Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200254 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Julfreser
"Latar Belakang : Skin prick test SPT merupakan baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan IgE spesifik merupakan pemeriksaan in vitro, nyaman dan tidak ada risiko anafilaksis.Tujuan: Mendapatkan akurasi pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA dalam mendiagnosis sensitisasi alergen hirup pada pasien asma dan/atau rinitis alergi.Metode: Merupakan uji diagnostik dengan desain cross sectional pada pasien asma dan rinitis alergi di poliklinik Alergi-Imunologi FKUI-RSCM. Seratus pasien diperiksa IgE spesifik serum tungau debu rumah D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , kulit anjing, kulit kucing dan kecoak dengan metode ELISA serta SPT sebagai baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen tersebut. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga, dan rasio kemungkinan dari IgE spesifik serum dinilai untuk masing-masing alergen.Hasil: Sensitivitas IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen tungau debu rumah berkisar 48-77 , dengan sensitivitas tertinggi 77 IK 95 66-86 pada D.farinae. Spesifisitas berkisar 64-95 , dengan spesifitas tertinggi 95 IK 95 76-99 pada B.tropicalis, serta nilai RK antara 2,1-11, dengan tertinggi untuk B.tropicalis. Sensitivitas mendiagnosis sensitisasi kecoak 12 IK 95 4,5-27 , namun spesifisitas 100 IK 95 92-100 , dengan RK . Spesifisitas mendiagnosis sensitisasi kulit anjing 89 IK 95 79-95 , namun senstitivitas 3 IK 95 1,5-17 , dengan RK hanya 0,29 IK 95 0,03-2,26 . IgE spesifik serum memiliki spesifitas 88 IK 95 77-95 dalam mendiagnosis sensitisasi kulit kucing, namun sensitivitas 10 IK 95 3,5-26 dan RK 0,9 IK 95 0,3-3,1 .Kesimpuan: Pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA memiliki akurasi diagnostik yang sedang dalam mendiagnosis sensitisasi terhadap tungau debu rumah dan kecoak, namun akurasi rendah untuk kulit anjing dan kucingKata Kunci: Skin prick test IgE spesifik serum, Akurasi, Alergen hirup
Background Skin prick test SPT is the gold standard to diagnose allergen sensitization, but has some limitations. Serum specific IgE SSIgE is in vitro test, comfortable and has no anaphylaxis risk.Aim To get the accuracy of SSIgE test using ELISA method in diagnosing inhalant allergens sensitization in asthma and or allergic rhinitis patients.Method This is diagnostic study with subjects were asthma and or allergic rhinitis patients. One hundreds patients had SSIgE test for house dust mites D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , dog dander, cat dander and cockroach allergens and SPT as gold standard to diagnose allergen sensitization. Sensitivity, specificity, predictive value, and likelihood ratio of SSIgE were evaluated.Result To diagnose house dust mites sensitization SSIgE has 48 77 sensitivity, with the highest is for D.farinae 77 95 CI 66 86 , while specificity is 64 95 , with the highest is for B.tropicalis 95 95 CI 76 99 and LR around 2,1 11, with the highest is for B.tropicalis. Sensitivity of SSIgE to diagnose cockroach sensitization is 12 95 CI 4.5 27 , but has high specificity 100 95 CI 92 100 , and high LR . SSIgE has high specificity 89 95 CI 79 95 in diagnosing dog dander sensitization, but low sensitivity 3 95 CI 1.5 17 and low LR 0.29 95 CI 0.03 2.26 . To diagnose cat dander sensitization SSIgE has 88 95 CI 77 95 specificity, but low sensitivity 10 95 CI 3.5 26 and low LR 0.9 95 CI 0.3 3.1 Conclusion SSIgE test using ELISA method has moderate accuracy in diagnosing house dust mites and cockroach sensitization, but low accuracy for dog and cat dander sensitization.Keywords Skin prick test, Serum specific IgE, Accuracy, Inhalant Allergens"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
616.238 HER a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Utami Iriani
"Polusi udara di DKI Jakarta terus menunjukkan peningkatan bahkan beberapa polutan telah melewati nilai ambang batas. Meningkatnya kadar polutan di udara menimbulkan serangan asma dan bronkitis pada masyarakat. Tahun 2001 penyakit saluran napas bawah adalah termasuk penyakit 10 besar di Indonesia dan di Jakarta berada pada peringkat 15 besar.
Studi ekologi dengan analisis time trend ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis. Data yang digunakan adalah data skunder harian iklim (radiasi matahari, kelembaban, suhu arah angin, kecepatan angin), parameter ISPU (PM10, SO2, 03, NO2) dari BPLHD DKI Jakarta dan kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari pasien yang terserang asma/bronkitis dari 5 RS (Fatmawati, Pasar Rebo, Koja, Sumber Waras, Cipto Mangunkusumo) yang masing-masing mewakili wilayah di DKI Jakarta.
Dan data per minggu selama tahun 2002-2003 ditemukan radiasi matahari di Jakarta 151,65 W/m2, kelembaban 75,68 %, suhu 27,95°C, arah angin 159,93°, kecepatan angin 1,83 m/s. Rata-rata per minggu PM10 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3 , 03 53,21 µg/m3 , NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 dan 67,9 % dalam kategori sedang. Rata-rata per minggu kunjungan asmalbronkitis 47 kali. Radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan 03 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Suhu mempunyai korelasi positif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Arah angin mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Kecepatan angin berkorelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan PM10, SO2, dan 03. Asma dan bronkitis mempunyai korelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan 03. Hasil analisis time trend dalam periode tiga bulanan didapatkan pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan ISPU.
Disimpulkan bahwa keadaan suhu dan kelembaban di Jakarta masih nyaman dengan radiasi matahari yang cukup. Arah angin Selatan Tenggara dengan kecepatan sepoi lembut. Semua parameter ISPU masih di bawah baku mutu dan sebagian besar udara Jakarta selama tahun 2002-2003 dalam kategori sedang. Tingginya konsentrasi NO2 di udara sejalan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien yang terserang asrna/bronkitis. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk membuat suatu sistem kewaspadaan dini bagi penderita asmalbronkitis tentang buruknya kualitas udara. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kausalitas diperlukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lama dan dengan desain kohort.

Relationship Between Climate, Pollutant Standard Index (PSI) and Asthma Bronchitis Attack in DKI Jakarta 2002-2003 (Ecology Time Trend Study in 5 General Hospitals in DKI Jakarta)Air pollution in DKI Jakarta increases continuosly every year even some pollutant have been over threshold limit value. This can cause asthma attack and bronchitis to people whose exposed. In 2001, chronic respiratory diseases still in 10 big diseases class in Indonesia and 15 in Jakarta.
Ecology study with time trend analysis is aimed at finding relationship between parameters of PSI with asthma attack and bronchitis. Climate data such as sun radiation, humidity, temperature, wind direction and wind speed is get from BPLHD Jakarta. Parameters of PSI such as PM10, SO2, 03, NO2 is get from BPLHD also. Asthma attack and bronchitis visit is get from 5 general hospitals in Jakarta which each hospital represent every district.
From 2002-2003, it is found that the weekly average of sun radiation in Jakarta is 151,65 W/m2, humidity 75,68 %, temperature 27,95°C, wind direction 159,93°, wind speed 1,83 m/s. Weekly average of PM10 is 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3, 03 53,21 µg/m3, NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 and 67,9 % data still in middle category, The weekly average of asthma /bronchitis attack visit is 47 times. Sun radiation have positive correlation with 03 and PSI. The humidity negative correlation with PM10, SO2, 03, NO2 and PSI. The temperature have positive correlation with PM10, SO2, 03, NO2. The wind direction in Jakarta from 2002-2003 have negative correlation with PM10, S02, 03, NO2 and PSI. The wind speed have positive correlation with NO2 and negative correlation with PM10, SO2, and 03. Asthma attack and bronchitis have positive correlation with NO2 and negative correlation with 03. The result of time trend analysis in 3 months period show that the trend pattern of asthma /bronchitis attack visit doesn't follow the trend pattern of PSI parameters.
It is conclude that the temperature and humidity of Jakarta still comfort for human with enough radiation intensity. Wind direction is South East and in slow speed. All PSI parameters still under treshold limit value and most of the air condition of Jakarta in 2002-2003 is still in the middle category. The highest concentration of NO2 is, the more asthma/bronchitis patient's visit. It is need over sector cooperation to make early detection system for asthma/bronchitis sufferer about how bad the air quality. To get better conclusion of causality it is need more research in long term, for instance (5-10) years and in cohort design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Purwanto
"Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernapasan yang dapat hilang timbul pada manusia karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernapasan tersebut. Karena sifatnya yang hilang-timbul, asma dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang melalui serangan asma. Senam Asma Indonesia merupakan salah satu exercise penunjang dalam pengobatan asma, karena dengan mengikuti Senam Asma Indonesia otot-otot pernapasan dibentuk sedemikian rupa agar pada waktu serangan asma otot-otot pernapasan tersebut dapat berfungsi secara optimal untuk membantu bernapas. Kegiatan Senam Asma Indonesia dilakukan di berbagai klub asma yang ada di Indonesia. Di DKI Jakarta saja terdapat lebih dari 20 klub. Kegiatan klub asma diawasi oleh minimal seorang dokter spesialis paru atau dokter umum. Selain kegiatan Senam Asma Indonesia juga dilakukan penyuluhan tentang asma dan pengukuran fungsi paru melalui PFR (Peak Flow Rate).
Berdasarkan temuan ternyata 74% responden memiliki sikap dan perilaku yang baik, hanya 24 % responden pernah berkunjung ke IGD, angka rata-rata absensi dari sekolah/pekerjaan 2,25 ± 3,08 per bulan hari dengan absensi 3 bulan terakhir sebesar 3,4 ± 5,42 hari, Biaya penanggulangan penyakit asmanya rata-rata per-orang setiap bulannya sebesar Rp. 24.220,- ± Rp.28.066; , dengan pengeluaran 3 bulan terakhir per-orang sebesar Rp. 47.020,- ±Rp. 47.144,-. Kelompok dengan biaya berobat S Rp. 10.000,- per bulan paling banyak (43%).
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata tidak perbedaan bermakna antara responden yang mengikuti dan yang tidak mengikuti program senam Asma Indonesia dalam hal biaya pengobatan, absensi, perilaku, sikap dan pengetahuan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Savitri
"Berat badan (BB) lebih pada anak adalah penyakit metabolik yang memengaruhi morbiditas saat dewasa. Maka, diperlukan tindakan preventif. Penelitian bertujuan mengurangi proporsi BB lebih anak usia sekolah. Desain penelitian adalah studi potong-lintang. Data didapatkan dengan mengukur tinggi dan berat badan 288 siswa sesuai kriteria dan membagikan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan responden terbanyak bergizi tidak berlebih (74,3%), berberat lahir normal (89,9%), terlahir prematur (70,1%), dan tidak memiliki riwayat asma (92,4%) maupun alergi (93,1%). Uji Chi-Square tidak berbeda bermakna antara riwayat kelahiran dan penyakit dengan BB lebih(p>0,001). Disimpulkan bahwa BB lebih anak usia sekolah tidak berhubungan riwayat kelahiran maupun penyakit.

Children overweight is metabolic disease which affects the development of adulthood morbidity. Thus, preventive measure is needed. The study objective is to decrease prevalence of overweight in school-age children. The study design is cross-sectional. Data was obtained by measuring 288 students’ height and weight meeting the criteria and by spreading questionnaire. The results show most respondence are not overnutritioned(74,3%), have normal birth weight(89,9%), were born preterm(70,1%), and have no asthma(92,4%) nor allergy(93,1%). Chi-Square test shows no significant difference between birth and disease history and children overweight(p>0,001). In conclusion, overweight in school-age children has no association with birth nor disease history."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Maurits
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan dengan kekerapan yang meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 asma, bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia.
Proses inflamasi pada asma sangat kompleks karena melibatkan banyak komponen set inflamasi pada asma. Sel inflamasi yang utama berperan pada patogenesis asma adalah set limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbukan kerrasakan epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas pada penderita asma termasuk pada saat eksaserbasi. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil bronkus maupun melalui eosinofil darah.
Pada sejumlah kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan atopi atau alergi melalui mekanisme IgE dependent Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan hiperreaktiviti bronkus pada penderita asma. Jensen dkk menyimpulkan kadar IgE total serum tidak berhubungan dengan derajat hipereaktiviti bronkus. Peran infeksi saluran napas pada eksaserbasi asma sudah diketahui sejak lama terutama infeksi oleh virus yang diperkirakan sebesar 80% pasien. Infeksi bakteri beberapa tahun terakhir ini saja dianggap berperan pada asma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>