Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60038 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Pemberantasan korupsi merupakan agenda besar yang harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, agar dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kesadaran dan kemauan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sesungguhnya telah dimulai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk di dukung dengan UU lainnya, seperti UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK). Terakhir pemerintah kabinet Indonesia bersatu menerbitkan inpres No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi."
JHHP 4:2 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Handiko Natanael
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas beberapa hal. Pertama, pembahasan mengenai
permasalahan yang muncul dalam penerapan upaya paksa penyitaan yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, pembahasan mengenai
limitasi yang dipakai untuk menilai upaya paksa yang dilakukan oleh KPK.
Ketiga, pembahasan mengenai apakah gugatan perdata dapat digunakan sebagai
upaya untuk meminta ganti kerugian atas tindakan penyitaan yang tidak sesuai
limitasi yang ada yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data penelitian ini
sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa perbuatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menyita
barang-barang Hakim Syarifuddin yang tidak termasuk dalam barang bukti tindak
pidana yang didakwakan adalah termasuk suatu perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum tersebut disebabkan karena Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam melakukan tindakan baik berupa penggeledahan maupun penyitaan
tidak melihat pada limitasi pada peraturan yang ada seperti yang ada di dalam
KUHAP maupun peraturan terkait. Penyitaan barang-barang Hakim Syarifuddin
yang tidak terkait tindak pidana yang didakwakan membuat Hakim Syarifuddin
merasa nama baiknya terganggu atas pemberitaan tersebut. Hal ini karena
pemberitaan yang ada memposisikan seakan-akan Hakim Syarifuddin disuap
dengan uang lebih dari Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah), padahal barang
bukti didalam dakwaan hanya sejumlah Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah). KPK menyatakan penyitaan barang-barang selain uang barang bukti
yang ada di dalam dakwaan adalah karena KPK bermaksud meminta penerapan
pembuktian terbalik di dalam persidangan kepada Majelis Hakim. Pembelaan
KPK tersebut ternyata tidak diterima oleh Majelis Hakim karena barang bukti
yang dimaksud tersebut harus disertakan di dalam dakwaan. Atas kerugian yang
dialami oleh Hakim Syarifuddin kemudian Majelis Hakim memutus Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib untuk membayar ganti kerugian kepada Hakim
Syarifuddin sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan mengembalikan
barang-barang yang tidak terkait tersebut.

Abstract
This thesis is mainly focusing on three problems. First, the discussion about the
problems arising in seizure action by Indonesian Corruption Eradication
Commission. Second, the discussion about the limitation that must be used to
assess seizure action which conducted by Indonesian Corruption Eradication
Commission. Third, the discussion about whether the civil lawsuit can be used as
a remedy to request compensation for the unlawful seizure action by Indonesian
Corruption Eradication Commission. This thesis is using normative-juridical
method which some of the sources are based on the related literatures. The
conclusion of this thesis states that the seizure action which is conducted by
Indonesian Corruption Eradication Commission to Judge Syarifuddin?s assets
which is not belong to the evidences constitute as a tort. That seizure action
defined as a tort because Indonesian Corruption Eradication Commission
conducting the house search and the seizure action without regard to the
applicable laws and regulations, such as Indonesian Criminal Procedural Code.
Judge Syarifuddin feels his reputation is defamed by the news of such seizure
action. This is because the news informed that Syarifuddin as a judge was bribed
with a large amount of money, more than Rp 2.000.000.000,- (two billion
rupiahs), whereas the evidence in the indictment is only about Rp 250.000.000,-
(two hundred fifty million rupiahs). Indonesian Corruption Eradication
Commission stated that such seizure action is undertaken because they want to
request to the Panel of Judges for applying the reversed burden of proof. That
defense from Indonesian Corruption Eradication Commission was rejected by the
Panel of Judges because the physical evidence must be included in the indictment.
Due to the losses which was suffered by Judge Syarifuddin, the Panel of Judges
ordered Indonesian Corruption Eradication Commission obliged to pay
compensation to Judge Syarifuddin for Rp 100.000.000 (one hundred million
rupiahs) and return Judge Syarifuddin?s assets which is not belong to the
evidences."
Universitas Indonesia, 2012
S43151
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan dan keuangan negara telah mengalami perubahan mendasar melalui UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
364.132 3 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi teorinya yaitu dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003. Penggunaan mekanisme pengembalian beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud. Untuk itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Epakartika
"Masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Tulisan ini mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana peran masyarakat sipil dalam kegiatan
Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan melibatkan beberapa pihak lain seperti Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dari tulisan ini setidaknya menunjukan bagaimana pelibatan masyarakat sipil dalam upaya meningkatkan tata kelola sumber daya
alam dapat memberikan dampak positif tidak hanya dalam mendukung kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi, namun juga mendorong terjadinya evolusi peran masyarakat sipil dari pemberi informasi menjadi pelaksana dalam kegiatan GNP SDA."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2-2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuna Farhan
"Korupsi sistemik merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini ditunjukan dari Laporan Transparency International tahun 2005 mengenai Corruption Perception Index yang menempatkan Negara Indonesia pada rangking 134 dan 158 negara yang di survey. Korupsi sistemik yang melanda birokrasi dad berbagai instansi di struktur pemerintahan. Walaupun, telah banyak peraturan perundangundangan anti korupsi yang telah diterapkan, namun persoalan korupsi ini tidak kunjung usai. Bahkan, Komisi Pemilihan Urnum, sebagai lembaga pengawal dan instrumen demokrasi yang menentukan kualitas kepemimpinan negara ini dan berasal dari unsur kalangan independen, juga tidak terlepas dan "virus" korupsi. Dalam konteks seperti ini, upaya pemberantasan korupsi belum menampakan hasil nyata dan masih dilihat sebagai upaya elitis penegak hukum dan belum melibatkan peran serta masyarakat sipil. Sebagai kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil seperti LSM, merupakan salah satu altematif ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi yang diintrodusir oleh pemerintah.
Berangkat dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran dan pengalaman koalisi LSM dalam pengungkapan kasus korupsi KPU, strategi dan bentuk advokasi yang dilakukan, pola hubungan anggota Koalisi LSM, hasil dan dampak yang dicapai serta faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan gerakannya. Pada akhimya, penelitian ini mengajukan tawaran solusi untuk peningkatan peran serta LSM dalam pemberantasan korupsi, dan tawaran kebijakan agar kasus korupsi KPU tidak terulang, berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi selama penelitian. Dalam konteks ini, penelitian peran Koalisi LSM dalam pemberantasan korupsi dengan studi kasus korupsi KPU mempergunakan pendekatan kualitatif. Sementara kerangka teori yang dipergunakan meliputi teori civil society diantaranya dan Toqueville, Habemas dan Putnam, LSM dan korupsi dari Alatas dan Klitgaard.
Korupsi di KPU merupakan gambaran korupsi sistemik yang berada di birokrasi, karena melibatkan aktor dari instansi lain seperti Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Para pengusaha yang melakukaan pengadaan barang dan jasa di KPU. Kalangan KPU yang dikenal sebagai akademisi tidak terlepas dari jerat korupsi sistemik yang disebabkan iemahnya mekanisme pengawasan atau kelembagaan di KPU, kebijakan penganggaran yang tidak aplikatif diterapkan dalam proyek politik Pemilu yang menelan anggaran besar, dan sistem pengadaan barang dan jasa yang memberika kondisi atau mendorong terjadinya korupsi di lembaga ini. Pada akhimya, menimbulkan modus-modus korupsi seperti mark-up dalam pengadaan logistik Pemilu, suap untuk melakukan pencairan anggaran maupun pemeriksaan, dan aliran dana "kick -back" yang berasal dari pengusaha ke sejumiah oknum di KPU.
Peran Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas yang terdiri dari 5 LSM ini (FITRA, FORMAPPI, LBH Jakarta, IPW dan KIPP Indonesia) masih belum mampu untuk membedah secara mendalam korupsi sistemik yang terjadi di KPU. Laporan dugaan korupsi KPU yang disusun Koalisi LSM masih sebatas pengungkapan kasus korupsi yang muncul ke permukaan dan belum menunjukan secara nyata terjadinya korupsi di KPU. Namun demikian, Laporan Koalisi LSM ini, merupakan bukti awal bagi KPK untuk mengungkap kasus korupsi ini lebih jauh. Dalam advokasi-advokasi yang dilakukannya, Koalisi LSM mempergunakan kontrol ekstemal melalui pembentukan opini publik di media massa dalam bentuk diskusi publik dan kofrensi pers dan mempergunakan mekanisme kenegaraan yang ada dengan melakukan tekanan-tekanan kepada DPR, KPK dan BPK untuk menindakianjuti laporannya. Gerakan Koalisi LSM ini dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru karena tidak lagi mengandalkan massa. Pola hubungan internal koalisi dengan kepemimpinan kolektif dan mekanisme pengambilan keputusan secara bersama, menumbuhkan adanya solidaritas, kepercayaan dan etika berjaringan yang dipahami bersama.
Di tingkat eksternal, dalam melakukan advokasinya Koalisi LSM dihadapi oleh isu sebagai gerakan yang berupaya menggagalkan Pemilu dan tuntutan pencemaran nama baik. Ditingkat internal, data-data yang dilaporkan Koalisi LSM belum menunjukan bukti yang kuat terjadinya korupsi di KPU, besaran dugaan korupsi yang berubah-ubah dan kesulitan mengkases data serta slat bukti. Meskipun demikian, pengungkapan kasus korupsi KPU merupakan tonggak titik terang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kasus korupsi KPU sebagai kasus terbesar pertama yang ditangani KPK, menjadikan lembaga ini memperoleh kepercayaan publik ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, penguatan pecan LSM dalam pemberantasan korupsi, dengan visi yang jelas menjadi penting untuk diperhatikan.
Ke depan untuk mencegah terjadinya korupsi di KPU dan meminimaiisir terjadinya korupsi sistemik di lembaga lain, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan kelembagaan KPU dengan meningkatkan posisi dan kewenagan Panwaslu, pembenahan dalam sistem penganggaran dengan menerapkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEFIMedium Term Expenditure Framework), dan reformasi dalam pengadaan barang dan jasa publik, seperti pembentukan badan indpenden. Sementara untuk LSM-LSM anti korupsi perlu melakukan konsolidasi untuk tidak sekedar mengungkap kasus korupsi melainkan juga mendorong adanya kondisi, instrumen dan kebijakan yang anti korupsi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 39 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>