadership and violated the party's AD/ART (basic rules).
The main focus of this study is why factionalism could influence internal conflict in Prosperous Justice Party between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders. The main theory used in this study are Rauf's and Mietzner's conflict political theory, and it is supported  by theories from experts such as Dennis C. Beller, Frank P. Belloni, dan David Hine about factionalism. Rauf stated that the conflict occurred because of a vacant position and resources, but Mietzner revealed that the party's internal conflict was caused by political parties that were not well institutionalized as indicated by the failure of the party's internal conflict resolution mechanism. According to Beller and Belloni stated that the existence of factionalism in the party's body can be understood as a trigger for conflict because of the tendency of actors who act collectively to achieve common goals.
This study uses qualitative research methods with techniques for collecting data on observation, in-depth interviews and document studies. The principal findings of this study reveal that the conflict between Fahri Hamzah and Prosperous Justice Party Leaders was caused by internal and external factors. Internal factors are caused by a combination of Prosperous Justice Party values that have been violated by Fahri Hamzah with the existence of Prosperous Justice Party factions that compete unfairly within Prosperous Justice Party. While external factors are caused by the political interests of the government due to Fahri Hamzah's strong criticism of the government because of the relationship between the KPK and PKS is poorly after LHI was arrested.
The conclusion of this study shows that the conflict between Fahri Hamzah and party leaders was a result of factionalism that was not well institutionalized that had been violated as a result of party policies which of course were not organized by all Prosperous Justice Party Leaders circles.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faldo Maldini
"Partai politik baru mengalami tantangan tersendiri di dalam negara pascaotoritarianisme. Klientelisme dan polarisasi merupakan tantangan utama yang dihadapi dalam pertarungan demokrasi elektoral. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru pada Pemilu 2019 memiliki latar belakang berbagai aktor yang dapat dibagi tiga kelompok, yakni LSM, profesional, dan ormas Islam. Kompetisi internal antarkelompok aktor di PSI dalam menentukan strategi dan isu kampanye menghadapi Pemilu 2019 merupakan fokus studi ini, dengan menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan data. Pendekatan teori strukturasi dan ideational perspective digunakan untuk menganalisis interaksi dan kompetisi berbagai aktor di PSI dalam menentukan strategi kampanye yang dipilih. Hasil penelitian menunjukkan interplay dari ketiga aktor dominan memengaruhi strategi kampanye PSI menghadapi Pemilu 2019. Pemilihan strategi kampanye juga disesuaikan dengan posisi PSI di dalam sistem politik Indonesia yang terpolarisasi, dipotret melalui lembaga-lembaga pollster dengan mengedepankan pendekatan perilaku pemilih. Maka justifikasi dari temuan riset ini menunjukkan kelompok-kelompok tertentu menjadi lebih relevan dalam memengaruhi keputusan strategis partai. Studi ini menyimpulkan bahwa sumber daya otoritatif dan reflexive monitoring bagi agen dalam teori strukturasi sangat memiliki peran krusial dalam sistem politik Indonesia yang sangat cair secara ideologis.

New political parties experience their own challenges in a post-authoritarianism country. Clientelism and polarization are the main challenges faced in the struggle for electoral democracy. The Indonesian Solidarity Party (PSI) as a new party in the 2019 Election has a background in various actors which can be divided into three groups, namely NGOs, professionals, and Islamic mass organizations. Internal competition between groups of actors at PSI to determine campaign strategies and issues facing the 2019 Election is the focus of this study, using qualitative methods in data collection. The theoretical approach of structuration and ideational perspective is used to analyze the interaction and competition of various actors in PSI in determining the chosen campaign strategy. The results showed that the interplay of the three dominant actors influenced PSI's campaign strategy in facing the 2019 Election. The election of campaign strategy was also adjusted to PSI's position in Indonesia's polarized political system, portrayed by pollster institutions by prioritizing the voter behavior approach. Justification of the findings of this research shows that certain groups are more relevant in influencing party strategic decisions. This study concludes that authoritative and reflexive monitoring resources for agents in structuration theory have a very crucial role in Indonesia's ideologically fluid political system"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>