Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115342 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Charris Zubair
"An Indonesian identity of multiculturalism in the reality of pluralism. Building Indonesia has to be based on the principles of nationhood which emphasizes on justice, and not on religious hegemony, ethic, or a certain cultural background. Ethics on Pluralism and Multiculturalism are crucial for a new Indonesia with Pancasila as its ideology and Diversity in Unity as a national paradigm, besides the rich national culture within the various socio-cultural backgrounds. They have to be defended and framed in a mutual-interest dialogue."
Depok: Departemen kewilayaan FIB Universitas Indonesia, 2009
360 JUET 1:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Villa Jabbar
"Tulisan ini akan menggambarkan bentuk-bentuk perubahan sosial budaya yang terjadi pada Orang Papua pasca lebih dari 10 tahun proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diimplementasikan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Perubahan sosial budaya yang terjadi berawal dari proses adaptasi yang dilakukan oleh Orang Papua Asli ketika menanggapi ancaman proyek MIFEE. Proses adaptasi tersebut dilakukan melalui mengenal dan mempraktikkan cara-cara bertani sebagai upaya untuk menjaga eksistensi mereka disaat hutan dideforestasi dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Analisis yang akan dilakukan akan melihat relevansi antara proses adaptasi yang orang Papua lakukan dengan kemungkinan terjadinya perubahan sosial budaya dalam kehidupan mereka. Tulisan ini akan menggunakan studi data dokumen sebagai basis analisis dan penulisan untuk melihat bagaimana proyek pembangunan yang dilakukan secara masif, perubahan lingkungan alam, serta sistem pertanian sebagai suatu “penemuan” bagi orang Papua dapat mendorong mereka beradaptasi dan menimbulkan perubahan sosial budaya bagi kehidupan mereka. Dari studi ini telah ditemukan bahwa bentuk perubahan sosial yang terjadi pada orang Papua di Kabupaten Merauke meliputi perubahan sektor perekonomian dengan timbulnya keberagaman mata pencaharian, perubahan pada sistem pangan lokal, dan perubahan pada pola pikir yang transaksional.

This paper will describe the forms of socio-cultural change that have occurred to Papuans after more than 10 years of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project being implemented in Merauke Regency, Papua Province. The socio-cultural changes that occurred began with the adaptation process carried out by indigenous Papuans when responding threats from the MIFEE project. The adaptation process is carried out through recognizing and practicing of farming methods as an effort to maintain their existence when the forest is deforested and converted into agricultural land. The analysis will look at the relevance of the Papuans adaptation process to the possibility of socio-cultural change in their lives. This paper will use document data studies as the basis for analysis and writing to see how massive development projects, changes in the natural environment, and agricultural systems as an "invention" for Papuans can encourage them to adapt and cause socio- cultural changes in their lives. From this study, it has been found that the forms of socio-cultural changes that occur to Papuans in Merauke Regency include changes in the economic sector with the emergence of livelihood diversity, changes in the local food system, and changes in transactional mindsets."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentia Irmayanti Meliono
"The life of the Indonesian community that was plural and heterogeneous could cause and have an impact the view emergence that was positive or the negative towards that. The plurality and heterogeneity preferably should be not seen as two different poles but preferably that was responded to with the wise attitude. The phenomenon of Indonesia culture that was bipolar could be responded to with the human attitude through the studying process in understanding multiculturalism and education for the younger generation. Through multiculturalism and ethics consciousness, the person could learn to minimise the conflict that happened in Indonesia."
Depok: Departemen kewilayaan Fakultas ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2009
360 JETK 1:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lio Kurniawan
"Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana Festival Cap Go Meh Singkawang dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama dan bagaimana peran aktor sosial budaya dalam mempertahankan Cap Go Meh sebagai strategi menjaga ketahanan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditentukan objek penelitian adalah Festival budaya Cap Go Meh sedangkan subjek dari penelitian adalah para tokoh tokoh yang berperan terhadap suksesnya festival Cap Go Meh dan bagaiamana peran masing masing menciptakan ketahanan sosial dan budaya seperti Walikota dan Anggota DPRD, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Ketua MABM, Ketua MABT, Ketua DAD, Ketua paguyuban Jawa, Panitia Cap Go Meh. Dalam penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dan tehnik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Festival Cap Go Meh Singkawang adalah unik dikarenakan Festival Budaya Cap Goh Mes Singkawang Melibatkan seluruh Etnis yang ada di Kota Singkawang, Masyarakat etni tionghoa sangat mempertahankan budayanya, Festival Cap Go Meh Singkawang terbukti sebagai pariwisata unggulan karena banyak mendatangkan Wisatawan manca negara, Festival Cap Go Meh Singkawang menjadi faktor pendorong terciptanya ketahanan sosial budaya.

The purpose of the research is want to know Cap Go Meh Festival in Singkawnag can survive in long time dan how the influence of socio cultural actors to do keep Cap Go Meh as a strategy mantain social resilience. To Achieve to goal than determined the object research is Capp Go Meh Festival and subject reasearch is there person have influnce to success Cap Go Meh Festival and how to there take role to create social reselience and culture like Walikota Singkawang, DPRD Singkawang, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Ketua MABM, Ketua MABT, Ketua DAD, Ketua paguyuban Jawa, Panitia Cap Go Meh. The research to using methode kualitative dan date collection technigue with observation, interview, documentation. The research result that Cap Go Meh Festival involve all etnic in Singkawang City. Etnic Tiong Hoa very maintain the culture, Cap Go Meh Festival to proven can be leading tourism because can be to come foreign tourists Cap Go Meh Festival Singkawang can be driving factor become to create social reselience"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salupuk, Rensianti Tia A
"Rambu solo’ merupakan ritual upacara kematian yang dimaknai sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan kepada arwah nenek moyang oleh masyarakat Suku Toraja. Rambu solo’ juga memiliki kaitan dengan sistem stratifikasi sosial, yaitu pelaksanaannya yang harus memperhatikan status sosial orang yang akan diupacarakan. Namun, pelaksanaan upacara adat pemakaman rambu solo’ tampaknya mulai mengalami perubahan secara perlahan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan dinamika agama dan status sosial-ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan pelaksanaan rambu solo’ dari masa ke masa dan implikasinya terhadap respon masyarakat Toraja dalam melihat upacara rambu solo’. Penulis menggunakan metode studi pustaka dengan melakukan telaah terhadap kajian-kajian mengenai fenomena sosial budaya yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga melibatkan wawancara mendalam sebagai bentuk validasi dalam melihat perubahan pelaksanaan rambu solo’ di masa sekarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan rambu solo’ mulai mengalami perubahan pada masa pasca-kemerdekaan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen dan adanya aktivitas merantau yang turut mengubah status sosial-ekonomi masyarakat Toraja. Lebih lanjut, perubahan tersebut kemudian menimbulkan tiga respon dan sikap yang berbeda di antara masyarakat Toraja terhadap pelaksanaan rambu solo’, yakni 1) Pelaksanaan rambu solo’ tetap pada aturan lama, dan disesuaikan dengan status sosial, 2) Pelaksanaan rambu solo’ tidak lagi hanya berdasarkan status sosial, tetapi juga kemampuan ekonomi, dan 3) Pelaksanaan rambu solo’ mulai ditinggalkan karena dianggap tidak lagi relevan, menjadi ajang adu gengsi/prestise, dan hanya bentuk pemborosan. Pada akhirnya, keberadaan upacara rambu solo’ yang semakin meningkat memicu munculnya berbagai pandangan terhadap pelaksanaannya yang juga dilakukan dengan cara berbeda-beda.

Rambu solo' is a death ceremony which is interpreted as a form of tribute to and worship of ancestral spirits by the Toraja people. Rambu solo' also associated with the social stratification system, that is, its implementation must be taken into account the social status of the person to be held the ceremony for. However, the implementation of the traditional rambu solo' funeral ceremony seems to be slowly changing. The purpose of this study is to reveal the dynamics of religion and socio-economic status that affect the changes in the implementation of rambu solo' from time to time and the implications towards the perception of the Toraja people in seeing the rambu solo’ ceremony. The author uses the literature study method by conducting a research of literatures on socio-cultural phenomena that have been carried out previously. This research also involves interviews as forms of validation in seeing changes in the implementation of rambu solo' in the present. The results showed that the implementation of rambu solo' began to change in the post-independence period. This change was influenced by the entry of Christianity and the existence of wandering activities that changed the socio-economic status of the Toraja people.. Furthermore, this change then stir different responses among the Toraja people towards the implementation of rambu solo', namely 1) the implementation of rambu solo' remained on the old rules, and was adjusted to social status, 2) the implementation of rambu solo' was no longer based solely on social status, but rather economic capability, and 3) The implementation of rambu solo’ is starting to be abandoned because it is considered no longer relevant, becomes an arena for prestige competition, and is just a form of waste. In the end, the existence of rambu solo' ceremony which keep increasing triggered the emergence of various perspectives on its implementation which was carried out in different ways."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Soetarman Mahayana
"Sejarah panjang hubungan sosial budaya Indonesia dan Malaysia telah memperlihatkan bahwa kedua bangsa ini memiliki akar tradisi sosial-budaya yang sama. Ikatan emosional itu ternyata sama sekali tidak terganggu selepas Perjanjian London tahun 1824 yang disepakati pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Meskipun perjanjian ini secara politik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam dua wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek) dan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris sedangkan Riau dan Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda, hubungan sosio-kultural masyarakat di wilayah semenanjung itu tetap berlangsung baik dan sama sekali tidak terganggu oleh keputusan politik kedua pemerintah kolonial itu. Bahkan, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, masyarakat di wilayah itu tetap mondar-mandir melakukan hubungan sosial, budaya, dan perdagangan. Gerakan budaya ternyata begitu penting bagi masyarakat di kawasan ini. Hal itu pula yang terjadi menjelang kedua negara memperoleh kemerdekaan.

For a long period, the Indonesian and Malaysia relationship has proved the single root of socio-cultural tradition. Yet, the London Treaty 1824, an agreement between the British and Dutch colonials, failed to split the emotional bond between the two nations. Although this treaty successfully divided the Malay Kingdom into two different political region, where Singapore (Temasek) and Johor was politically put under British rule while Riau and Lingga was put under the Dutch, the socio-cultural communication among the people in those areas remained undisturbed by the political decision of the two colonial rulers. Even, during the Indonesia-Malaysia confrontation period, the people were persistently busy keeping their own business in the social, cultural and trade affairs. Hence, specifically since the day prior to their independence, the cultural movement is considerably significant for the people in this region."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005
306.09598 SEP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bartels, Dieter
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2017
291.5 BAR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bartels, Dieter
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2017
291.5 BAR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhriza Lutfi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengulas sejarah masuk dan perkembangan gerakan Ultras di Maroko serta memberikan gambaran komprehensif tentang peran Ultras dalam budaya sepak bola negara ini. Penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran komprehensif tentang peran Ultras dalam budaya sepak bola Maroko, tetapi juga mengungkapkan bagaimana mereka mempengaruhi dinamika sosial dan budaya negara tersebut. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengadopsi teori subkultur Dick Hebdige untuk mengkaji gerakan Ultras di Maroko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ultras di Maroko tidak hanya memberikan dukungan fanatik terhadap klub sepak bola mereka, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan dalam dinamika sosial dan politik. Mereka menciptakan atmosfer meriah di stadion, terutama selama kompetisi internasional seperti Piala Afrika, yang berkontribusi pada moral dan performa tim. Selain itu, Ultras di Maroko menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni budaya dan menggunakan lagu-lagu mereka untuk mengartikulasikan kritik sosial dan politik, serta memperkuat solidaritas di antara anggota mereka.

This research aims to examine the history and development of the Ultras movement in Morocco and provide a comprehensive overview of their role in the country's football culture. The study not only offers a comprehensive depiction of the Ultras' role in Moroccan football culture but also reveals how they influence the social and cultural dynamics of the country. A qualitative approach is adopted, utilizing Dick Hebdige's subcultural theory to explore the Ultras movement in Morocco. The findings of the research indicate that Ultras in Morocco not only provide fervent support for their football clubs but also have a significant impact on social and political dynamics. They create lively atmospheres in stadiums, particularly during international competitions like the Africa Cup of Nations, which contribute to the morale and performance of the teams. Moreover, Ultras in Morocco serve as symbols of resistance against cultural hegemony, using their songs to articulate social and political critiques and strengthen solidarity among their members."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>