Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155251 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Avita Nadhilah Puteri, auhor
"Warna merupakan aspek visual pembentuk film yang sangat penting. Warna dalam film tidak hanya hadir sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai simbol yang dapat dimaknai. La Haine merupakan film hitamputih atau monokrom, yang dirilis pada masa teknologi film berwarna sudah muncul. Film ini menceritakan kerasnya kehidupan di banlieue dan bagaimana perilaku anak muda di sana. Tulisan ini membahas makna warna hitam-putih dalam film ini dengan menganalisis aspek naratif dan aspek sinematografis. Hasil analisis menunjukkan bahwa makna warna hitam-putih memiliki relasi dengan tokoh dalam film La Haine.

Color is an important visual aspect of a film. Color in film is not only presented as a complement, but also as a symbol which has a meaning. La Haine is a monochrome film, which was released in a time when the technology of making colored-film was already discovered. This film narrates about how hard it is to live in a banlieue and how the youth who lives there behave. This paper discusses about the meaning of the black and white color by analyzing the narrative and cinematographic aspects. The result of the analysis shows that the black and white color has a relation with the characters of the film."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Beppy Mazurra
"Kekuasaan, menurut Michel Foucault, bukan milik siapapun. Kekuasaan ada dimana-mana dan kekuasaan merupakan strategi. Relasi kuasa adalah suatu hubungan kuasa yang terjadi dari satu pihak ke pihak lain, yang biasanya dijabarkan menjadi dua sisi, yaitu pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Hal ini bisa terjadi karena semua komponen yang terlibat tidak berada dalam posisi yang setara. Tulisan ini berusaha untuk memahami bagaimana kekuasaan dapat terjadi di masyarakat dalam sebuah korpus khusus, yakni sebuah film Prancis yang berjudul La Haine. Secara khusus, tulisan ini akan membahas penggambaran relasi kuasa dalam film tersebut serta faktor-faktor penyebabnya.

Power, according to Michel Foucault, does not belong to anyone. Power is everywhere, power is a strategy. Power relation is a relationship of authority that occurs from one party to another party, which is usually outlined into two sides; those who dominate and those who are dominated. This could happen because of all the components involved are not in an equal position. This paper seeks to understand how power occurs in the community in a specific corpus, which is a French film entitled La Haine. In particular, this paper will discuss the depiction of power relations in the film and what the causes are.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kari Gede Pramuwidya
"Skripsi ini mengenai sebuah analisis filosofis suatu film The Day The Earth Stood Still film yang bertemakan lingkungan ini menceritakan mengenai sesosok alien bernama Klaatu yang datang ke bumi untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran dengan cara memusnahkan manusia beserta peradaban peradabannya Manusia dianggap sebagai sosok yang bertanggungjawab atas terjadinya ketidakseimbangan bumi Teori Gaia bumi merupakan sebuah sistem yang dapat mengatur keseimbangannya sendiri Ketika bumi dihadapakan pada suatu masalah bumi akan melakukan homeostasis memanfaatkan spesies spesies yang ada di dalamnya yang bertindak sebagai homeostatic superorganism Dengan menggunakan teori dari James Lovelock ini penulis ingin membuktikan bahwa film The Day The Earth Stood Still bukan merupakan film fiksi semata film ini menyimpan suatu kebenaran yang membuktikan bahwa film ini merupakan gambaran apa yang sedang terjadi di dunia nyata.

This thesis is about the philosophical analysis of a movie. The Day The Earth Stood Still, is an environmentally-themed movie that tells about an alien named Klaatau who came to earth for saving the earth from destruction by demolishing human and their civilization. Humans are considered as being responsible for the imbalance of the earth. According to Gaia Theory, the earth is a system that can manage its own balance. When earth is facing a problem, it will do homeostatic, by employing the species that lives on it as a homeostatic superorganism. By using James Lovelock’s theory, the writer wants to prove that a movie entitled The Day The Earth Stood Still is not a fiction movie, this movie store a truth which proves that it is a picture of what is happening in the real world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafina Diaswari
"ABSTRAK
Dalam film Le Fabuleux Destin d rsquo;Am lie Poulain, penyajian warna dilakukan secara berulang pada setiap sekuennya. Penyajian warna ini mengiringi kemunculan serta kondisi emosional dari tokoh utama, yaitu Am lie. Warna ditempatkan tidak hanya pada latar saja tetapi juga pada kostum Am lie. Tulisan ini membahas hubungan antara kemunculan warna dalam film dan penokohan tokoh utama. Hasil analisis menunjukkan bahwa warna memiliki fungsi representatif yang berarti bahwa warna dapat mewakili emosi dari tokoh utama.
ABSTRACT

In Le Fabuleux Destin d rsquo Am lie Poulain, the presentation of color is repeated on each of its sequences. This presentation of color accompanies the appearance as well as the emotional state of the main character, Am lie. Color placed not only in the background but also on Am lie rsquo s costumes. This paper discusses the relation between the appearance of colors in the film and characterization of the main character. The result shows that color has a representative function, which means that color can represent the emotions of the main character."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Nafisah
"Subjektivitas adalah konsep identitas diri yang berkaitan dengan cara pandang mengenai diri dan relasinya dengan struktur sosial tempatnya berada. Disertasi ini mengungkapkan ambivalensi subjektivitas tokoh anak dalam empat film anak –Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis sistem formal dari Bordwell dan Thompson (2008), ditemukan ambivalensi  struktur teks dan strategi naratif yang di satu sisi memosisikan tokoh anak sebagai subjek, tetapi di sisi lain dibatasi dengan kondisi tertentu, yaitu ketidakhadiran atau campur tangan tokoh dewasa, keberadaan di ruang terbuka, serta kehendak yang berorientasi kelompok. Analisis lebih jauh dengan menggunakan teori kuasa disiplin Foucault (1995) menemukan bahwa walaupun keterampilan literasi dapat menggeser dominasi kuasa dewasa dan negosiasi posisi dimungkinkan untuk sementara waktu, subjektivitas tokoh anak pada umumnya dikonstruksi melalui pendisiplinan dalam praktik sosial. Pendisiplinan ini melatih anak untuk selalu memperhatikan aspek budaya yang dianggap penting. Akibatnya, subjektivitas yang dikonstruksi ini mendorong tokoh anak untuk mematuhi aturan yang berlaku, mengedepankan kepentingan kelompok, dan menghindari perbedaan. Subjektivitas yang ambivalen ini mengisyaratkan film anak Indonesia memandang anak-anak sebagai manusia yang defisien atau kurang sempurna sebagai manusia sehingga harus dibimbing dan diberi pengarahan, tetapi kurang memperhatikan potensi emosi dan intelektual yang dimiliki anak-anak.

The notion of subjectivity is a concept of personal identity which deals with the self and its relations to the social structures. This dissertation reveals the ambivalent construction of child character subjectivity in four Indonesian children’s films: Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Employing structuralism approach and system formal analysis form Bordwell and Thompson (2008), it is found that textual structure and narrative strategies are ambivalent because they position child characters as subjects, but only under certain conditions: the absence or without involvement of adult characters, in open space, and group-oriented. Further analysis using Foucault theory of power and governmentality (1995) found that although literacy is the child's potential skill to shift adult's dominant power and negotiating positions take place temporarily, the child character's subjectivity is generally constructed through discipline in social practices in order to train children to take cultural aspects deemed important into consideration. Consequently, the constructed subjectivity is submissive children who obey the expected norms, prioritize group's interests, and avoid differences. This ambivalent subjectivity suggests that Indonesian children's films view children as deficient and so in need of guidance and instruction despite their emotional and intellectual potentials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.

Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
"ABSTRAK
Utakata no Ki merupakan salah satu dari tiga buah karya awal Mori Ogai, yaitu Miahime, Utakata no Ki dan Fumizukai. Tiga karya ini banyak diilhami oleh pengalaman pribadi Ogai selama tugas belajar di Jerman selama kurang lebih empat tahun. Tiga karya tersebut sering disebut sebagai Doitsu Sambu Saku atau oleh-oleh dari Jerman.
Dalam makalah ini akan dibahas masalah kedirian yang muncul pada tokoh wanita, Marie. Selain itu juga akan diungkapkan hubungan karya ini dengan fakta ataupun tulisan Ogai lainnya.
Kaya ini ada dua sifat Marie yang tumpang tindih, yang pertama adalah marie gadis penjual bunga violet enam tahun yang lalu, sedangkan satunya lagi adalah Marie yang muncul bagaikan Dewi Bavaria yang angkuh seperti yang ditampilkan pada awal cerita ini. Karena tingkah lakunya yang eksentrik, Marie sering dikatakan gila. Tetapi sebenarnya tingkah lakunya yang aneh tersebut justru lahir dari kesadaran akan kediriannya. Hal ini dapat terjadi karena ia mengalami berbagai pengalaman pahit.
Tampak luar sepertinya, sepertinya Marie hancur oleh suatu tenaga besar, tetapi pada bagian dalamnya tidaklah demikian. Ia tetap menjaga dan mempunyai kebangaan serta kepercayaan diri. Ada semacam jarak psikologi antara dirinya dan para mahasiswa di sekitarnya, sehingga mereka tidak dapat memahami Marie. Hanya Kosei seorang yang dapat mengerti akan diri Marie tersebut.
Sesuai dengan judul karya ini, yang menjadi tema adalah seperti kata-kata yang muncul pada bagian akhir karya ini, yaitu : atonaki utakata no utateki yo, atau berarti : dunia yang bagaikan buih yang hilang tak berbekas. Hal ini melangkan sosok Marie dan kefanaan yang muncul dalam karya ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ribka Sangianglili
"Skripsi ini menganalisis dekonstruksi yang terjadi dalam film animasi bergenre superhero, Megamind. Melalui perbandingan antara film ini dengan film-film superhero klasik, diperoleh hasil bahwa film ini telah medekonstruksi konvensi cerita superhero dalam aspek penokohan, alur cerita, dan sudut pandang. Namun, melalui pengkajian postkolonialisme dan gender, upaya dekonstruksi dalam film ini mengandung dualisme. Pada satu sisi, upaya tersebut terlihat telah melawan supremasi kulit putih serta nilai maskulinitas dan femininitas konvensional yang kerap kali muncul dalam film superhero pada umumnya. Tapi, di sisi lain, terjadi ambivalensi dalam upaya dekonstruksi tersebut karena pada akhirnya malah menekankan pola-pola tersebut. Lebih lanjut, dekonstruksi tersebut ternyata bertujuan untuk merekonstruksi konsep hero yang berbeda. Melalui tokoh Megamind, terdapat beberapa hal yang berusaha ditekankan yaitu proses untuk menjadi hero dan kekuatan yang tidak sekedar mengandalkan fisik.

This undergraduate thesis analyses the deconstruction which happens in Megamind, an animated superhero movie. By comparing this movie and several classic superhero movies, it can be concluded that Megamind has changed the basic convention of superhero stories through its characters, plot, and point of view. However, there is a dualism meaning in the deconstruction. On one hand, this movie seems to oppose the white supremacy, and also the conventional masculinities and femininities which usually can be seen in superhero movies in general. On the other hand, it also confirms those values again. Furthermore, the movie reconstructs different concept of hero as the result of the ambivalence in the deconstruction. Megamind shows some hero's qualities that rarely appear in the classic superhero movies such as the process to be a hero and other kind of powers beside the physical power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43374
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriadi
"ABSTRAK
Degradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>