Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159225 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Norman Rabker Jefrey Tuhulele
"Latar Belakang: Sedasi yang efektif adalah terjaganya kedalaman sedasi dan analgesia serta mengendalikan pergerakan pasien selama prosedur ERCP berlangsung. Propofol merupakan obat anestetik sedasi yang tidak memiliki efek analgesia dan memiliki efek depresi kardiovaskular dan respirasi yang tergantung dosis. Penambahan ketamin dosis kecil diharapkan dapat menurunkan kebutuhan dosis propofol dalam mempertahankan kedalaman sedasi dan analgesia serta kestabilan hemodinamik dan respirasi. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan sedasi antara campuran ketamin dan propofol (ketofol) konsentrasi 1:4, dan propofol - fentanil pada prosedur ERCP.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 36 pasien yang menjalani prosedur ERCP, dengan usia 18-60 tahun, ASA I-III, BMI 18-30 kg/m 2, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok KF (n=18) dan kelompok PF (n=18). Kedua kelompok obat menggunakan metode infus kontinyu dengan syringe pump. Kedalaman sedasi diukur dengan menggunakan Ramsay Sedation Scale (RSS).
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan rerata konsumsi propofol permenit kelompok campuran ketamin propofol (ketofol) ( 93,71±11,82) lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok propofol fentanil (141,18±19,23) (p<0.05). Jumlah median kebutuhan fentanil pada kelompok ketofol ( 0,00(0-25)) lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok propofol fentanil (25,00 (25-50)) (p<0.05). Mula kerja dan waktu pulih pada kelompok propofol fentanil (3,00(2-4)) dan (5,00(2-15)) lebih cepat dibandingkan kelompok ketofol (4,50(2-5)) dan (15,00 (5-20)) (p<0.05). Kejadian hipotensi pada kelompok ketofol 1,00 (5,56%) tidak berbeda bermakna secara statistik dengan kelompok propofol fentanil 3 (16,67%) (p=0,603). Tidak didapatkan kejadian desaturasi dan mual/muntah pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Campuran ketamin propofol (ketofol) efektif dalam menjaga kedalaman sedasi dan analgesia serta memiliki efek samping yang minimal.

Background: The effectiveness of sedation is the ability of the drugs to maintain the depth of sedation and analgesia as well as to control the patient movement during the ERCP procedure. Propofol is a sedation agent that has no analgesia effect and has cardiovascular and respiratory depressant effect which is dose dependent. The addition of small dose of ketamin is expected to reduce the dose required to maintain hemodinamic and respiratory stability. This study will compare the effectiveness of sedation between the used of 1:4 of ketamin propofol mixtures (ketofol) and propofol fentanyl in ERCP procedure.
Methods: This study is a double blind randomised clinical trial in 36 patients who underwent ERCP procedure, aged 18-60 y.o, ASA I-III, BMI 18-30 kg / m2, which is divided into two groups: KF (n = 18) and the PF group (n = 18). Both group is using continuous syringe pump infusion. The depth of sedation was measured by using Ramsay Sedation Scale (RSS).
Results: From the results, the average consumption of propofol per minute of group propofol ketamine mixtures (ketofol) (93.71 ± 11.82) was significantly lower than fentanyl propofol group (141.18 ± 19.23) (p <0.05). The median fentanyl consumption of ketofol group (0.00 (0- 25)) was significantly lower than fentanyl propofol group (25.00 (25-50)) (p <0.05). The onset and the time to recover in fentanyl propofol group (3.00 (2-4)) and (5.00 (2-15)) were faster than ketofol group (4.50 (2-5)) and (15.00 (5-20)) (p <0.05). The incidence of hypotension in group ketofol 1.00 (5.56%) was not significantly different from fentanyl propofol group 3 (16.67%) (p = 0.603). There were no desaturation events or nausea/vomiting in both groups.
Conclusion: The mixture of ketamine propofol (ketofol) is effective in maintaining the depth of sedation and analgesia and has minimal side effects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55722
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Gilang Dwiputra
"Latar belakang. Endoscopic retrograde cholangio pancreatography ERCP merupakan tindakan yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan nyeri pada pasien, sehingga diperlukan obat sedasi yang adekuat. Propofol dan ketamin adalah dua obat sedasi yang sering digunakan. Penambahan ketamin pada propofol dapat melawan efek depresi pernapasan dan kardiovaskular dari propofol. Kombinasi propofol dan ketamin ketofol telah digunakan sebagai obat sedasi pada berbagai prosedur medis. Namun, evaluasi efektivitas berbagai konsentrasi ketofol terkait perubahan hemodinamik, waktu pulih, dosis, dan efek samping belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas sedasi ketofol rasio 6:1 dengan rasio 4:1 pada ERCP.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien yang menjalani ERCP di PESC RSCM pada bulan Maret-Mei 2017. Sebanyak 58 pasien diambil dan dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok K61 n=29 mendapat infus kombinasi propofol:ketamin 6:1, sedangkan kelompok K41 n=29 mendapat infus kombinasi propofol:ketamin 4:1. Kedalaman sedasi diukur menggunakan skor sedasi Ramsay. Analisis data menggunakan uji-t tidak berpasangan atau Mann-Whitney.
Hasil. Rerata kebutuhan propofol antara ketofol 6:1 125,49 30,49 mcg/kg/mnt dan ketofol 4:1 121,28 28,94 mcg/kg/mnt tidak berbeda bermakna. Waktu pulih ketofol 6:1 6,55 0,5-19 mnt lebih cepat dibandingkan ketofol 4:1 11,37 4,9-20,53 mnt

Background. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography ERCP is a painful procedure that requires analgesic and sedative. Propofol and ketamine are common drugs that are used as sedative in ERCP. The addition of ketamine to propofol may counteract the cardiorespiratory depression caused by propofol. Ketofol, a combination of propofol and ketamine has been used as sedative in various medical procedures. However, evaluation of the effectiveness of different concentration of ketofol in procedural operation regarding changes in hemodynamic, recovery time, doses, and adverse effects was not yet studied. This study was conducted to compare the effectiveness of ketofol ratio of 6 1 with ratio of 4 1 in ERCP.
Methods. This was a randomized, single blinded study in patients underwent ERCP in PESC RSCM during March May 2017. There were 58 subjects who were randomized into two groups. K61 group n 29 received an infusion of ketofol ratio of 6 1, whereas K41 group n 29 received an infusion of ketofol ratio of 4 1. Sedation level was measured with Ramsay sedation score. Data were analyzed by t test or Mann Whitney test.Results. The average requirement of propofol between K61 125,49 30,49 mcg kg min and K41 121,28 28,94 mcg kg min was not significantly different. Recovery time of K61 6,55 0,5 19 min was faster compare to K41 11,37 4,9 20,53 min . There were no desaturation and emergence delirium recorded in both groups. Hypotension was recorded in one patient in each group. Hypersalivation only reported in one patient 3.4 in K61 group, whereas in K41 group there were five patients who were reported have hypersalivation. The incidence of nausea vomiting in K61 group was 6 20.7 and in K41 group was 11 37.9 . The level of postoperative pain in both groups was not significantly different.
Conclusion. Ketofol 6 1 was not more effective than ketofol 4 1 because the requirement of the drugs between both groups was not different, however ketofol 6 1 has faster recovery time and fewer adverse effects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Sanjaya
"LATAR BELAKANG: Sedasi dan analgesia yang baik diperlukan dalam prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP). Spektrum terapeutik propofol sebagai agen sedatif pilihan yang sempit bila dikombinasikan dengan opioid seperti fentanyl menyebabkan angka kejadian efek samping akibat sedasi terutama desaturasi oksigen yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek ketamin (0,2 mg/kgBB) dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) sebagai ajuvan propofol dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi, serta mengetahui waktu discharge dan kebutuhan dosis propofol pada ERCP.
METODE: 36 pasien ERCP dengan usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dan status fisik ASA 1-3 dirandomisasi. Satu kelompok (18 pasien) mendapatkan bolus ketamin 0,2 mg/kgBB, kelompok lainnya (18 pasien) mendapatkan bolus fentanyl 1,5 mcg/kgBB. Kedua kelompok selanjutnya menggunakan TCI propofol rumusan Schneider dengan target konsentrasi efek (Ce). Target Ce dimulai dari 2 mcg/ml dinaikkan 1 mcg/ml setiap menitnya (Ce maksimal 4 mcg/ml) hingga tercapai nilai IOC 45-60 yang dipertahankan selama prosedur berlangsung. Dilakukan pencatatan ada tidaknya kejadian desaturasi oksigen dan hipotensi, serta kebutuhan dosis propofol selama prosedur dan waktu discharge.
HASIL: Angka kejadian desaturasi oksigen pada kelompok ketamin-TCI propofol (11,1%) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok fentanyl-TCI propofol (55,6%) dan secara statistik bermakna (p<0,05). Sementara tidak ditemukan perbedaan bermakna pada angka kejadian hipotensi, kebutuhan dosis propofol dan waktu discharge antara kedua kelompok perlakuan.
SIMPULAN: Ketamin (0,2 mg/kgBB) lebih efektif dibandingkan dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi terutama desaturasi oksigen pada prosedur ERCP.

BACKGROUND: Appropriate sedation and analgesia are needed in Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) procedures. The narrow therapeutic spectrum of propofol as a sedative agent if combined with opioid such as fentanyl causes quite high intrasedation events especially oxygen desaturation. This study aims to compare the effect of ketamine (0,2 mg/kgBW) and fentanyl (1,5 mcg/kgBW) as an adjuvant of propofol in reducing intrasedation adverse events, also to measure discharge time and propofol dosage requirement in ERCP procedures.
METHODS: 36 patients undergoing ERCP aged 18-65 years old, BMI 18-30 kg/m2 and ASA physical status 1-3 were randomized. First group (18 patients) received ketamine bolus (0,2 mg/kgBW), second group (18 patients) received fentanyl bolus (1,5 mcg/kgBW). Propofol TCI was then initiated in both groups with Schneider pharmacokinetic model and targeted effect concentration (Ce). The initial effect concentration was 2 mcg/ml increased by 1 mcg/ml every minute (Ce maximum 4 mcg/ml) until IOC value between 45-60 which would be maintained during the procedure. Any oxygen desaturation and hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time were recorded.
RESULTS: Oxygen desaturation event in ketamine-propofol TCI group (11.1%) was lower than fentanyl-propofol TCI group (55.6%) and this was statistically significant (p<0.05). While there were no significant differences in hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time in both groups.
CONCLUSION: Ketamine (0,2 mg/kgBW) was more effective than fentanyl (1,5 mcg/kgBW) in reducing intrasedation adverse events especially oxygen desaturation in ERCP procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Pramoedya
"Latar Belakang: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) adalah tindakan endoskopi yang kompleks yang memerlukan sedasi. Sedasi dalam tindakan ini penting untuk imobilisasi pasien sehingga prosedur lebih mudah dilakukan. Propofol cukup ideal sebagai obat sedasi,obat ini disukai karena awitan yang cepat dan waktu pulih yang singkat. Hampir sebanyak 80% propofol berikatan dengan albumin. Kondisi hipoalbuminemia sendiri banyak ditemui pada pasien yang menjalani ERCP. Kondisi hipoalbuminemia dapat memengaruhi kadar propofol dan fentanil bebas dalam plasma. Perbedaan awitan dan waktu pulih pada pasien hipoalbuminemia yang menjalani ERCP dengan sedasi propofol-fentanil belum pernah diteliti.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik Cross sectional, dilakukan secara tersamar. Pengumpulan subjek dilakukan secara consecutive sampling, masing-masing pasien diberikan sedasi dengan propofol kontinyu dosis 4ug/L, kemudian dilakukan pencatatan waktu hilangnya refleks bulu mata dan kembalinya kesadaran yang ditandai dengan kemampuan pasien mengikuti perintah menggenggam. Awitan dan waktu pulih kelompok pasien hipoalbuminemia dibandingkan dengan kelompok pasien kadar albumin normal
Hasil: Sebanyak 48 subjek diawal penelitian, 48 orang masuk kepada kriteria penerimaan. 48 subjek penelitian yang menjalani ERCP dengan sedasi kemudian dianalisis. Tidak terdapat perbedaan onset maupun waktu pulih antara kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal.
Kesimpulan: Perbandingan awitan kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal tidak menunjukkan perbedaan, begitu juga dengan waktu pulih kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal.

Background: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) is a complex procedure that requires appropiate sedation. Propofol is considered as an ideal sedative with rapid onset and short recovery time. Almost 80% of propofol binds to albumin. Hypoalbuminemia, is a condition commonly found in patients undergoing ERCP, can affect the levels of free propofol and fentanyl in plasma. Differences in onset and recovery time in hypoalbuminemic patients undergoing ERCP with propofol-fentanyl sedation have not been studied.
Methods Similar number of hypoalbuminemic parients and patients with normal albumin level who underwent ERCP were collected consecutively. Each patient was given a dose of sedation with continuous propofol 4uG / L, then loss of eyelash reflex time and return of consciousness characterized by the ability of patients to follow the gripping command were recorded. The onset and recovery time of hypoalbuminemic patients were compared to patients with normal albumin levels.
Results A total of 48 subjects met the inclusion criteria. The median (range) onset of propofol in hypoalbuminemia group was 2 minutes (1 to 5 minutes), whereas normal albumin group was 3 minutes (1 to 4 minutes). The median (range) recovery time of propofol-fentanyl in hypoalbuminemia group was 10.5 minutes (6 to 17 minutes), while the normal albumin group was 11 minutes (8 to 20 minutes). The differences of onset and recovery time between two groups were not statistically significant (p=0,196 and p=0,422, respectively).
Conclusion: There were no differences in onset and time to recover of propofol and propofol-fentanyl in ERCP procedure between hypoalbuminemia group and normal albumin group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Veronica Juliet Marintan
"Latarbelakang: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) memerlukan sedasi dalam dan analgesia yang baik.Propofol sebagai agen sedatif pilihan bila dikombinasikan dengan opioid seperti fentanyl serta posisi tengkurap, menyebabkan angka kejadian efek samping terutama desaturasi oksigen yang tinggi. Tujuan: Membandingkan efek samping intrasedasi selama prosedur ERCP, menggunakan TCI Propofol kombinasi sufentanil bolus dibandingkan dengan TCI Propofol kombinasi fentanyl bolus.
Metode: 36 pasien ERCP dengan usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2, status fisik ASA 1-3 dirandomisasi. Satu kelompok mendapatkan bolus sufentanil 0,2 mcg/kgBB, kelompok lainnya mendapatkan bolus fentanyl 1,5 mcg/kgBB. Kedua kelompok diberikan TCI propofol rumusan Schneider dengan target Ce dimulai dari 2 mcg/ml sampai Ce maksimal 4 mcg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Dilakukan pencatatan kejadian desaturasi oksigen dan hipotensi, serta kebutuhan dosis propofol selama prosedur dan waktu discharge.
Hasil: Angka kejadian desaturasi oksigen pada kelompok sufentanil TCI propofol (11,1%), lebih rendah dibandingkan dengan kelompok fentanyl TCI propofol (55,6%) dengan nilai p<0,05. Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada angka kejadian hipotensi dan kebutuhan dosis propofol. Waktu discharge kelompok sufentanil TCI propofol lebih cepat dibandingkan kelompok fentanyl TCI Propofol.
Simpulan: Sufentanil lebih efektif dibandingkan dengan fentanyl dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi terutama desaturasi oksigen pada prosedur ERCP.

Background: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) needs deep sedation and good analgesia. Propofol as a sedative agent of choice, if combined with opioid such as fentanyl and prone position, causes quite high intrasedation adverse events especially oxygen desaturation.
Methods: 36 patients undergoing ERCP aged 18-65 years old, BMI 18-30 kg/m2, ASA 1-3 were randomized. First group received sufentanil bolus (0,2 mcg/kgBW), second group received fentanyl bolus (1,5 mcg/kgBW). Propofol TCI initiated in both groups with Schneider model and targeted the initial Ce was 2 mcg/ml until Ce maximum 4 mcg/ml, reached IOC value between 45-60 which would be maintained. Any oxygen desaturation and hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time were recorded.
Results: Oxygen desaturation event in sufentanil TCI propofol group (11.1%) was lower than fentanyl TCI propofol group (55.6%) with p value <0.05. There were no significant differences in hypotension event rate and propofol dosage requirement. Discharge time in sufentanil TCI propofol group was lower than fentanyl TCI propofol group.
Conclusion: Sufentanil was more effective than fentanyl in reducing intrasedation adverse events especially oxygen desaturation in ERCP procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nopian Hidayat
"Latar Belakang. Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling sering digunakan dalam pembiusan umum tetapi propofol dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi injeksi dengan angka kejadian 28-90%. Pemberian lidokain sebelumnya paling sering digunakan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan propofol, akan tetapi tingkat kegagalannya 13-32. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pemberian pre-emptive ketamin 0,1 mg/kg dan lidokain 1 mg/kg untuk mengurangi derajat nyeri pada saat induksi anestesi menggunakan propofol.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar ganda, bersifat eksperimental. Pasien dengan kriteria klinis ASA I-II sejumlah 50 orang yang akan menjalani operasi elektif dengan pembiusan umum, dilakukan randomisasi sederhana menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I (lidokain 1 mg/kg) dan kelompok II (ketamin 0,1 mg/kg) yang diberikan 1 menit sebelum induksi propofol. Derajat nyeri dinilai berdasarkan Verbal Rating Scale (VRS).
Hasil. Penelitian menunjukkan pemberian pre-emptive ketamin dapat menurunkan derajat nyeri yang lebih baik (84% tidak nyeri, 16% nyeri ringan) dibandingkan kelompok pre-emptive lidokain (56% tidak nyeri, 28% nyeri ringan, 12% nyeri sedang dan 4% nyeri berat) dengan nilai p = 0.021 (p bermakna < 0.05) pada uji statistik menggunakan Mann Whitney.
Kesimpulan. Pemberian pre-emptive ketamin 0.1 mg/kg BB intravena lebih baik dibandingkan dengan pemberian pre-emptive lidokain 1 mg/kg BB untuk mengurangi derajat nyeri akibat penyuntikan propofol intravena.

Background. Propofol is a popular IV anesthetic induction drug that causes pain when given IV. The incidence of which is between 28-90%. Lidocaine pre-treatment has been commonly proposed to decrease propofol induced pain, but its failure rate is between 13-32%. The purpose of this study was to compare a pre-emptive ketamine 0,1 mg/kg and pre-emptive lidocaine 1 mg/kg to minimize the injection pain of propofol during anesthesia induction.
Methods. A comparative, randomized, double blind study of 50 patients (ASA I-II) scheduled surgery under general anesthesia were randomly allocated into two groups. Group I received lidocaine 1 mg/kg and group II received ketamine 0,1 mg/kg one minute before the anesthesia induction with propofol IV. Each patient’s pain score were evaluated by using Verbal Rating Scale (VRS)
Result. The result of this study described that pre-emptive ketamine had significantly lower incidence of pain and lower pain score (84% no pain, 16% mild pain) compared with pre-emptive lidocaine (56% no pain, 28% mild pain, 12% moderate pain and 4% severe pain) with p value = 0.021 (significant p < 0.05) using Mann Whitney statistic test.
Conclusion. Pre-emptive ketamine 0,1 mg/kg significantly in reducing degree of propofol pain injection compare with pre-emptive lidocaine 1 mg/kg IV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Penggunaan propofol semakin populer untuk sedasi selama tindakan endoskopi saluran cerna. Selain dengan bolus berkala, akhir-akhir ini telah tersedia pemberian propofol teknik target-controlled infusion (TCI). Teknik tersebut mungkin lebih menguntungkan karena dosisnya lebih efisien, efek samping yang lebih rendah dan waktu pulih yang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keluaran antara pemberian propofol teknik bolus berkala dengan TCI pada tindakan endoskopi saluran cerna. Keluaran yang diteliti adalah dosis total propofol, konsumsi permenit, biaya total, efek samping dan waktu pulih.
METODE: Lima puluh pasien (bolus, n=25, TCI, n=25), ASA I-III, usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dirandomisasi untuk mendapatkan sedasi dengan pemberian propofol bolus berkala (IB) atau target-controlled infusion (TCI) setelah dipremedikasi fentanil 1 µg/kgBB. Pasien kelompok bolus mendapatkan dosis propofol awal 1mg/kgBB dan tambahan 0.3 mg/kgBB hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pasien kelompok TCI menggunakan aplikasi rumusan Scnider dan mendapatkan dosis konsentrasi effect-site (Ce) 3 µg/ml yang kemudian dinaikkan atau diturunkan 0.5 µg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pemantauan dilakukan pada tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dosis propofol, kedalaman sedasi dan waktu pulih.
HASIL: Durasi tindakan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.718). Dosis total propofol, konsumsi permenit dan biaya total lebih besar pada kelompok TCI (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Pada kedua kelompok hipotensi, desaturasi dan waktu pulih tidak berbeda bermakna (p=0.248, p=0.609, p=0,33).
SIMPULAN: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propofol teknik bolus berkala lebih efisien pada dosis total, konsumsi permenit dan biaya total dibandingkan TCI. Angka kejadian hipotensi dan desaturasi serta waktu pulih sebanding pada kedua kelompok.

Propofol has become increasingly popular for sedation during gastrointestinal endoscopic procedure. Beside intermittent bolus, recently targetcontrolled infusion (TCI ) technic has become available for administration of propofol. It has been suggested that these device may offer advantages by efficient doses, lower side effect and faster recovery time. This study aims to compare the outcome of propofol administration technic via intermittent bolus and TCI in gastrointestinal endoscopic procedures. The outcomes investigated were propofol total dose and minute consumption, total cost, side effect and recovery time.
METHODS: Fifty patients (bolus, n= 25, TCI, n=25), ASA physical status I-III, aged 18- 65 years, BMI 18-30 kg/m2 were randomly assigned to receive intermittent bolus administration (IB) or target-controlled infusion (TCI) of propofol sedation after premedication 1 µg/kgBB of fentanyl. Patients in the bolus grup received an initial propofol dose 1 mg/kgBB and additional 0.3 mg/kgBB until IOC value 45-60 is reached. Patients in the TCI group received initial concentration effect-site (Ce) 3 µg/ml using Schnider pharmacokinetic model, and then either increased or decreased 0.5 µg/ml until IOC value 45-60 is reached. Vital signs, oxygen saturation, propofol dose, sedation deepth and the recovery time were evaluated.
RESULTS: Procedure duration time between two groups were not significantly different (p=0.718). Propofol total dose and minute consumption and total cost are higher in TCI group (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Hypotension, desaturation and recovery time were not significantly different (p=0.248, p=0.609, p=0,33) in both groups.
CONCLUSION: Our result suggest that IB technic was more efficient for total dose, minute consumption and total cost than TCI. Hypotension, desaturation and recovery time profiles were comparable between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halauwet, Marisha Friska
"Latar Belakang: Penanganan batu empedu dapat dilakukan melalui intervensi bedah atau non-bedah. Untuk penanganan bedah, kolesistektomi dapat dilakukan dengan teknik terbuka maupun laparoskopik. Tindakan ERCP yang diikuti oleh kolesistektomi dianggap sebagai modalitas terapi terbaik saat ini. Teknik ini bisa dilakukan sebelum tindakan kolesistektomi laparoskopik atau dilakukan secara bersamaan. Saat ini masih belum disepakati alur strategi yang terbaik, mengenai interval waktu untuk melakukan tindakan kolesistektomi laparoskopik pascaERCP.
Metode: Deskriptif analitik dengan desain studi potong-lintang (cross-sectional study) dengan mengambil data rekam medis subjek pada 2 rumah sakit di Jakarta. Tatalaksana interval waktu tindakan kolesistektomi laparoskopik pascaERCP diketahui melalui telusur rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan lebih banyak subjek yang dilakukan tindakan operasi lebih dari 72 jam dibandingkan dengan kurang dari sama dengan 72 jam pascaERCP (27 subjek (56,2%) dibandingkan 21 subjek (43,8%). Total sampel pada penelitian ini adalah 48 subjek, melebihi jumlah sampel minimal yaitu 20 subjek. Pankreatitis terjadi pada 7 subjek (33%) pada kelompok kurang dari sama dengan 72 jam dan pada 7 subjek (26%) pada kelompok lebih dari 72 jam. Berdasarkan uji Chi-square, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara komplikasi pankreatitis dengan durasi kolesistektomi laparoskopik pascaERCP (p = 0,75).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok interval laparoskopik kolesistektomi awal (kurang dari sama dengan 72 jam) dan lambat (lebih dari 72 jam) pascaERCP dengan terjadinya komplikasi pascaERCP berupa pankreatitis. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok interval laparoskopik kolesistektomi awal (kurang dari sama dengan 72 jam) dan lambat (lebih dari 72 jam) pascaERCP dengan lama rawat pasien.

Background: Gallstones can be managed through surgical or non-surgical intervention. Cholecystectomy can be performed with open or laparoscopic techniques. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography followed by cholecystectomy is considered the best treatment modality at this time. This technique can be performed before laparoscopic cholecystectomy or done simultaneously. At present the best strategy path has not been agreed upon, regarding the time interval to perform post ERCP laparoscopic cholecystectomy.
Methods: Analytical descriptive with cross-sectional study design by taking the medical record from two hospitals in Jakarta. The timing of Post- laparoscopic cholecystectomy post ERCP time interval is obtained through medical record search.
Result: More subjects were treated with surgery after 72 hours compared to before72 hours post-ERCP (27 subjects (56.2%) compared to 21 subjects (43.8%). The total sample in this study was 48 subject, exceeding the minimum sample size of 20 subjects. Pancreatitis occurred in 7 subjects (33%) in the group before 72 hours and in 7 subjects (26%) in the group after 72 hours post ERCP. Based on the Chi-square test, there is no significant association between pancreatitis complications and the duration of post-CP laparoscopic cholecystectomy (p = 0.75).
Conclusion: There is no significant difference between the early laparoscopic cholecystectomy group (before 72 hours) and the late laparoscopic cholecystectomy group (less 72 hours) post-ERCP with the occurrence of complications post-ERCP determined as pancreatitis. There is no significant differences in the length of stay of the patient between the early laparoscopic cholecystectomy group (before 72 hours) and the late laparoscopic cholecystectomy group (less 72 hours) post-ERCP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Deni Hamdani
"Latar Belakang: Ansietas sering terjadi pada anak terutama dalam masa prabedah dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter anestesi dalam pelayanan rutin.
Tujuan: Menelaah efek sedasi dan anti ansietas dari premedikasi midazolam oral dan ketamin oral dalam memfasilitasi pemisahan dari orang tua pada pasien pediatrik, Metode: 96 orang anak secara acak dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat midazolam 0,25 mg/kg BB peroral dan kelompok kedua mendapat ketamin 5 mg/kg BB peroral.
Hasil: Anak-anak yang mendapatkan premedikasi midazolam oral efektif tersedasi sebesar 81% sedangkan anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 32% (p<0,05) dengan 1K (0,32 ; 0,66). Sebagai anti ansietas anak-anak yang mendapat premedikasi midazolam oral efektif sebesar 89% sedangkan pada anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 54% (p<0,05) dengan IK (0,18 ; 0,52).Hipersalivasi terjadi pada 25% anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral (p
Kesimpulan: Midazolam 0,25 mg/kg BB lebih baik dalam memberikan efek sedasi dan sebagai anti ansietas bila dibandingkan dengan ketamin 5 mg/kg BB peroral.

Background: Anxiety often accompanied children during preoperative. This is a condition and complication often overlooked by anesthesiologists in routine practices. Aim: To asses sedation and anti anxiety effect of midazolam and ketamine as premedication given orally in order to facilitate separation from the parents. Method: Ninety six pediatric patients, in a randomized, double blind manner divided in two groups equally, received orally midazolam 0.25mg/kg or ketamine 5 mg/kg.
Result: Children who received midazolam were sedated 81%, while children with ketamine only 32% (CI: 4.32;0.66). As for antianxiety effect, patients who received midazolam were effective 89%, those who received ketamine only 54% (p<0.05) with CI (0.18:0.52). Hypersalivation was found in 25% patients with premedication oral ketamine (p<0.05)
Conclusion: Oral midazolam 0.25mglkg gives better sedation and antianxiety effect compared to oral ketamine 5 mg/kg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Sinardja
"BAB I PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang anestesiologi antara lain berupa penemuan obat anestetika baru. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan anestesia pada bedah mata menjadi lebih baik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) yang hebat dan berbahaya selama pemberian anestesia dapat dicegah. Peningkatan TIO merupakan masalah penting yang hendaknya diperhatikan pada bedah mata intraokular.
Sebelum abad ke XX bedah mata intraokular Umumnya dilakukan dengan analgesia lokal, karena pada waktu itu pemberian anestesia sering menimbulkan penyulit seperti batuk, tahan nafas dan muntah yang menyebabkan kenaikan TIO. Namun menurut penelitian yang dilakukan kemudian telah terbukti, bahwa penyulit yang terjadi lebih banyak dijumpai pada pemberian analgesia lokal daripada pemberian anestesia umum. 1,2,3,4,5,c5
Pada bedah mata intraokular insisi dilakukan melalui kamar depan, yaitu ditempat cairan bola mata mengalir keluar. Bila pada saat itu terjadi peninggian TIO, maka isi bola mata seperti iris, lensa mata dan korpus vitreum akan mengalir keluar, hal ini dapat menyebabkan kebutaan. Sebaliknya bila penurunan TIO terlalu rendah, maka pembedahan akan terganggu. Penurunan TIO yang mendadak dapat menyebabkan dinding bola mata menciut, sehinggga pembuluh darah tertarik dan menyebabkan perdarahan intraokular. 1,2,3,4,5,6
Thaib dan kawan-kawan ( 1978 ) dalam penelitiannya terhadap 412 kasus bedah mata telah membuktikan, bahwa penyulit prolaps iris akibat kenaikan TIO lebih banyak dijumpai pada analgesia lokal dibandingakan dengan anestesia N20 - halotan dengan ventilasi spontan . 3.A,7,8,2
Peninggian TIO pada pemberian anestesia umum dapat terjadi pada saat induksi, intubasi dan pemulihan anestesia.
Pengaruh induksi dan intubasi terhadap TIO merupakan kesatuan pengaruh premedikasi, obat induksi dan pelumpuh otot serta jenis 7,2,10 ventilasi yang digunakan.
Thaib dan kawan-kawan ( 1987 ) telah membuktikan teknik anestesia N20 - halotan dengan menggunakan obat pelumpuh otot vekuronium ternyata dapat menurunkan TIO lebih besar dibandingkan dengan menggunakan anestesia N20 - halotan - pankuronium.9
Mirakhur dan kawan-kawan (1988) telah membandingkan perubahan T1O pada waktu induksi dengan propofol dan tiopental pada 40 kasus bedah mata berencana. Ternyata didapatkan penurunan TIO sebesar 53 % pada induksi propofol dan 40 % pada induksi tiopental, penurunan ini cukup bermakna baik pada induksi tiopental maupun propofol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan TIO pada induksi dan intubasi dengan tiopental dan propofol yang dikombinasikan dengan vekuronium.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 6728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>