Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29170 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945. Tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) legal standing pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (2) pertimbangan Mahkamah Konstitusi memberikan legal standing kepada pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; serta (3) usulan pemberian legal standing terhadap pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif. Teori dalam menilai pemohon memiliki legal standing atau tidak, salah satunya adalah teori legal standing. Teori legal standing point d’interet point d’action yaitu tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan. Para pemohon dalam perkara No. 36/PUU- X/2012 dan No. 7/PUU-XI/2013 tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan. Mahkamah tidak tepat menilai para pemohon dalam perkara No. 36/PPU-X/2012 dan No.7/PPU-XI/2013 memiliki legal standing. Karena para pemohon tidak memiliki dasar (kepentingan) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Selain itu terdapat dissenting opinion hakim konstitusi yang menguatkan bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Keputusan MK untuk menyerahkan kembali kewenangan dalam memutuskan sengketa pemilihan kepala daerah kepada MA menimbulkan polemik dan pertentangan pendapat dikalangan ahli hukum. Ada pihak yang berpendapat bahwa keputusan itu sudah tepat dan ada pula pihak yang berpendapat bahwa keputusan MK tersebut keliru. Apapun pandangan dari pendapat yang berbeda tersebut, MK telah berkesimpulan bahwa kuputusan itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan tak bisa diganggu gugat. Persoalnnya sekarang adalah bagaimana solusi yang terbaik untuk mengantisipasi persoalan hukum lain yang timbul akibat dari keputusan MK tersebut. Sehingga dalam penelitian ini rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana akibat hukum putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Metode penelitian hukum ini adalah normatif, bahan hukum primer adalah UUD NRI Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda, UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan penafsiran. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keputusan MK untuk mengembalikan kewenangan memutus sengketa pilkada kepada MA sudah tepat, karena pemilihan kepala daerah adalah rezim pemerintahan daerah (pemilu lokal). Akibat dari putusan itu pemerintah harus membentuk lembaga penyelenggara pemilihan kepala daerah yang sederajat dengan KPU yang dapat disebut komisi pemilihan kepala daerah (KPKD) namun lembaga hanya berkedudukan di provinsi dan kabupaten / kota, untuk tingkat kasasi kewenangan diserahkan kepada MA"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Uli Nathasya
"Kedaulatan rakyat, demokrasi, dan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal yang terkait satu dengan yang lain. Pemilu menjadi cara yang dipilih untuk menciptakan wakil-wakil rakyat yang dapat merepresentasikan keinginan dan kebutuhan rakyat. Di Indonesia, pemilu dilangsungkan untuk memilih anggota legislatif dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia harus memenuhi persyaratan untuk terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Persyaratan tersebut adalah syarat suara mayoritas mutlak dan syarat persebaran suara. Kedua syarat tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, syarat persebaran suara tidak diberlakukan. Hal ini karena hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Padahal, kehadiran syarat persebaran suara adalah untuk mengakomodasi keberagaman antar daerah di Indonesia. Keberagaman atau perbedaan tersebut terutama dalam hal jumlah penduduk. Hadirnya syarat persebaran suara juga menjadikan daerah sebagai objek sehingga kelak daerah dapat memberikan legitimasinya kepada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Ketidakberlakuan syarat persebaran suara akan membawa berbagai dampak baik dari sisi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maupun dari sisi daerah. Dampak yang mungkin timbul diantaranya adalah perolehan suara yang terpusat di daerah-daerah tertentu, muncul konsep minority of directors vs. majority of directed, kampanye yang berfokus pada daerah tertentu, dan pengesampingan makna demokrasi.

People’s sovereignty, democracy, and election are connected to each other. Election happens to be the method that is chosen to generate people’s representatives who can represent people’s wishes and needs. In Indonesia, election is held to choose the member of legislature and President and Vice President. The presidential candidates must fulfill the requirements to be elected as President and Vice President of Indonesia. The requirements are the majority requirements votes absolute and distribution requirement votes. Both of these requirements are regulated in Article 6A of the Act of 1945. On the presidential election in 2014, the distribution requirement was not implemented, because there were two pairs of President and Vice President Candidates. As a matter of fact, the existence of the distribution requirement votes is beneficial to accommodate the diversity among regions in Indonesia, particularly in terms of population. The existence of distribution requirement votes also makes the region becomes the object. As a result, the region can provide the legitimacy to the Presidential Candidates. Non-enforcement of distribution requirement votes will impact the Presidential candidates and the region itself. The possible impacts that will come out because of the non-enforcement of absolute distribution requirement are the ballot will be focused in certain regions, the concept of minority if directors vs. majority of directed will be appear, the campaign will be focused on certain regions, and the meaning of democracy will be neglected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58612
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila
"ABSTRAK
Kesuksesan pemilu tidak hanya ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara saja, tetapi juga penyelesaian sengketa yang terjadi. Legal standing merupakan sesuatu yang penting dalam mengajukan permohonan gugatan ke MK karena salah satu syarat berbicara di MK adalah memiliki legal standing atau kedudukan hukum. Putusan dapat diterima atau tidak dapat diterima pun tergantung dari legal standing pemohon. Khusus pada sengketa pemilu legislatif 2014, MK melakukan perkembangan legal standing. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK No. 1 Tahun 2014 telah memperluas legal standing pemohon yakni, tidak hanya partai politik dan perseorangan calon DPD, tetapi juga perseorangan Caleg DPR dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Kebijakan MK inilah yang menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya para pemerhati konstitusi dan peserta pemilu. Mengingat implikasi yang ditimbulkan dari kebijakan ini, memiliki pengaruh besar terhadap penanganan sengketa hasil pemilu.

ABSTRACT
The success of general elections is not only determined by the voting execution, but also the settlement of the existing disputes. Legal standing is an important factor in filing the lawsuit to the Constitutional Court since having a legal standing is one of the requirements to speak out in The Constitutional Court. The acceptance of decision is based on the applicant’s legal standing. Especially in the 2014 legislative election dispute, the Court did the development of legal standing. The provisions of Article 2 paragraph (1) PMK No. 1 Year 2014 has expanded the legal standing of the applicant, not only political parties and individual candidates for the DPD, but also individual candidates DPR and DPRD both provincial and district / city. This Constitutional Court policy is what raises a lot of pro and contra among the society, especially the observer of the constitution and election participants. Given the implications of this policy, have a major influence in the handling of elections result disputes.
"
2015
S59048
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
"Tesis ini membahas sejarah sampai lahirnya kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa dalam penyelenggeraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, mulai dari konsep Nomokrasi dan Demokrasi, Pemilihan oleh DPRD dan Pilkada Langsung sampai dengan pemilu kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Pembahasan juga dilakukan terhadap kerangka hukum penyelesaian sengketa (hukum acara) yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan yang menjadi inti dari tesis ini adalah Kepatuhan KPU dalam melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.

This thesis discusses the historical existence of the authority of Judiciary Institution to settle dispute on Local Head dan Vice Head Region Election, Comparation between the concept of Nomocracy and Democracy, between Elected by Local Parliament and Local Direct Election, between Direct Election regime and General Election regime. This thesis also discusses legal framework for Dispute Settlement Procedure (Procedural Law) under Administrative Court and Constitutional Court in Local Head Election Management. Finally, Main discussion of this thesis addresses the Compliance of Election Commission in implementing Administrative and Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008
342.02 IND i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
JK 11:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>