Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105782 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jons Peri
"Penyandang kusta yang menderita luka pada kaki sebagian besar mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan yang berakibat menjadi luka kronis. Perawatan luka dengan topikal madu adalah upaya untuk meningkatkan penyembuhan luka terutama pada fase proliferasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas perawatan luka dengan madu terhadap perkembangan jaringan granulasi luka penyandang kusta. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental pretest-posttest design with control group, dan teknik pengambilan sampel secara Total sampling. Besar sampel 24 responden (12 responden kelompok intervensi dan 12 responden kelompok kontrol).
Hasil analisis statistik didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna perkembangan jaringan granulasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah intervensi dengan nilai p = 0,021 (p value< 0,05). Perawatan luka dengan menggunakan topikal madu efektif dapat meningkatkan perkembangan jaringan granulasi pada luka kronis penyandang kusta.

Most patients with leprosy who suffer from lesions on their feet fail to experience full recovery to the extent that the lesions develop into chronic lesions. The application of topical honey on lesions is an effort to enhance the recovery of the lesions, especially during the proliferation phase.
This research seeks to measure the effectiveness of topical honey application in enhancing the development of granulation tissue on the chronic lesions in leprosy patients. This quasiexperimental research is carried out by applying the ?pretest-posttest design with control group? as research method and total sampling as sample collection technique. Samples consist of 24 participants who are divided into two groups: the intervention group (12 participants) and the control group (12 participants).
The results of statistical analysis show a significant difference between the development of granulation tissue in the intervention group and that in the control group with p-value = 0.021, which indicates the p-value < 0.05. Therefore, it can be concluded that the application of topical honey has been proven to be effective in enhancing the development of granulation tissue on the chronic lesions in leprosy patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T45380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Subiakto
"ABSTRAK
Penyakit kusta pada stadium lanjut sering disertai luka kusta yang terjadi akibat kerusakan saraf
perifer sehingga terjadi kehilangan sensitifitas sensorik. Luka kusta yang terjadi pada pasien
penyakit kusta sangat sulit disembuhkan karena pasien datang ke tempat pelayanan kesehatan
telah mengalami kondisi yang berat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan
efektifitas perawatan luka antara menggunakan madu dengan ethacridine 0,1% terhadap
perbaikan luka kusta di Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang. Penelitian ini mengunakan
equivalent pretest-posttest control group design. Jumlah sampel penelitian 16 responden terdiri
dari 8 responden kelompok madu(intervensi) dan 8 responden kelompok ethacridine 0,1%
(kontrol). Teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling dan acak sederhana. Analisis
data yang digunakan yaitu uji t independent. Hasil penelitian menunjukan responden perawatan
luka dengan madu maupun ethacridine 0,1% terjadi penurunan skor luka rata-rata pada hari ke-6
dan ke-12. Setelah diuji dengan uji t-independent test diperoleh madu lebih efektif dibandingkan
ethacridine 0,1%. Kesimpulan penelitian ini adalah perawatan luka menggunakan madu lebih
efektif dibandingkan perawatan luka dengan ethacridine 0,1% terhadap perbaikan luka kusta.
Saran penelitian yaitu perlu adanya kebijakan dari institusi pelayanan kesehatan untuk
mengakomodasi penggunaan madu sebagai topikal perawatan luka kusta. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang topikal madu terhadap penyembuhan luka luka kusta.

ABSTRACT
Leprosy wound is one of chronic complication of leprosy disease, as the result of damaged
peripheral nerve toward loss of sensation. The process of leprosy wound healing last longer. The
aim of this study was to evaluate the differences of effectiveness wound care between honey and
ethacridine 0,1% as a topical agent for leprosy wound healing at Sitanala Leprosy Hospital,
Tangerang. Equivalent pretest-posttest control group design was used in this study. The sample
size were 16 patients with chronic wound, consisted 8 patients as intervention group and 8
patiens as control group. Sample were selected by simple random and consecutive sampling
technique. Correlation and t-independent test were used to examine the difference of wound care
effectiveness between honey and ethacridine 0.1% as topical agent. The result showed that The
honey more effective than ethacridine 0.1% as topical agent in wound care of leprosy. There
was decreased PUSH SCORE at 6th and 12th days after wound care to be done.
Recommendations of this research that the health institution should accommodate honey to be
used as topical agent. Further research about honey as topical agent in wound healing to be
conducted.
"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Dudut
"Luka maligna dengan tingkat malodor dan jumlah eksudat yang berlebihan dapat menyebabkan masalah ketidaknyamanan dan isolasi sosial sehingga berdampak negatif bagi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara perawatan Iuka menggunakan madu dengan metronidazole dalam menurunkan tingkat malodor dan mengurangi jumlah eksudat Iuka maligna. Penelitian dilaksanakan di RS. Kanker Dharmais Jakarta selama bulan Juni 2007.
Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan non equivalent pretest-posttest controlled group design dan non equivalent posttest only controlled group design. Berdasarkan consecutive sampling diambil sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari enam responden kelompok kontrol dan enam responden kelompok intervensi, dengan kriteria: Iuka maligna stadium lanjut, laki-laki dan perempuan berusia 23-59 tahun, luas luka 24cm2. Perawatan Iuka dengan madu menurunkan tingkat malodor menurut pasien berdasarkan Numeric Rating Scale (NRS) dari 6,0 sebelum intervensi menjadi 2,1 sesudah intervensi hari ke-6. Sementara perawatan Iuka dengan metronidazole menurunkan tingkat malodor dari 5,6 menjadi 4,6.
Hasil uji t menunjukkan nilai p<0,05; alpha 0,05 pada perubahan tingkat malodor. Sebaliknya perawatan Iuka dengan madu menunjukkan peningkatan jumlah eksudat dari 66,6gr sesudah intervensi hari ke-3 menjadi 80,8gr hari ke-6, sementara perawatan Iuka dengan metronidazole menunjukkan peningkatan jumlah eksudat dari 44,5gr menjadi 51,1gr. Hasil uji t menunjukkan nilai p>0,05; aloha 0,05 pada perubahan jumlah eksudat.
Peneliti menyimpulkan perawatan Iuka dengan madu Iebih efektif dibandingkan dengan metronidazole menurunkan tingkat malodor. Sementara perawatan Iuka dengan madu dan metronidazole belurn efektif mengurangi jumlah eksudat Iuka maligna. Sehingga rekomendasi dari penelitian ini adalah agar para pengambil kebijakan di institusi pelayanan kesehatan mengeluarkan kebijakan yang dapat mengakomodasi penggunaan madu sebagai agen topikal perawatan Iuka maligna."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
T22873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
"Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.
Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ.
Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815).
Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.

Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear.
Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software.
Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815).
Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gina Yunita Joice
"
Latar Belakang: Madu telah digunakan sebagai makanan dan obat-obatan di banyak negara sejak dahulu kala. Untuk tujuan pengobatan, madu juga digunakan dalam perawatan luka kronis dan kompleks. Telah banyak studi yang menyatakan fungsi madu dan efek yang menguntungkan selama perawatan. Luka kronis adalah luka yang gagal untuk melalui fase penyembuhan normal secara tepat. Studi ini merupakan studi dengan hewan percobaan yang membandingkan dua madu lokal dan madu Manuka untuk menemukan madu lokal yang memiliki efek yang lebih baik dalam perawatan luka kronis
Metode: menggunakan 36 hewan percobaan tikus dengan strain Sprague Dawley yang dibuat perlukaan pada bagian kulit punggung dan diberi bakteri Pseudomonas Sp. hingga luka memiliki gambaran sebagai luka kronis dan luka dirawat dengan Manuka Honey, Madu Murni Nusantara dan Java Honey. Evaluasi makroskopis dilakukan pada hari 0, 3, 5, 7, 10 dan 13 pasca perawatan dan pada hari 5 dan 13 pasca perawatan, hewan dinekropsi. Parameter yang diamati, luas luka, presentasi jaringan nekrotik, slough dan granulasi dievaluasi dengan aplikasi Image J dan dibandingkan diantara tiga kelompok perawatan madu.
Hasil: secara statistik, didapatkan perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perawatan madu pada parameter luas luka pada hari 3 – hari 0 (p=0.021) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.009) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.03) dan presentasi slough pada hari 3 – hari 0 (p=0.025) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.059) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.008). Hari perawatan selanjutnya tidak didapatkan perbedaan signifikan pada semua parameter evaluasi makroskopis.

Kesimpulan: madu lokal dapat digunakan sebagai modalitas alternative pada perawatan luka kronis, seperti halnya Manuka Honey, namun dengan biaya rendah dan kemudahan mendapatkannya di pasaran.


Background: Honey has been used for food and medicine in many centuries and countries. For medicinal purposes, honey is used to treat chronic and complex wounds. There have been many reports stating its function and beneficial effect during treatment. A chronic wound is a wound that fails to progress through the normal phases of healing in an orderly and timely manner. This research is an experimental animal study comparing two local honey and Manuka Honey to find which has a better effect in chronic wound treatment

Methods: 36 rats, Sprague Dawley strain were had wounded at muscle based on the dorsum side and were given bacteria Pseudomonas Sp. until the wound has a chronic wound appearance and then treated with Manuka Honey, Madu Murni Nusantara, and Java Honey. A Macroscopic evaluation was observed on day 0, 3, 5, 7, 10, and 13 post wound treatment and on day 5 dan day 13 post wound treatment, the rats were euthanized. The observed parameters, wound area, presentation of necrotic tissue, slough and granulation were evaluated by Image J application and compared between the three honey treatment groups.
Result: Statistically, there was a significant difference between the three honey treatment groups on the wound area parameters on day 3 - day 0 (p = 0.021) with post-hoc analysis found a significant difference between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.009) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.03) and slough presentation on day 3 - day 0 (p = 0.025) with post-hoc analysis found significant differences between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.059) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.008). The next day of treatment there was no significant difference in all macroscopic evaluation parameters.

Conclusion: Local honey can be used as an alternative modality for wound chronic treatment the same as Manuka Honey, but with low cost and easily available in the market.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastri
"Wilayah perkotaan merupakan pusat segala aktivitas sosial, pemerintahan, maupun ekonomi yang dapat mempengaruhi perubahan gaya hidup seseorang. DM tipe 2 merupakan salah satu penyakit tidak menular yang banyak ditemukan di wilayah perkotaan. Seorang individu dengan DM memiliki risiko yang tinggi mengalami ulkus kaki diabetikum. Tanpa perawatan yang baik, ulkus kaki diabetikum dapat menyebabkan infeksi meluas dan dilakukan amputasi. Penggunaan madu dalam perawatan luka ulkus kaki diabetikum sudah banyak terbukti sangat baik karena madu memiliki berbagai sifat antara antimikroba, antioksidan, antiinflamasi, dan kadar osmotik tinggi sehingga baik untuk penyembuhan luka serta madu dapat meminimalisir bau yang muncul dari luka a. Evaluasi hasil intervensi pada luka klien tidak tercium aroma tidak sedang, jumlah slough berkurang, dan tanda-tanda inflamasi tidak menghilang.

The urban area is the center of all governance, economic, and social activities, that may affect change a person's lifestyle. Type 2 diabetes is one of the non-communicable diseases that are found in urban areas. An individual with diabetes have an increased risk of diabetic foot ulcers. Without good care, diabetic foot ulcers can lead to widespread infection and amputation. The use of honey in wound care diabetic foot ulcer has been proven to be very good because honey has various components such as antimicrobial, antioxidant, anti-inflammatory, and high levels of osmotic, so honey be good for wound healing. Besides that, honey can minimize arising malodors from a wound. Evaluation of the results of the intervention on the client does not smell malodor of the wound, reduced the amount of slough, and no inflammatory signs disappeared.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi
"Penyembuhan luka sesar dipengaruhi oleh status nutrisi dan perawatan luka. Penelitian ini bertujuan mengetahui keefektifan pendidikan kesehatan dengan media audio visual tentang nutrisi dan perawatan luka terhadap penyembuhan luka sesar. Metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan sampel 80 ibu paska bedah sesar, yang dibagi atas 40 kelompok intervensi dan 40 kelompok non intervensi. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil yang didapatkan, pendidikan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan (p= 0,001; α=0.05) dan sikap tentang nutrisi dan perawatan luka (p= 0,000; α=0.05) serta penyembuhan luka bedah sesar (p= 0,025; α=0.05). Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah tingkat sosial ekonomi dan pantangan makanan. Pemberi pelayanan keperawatan dapat menggunakan media audio visual dalam memberikan pendidikan kesehatan di Rumah Sakit.
Numerous factors have the potential to delay healing and cause infection, they are nutrition and wound management.The aim of this research was to identify the effectivity of audiovisual as a mean for health teaching in caesarean section wound healing. The design for this research was quasi experimental with 80 respondents. The sample was chosen with concecutive sampling. Questionnaire was given all respondents and then analyzed with chi-square and logistic regression. There were significant difference in knowledge and attitude improvement and caesarean site healing between control and intervention groups after the health teaching (knowledge; p= 0,001; α=0.05; attitude; p= 0,000; α=0.05; wound healing; p= 0,025; α=0.05). factors that influence the wound healing was economic status and food restriction. This study demonstrates that the use of video can lead to an increase in nutritional and wound management knowledge, and the caesarean wound healing. Midwives and others involved in the care of women could use the audio visual as a mean for health teaching in the hospital setting."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30483
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kalangi, Sonny John Ruddy
"Aloe vera dan madu dianggap dapat mempercepat reepltelisasl Iuka sekalipun masih terdapat beberapa perbedaan pendapat. Penelltian ini hendak membandingkan khasiat aloe vera. madu, dan larutan garam lisiologis yang diberikan secara topikal dalam proses reepitelisasi dan pembentukan jarlngan granulasl pada proses penyembuhan Iuka eksisi kulit telinga kelinci. Sebanyak enam ekor kelinci putih jantan dipakal sebagai sampel. Pada telinga kelinci dibuat Iuka eksisi sedalam tebal kulit berbentuk bundar dengan diameter 6 mm. Pada tiap telinga dibuat empat buah luka pada permukaan dalam telinga. Luka kemudian mendapat perlakuan pemberian aplikasi topikal larutan NaCl 0.9%, madu, dan aloe vera, serta kontrol yang ticlak diobati. Tujuh hari kemudlan dilakukan biopsi pada sediaan Iuka. Jaringan dlproses menjadi sediaan hlstologlk dan dipulas dengan pulasan rutin hematoksilin eosin untuk penilalan secara kuantitatif terhadap proses reepltellsasl dan pembentukan jaringan granulasi. Reepitelisasi dinllai dengan cara mengukur jarak Celah epitel. Pembentukan jaringan granulasi dinilai dengan cara mengukur tinggl jaringan granulasi, jarak celah granulasi, total jarak lateral-medial (lebar) jaringan granulasl, Serta perhitungan besar volume jaringan granulasi. Ditemukan percepatan reepithelisasi yang bennakna secara statlstik (p<0,05) pada olesan dengan aloe vera (p=0,003) dan madu (p=0,004). Pada pembentukan jaringan granulasi kecuali tinggi jaringan granulasi yang tidak oerbeda bermakna (p=0,054) semuanya menunjukkan hasil yang berbeda bermakna secara statlstik. Percepatan pembentukan jaringan granulasi yang ditemukan pada olesan aloe vera dan madu berupa proses pembentukan jaringan granulasi dengan arah lateral-medial menuju pusat Iuka. Dislmpulkan bahwa proses reepitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi Iuka eksisi full-thickness pada telinga kellnci secara signitlkan meningkat oleh pemberian aloe vera dan madu secara topikal, juga pemberian aloe vera sama efektifnya dengan madu dalam proses reepitelissl dan pembentukan jarlngan granulasi.

Aloe vera and honey were thougwh to accelerate wound reepithelialization although there were still varying reports on this matter. This study aims to compare the of topicaI application of honey, aloe vera, and normal saline solution on the process of reepithelialization and granulation tissue formation on skin wound healing. Six white rabbits were used for evaluation. Four full-thickness excisional wound were made on the interior surface of each ear with a 6-mm tissue punch. Wounds on each ear were applied with aloe vera, honey, normal saline, and no treatment as wound control. On day 7 after wounding, wound tissue was processed for histological examination. Histological cross sections. stained with hematoxylin-eosin, were used for quantitative evaluation of reepithelialization and granulation tissue formation. Reepithelialization were evaluated by measuring the distance of epithelial gap. Granulation tissue formation were followed-up by measuring the height of granulation tissue. the distance of granulation tissue gap. total lateral-medial distance of granulation tissue, and by calculating the value of granulation tissue volume. The values of the acceleration rate of the reepithelialization were found to be statistically significant {p<0.05) in the aloe vera (p=0.003) and in the honey (p=0.004) given in the topical manner. Except for the height of the granulation tissue (p=0.054), all other values of that tissue showed the results which were significantly different. The acceleration in the formation of the granulation tissue found in the tissue treated with the aloe vera and the honey generated in the medio-lateral direction toward to the central of the wound. We concluded that the reepithelialization processes and the formation of the granulation tissue in the full-thickness wound performed on the rabbit ear were significantly increased by the topical treatment with aloe vera and honey. The treatment with aloe vera on those processes gave the results with the same effectiveness with that of honey."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Valentine
"Lansia merupakan suatu kelompok usia yang seringkali merasakan dampak dari penuaan. Salah satunya yaitu lebih lamanya penyembuhan luka pada lansia dan jika tidak ditangani dengan tepat, maka luka akut bisa menjadi luka kronik. Di lain sisi, sejak dahulu, madu telah digunakan untuk merawat luka karena memiliki sifat antimikroba, anti inflamasi, dan debridement luka yang membantu proses penyembuhan luka. Bahkan jika dibandingkan dengan antibakteri lain, perawatan luka dengan madu dapat mempercepat penyembuhan luka lebih baik dari yang lain. Oleh karena itu, pengembangan tatalaksana berbasis bukti dalam melakukan perawatan luka menggunakan madu dilakukan untuk mendukung proses penyembuhan luka dan meningkatkan kenyamanan lansia. Dalam karya ilmiah ini, perawatan luka dengan madu menghasilkan peningkatan penyembuhan luka dan pengurangan kualitas nyeri pada lansia setelah dua minggu intervensi. Hasil ini dibuktikan dengan adanya penurunan skala Bates-Jensen Wound Assessment Tool dan Visual Analog Scale serta Numeric Rate Scale setelah perawatan dua minggu. Skala BWAT klien dari 30 menjadi 15, nilai VAS 2 dan Numeric Rating Scale 3 (nyeri ringan) menjadi 0 atau tidak nyeri. Setiap intervensi dilakukan sehari sekali selama 5-10 menit. Kesimpulannya, setelah dilakukan intervensi, terdapat penyembuhan luka diamati dengan tidak adanya jaringan nekrotik, pus, dan adanya jaringan granulasi yang menutupi keseluruhan luka.

The elderly are an age group that often feel the impact of aging. One of them is the longer healing time of wounds in the elderly and if not treated properly, then acute wounds can become chronic wounds. On the other hand, honey has long been used to treat wounds as it has antimicrobial, anti-inflammatory, and wound debridement properties that help the wound healing process. Even when compared to other antibacterials, wound treatment with honey can accelerate wound healing better than others. Therefore, the development of evidence-based management in performing wound care using honey is carried out to support the wound healing process and improve the comfort of the elderly. In this scientific work, wound care with honey resulted in improved wound healing and reduced pain quality in the elderly after two weeks of intervention. This result was evidenced by a decrease in the Bates-Jensen Wound Assessment Tool scale and Visual Analog Scale and Numeric Rate Scale after two weeks of treatment. The client's BWAT scale from 30 to 15, VAS value 2 and Numeric Rating Scale 3 (mild pain) to 0 or no pain. Each intervention is done once a day for 5-10 minutes. In conclusion, after the intervention, wound healing was observed with the absence of necrotic tissue, pus, and granulation tissue covering the entire wound.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Joyce Novelyn
"ABSTRAK
Pendahuluan: Kusta merupakan penyakit menular yang belum sepenuhnya dapat
dikendalikan, dan menjadi masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang ditimbulkan,
salah satunya akibat reaksi kusta. Terapi utama untuk reaksi kusta adalah kortikosteroid,
dalam dosis standar 12 minggu sesuai rekomendasi WHO dan Kemenkes RI. Dengan
terapi standar ini, kesembuhan dapat tidak tercapai dan sering terjadi rekurensi, sementara
durasi pemberian yang lama diduga dapat memberikan perbaikan klinis lebih baik serta
bertahan lebih lama. Bukti efikasi kortikosteroid pada reaksi kusta masih kurang, dan
dosis optimal serta lama terapi yang dibutuhkan sangat bervariasi. Di sisi lain, kebutuhan
akan kortikosteroid dosis tinggi jangka panjang menimbulkan kesulitan menghindari efek
samping, mencakup hampir semua sistem organ. Dengan adanya perbedaan penetapan
durasi pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta, sementara penggunaan jangka panjang
cenderung meningkatkan efek samping, maka diperlukan analisis perbedaan efektivitas
terapi dan efek samping antara kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain kohort
retrospektif yang membandingkan efektivitas terapi dan kejadian efek samping antara
penggunaan kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu pada pasien kusta dengan
reaksi, melibatkan seluruh pasien baru kusta dengan reaksi tanpa batasan usia, yang
berobat ke RSCM dan Puskesmas Cakung selama periode 1 Januari 2015 sampai 31
Desember 2017. Data sekunder dikumpulkan dari rekam medik, dan pengamatan
dilakukan sampai Desember 2018. Efektivitas terapi dinilai dari perbaikan klinis hingga
kortikosteroid dapat diturunkan bertahap dan dihentikan, tanpa ada rekurensi dalam 3
bulan setelah siklus pertama selesai. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping
terkait kortikosteroid yang tercatat pada rekam medik.
Hasil: Dari 195 subjek, 57 (29.2%) menggunakan kortikosteroid selama 12 minggu, dan
138 (70.8%) menggunakannya selama >12 minggu. Efektivitas terapi berupa perbaikan
klinis tanpa rekurensi selama 3 bulan terjadi pada 38 (66.7%) pasien kelompok 12 minggu
dan 106 (76.8%) pasien kelompok >12 minggu (RR 0.604 dengan IK 95% 0.307 1.189,
p 0.143). Dari 145 subjek, efek samping kortikosteroid terjadi pada 12 (31.6%) pasien
kelompok 12 minggu dan 70 (65.4%) pasien kelompok >12 minggu (RR 0.244 dengan
IK 95% 0.111 0.538, p<0.001). Dari total 171 kejadian efek samping yang timbul,
37.4% adalah efek samping ringan berupa dispepsia, kelainan kulit dan lipodistrofi,
sementara 62.6% adalah efek samping berat berupa gangguan neuropsikiatrik, kelainan
mata, penyakit kardiovaskular, perdarahan saluran cerna, kelainan metabolik-hormonal,
serta reaktivasi infeksi.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efektivitas berupa perbaikan klinis tanpa rekurensi
selama 3 bulan, antara penggunaan kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu,
sementara efek samping yang timbul berbeda signifikan, yakni durasi pemberian yang
lebih panjang menimbulkan kejadian efek samping 4 kali lebih banyak.

ABSTRACT
Introduction: Leprosy is an infectious disease that has not been fully controlled, and has
become a public health problem because of the defects caused, one of which is a leprosy
reactions. The main therapy for leprosy reactions is corticosteroids, in a standard 12
weeks dose according to WHO recommendations and the Indonesian Ministry of Health.
Through this standard, therapy healing can not be achieved and recurrence often occurs,
while long duration of administration thought to provide better clinical improvement and
last longer. Evidence related to the efficacy of corticosteroids in the leprosy reactions is
still lacking, and the optimal dose and duration of therapy needed varies greatly. On the
other hand, the need for long-term high-dose corticosteroids makes it difficult to avoid
adverse effects, covering almost all organ systems. With the differences in the duration
of corticosteroid administration in leprosy reactions, while long-term use tends to increase
adverse effects, an analysis of the differences in therapeutic effectiveness and adverse
effects between corticosteroid use for 12 weeks and >12 weeks is needed.
Method: This study is an observational analytic study with a retrospective cohort design
that compares the effectiveness of therapy and the incidence of adverse effects between
corticosteroid use for 12 weeks and >12 weeks in leprosy patients with reactions,
involving all new leprosy patients without age restriction, who seek treatment at RSCM
and Puskesmas Cakung during the period of January 1, 2015 to December 31, 2017.
Secondary data was collected from medical records, and observations were carried out
until December 2018. Effectiveness of therapy was assessed from clinical improvement
to corticosteroids can be gradually reduced and stopped, without recurrence within 3
months after the first cycle was completed. Adverse effects were assessed from all
corticosteroid-related side effects recorded in the medical record.
Result: Of 195 subjects, 57 (29.2%) used corticosteroids for 12 weeks, and 138 (70.8%)
used it for >12 weeks. The effectiveness of therapy in the form of clinical improvement
without recurrence for 3 months occurred in 38 (66.7%) patients in the 12 weeks group
and 106 (76.8%) patients in the >12 weeks group (RR 0.604 with 95% CI 0.307 - 1.189,
p 0.143). Of 145 subjects, corticosteroids adverse effects occurred in 12 (31.6%) patients
in the 12 weeks group and 70 (65.4%) patients in the >12 weeks group (RR 0.244 with
95% CI 0.111-0.538, p <0.001). Of the total 171 occurrences of adverse effects, 37.4%
were mild such as dyspepsia, skin disorders and lipodystrophy, while 62.6% were severe
in the form of neuropsychiatric disorders, eye disorders, cardiovascular disease,
gastrointestinal bleeding, metabolic-hormonal disorders, and reactivation of infection.
Conclusion: There is no difference in effectiveness in the form of clinical improvement
without recurrence for 3 months, between corticosteroid use for 12 weeks compared with
>12 weeks, while the adverse effects that arise differ significantly, namely the longer
duration of administration causes 4 times more events."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>