Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163784 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kanya Eka Santi
"ABSTRAK
Kesadaran bahwa anak dan masa kanak-kanak merupakan realitas sosiologis
bukan hal baru. George Herbert Mead telah mengangkat hal ini sekitar satu abad lalu.
Namun, beberapa tahun belakangan ini terlihat adanya kegairahan di kalangan ilmuwan
sosial untuk lebih memperhatikan dinamika anak dan masa kanak-kanak. Mereka
menganggap anak - seperti halnya gender atau gejala sosial lainnya - sebagai gejala
sosial yang sedemikian kompleksnya sehingga sulit bila dipaharni hanya dari sudut
pandang psikologi.
Ketertarikan pada anak secara sosiologis ini antara lain ditunjukkan oleh
William A. Corsaro. Melajui teori reproduksi interpretif, Corsaro mencoba melihat
anak sebagai warga masyarakat yang kreatif dan ikut Serta dalam rnernbentuk
masyarakatnya. Tentunya, keikutsertaan anak selayaknya tidak dipandang dari sudut
orang dewasa. Secara lebih detail, Corsaro berargumen bahwa perkembangan anak
bersifat reproduktif dalam arti, merupakan proses peningkatan densitas dan reorganisasi
pengetahuan yang berubah sejalan dengan perkembangan kognitif dan kemampuan
bahasa anak Serta perubahan dalam dunia sosialnya. Berdasarkan input yang diperoleh
dari orang dewasa, anak secara kratif dan inovatif mengembangkan budaya sendiri
dengan sebayanya dan tidak semata-mata mengimitasi dunia orang dewasa. Pada
gilirannya hal ini akan membelikan kontribusi pada produksi dan perubahan budaya.
Namun demikian partisipasi anak dibatasi pula struktur sosial dan reproduksi
masyarakat. Argumen itu, seperti yang diakui sendiri oleh Corsaro, dilandaskan pada
dialog ontologis dan epistemologis dengan pikiran-pikjran George Herbert Mead
tentang self, play dan games, Anthony Giddens tentang strukturasi serta Erving
Goffman soal framing dan keying.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya mencoba meneliti anak yang terekspos
pada situasi konflik dengan mempertanyakan: bagaimana pertalian antar berbagai
konsepsi tentang anak dan masa kanak-kanak di wilayah konflik serta bagaimana
dinamika struktural anak dalam budaya kelompok sebaya, keluarga, masyarakat dan
negara. Adapun pengumpulan data saya lakukan di Poso, satu masyarakat yang sarat
konflik khususnya sejak berakhirnya pernerintahan Orde Baru. Konflik tersebut
bersumbu -pada ketegangan diantara penganut agama Islam dan penganut agama
Kristen, dan masih terus berlangsung sampai saat Penganut agama Islam
direpresentasikan dengan daerah Poso Kota, penganut agama Kristen direpresentasikan
oleh daerah Tentena. Sedangl-can penduduk campuran Islam, Kristen dan Hindu
direpresentasikan oleh Poso Pesisir.
Teori Corsaro sendiri saya tempatkan dalam penelitian ini mengikuti alur pattern
theorising. Berbagai gagasan dasar Corsaro menjadi acuan teoritik untuk membimbing
saya dalam merekonstruksi dinamika anak Poso secara sosiologis. Karenanya, disertasi
ini terlalu jauh untuk disebut sebagai arena menguji akurasi teori Corsaro.
Secara metodologis, penelitian tentang anak Poso pasca Orde Baru dilakukan
sejak tahun 2002 meskipun tidak secara intensif. Pengumpulan data secara terfokus pada
dinamika anak dan kekerasan di Poso say laksanakan dari bulan Januari sampai dengan
bulan Juni tahun 2005. Selepas fieldwork, data diperoleh terutama memanfaatkan
teknologi komunjkasi jarak jauh.
Secara sistematis, spesifikasi metodologis penelitian ini adalah sebagai berikut:
menggunakan metode etnografi atau field research dengan menempatkan anak sebagai
subyek penelitian yang dapat menyuarakan kondisinya dan mengartikulasi kapasitasnya.
Pengumpulan data menggunakan berbagai teknik yaitu wawancara mendalam,
wawancara kelompok/diskusi kelompok terfokus, pengamatan, testimoni, life histories,
gambar, dan studi dokumentasi. Selain anak, data lainnya diperoleh dari orangtua, guru
dan instansi pemerintah serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Temuan saya menunjukkan konstruksi media dan berbagai kalangan tentang
kekerasan di Pose mengandung kebenaran. Kekerasan terjadi pada lingkup yang meluas
dan mendalam. Selain itu, saya mendapat kesan kuat bahwa orang Pose termasuk anak-
anak mulai terbiasa hidup dalam kekerasan. Kekerasan seakan-akan dianggap sebagai
bagian kehidupan normal. Namun, dibalik konstruksi tentang kekerasan tersebut, saya
menemukan bahwa anak-anak Poso memiliki identitas hibrid lewat paduan budaya lokal
dengan budaya global. Proses ?in? dan ?out? dilakukan sebagai bentuk adaptasi
terhadap desakan budaya global sambil tidak meninggalkan budaya sendiri. Pengaruh
global dalam rutinitas keseharian anak tampak dalam aspek simbolik maupun material
dari budaya anak-anak. Identitas tersebut tampaknya memungkinkan berkembangnya
resiliensi dan mencaimya batas-batas simbolik maupun sosial termasuk di kalangan
anak-anak eks kombatan. Anak kemudian sangat potensial menjadi aktor perdamaian.
Temuan ini sama sekali tidak meniadakan gambaran bahwa masih ada anak yang juga
trauma atau bahkan mengalami post traumatic symprons disorder (PTSD). Hal ini
memperlihatkan adanya perbedaan temuan saya dengan ternuan Corsaro.
Seperti halnya penelitian-penelitian sejenis tentang anak dan kekerasan di
beberapa daerah di Indonesia, saya menemukan bahwa anak menjadi korban sekaligus
pelaku kekerasan. Pada masyarakat yang berkonflik, kapasitas anak berbenturan dengan
situasi kekerasan. Makna kreatif dan inovatif, kemudian perlu dilihat dalam kaitannya
dengan kepentingan terbaik anak. Sekali lagi terlihat perbedaan antara temuan saya
dengan temuan Corsaro. Lebih tepatnya, hal yang ktuang mendapat perhatian Corsaro
justru merupakan hal penting untuk memahami dinamika anak Poso. Tentunya perlu ada
penelitian-penelitian lanjutan, dengan metode penelitian yang berbeda-beda, untuk
menentukan seberapa benar (atau seberapa salah) temuan saya.
Temuan-temuan tersebut memiliki implikasi teoritik untuk melakukan
indigenisasi pada level meta teori, teori, empirik dan aplikasi teori. Proses ini
menempatkan anak dan masa kanak-kanak sebagai entitas tersendiri yang tidak sama
dengan orang dewasa termasuk pengetahuan yang dihasilkannya untuk memahami
realitas sosial. Hal lainnya adalah soal universalitas dan lokalitas definisi anak dan masa
kanak-kanak, khususnya menyangkut kapasitas anak, identitas hibrid, resiliensi anal(
dan kontnibusi pada perdamaian Pose. Kesemuanya merupakan hal yang selama ini
?diabaikan? dalam sosiologi khususnya untuk konteks Poso. Sebagai kontribusi bagi
pemerintah dan berbagai kalangan yang concern terhadap kesejahteraan anak,
indigenisasi mencakup pemikiran tentang pentingnya memperhatikan kembali strategi
dan pengelolaan perlindungan anak Indonesia. Hal yang ada baiknya diperhatikan
diantaranya adalah: kebijakan tidak mereproduksi pandangan yang hanya menganggap
anak sebagai obyek serta perlunya mengelola lcekuatan strulctur demi kepentingan
terbaik anak."
2006
D793
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniasari
"Kekerasan yang terjadi pada anak terus meningkat dari tahun ketahun membuat peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPRRI) menjadi penting dalam penanganan kekerasan anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara yang hasilnya dijabarkan dengan pendekatan deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa undangundang yang ada (uu no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak) sudah tidak dapat dipergunakan dalam penghapusan kekerasan terhadap anak, sehingga dibutuhkan revisi terhadap uu tersebut. Kendala yang dihadapi bahwa revisi uu tersebut belum mendapatkan persetujuan untuk dibahas, dan kurangnya pemahaman anggota DPRRI mengenai substansi dari pelaksanaan fungsi pengawasan.

Intensity of violence that occurred in children continues to rise from year to year making role House of Representatives (DPR) to be important in the handling of child violence. This study uses a qualitative approach to data collection through literature study and interview results are translated descriptive approach. The results of this study found that the existing law (Act No. 23 of 2002 on the protection of children) can no longer be used in the elimination of violence against children that occurred up to the required revision of the law is. Constraints faced by that revision of Law has not been granted approval for debate, House members and a lack of understanding about the substance of surveillance itself becomes an obstacle encountered."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Permata Putri
"Kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh berbagai wilayah di Indonesia. Tidak terkecuali Ibukota Republik Indonesia, DKI Jakarta, dari tahun 2016 hingga 2019, menempati posisi pertama dengan jumlah kasus kekerasan terhadap anak tertinggi se-Jabodetabek. Kolaborasi lintas sektor menjadi salah satu upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan upaya penanganan tindak kekerasan terhadap anak dalam mendukung kota layak anak di DKI Jakarta dengan menggunakan konsep collaboration dynamics. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan tujuan deskriptif melalui teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan kekerasan terhadap anak di DKI Jakarta yang dilihat dari konsep collaboration dynamics Emerson & Nabatchi (2015) memiliki kesesuaian. Secara keseluruhan indikator dari subdimensi collaboration dynamics terpenuhi, namun belum optimal karena terdapat temuan penelitian yang menjadi hambatan dalam proses kolaborasi. Hambatan para aktor dalam proses kolaborasi di antaranya: masih adanya miskomunikasi, kemungkinan terdapat duplikasi tugas, tidak adanya pelaporan rutin, terdapat ego sektoral, SOP kolaborasi yang belum terintegrasi. Selain itu juga masih terdapat aktor yang belum sepenuhnya yakin dengan kesiapan fasilitas yang dimiliki aktor lainnya serta faktor sumber daya baik dari segi kuantitas dan kualitas yang belum optimal

Cases of violence against children are still a problem faced by various regions in Indonesia. The capital city of the Republic of Indonesia, DKI Jakarta, from 2016 to 2019, was in the first position with the highest number of violent cases against children in Jabodetabek. Cross-sector collaboration is one of the efforts of the DKI Jakarta Provincial Government in dealing with cases of violence against children. This study was conducted to describe efforts to handle violence against children in supporting child-friendly cities in DKI Jakarta using the concept of collaboration dynamics. This study uses a post-positivist approach with descriptive objectives through in-depth interview data collection techniques and literature study. The results showed that in handling violence against children in DKI Jakarta, which was seen from the concept of collaboration dynamics Emerson & Nabatchi (2015) had conformity. Overall indicators of the collaboration dynamics sub-dimension are met but not optimal because research findings become obstacles in the collaboration process. Barriers to the actors in the collaboration process include: there is miscommunication, the possibility of duplication of tasks, the absence of routine reporting, and still sectoral egos, collaboration SOPs that have not been integrated. In addition, some actors are not entirely convinced of the readiness of the facilities owned by other actors and resource factors both in terms of quantity and quality that are not yet optimal."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lamria
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Anak merupakan salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga yang membutuhkan perlindungan dan perhatian dari semua pihak. Maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh sistem nilai budaya masyarakat terhadap keberadaan anak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Tindak kekerasan digunakan sebagai dasar untuk mendisiplinkan dan mengajar anak menjadi patuh. Tindak kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran merupakan tindakan kekerasan yang seringkali terjadi dalam rumah tangga. Hal ini dapat berakibat carat, gangguan mental bahkan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kasus -kasus tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk perlindungan terhadap perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak dan kendala atau harnbatan yang dihadapi Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam melaksanakan tugasnya_ Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Data diperoleh berdasarkan wawancara dengan inforrnan di Komisi Nasional Perlindungan Anak dan juga melalui dokumen, basil laporan, buku, koran, artikel yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2007.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa kasus-kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak diantaranya adalah: kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran. Bentuk perlindungan yang dilakukan terhadap anak korban kekerasan ini adalah perlindungan pendampingan, mediasi, advokasi hukum hingga selesai kasusnya. Kendala yang dihadapi Komisi Nasional Perlindungan Anak adalah sumber Jaya manusia yang tidak mencukupi untuk melaksanakan program kerjanya dengan banyaknya pengaduan yang masuk. Selain itu sumber dana tetap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan kegiatan. Selain itu masyarakat menuntut Komisi Nasional Perlindungan Anak untuk mampu secepat mungkin menuntaskan permasalahan yang mereka hadapi.
Saran yang dapat diberikan adalah agar Komisi Nasional Perlindungan Anak memberikan perlindungan menyeluruh bagi pemenuhan hak anak korban kekerasan dalarn rumah tangga. Anak berhak mendapatkan perlindungan dan pendampingan serta advokasi hukum. Komisi Nasional Perlindungan Anak hendaknya menyediakan sarana dan fasiltas bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga juga meningkatkan jumlah pendamping bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga.

ABSTRACT
Domestic violence becomes an important issue to be solved today_ Children mostly one of the victims that should be protected as they have the rights to live in harmonies environment. However, the mass media show that people and family do not give thoughtful care about the rights of child. Many children are reported being abused by their parents. This condition brings the children to live in psychological disorder, became disabled person and even ended tragically in death. Indonesian cultural values mostly demanded child to follow parents as the respected ones which cause them have no power to disobey their parents.
The subject of this research is children who become the victim of domestic violence. The research is done in National Commission of Child Protection in the year of 2007. The aims of the research are to find out cases of child domestic violence, types of protection for children who becomes the victim of domestic violence which handled by National Commission of Child Protection and the obstacles in handling child victim of domestic violence by National Commission of Child Protection. The research uses qualitative method in analysis, besides the data is collected by interviewing the informants in National Commission of Child Protection and through reading documents, research result, books, and newspapers.
The conclusion of the research are that National Commission of Child Protection handled child domestic violence cases in types such as physical abuse(killing and inhuman cruelty), sexual abuse (raping, sexual harassment), Psychological abuse (intimidation, verbal threats), and neglecting (being neglected without any cares). Protection which are provided by National Commission for children victim of domestic violence are: bring the children to a secure place (a shelter), doing home visit, reporting to the police, giving healing therapy, guiding in law process and mediation. The obstacles of child protection for children of domestic violence which done by National Commission of Child Protection are lack of competent human resources, shortcoming in organization coordination, lack of leadership management, lack of financial support, limited authority in implementing child protection.
In improving the implementation of child protection for children victim of domestic violence which done by National Commission of Child Protection can be suggested to consider other cases of child domestic violence such as economical abuse. Child victim of domestic violence should have free access for medical service, comfort shelter and facilities for healing process, intensive psychological advice, experience guidance in child cases. In handling the obstacles can be suggested the improvement of numbers and quality of human resources, the improvement of organization management and leadership and coordination with government and private organization in supporting financial needs. Finally, National Commission of Child Protection should have more spirit and courage in defending human rights, particularly for children victim of domestic violence.
"
2007
T20814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianali Pitasari
"Anak menjadi pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini, dengan mengangkat kekerasan terhadap anak sebagai bentuk nyata dari permasalahan yang terjadi dalam relasi antara anak dengan orang dewasa/orang tua, terutama di dalam relasi yang bersifat paternalistik. Konsep anak yang diusung oleh Locke akan dijadikan sebagai fondasi utama dalam memahami anak sebagai subyek yang masih berkembang dan bagaimana peran orang tua di dalam masa perkembangannya dengan menjadikan akal sebagai acuan dari kedewasaan.

Child become the main discussion in this thesis, by raising issue about violence against children as a tangible form of the problem that occur in relations between children and adults/parents, especially in relation that are paternalistic. The concept of the child that Locke propose will be the foundation in understanding child as a subject who is still developing and becoming and the important role of parent in the process of development by making reason as a reference to maturity. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriana Devi
"Televisi telah ada sejak abad 18 akan tetapi mulai berkembang pada abad 19 dimulai dari televisi hitam putih hingga berwama. Televisi Amerika memiliki acara televisi yang beragam ada yang bersifat positif dan negatif menurut Milton Chen seorang Direktur KOED Center for Education and Lifelong Learning (CELL). Acara televisi yang negatif mengandung unsur kekerasan dan seks sedangkan positif yang mendidik anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kreatifitasnya dan daya nalar mereka. Untuk memenuhi sasaran penilitian saya menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data-data dan metode penelitian kualitatif.
Hasil penelitian membuktikan bahwa dampak televisi dan kejahatan anak-anak yang dilakukan pada usia 8 hingga 15 tahun dari tahun 1970 sampai dengan 1997 perubahan yang signifikan di Amerika Serikat terhadap tayangan-tayangan yang bersifat negatif yang menimbulkan mereka untuk meniru dan melakukan hal yang mereka lihat di televisi tanpa bimbingan orang tua untuk mencema apa yang mereka lihat sehingga teman yang menghibur disaat orang tua tidak ada ialah televisi. Kejahatan yang dilakukan mereka membuktikan bahwa televisi secara tidak langsung mempengaruhi mereka dalam kehidupan nyata."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T18369
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RM Ksatria Bhumi Persada
"Skripsi ini membahas mengenai bentuk-bentuk kekerasan personal yang dialami oleh tiga anak jalanan laki-laki binaan Rumah Singgah Dilts Foundation di ruang publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian "Kualitatif", tipe penelitian "Deskriptif Berkesinambungan", dan desain penelitian "Deskriptif Studi Kasus". Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberagaman (diversity) dan kekhususan (particularity) obyek studi. Dan hasil akhir yang ingin diperoleh adalah bukan untuk menggeneralisir hasil temuannya, namun untuk menjelaskan keunikan kasus yang sedang dikaji.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan sejumlah bentuk kekerasan personal yang dialami oleh anak jalanan laki-laki binaan Rumah Singgah Dilts Foundation di ruang publik, yaitu: kekerasan fisik, psikologis dan finansial/ekonomi. Kekerasan personal tersebut ada yang berupa aktual "actual violance" dan ada yang baru bersifat potensial "potential violance".
Bentuk Kekerasan Fisik: pemukulan, penendangan, pengeroyokan, dan penarikan pakaian secara paksa, penyekapan, dan upaya penutupan mata korban dengan kain dan menundukan kepala ke bawah jok mobil secara paksa. Pelaku umumnya adalah anak jalanan lain, preman jalanan, anggota kepolisian, dan anggota satpol pp.
Bentuk Kekerasan Psikologis: pencemoohan berupa kata-kata kasar, intimidasi berupa ancaman, menakut-nakuti dengan senjata api, penolakan sosial, penguntitan. Pelaku umumnya adalah anak jalanan lain, supir bis, kenek bis dan penumpang kendaraan umum, supir pengendara kendaraan pribadi, dan anggota kepolisian.
Bentuk Kekerasan Finansial: perampasan uang hasil mengamen, perampasan harta benda milik pribadi, tindakan pengaturan keuangan. Pelaku umumnya adalah anak jalanan lain, kordinator pengamen jalanan, dan anggota kepolisian.

This undergraduate thesis discusses about the forms of personal violence experienced by three men's street children from Dilts Foundation Shelter Houses that occurred in public spaces. This study uses the research approach 'Qualitative', this type of research 'Sustainable descriptive', and research design 'Descriptive Case Study'. So, this study aims to determine diversity and particularity object of study. And who wants to obtain the final result is not to generalize findings, but to explain the uniqueness of the case under review.
The results of this study show some form of personal violence experienced by street children of men from Dilts Shelter House Foundation that occurred in public spaces, namely: physical, psychological and financial / economic. Personal violence exists in the form of actual 'actual violence' and there is a potential new 'potential violence'.
Forms of Physical Violence: beatings, kicking, beatings, and forced the withdrawal of clothing, confinement, and efforts to close the eyes of the victim with a cloth and lowered his head under the car seat by force. Perpetrators are usually other street children, street thugs, members of the police, and members of Satpol PP.
Forms of Psychological Violence: scorn of harsh words, threats of intimidation, threatening with a firearm, social rejection, stalking. Perpetrators are usually other street children, bus drivers and passenger vehicles public, a driver for drivers of private vehicles, and police officers.
Forms of Finance: Deprivation of money busking, deprivation of private property, measures of financial arrangements. Perpetrators are usually other street children, the coordinator of street singers, and members of the police.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Gressy S. Cornelia
"ABSTRAK
Masa kanak-kanak awal merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan seorang anak, dimana pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak pada masa ini akan mempengaruhi tumbuh kembangnya dikemudian hari. Salah satu perubahan besar yang terjadi pada masa ini adalah meluasnya lingkungan sosial anak, yang ditandai dengan mulainya anak melakukan hubungan sosial dengan teman sebayanya (Sroufe dkk, 1996). Pengalaman awal dalam berhubungan dengan teman sebaya ini merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan sosial anak usia prasekolah. Adanya kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya pada masa ini akan memperbesar kemungkinan munculnya masalahmasalah tingkah laku, emosional, dan akademik pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Pentingnya hubungan dengan teman sebaya pada masa kanak-kanak awal memberi implikasi akan pentingnya membina hubungan yang positif dengan teman sebaya pada masa ini. Namun tidak semua anak dapat membina hubungan yang positif. Adanya perbedaan kemampuan untuk membina hubungan yang positif dengan teman sebaya menunjukkan derajat kompetensi sosial yang dimiliki masingmasing anak. Dengan demikian kompetensi sosial memegang peranan penting bagi keberhasilan seorang anak dalam membina hubungan dengan teman sebaya pada masa prasekolah. Sroufe dkk (1996) mengatakan anak-anak yang memiliki kompetensi sosial yang baik (socia/ly competent) - yang seringkah disebut sebagai anak-anak yang disukai oleh teman sebayanya - adalah mereka yang mampu memulai interaksi dan memberikan respon kepada teman sebaya dengan perasaan yang positif, mereka yang tertarik pada hubungan dengan teman sebaya dan mereka yang sangat dihargai oleh teman sebaya, mereka yang dapat berperan sebagai pemimpin sekaligus pengikut, dan mereka yang mampu mempertahankan saling memberi dan menerima dalam interaksi dengan teman sebaya akan dinilai oleh guru dan observer lain sebagai anak yang memiliki kompetensi sosial (yang baik) (Vaughn dan Waters, 1980 dalam Sroufe, 1996). Dengan perkataan lain anak yang memiliki kompetensi sosial yang baik adalah mereka yang memiliki ketrampilan-ketrampilan sosial tertentu, yang memungkinkannya memperoleh penerimaan dari teman sebayanya. Namun tidak semua anak prasekolah memiliki kompetensi sosial yang baik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan hubungan atau interaksi antara orangtua dengan anak yang terlihat jelas dalam gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada anak memberi pengaruh yang signifikan terhadap hubungan anak dengan teman sebayanya.
Dalam penelitian ini ingin digali mengenai karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial yang buruk. Kompetensi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini memfokuskan pada tiga tugas sosial, yakni saat anak memulai interaksi dengan teman sebayanya yang meliputi dua situasi; saat anak memulai interaksi pada awalawal masuk sekolah dan saat memulai interaksi dengan sekelompok temannya yang sedang melakukan aktivitas bersama, saat anak memelihara hubungan dengan teman sebayanya; dan saat anak mengalami konflik dengan temannya. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam akan hal ini, peneliti juga menggali informasi mengenai gaya pengasuhan orangtuanya. Mengingat dalam masyarakat kita ibu masih memegang peranan yang besar dalam pengasuhan anak, maka gaya pengasuhan orangtua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya pengasuhan yang diterapkan ibu saat berinteraksi dengan anaknya sehari-hari. Gaya pengasuhan ini terlihat dari perilaku conlrol/imcontrol dan responsive/uwesponsive yang ditampilkan ibu saat berinteraksi dengan anaknya sehari-hari.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam (/'// depth interview) dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap dua orang ibu dari anak yang memiliki kompetensi sosial buruk dan gurunya. Sementara observasi dilakukan terhadap sikap dan perilaku anak di sekolah. Pemilihan subyek dilakukan dengan pendekatan purposif dimana sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial buruk umumnya menampilkan perilaku agresif, baik agresif fisik maupun agresif verbal, saat berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah. Hal ini membuat mereka cenderung mengalami penolakan dari teman-temannya. Perilaku lain yang membuat mereka mengalami penolakan dari teman-temannya adalah perilaku egois (seperti tidak/kurang mau berbagi dengan temannya, selalu ingin berkuasa/mendominasi temannya, kurang mampu mengontrol dirinya termasuk keinginannya); tidak/kurang mampu menampilkan perilaku prososial dalam hal ini empati (kurang menghargai keberadaan temannya, iri hati); kurang terampil dalam perilaku keijasama (cenderung ingin menjadi pemimpin dan tidak mau menjadi pengikut saat aktivitas kelompok, kurang menghargai pendapat/keinginan temannya).
Sementara gaya pengasuhan yang diterapkan ibu dalam penelitian ini bervariasi, yakni satu subyek menerapkan gaya pengasuhan otoritarian, yang ditandai oleh adanya perpaduan antara perilaku respomive dan control yang rendah. Sementara subyek yang lain menerapkan gaya pengasuhan otoritarian, yang ditandai oleh adanya perilaku control yang ketat tanpa disertai perilaku responsive. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa gaya pengasuhan ibu bukanlah satusatunya faktor yang dominan memberi kontribusi bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Beberapa faktor lain yang turut memberi kontribusi bagi perkembangan kompetensi sosial adalah karakter anak itu sendiri dan lingkungan dimana anak itu diasuh."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Pospos
Djakarta: Balai Pustak, 1967
899.221 POE a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Sri Prasetyo
"ABSTRAK
Dunia pendidikan tak luput dari fenomena kekerasan. Kekerasan yang terjadi di dalam sekolah bukan hanya antar peserta didik, tetapi juga antara guru dan peserta didik. Beberapa kajian terdahulu melihat fenomena kekerasan di dalam sekolah terjadi oleh karena adanya disfungsi di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan ndash;keluarga, sekolah dan lingkungan sosial. Selain itu, beberapa kajian yang lain melihat bahwa alienasi dan dominasi merupakan akar dari kekerasan yang terjadi di dalam sekolah. Dalam kajian ini, penulis berargumen bahwa tindak kekerasan dalam sekolah merupakan produk dari konstruksi sosial yang terjadi di dalam sekolah. Proses konstruksi sosial kekerasan yang terus berlangsung di dalam sekolah membuat tindak kekerasan terjadi turun temurun di dalam sekolah itu sendiri. Kajian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan menggunakan teori konstruksi sosial Peter Berger dan Luckmann. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan konstruksi sosial atas kekerasan di dalam SMK Sint Joseph. Kekerasan yang terjadi di SMK Sint Joseph tak lepas dari latar belakang anak asuh dan situasi yang terjadi di dalam Panti. Kekerasan menjadi bentuk ekspresi atas situasi dan kondisi yang mereka alami, dan terbawa ke dalam sekolah. Identitas lsquo;Israel rsquo; menjadi simbol bagi sekolah mereka sekaligus memperteguh tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap sekolah lain. Identitas lsquo;Israel rsquo; berkembang menjadi sebuah identitas lsquo;koalisi rsquo; dari berbagai sekolah dengan latar keagamaan yang sama. Dalam hal ini, kekerasan yang mereka lakukan dipandang sebagai bentuk pembelaan terhadap agama mereka. Dengan adanya kebijakan baru yang dibuat oleh SMK Sint Joseph dan Panti Asuhan Vincentius Putra, kekerasan terhadap sekolah lain dapat diredam. Namun demikian, kekerasan justru terjadi di dalam sekolah dengan mengatasnamakan solidaritas sesama anggota lsquo;Israel rsquo;.

ABSTRACT
Educational world can not be separated from the phenomonenon of violence. School violence occurs not only among student, but also between teachers and students. A number of previous studies show that phenomenon of school violence take place due to the disfunction within social family institutions, schools and social environment. In addition, other studies find that alienation and domination constitue the roots of school violence. In this research, the writer argues that school violence is the product of social construction which occurs in schools. The process of constructing social violence that takes place continuously in schools has resulted in violent acts happening from generation to generation in the chool itself. This research employs a constructivism approach by applying the social construction theory of Peter Berger and Luckmann. This research uses a qualitative method with a phenomenological approach. The result of research shows that there is a change in social construction on violence in SMK Sint Joseph. Violence which takes place at SMK Sint Joseph can not separated from the background of the foster children and the situation of the Orphanage. In this case, violence becomes a form of expression of the situation and condition that they experience, and it is brought into the school. The identity of lsquo Israel rsquo becomes a symbol for their school which strenghtens their violence against other schools. The identity of lsquo Israel rsquo develops into an identity of lsquo coallition rsquo of a variety of schools with the same background. In this matter, their violence is deemed as a defense against their religion. With the new policy made by SMK Sint Joseph and Vincentuis Putra Orphanage, violence against other schools can be reduced. However, violence specifically occurs in schools on behalf of solidarity of the fellow members of lsquo Israel rsquo ."
2018
T51585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>