Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155625 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Purwahyuningrum
"Tidak seperti trilogi Jurassic Park, Jurassic World merangkul ide multikulturalisme di Amerika dengan memilih lebih banyak orang Asia sebagai aktornya dan membuat mereka lebih terlihat. Awalnya, orang Asia di film tersebut memiliki image yang positif, tapi image tersebut berubah dari positif menjadi negatif. Makalah ini bertujuan untuk mengobservasi representasi orang Asia dan melihat bagaimana multikuluralisme mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam film-film Hollywood melalui analisis tekstual. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam merepresentasikan karakter minoritas, Jurassic World telah menunjukkan ide multikulturalisme di Amerika, tapi cara merepresentasikannya tetap ambigu dan akhir dari karakter Asia tetap negatif. Makalah ini berkontribusi dalam diskusi mengenai representasi orang Asia di film blockbuster Hollywood.
Unlike Jurassic Park trilogy, Jurassic World embraces multiculturalism in America by casting more Asians and making them visible. At first, Asians in the movie have a positive image, but it gradually changes from positive to negative. This research aims to observe the representation of Asians and examine the way multiculturalism affects the changes in Hollywood movies through textual analysis. The research findings discover that Jurassic World, in the representation of minority characters, has acknowledged the idea of multiculturalism in America, but it represents Asians with ambiguity and a negative ending. This research contributes to the discussion about the representation of Asians in Hollywood blockbuster movies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Gondomono
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2013
306.951 GON m (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Maharani
"Kedudukan autos pahlawan olahraga mempunyai peran lebih dari sekedar atlit dalam masyarakat majemuk Amerika sejak tahun 1950an. Mereka tidak hanya dituntut untuk mendominasi bidang olahraganya tetapi juga mewakili perjuangan berbagai kelompok dalam proses penerapan multikulturalisme. Isu-isu yang timbul yaitu pengakuan identitas kolektif dan berbagai isu lain sehubungan dengan perubahan tradisi dalam institusi olahraga tersebut. Tiger Woods seorang pemain golf profesional yang mendominasi bidang olahraganya menjadi sarana dari isu-isu berbagai kelompok yang saling bertentangan, saling mendominasi ataupun benegosiasi. Tiger Woods yang dalam hal ini menjadi media bersikap pragmatis dengan memanfaatkan kembali isu-isu tersebut bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok lain.
Melalui pendekatan kualitatif dan cultural studies, dengan menganalisa representasi tokoh Tiger Woods maka dapat ditunjukkan adanya tuntutan suatu media yang dapat mengakomodasi berbagai benturan dan dukungan dalam berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat Amerika sehubungan dengan proses multikulturalisme. Representasi dari Tiger Woods yang dimaknai berbeda-beda membuat perubahan pada pemahaman suatu identitas yang sifatnya fixed atau stasis menjadi dinamis dan merupakan negosiasi antara masa lalu dan masa kini. Tiger Woods juga menjadi representasi dalam masyarakat multikultural Amerika bukan hanya karena identitas yang ada pada dirinya tetapi karena fungsi representasi dari Tiger Woods bagi kepentingan berbagai kelompok tersebut.
Identitas individu yang dipahami oleh masyarakat didasari oleh kalegori yang berdasarkan pads ras, etnik, gender dan kelas sehingga muncul berbagai tuntutan pada diri Tiger Woods yang memiliki latar belakang biologis multiras dan multi etnik. Kesadaran akan klasifkasi identitas bagi general multiras dimunculkan dalam fenomena ini. Hal ini menunjukan bahwa klasifikasi identitas yang ada dalam masyarakat dituntut untuk dapat disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi sehubungan dengan proses multikulturalisme.
Tiger Woods dapat mendominasi olahraga golf yang menjadi supremasi monokulturalisme (rich, middle-age white men). Perubahan yang terjadi dalam tradisi golf menjadikan Tiger Woods dimaknai sebagai simbol perjuangan multikulturalisme. Olahraga golf disini menjadi sarana pergesekan antara monokulturalisme dan multikulturalisme. Representasi Tiger Woods dalam perubahan tradisi golf dimanfaatkan oleh berbagai kelompok untuk kepentingan mereka sehubungan dengan olahraga golf isu sendiri maupun kepentingan diluar urusan golf.
Dari berbagai pemaknaan dan penggunaan mitos pahlawan olahraga Tiger Woods ini menunjukkan bahwa masyarakal Amerika memerlukan suatu media yang tidak saja merefleksikan suatu proses multikulturalisme tetapi juga terlibat dan berperan dalam pembentukan proses itu sendiri. Representasi Tiger Woods menjadi signifikan karena memproduksi berbagai simbol dan anti, mengorganisir berbagai pemaknaan dan digunakan sebagai acuan berbagai objek, isu, golongan, peristiwa ataupun aturan-aturan secara nyata dalam masyarakat majemuk Amerika, berdasarkan kode-kode yang sesuai dengan latar belakang konsep pemikiran masing-masing kelompok.

The myth of sports heroes or heroines has played some important role in the American multicultural society since the 1950s. They are not demanded not only to dominate the sports but also to represent some groups in the process of implementing multiculturalism. The issues raised are collective identity recognition and some other issues related to the tradition changes in the related sports institutions. Tiger Woods, a dominant professional golfer has facilitated the issues from different groups that opposites, dominated, and negotiated to each other. He, in this respect a negotiator, is pragmatic by employing the issues for his own or other groups' interests.
Through qualitative approach in cultural studies, analyzing the representation of the sports figure Tiger Wood, I can demonstrate that there is a demand that media must be capable of accommodating various conflicts and supports within the American social groups especially if connected to the multicultural process. The representation of Tiger Woods, which is interpreted differently, has changed the understanding of an identity that used to be fixed or static into the one dynamic and negotiating the past and present. Tiger Woods represents the multicultural American society not because of what he has personally but because of his functioning as the representative of those groups.
Individual identity is understood as categorization with the basis of race, ethnic, gender, and class; therefore, there come demands to Tiger Woods, the one who is biologically of multi races and multi ethnics. The awareness of identity classification of the multiracial generation is raised in this phenomenon. This shows that such social classification is required to adjust to the progress of multicultural process.
Tiger Woods can dominate golf, a monoculture hegemony (rich, middle-aged white men). The changes of this tradition have made Tiger Woods a symbol of the multicultural movement. Golf facilitates the negotiation of monoculture-multicultural conflicts. This representation in changing golf tradition is made good use of by some groups for sports and non-sports purposes.
From the meaning and use of the myth of sports heroes, Tiger Woods shows that American society needs a medium that not only reflects the multicultural process but also involves and takes part in the process itself. The representation becomes significant because it produces symbols and meanings, manages several meaning-makings, and is used as standards of various objects, issues, social groups, events or regulations explicitly in the multicultural America with the basis of codes which conform the background thoughts of each social group.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Marsha Shabila
"Penelitian ini bertujuan untuk menginterpretasikan representasi perempuan dalam bidangolahraga yang masih banyak dimiliki oleh laki-laki yaitu sepak bola. Juga untuk mengetahuimakna denotasi, konotasi dan mitos dalam iklan “Iklan Piala Dunia Wanita Jerman: 'Kamibermain untuk negara yang bahkan tidak mengenal nama kami'”. Penelitian ini dilakukandengan menggunakan metode kualitatif dan analisis semiotika Roland Barthes beserta teoriperiklanan. Analisis semiotik Roland Barthes dalam hal ini diawali dengan makna denotasiyang merupakan makna sebenarnya, kemudian makna konotatif yang bermakna ganda danpada akhirnya akan menjadi mitos. Hasil yang diperoleh dari adegan-adegan terkaitrepresentasi perempuan dalam bidang olahraga mengandung beberapa konsep yaitu perempuansebagai pengurus rumah tangga, perempuan berpakaian feminim, perempuan bergantung padasuami, dan perempuan lemah dan lambat.

This study aims to interpret the representation of women in the field of sports that are stillwidely owned by men, soccer. It is also to find out the meaning of denotation, connotation andmyth in the advertisement “Germany's Women's World Cup advert: 'We play for a nation thatdoesn't even know our names'”. This research is done by using qualitative methods andsemiotic analysis by Roland Barthes along with the theory of advertisement. Roland Barthes'semiotic analysis in this case begins with the denotation meaning, which is the real meaning,then the connotative meaning, which has a double meaning and will eventually become a myth.The results obtained from scenes related to the representation of women in the field of sportscontain several concepts, namely women as housekeepers, women dressed in feminineattributes, women dependent on their husbands, and women who are weak and slow."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Wahyu Danaparamita Dewi
"Perpindahan penduduk di zaman ini tidak terelakkan. Di satu sisi, hal ini dapat berdampak positif bagi perkembangan ekonomi di sebuah wilayah. Namun di sisi lain, secara psikologis, banyaknya kelompok pendatang dapat berpotensi menimbulkan gesekan antar kelompok, yang salah satunya disebabkan oleh adanya persepsi bahwa eksistensi dan identitas dari kelompok lokal-mayoritas terancam akibat keberadaan kelompok pendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keharmonisan antar kelompok, penting untuk memahami upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan outgroup attitude yang positif.
Penelitian ini berusaha melihat pengaruh persepsi ancaman terhadap outgroup attitude. Lebih lanjut, penelitian ini juga ingin melihat peran multikulturalisme dan polikulturalisme dalam memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, 302 partisipan yang merupakan masyarakat Hindu-Bali dengan rentang usia 18 ndash; 64 tahun, dilibatkan dalam penelitian ini.
Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa persepsi ancaman memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan outgroup attitude B = -0,50, 95 CI [-0,6, -0,39], p < 0,01. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa polikulturalisme dapat memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude secara signifikan B = -0.29, 95 CI [-0.49, -0.09], p < 0.01. Namun demikian, tidak ditemukan efek yang signifikan pada multikulturalisme dalam memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude B = 0.08, 95 CI [-0.10, 0.25], p > 0.05.
Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi ancaman yang dipersepsi individu, maka semakin negatif outgroup attitude atau sikap yang ia tunjukkan kepada kelompok luar. Selain itu, hasil analisis moderasi menunjukkan bahwa polikulturalisme merupakan salah satu ideologi budaya yang efektif dalam menanggulangi dampak persepsi ancaman terhadap outgroup attitude.

In todays world, migration is inevitable. On the one side, this phenomenon has positive impact for the economic development of that respective region. But on the other side, from the perspective of psychology, this massive amount of immigrants could potentially give rise to intergroup conflict, due to the perception that local majority group rsquo s existence and cultural identity are being threatened because of the immigrants presence. Therefore, to maintain intergroup harmony, it is essential to understand how positive outgroup attitude could be developed.
This study aimed to examine the effect of threat perception on outgroup attitude. Furthermore, this study also seek to understand the role of multiculturalism and polyculturalism in moderating the effect of threat perception on outgroup attitude. To answer these questions, 302 participants of Balinese Hindu people with the age range of 18 ndash 64 years, are involved in this study.
The result of this study found that threat perception has negative and significant relationship with outgroup attitude B 0,50, 95 CI 0,6, 0,39, p 0,01. This study also found that polyculturalism can significantly moderate the relationship between threat perception and outgroup attitude B 0.29, 95 CI 0.49, 0.09, p 0.01. However, there is no significant moderating effect found of multiculturalism on the relationship between threat perception and outgroup attitude B 0.08, 95 CI 0.10, 0.25, p 0.05.
These results may indicate that the higher the threat an individual perceives, their outgroup attitude toward other groups would also be more negative. Moreover, moderation analysis shows that polyculturalism is one of cultural ideology that could effectively overcome the impact of threat to outgroup attitude.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"Budaya Indonesia tidak bisa dilepaskan dari budaya agama, bahkan budaya agama sudah mengakar sejak awal kedatangan generasi pertama di negeri ini. tapi dalam tahun-tahun belakangan ini agama sering dijadikan alat oleh sekelompok orang untuk melakukan tindak kekerasan, munculnya radikalisme, dan fundamentalisme yang menegasikan the other. Suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali, jika dibandingkan dengan kondisi kehidupan beragama di masyarakat Indonesia pada masa klasik. Dalam khazanah ilmu-ilmu social modern, agama ternyata tidak dikaitkan dengan konflik, melainkan lebih kepada integrasi dan harmoni. Di Indonesia agama, khususnya Islam telah menjadi satu dasar pemersatu yang penting, dan mampu beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga agama menjadi system pemertahanan kultur dan harmoni. Selanjutnya agama Islam tidak hanya berfungsi sebagai priestly religion, sebagai penyanggsa status qua, tetapi ia juga berfungsi sebagai propethic religion, yang menjadi model mobilisasi massa untuk menggerakan perubahan. Tulisan ini bertujuan mendiskripsikan bagaimana nilai luhur dan ideal dalam agama pada masa klasik di Indonesia telah menjadi sumber pemertahanan kultur dan harmoni dalam relasi pergaulan sesama, yakni Indonesia yang bineka tunggal ika. Gambaran data sejarah agama pada masa klasik di Indonesia dipandang penting untuk merekonstruksi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural pada masa sekarang dan akan datang.

Indonesian culture can not be separated from religious culture. Religious culture had been in this state since the first generation. But recently the face of moderate religion turned into a radical religion. The rise of radicalism is increasingly enforcing to negate the other. In the discourse of modern social sciences, religion is not associated with the conflict, but rather to the integration and harmony. The religion in Indonesia, especially Islam is capable to adapt the local culture, thus showing a harmony. So the role of religion as an institution of the priesthood creating a harmony in society at one hand and on the other hand plays a role as a prophetic religion, as liberator force. This paper aims to describe how the values ​​and ideals in religion have become a source of preservation of culture and harmony in Indonesian society as in the past and construct the plural dan muliticultural society in Indonesia in the future.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, [Date of publication not identified]
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahrur Rozi
"Orientasi Organisasi the Muslim World League kontemporer telah bertransformasi dari kecenderungan label organisasi konservatif, takfiri, dan ekslusif menjadi organisasi moderat, inklusif, dan toleran. Kehadiran Al-Issa telah mengubah citra konservatif MWL ke arah yang lebih moderat, dengan visi moderasi, toleransi, dan koeksistensi. Perubahan tersebut berangkat dari tuntunan internal (Keraajaan Arab Saudi) dan eksternal (wacana geopolitik global). MWL mulai keluar dari hegemoni tradisi lama ideologi politik-keagamaan wahabi Arab Saudi, beralih merepresentasikan gerakan-gerakan baru yang bersebrangan dengan tradisi dan ideologi wahabi. Fernomena tersebut disebut sebagai post-wahabisme, sebagaimana diistilahkan oleh Schulze, Lacroix, dan Derbal. Penelitian ini melihat bagaimana wacana post-wahabisme mempengaruhi orientasi MWL pasca 2016, yakni di era Sekretaris Jenderal Al-Issa dan Putra Mahkora Muhammad bin Salman. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pedekatan deskriptif-analitis berdasarkan data pustaka dan wawancara. Teori post-islamisme (Asef Bayat), relasi kuasa pengetahuan (Foucault), dan soft power (Nye) digunakan untuk membingkai pengaruh wacana post-wahabisme pada MWL sekaligus interaksi relasi-kuasa dan kepentingan Kerajaan terhadap MWL. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kerajaan memiliki intervensi kuat terhadap orientasi organisasi dan wacana post-wahabisme telah mempengaruhi orientasi MWL. Pengaruh tersebut terepresentasikan melalui bentuk sikap afirmatif MWL terhadap rekonstruksi identitas nasional dan keagamaan, upaya counter narasi ekstremisme dan terorisme, rekonsiliasi dengan Yahudi, dan advokasi emansipasi wanita. Adapun diseminasi wacana post-wahabi dilakukan oleh MWL melalui keterlibatan secara massif pada forum dialog lintas madzhab islam dan lintasagama, serta menjalin mitra kerjasama yang baru, yakni dengan representasi Komunitas Yahudi, Kristen, Islam Pluralis-Demokratis dan Islam Syiah. Di sisi lain, MWL tetap mempertahankan beberapa ideologi dan tradisi politik-keagamaan Wahabi-Saudi, seperti konsep ketaatansuprematif terhadap pemimpin dan relasi yang masih berjarak dengan kalangan sunni-sufi. Seluruh Perubahan tersebut mepresentasikan peran MWL sebagai aktor strategis proyek soft power Arab Saudi dalam upaya mempromosikan citra baru islam Arab Saudi kontemporer secara global.

The contemporary Muslim World League Orientation has transformed from the tendency to be labelled as a conservative, takfiri, and exclusive organization to a moderate, inclusive and tolerant organization. The presence of Al-Issa has changed the conservative image of the MWL towards a more moderate one, with a vision of moderation, tolerance and coexistence. This change is based on demands from the internal (Kingdom of Saudi Arabia) and external (global geopolitical discourse) factors. The MWL began to extricate from the hegemony of the old tradition of Saudi Arabia's Wahhabi political-religious ideology, shifting to representing new movements that are at odds with the Wahhabi tradition and ideology. This phenomenon is called post-Wahhabism, as Schulze, Lacroix, and Derbal mentioned. This study examines how the discourse of post-Wahhabism influenced the orientation of the MWL post-2016, specifically in the era of Secretary-General Muhammad Abdulkarim Al-Issa and Crown Prince Muhammad bin Salman. This research uses a descriptive-analytical qualitative approach based on library research and interviews. The theory of post-Islamism (Asef Bayat), power-knowledge relations (Foucault), and soft power (Nye) are used to frame the influence of post-Wahhabi discourse on MWL as well as the interaction of power relations and the Kingdom's interests towards MWL. The results of this study indicate that the Kingdom has a decisive intervention in the orientation of the organization, and the discourse of post-Wahhabi has influenced the orientation of MWL. This influence is represented through MWL's affirmative attitude towards reconstructing national and religious identity, efforts to counter extremism and terrorism narratives, reconciliation with Jews, and advocacy of women's emancipation. Then, the dissemination of post-Wahhabi discourse is carried out by MWL through massive involvement in cross-Islamic schools of thought and inter-religious dialogue forums, as well as establishing new cooperation partners, namely with representatives of the Jewish, Christian, Pluralist-Democratic Islam and Shia Islam communities. On the other hand, MWL still maintains some Wahabi-Saudi political-religious ideologies and traditions, such as the concept of supremacy obedience to leaders and relations that are still distant from Sunni-Sufi communities. All these changes represent the role of MWL as a strategic actor in Saudi Arabia's soft power project in an effort to promote a new image of contemporary Saudi Arabian Islam globally."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Affan Taufiqulhakim Johardian
"Representasi hegemoni dominasi kekuatan Inggris pada perang dunia kedua dapat direpresentasikan melalui teks-teks budaya populer seperti film perang Hollywood, Dunkirk (2017). Membahas film Dunkirk (2017) dengan buku yang berjudul Film as Social Practice oleh Graemer Turner dan buku Film Art Textual film analysis oleh David Bordwell dan Kristin Thompson sebagai kerangka pada penelitian ini, esai ini membuktikan bahwa ada beberapa pesan-pesan ideologi tertentu sebagaimana film tersebut memperlihatkan bendera Inggris dan Insignia sebagai lambang nasional dari tantara Inggris, bagaimana film tersebut menunjukkan superioritas tantara Inggris melebihi tantara Perancis, dan bagaimana representasi ambiguitas antara hirarki tentara Inggris dihasilkan dalam film ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa memori Dunkirk digambarkan sebagai serangkaian aksi heroik pada layar lebar dan secara implisit mengabadikan supremasi dari kekuatan Inggris melalui elemen-elemen sinematografi pada Dunkirk (2017). Selain itu, dengan memasukkan kepercayaan ideologi berupa hegemoni kekuatan Inggris ke dalam budaya populer, Christopher Nolan bermaksud untuk menampilkan sejarah dari peristiwa Dunkirk menurut versi negaranya.

The representation of Hegemony of British power domination in World War II can be
represented through popular culture texts such as Hollywood war movies, Dunkirk (2017).
Examining Dunkirk (2017) with Graeme Turners book titled Film as Social Practice and
David Bordwell and Kristin Thompson books Film Art textual film analysis as the
frameworks of this research, this essay argues that there are some particular ideological
messages, such as how the film displays the British flag and insignia as the national symbol of
British army, how it shows British armys superiority over the French soldier, and how the
ambiguity between British soldiers hierarchy representation is generated in the film. This
research shows that the memory of Dunkirk is portrayed as a series of heroic actions on the
screen and implicitly perpetuates the British power supremacy through cinematography
elements in Dunkirk (2017). Moreover, by inserting ideological belief such as hegemony of
British power into popular culture, Christopher Nolan intends to show the history of Dunkirk
according to his own countrys version.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lensen, George Alexander
Tokyo: Charles E. Tuttle, 1970
950 LEN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>