Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181444 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Budi Jatnika
"Pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu negara dengan memberikan suara secara langsung dalam bilik suara. Dari seluruh warga negara yang memiliki hak pilih, terdapat warga negara yang pertama kali ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu pemilih pemula (17-21 tahun). Mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya. Namun, ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Mereka tetap melaksanakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.
Pertanyaan penelitian (research question) yaitu faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilih pemula di DKI Jakarta dalam menentukan pilihan politiknya kepada satu partai politik tertentu dalam suatu sistem multipartai pada Pemilu 2004? Studi ini menggunakan uraian teori partisipasi, budaya politik dan perilaku pemilih. Kemudian menentukan variabel berdasarkan teori tersebut yaitu afiliasi politik orang tua, identifikasi kepartaian, figur, agama, dan isu-isu politik.
Lokasi penelitian tersebar di kelima wilayah kota DKI Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan digunakan cluster dan simple random sampling. Pengumpulan data di lapangan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden ditentukan secara purposive. Responden yang diperoleh sebanyak 198 dari 200 responden. Studi ini mengungkapkan secara umum pendapat responden terhadap afiliasi politik orang tua menyatakan mempunyai pengaruh yang semakin kuat apabila orang tua aktif dalam partai politik, terutama sebagai pengurus partai. Begitu juga terhadap figur tokoh dan identifikasi politik menurut mereka mempunyai mempunyai pengaruh yang kuat, sedangkan variabel agama dan isu-isu politik/program partai tidak begitu besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan politiknya.
Berdasarkan pilihan politiknya, terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih partai politik. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (1) Pemilih Partai Golkar menyatakan bahwa orang tua mempunyai pengaruh kuat dalam menentukan pilihan politik responden; (2) Pemilih PDIP memiliki hubungan emosional kuat dengan partai nasionalis yang menjadi identifikasi partai mereka. Pilihan politik mereka juga dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (3) Pemilih PPP dipengaruhi oleh orang tua dan agama yang dianut responden sehingga membentuk identifikasi politik; (4) Pemilih Partai Demokrat, ternyata perilaku politiknya hanya dipengaruhi secara kuat oleh citra figur tokoh idola yang menjadi calon presiden dari partainya; (5) Pemilih PAN dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (6) Pemilih PKS dipengaruhi oleh faktor agama yang membentuk identifikasi partai berasas Islam, dan diperkuat dengan pemahaman berdasarkan program dan komitmen/janji partai; (7) Pemilih PDS mendapat pengaruh kuat dari orang tua dan agama yang dianut.

General election is one form of political participation as a realization of democracy. During the election, people become the most determining party on political process in a country that voted directly inside the polling booths. From overall voters with voting rights there were voters who cast their votes for the first time in general election, those are young voters (17-21 years of age) or often called beginner voters. They do not have voting experience of previous elections. However, without voting experience does not mean lack opportunity to channel their political aspiration. They still fulfill their voting rights at the voting polls (TPS).
The research question is what factor(s) influencing beginner voters in DKI Jakarta in making their political decision on particular political party in a multiparty system on 2004 General Election? This study used the analysis of participation theory, political culture and voter behavior. Next, determining the variables based on those theories namely parents' political affiliation, party's identification, figure, religion, and political issues.
The research location spread over five regions of DKI Jakarta that is West Jakarta, Central Jakarta, South Jakarta, East Jakarta and North Jakarta with cluster and simple random sampling. Field data collections were using questionnaires. Respondents were chosen purposively. There were 198 counted respondents out of 200 respondents.
The study generally shows that the parents' political affiliation variable has a stronger influence especially when the parents are active in political parties as party's official members. Figure symbol and political identification variables also have a significant influences, while religion and political issues/party's program variables do not have a significant influence toward beginner voter's behavior in deciding their political choice. Although for certain party voters, religion factors have a strong influence.
Based on political choice, there were distinguish factors influencing beginner voters' behavior. This matter can be seen as follows (I) Golkar Party voters expressed that parents have strong influence on changing respondents political choice; (2) PDIP voters had strong emotional relations with nationalist party which became their party's identification. Their political choice was also influenced by parents and model figure who became a candidate for president; (3) PPP voters were influenced by parents and respondents' religions for their political identification; (4) Democrat Party voters, it turns out that their political behavior only influenced by a strong image figure of idol of their candidate for president; (5) PAN voters were influenced by parents and model of president figure of their party; (6) PKS voters were influenced by religion factor which identified this Islamic party, and strengthened by an understanding of program and commitment/promises of he party; (7) PDS voters got strong influence from parents and their religions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yohannes Wasi Gede Puraka
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S6877
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeani Riyanti
"Pemilu 2019 merupakan Pemilu serentak di mana pemilih memilih eksekutif dan parlemen dalam satu pelaksanaan. Sebagai Pemilu serentak pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu bukan hanya memiliki tujuan dalam menyelenggarakan Pemilu yang aman tetapi juga meningkatkan partisipasi pemilih yang terus menurun di setiap pelaksanaan Pemilu. Untuk itu, KPU membuat strategi sosialisasi dan komunikasi guna meningkatkan partisipasi pemilih. Dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, maka pemerintahan hasil Pemilu memiliki legitimasi yang baik. Konsep area Hubungan Masyarakat (Humas) politik dapat membantu Humas dalam mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, penelitian ini menganalisis fungsi Humas Politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih oleh KPU. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus organisasi penyelenggara Pemilu. Hasil penelitian ini menunjukkan KPU menjalankan area Humas politik, namun beberapa area dijalankan belum optimal. Manajemen isu, evaluasi dan krisis belum dijalankan secara maksimal oleh KPU. Sedangkan area news management dan manajemen event lebih optimal. Komunikasi digital juga telah dilaksanakan walaupun terkait engagement perlu ditingkatkan. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada area lain yang tidak dijelaskan dalam area Humas politik, tetapi dilakukan oleh KPU, yaitu area promosi.

Election 2019 was the first simultaneous election for Indonesian to vote executive and legislative in one time. As the first simultaneous general election, General Election Commission or Komisi Pemilihan Umum (KPU) has main purpose not only organize election but also how to increase voter turnout. Voter turnout had been declined since every general election. For that reason, KPU prepared strategies to communicate and socialize election to voter. If voter turnout is higher, the elected government will get a good legitimation from its people. Working area for Politic Public Relations (PR) might assist PR to archive organization’s goal. Therefore, this research was trying to analyze general election socialization strategies that coherence with domain of political PR and related to increase voter turnout. This research was using qualitative research with case study of election organization in Indonesia. Result of this research showed KPU run domain of political PR, but some domains are not implemented optimally. The KPU has not yet fully implemented the issue management, evaluation management and crisis management. Meanwhile, domain of news management and event management are more optimal. Digital communication has also been implemented although related to engagement needs to be improved. The findings of this study also indicate that there is other domain that are not explained in domain of political PR, but are carried out by the KPU, domain of promotion.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gotfridus Goris Seran
"Ditinjau dari aspek pemberian suara pemilih dalam pemilihan umum, tingkat partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 di Dati II Belu boleh dikatakan tinggi. Dari keseluruhan pemilih di Belu sebanyak 120.978 orang terdapat 118.590 pemilih (98,03 %) yang secara sah berpartisipasi memberikan suaranya dalam pemilihan umum 1992. Dari suara sah tersebut, Golkar mampu menguasai partisipasi politik pemilih dalam bentuk pemberian dukungan suara sebanyak 111.685 suara (94,18 %). Partisipasi politik pemilih ini terutama berasal dari segmen massa pemilih yang belum begitu memadai tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem komunikasinya. Masyarakat pemilih dengan kondisi obyektif demikian gampang dimobilisasi. Mobilisasi dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih oleh Golkar Dati II Belu tersebut ditempuh melalui elite yang direkrut dalam menghadapi pemilihan umum 1992.
Analisis mengenai rekrutmen elite dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 oleh Golkar Dati II Belu menunjukkan setidak-tidaknya tiga hal. Pertama, dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 Golkar Dati II Belu menempuh pola rekrutmen elite secara patrimonial. Pola patrimonial dalam rekrutmen elite ini ditempuh dengan dasar pemahaman bahwa setiap elite memiliki pengaruh besar terhadap massa pengikutnya sehingga elite yang direkrut oleh Golkar Dati II Belu untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD dapat mempengaruhi dan menggalang massa pengikutnya untuk memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar (36 elite) secara konvensional ditempuh melalui jalur-jalur politik yang telah tersedia dengan Jalur A 3 elite (8,33 %), Jalur B 26 elite (72, 22 %), dan Jalur C 7 elite (19,45 %). Rekrutmen elite melalui jalur-jalur politik ini pada gilirannya dapat membentuk suatu keterikatan patrimonial-klientelistik antara elite dan massa pemilih sehingga dalam masyarakat patrimonial seperti masyarakat Dati II Belu elite dipandang sebagai tokoh panutan dimana himbauan, saran, dan nasehat seorang tokoh panutan dipakai oleh massa pemilihnya sebagai rujukan dalam berperilaku, termasuk perilaku memilih dalam pemilihan umum.
Kedua, dalam rekrutmen elitenya Golkar Dati II Belu juga menempuh pola korporatis. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar yang ditempuh melalui jalur-jalur politik konvensional terutama didominasi oleh elite yang memposisikan diri sebagai aparat personifikasi kepentingan negara sebanyak 32 elite (88,89 %) dengan rincian 3 elite KBA atau Jalur A (8,33 %), 26 elite birokrasi atau Jalur B (72,22 %), dan 3 elite ormas pimpinan birokrat atau Jalur C (8,33 %). Sedangkan sisanya sebanyak 4 elite (11,11 %) berasal dari 1 elite ormas bukan pimpinan birokrat (2,78 %) dan 3 elite informal (8,33 %) yang merepresentasikan kepentingan massa rakyat. Konfigurasi rekrutmen elite seperti ini pada dasarnya menunjukkan bahwa Golkar yang memposisikan diri sebagai partai penguasa berupaya untuk mengkooptasikan berbagai kekuatan dalam rangka menjaga kekuasaan secara internal melalui pembentukan kekuasaan dalam Golkar dan melakukan pengendalian dan penguasaan massa rakyat secara eksternal melalui Golkar sebagai partai korporatis. Dalam pola korporatis ini, elite direkrut dari posisi-posisi penting dalam organisasi dan kelompok sosial yang hegemonik. Rekrutmen elite demikian dapat juga mencerminkan perwakilan kepentingan dan korporatisasi melalui organ-organ pendukung Golkar seperti ditunjukkan melalui jalur-jalur politik yang pada dasarnya berwujud ormas-ormas afiliasi.
Ketiga, elite, baik dari Jalur A, Jalur B, maupun Jalur C, yang direkrut menurut mekanisme penunjukan oleh Golkar Dati II Belu dalam pemilihan umum 1992, melakukan penggalangan berbagai kekuatan untuk dapat memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Penggalangan ini ditempuh melalui setidak-tidaknya tiga cara, yaitu (1) merangkul kalangan birokrat termasuk KBA, (2) merangkul elite ormas dan elite informal, dan (3) membangun hubungan dialogis antara Golkar dan massa rakyat melalui elite, formal maupun informal, yang direkrut tersebut. Intensnya penggalangan ini didukung pula dengan setidak-tidaknya tiga bentuk rekayasa politik, yaitu (1) meregulasi birokrasi termasuk ABRI dalam bentuk penggalangan anggota-anggotanya ke dalam wadah tunggal KORPRI, pensterilan birokrasi dari kekuasaan partai politik, dan pengaturan monoloyalitas termasuk melalui sumpah jabatan, (2) melekatkan struktur organisasi kepengurusan Golkar pada struktur birokrasi kekuasaan, dan (3) menyediakan dua jalur politik sekaligus, yaitu Jalur A dan Jalur B, di dalam Golkar yang pada dasarnya merepresentasikan kepentingan negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanuddin Muhtadi
"ABSTRACT
How many voters sell their votes in Indonesia, and how effective is it? Elaborated from a wide range of survey methods -whether individual, observational, or derived from the list-experiment, the proportion of voters participating in vote-buying in the 2019 election was between 19,4% and 33,1%. This range is comparatively high by international standards, with Indonesia's level of vote buying being the third largest in the world. Given that the list-experiment and the straight-forward survey questions result inconsistent findings, it can be concluded that vote buying is less likely to be stigmatized, and such practice has become a new normal during the election. This study also finds that Indonesia's open-list proportional system shapes the supply-side of vote buying. Under such an electoral system, candidates are forced to compete against co-partisans for personal votes. And because, according to the open-list system, a seat (or seats) secured by a party must be allocated to that party's candidates who obtained the most individual votes, candidates only need to win a small slice of the votes to defeat their co-partisans. To do so, they need to differentiate themselves from their party peers, including by buying votes."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nony Natadia Ernel
"Tesis ini membahas tentang rendahnya angka partisipasi masyarakat Kota Batam pada Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015. Semula tindakan Golput merupakan respon terhadap dominasi kekuasaan pemerintah Orde Baru, kemudian setelah masa reformasi melalui Undang Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab VIII pasal 56 ayat 1 yang diundangkan sejak tanggal 15 Oktober tahun 2004 maka telah ditetapkan bahwa pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota harus dipilih secara langsung yang semestinya memberi dampak kebebasan bagi masyarakat untuk memilih secara terbuka siapa yang akan memimpin hingga ditingkat daerah.
Fenomena yang terjadi di Pilkada Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015 lalu hanya diisi oleh dua pasang kandidat petahana (incumbent) yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur pada periode sebelumnya namun ternyata meski kedua kandidat merupakan aktor politik lama justru menurunkan semangat partisipasi masyarakat untuk memberikan suara. Oleh sebab itu melalui pendekatan faktor psikologis dan faktor pendekatan pilihan rasional dengan memasukkan tiga dimensi utama yaitu orientasi isu, orientasi kandidat, dan media informasi yang melibatkan sebanyak 400 responden.
Penelitian ini menemukan rendahnya kehadiran pemilih di Kota Batam disebabkan dari faktor isu yang merupakan turunan dari faktor psikologis dan diikuti dengan rendahnya minat pemilih terhadap kandidat yang tersedia. Secara implikasi teoritis, penelitian ini pula menyumbangkan temuan bahwa ketika pemilih tidak memiliki pengetahuan terhadap isu yang akan diselesaikan, ini yang pula memberikan kontribusi kepada semakin menurunnya rasa simpati masyarakat terhadap pelaksanaan Pilkada.

The purpose of this study is to examine the factors behind the large number of absentees among voters in regional elections (Pilkada) in Kepulauan Riau Province, Indonesia. Since 2005, people have their right to vote for their own local leader that was previously selected by the parliament to become a candidate. However, this democratic reform was not accompanied by voters enthusiasm to cast their vote.
In 2015, the Election Education Network for the People found that there were still more than 50% voters who did not use their rights to elect their governor candidate in Batam. Lower voter turnout was affected by Golput (Golongan Putih) or non-voting which was driven by various reasons, but the most popular causes were protests against misconducts in the implementation of elections, lost of expectation to and trust in candidates, and lost of trust in the political system. For this paper, we conducted a quantitative survey to 400 respondents of those who did not cast their vote during the gubernatorial election of Kepulauan Riau Province in 2015.
This paper examines non-voting behavior using psychological and rational choice approaches, particularly on three main variables that may have provided the motive behind the non-voting behavior of the eligible voters, i.e. candidate orientation, issue orientation, and media orientation. It argues that despite the fact that the voters know the two candidates running for governor office as both were incumbents (governor and vice-governor were both run for the governor office), the voters chose to not to cast their votes for several reasons; i.e. the lack of accessible information about the vision of the candidates, and the lack of clarity of programs offered by the candidates.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amak Mohamad Yaqoub
"Untuk memahami pemasaran politik, pertama-tama kita harus melakukan studi tentang perilaku pemilih. Dengan menggabungkan modifikasi konsep perilaku konsumen dengan produk politik, penelitian ini mencoba menguji persepsi nilai kandidat sebagai moderator dalam merumuskan dorongan memilih dan perilaku pemilih. Persepsi nilai kandidat sendiri dibentuk oleh empat variabel produk politik, yaitu program, figur, partai politik, dan juga presentasi.
Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan terhadap calon pemilih pilkada Kabupaten Bandung dan Kabupaten Blitar. Hipotesis dibangun untuk enam hubungan, dan diuji terhadap 250 responden. Selanjutnya, dilakukan analisis data menggunakan program LISREL 8.30. Data yang dikumpulkan mendukung empat dari enam hipotesis.
Riset menemukan bahwa program dan figur secara bersama-sama memiliki peranan yang signifikan dalam mempengaruhi terciptanya persepsi nilai kandidat. Riset ini juga menemukan bahwa persepsi nilai kandidat memiliki peranan yang signifikan dalam menyusun dorongan memilih, sementara dorongan memilih berpengaruh pada perilaku pemilih. Riset ini memiliki kontribusi penelitian sebagai model dasar perilaku pemilih melalui pembentukan produk politik. Untuk meningkatkan kualitas model, disarankan untuk menambah beberapa variabel.

In order to understand the potential role and scope of political marketing, we first need to understand the nature of the electorate through voter behavior study. By integrating political product concept and modified purchasing behavior mode!, this research tries to examine the impact of candidate's perceived value as mediating variable to craft voting intention and voter behavior. While candidate perceived value developed by four components of political products: program, figure, political party, and presentation as well.
This research was conducted to Kabupaten Bandung and Kabupaten Blitar future voter on Chief of Country Election (Pilkada). Hypotheses have developed for six associations and tested with total of 250 respondents to participate in the survey and answered the questioners. Structural Equation Modeling with applicable software package LISREL 8.30 was used as data analysis method. Result supported four of hypothesized interactions, while two others unsupported with data collected.
The research found that program and figure together play important role to create candidate perceived value. This research also found that voter intention play significant role as mediator between candidate perceived value and voter behavior. The study contributes to research on drawing basic model of voter behavior model through political product development. In order to round off research model, there are some adding variables suggested.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T17188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>