Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158170 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Aldinan Robby Jevri Hanter
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana kepolisian di lingkungan Direktorat Tindak Pidana Narkoba BARESKRIM POLRI menggunakan kewenangannya dalam melakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika untuk direhabilitasi. Kewajiban untuk menerapkan rehabilitasi kepada para penyalahguna narkotika bersumber dari Pasal 54 Undang-Undang Narkotika. Pada tahun 2014, 7 lembaga negara telah mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur tentang penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Peraturan bersama tahun 2014 membawa perubahan yang cukup besar bagi penerapan rehabilitasi, termasuk peran kepolisian sebagai penyidik. Peran kepolisian dalam menerapkan rehabilitasi, bagaimana cara menerapkan rehabilitasi, serta dampak rehabilitasi yang diterapkan menjadi pembahasan utama dalam tesis ini.

This thesis discussess how the police in Directorate of Narcotic Crime of BARESKRIM POLRI on using its authority to punish drug abusers to implement the treatment. Obligation of treatment implementation comes from article 54 of Narcotic Act. In 2014, 7 agents of state have released the joint regulation about the implementation of treatment fo drug abusers. Those regulation bring the big change for treatment implementation, including the role of police as an investigator. The role of police on implement the treatment, the way of those implementation, and the impact of those implementation are the main discussion of these thesis."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Nuke Irviana
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengembangan kapasitas organisasi di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri agar terciptanya penanganan tindak kejahatan yang lebih baik. Pendekatan post positivism dan metode pengumpulan data secara kualitatif digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian dimana berpegang pada pemahaman teori yang didukung dengan bukti empiris untuk mengumpulkan berbagai sumber data dan informasi mengenai kapasitas organisasi yang didapat dari hasil wawancara dan studi kepustakaan. Penelitian ini mencoba memotret kapasitas organisasi yang dimiliki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri saat ini dan melakukan pengembangan kapasitas organisasi guna meningkatkan kualitas kinerja dalam penanganan kasus perkara dan pencapaian target capaian kinerja. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri harus lebih menguatkan fungsi dari organisasi dengan mengembangkan kapasitas organisasi yang dimiliki. Dengan mengacu pada ABK, struktur organisasi Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri harus dilakukan perombakan dan pengkajian ulang sebab masih banyak ditemukan ketidakpastian dan ketidaksesuaian. Organisasi belum mampu memenuhi jumlah SDM yang ideal. Hal ini berpengaruh pada anggaran belanja barang dan pegawai yang perlu diperhatikan dan diajukan ke divisi terkait guna terpenuhinya formasi serta menutupi beberapa jabatan kosong. Selain itu penguatan fungsi teknologi yang telah ada yakni pada situs Patroli Siber perlu dikembangkan beserta fitur-fitur yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dan sebagai pendukung dalam tercapainya target penyelesaian kasus.

This study aims to analyze the development of organizational capacity in the Directorate of Cybercrime, Bareskrim Polri in order to create a better handling of crimes. Post-positivism approach and qualitative data collection methods are used as approaches in research which adhere to an understanding of theory supported by empirical evidence to collect various sources of data and information about organizational capacity obtained form interviews and literature studies. This study tries to capture the organizational capacity of the current Directorate of Cybercrime, Bareskrim Polri and develop organizational capacity to improve the quality of performance in handling cases and achieving performance targets. The results of the study revealed that the Directorate of Cybercrime, Bareskrim Polri, must further strengthen the functions of the organization by developing its organizational capacity. By referring to the Workload Analysis, the organizational structure of the Directorate of Cybercrime, Bareskrim Polri, must be reformed and reviewed because there are still many uncertainties and discrepancies. The organization has not been able to meet the ideal number of Human Resources. This affects the budget for goods and personnel which need to be considered and submitted to the relevant divisions in order to fulfill formations and cover several vacant positions. In addition, the strengthening of the existing technology functions, namely the Patroli Siber site, needs to be developed along with the features it has so that it can be utilized optimally and as a supporter in achieving the target for solving cases."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Chandra
"Wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat memiliki 60% tempat hiburan malam di DKI Jakarta yang sangat potensial akan maraknya peredaran narkoba. Tindak pidana narkoba sendiri sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan dengan menggunakan modus yang semakin berkembang dalam mengelabuhi petugas kepolisian. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat juga menjadi akselerator peredaran narkoba terutama di Jakarta Barat. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Polres Metro Jakarta Barat untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, terutama dalam menggunakan diskresi bagi pengguna.
Polisi dalam menjalankan tugasnya di lapangan memiliki aturan-aturan khusus untuk melakukan tindakan hukum. Ketentuan tersebut tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di samping itu juga memiliki aturan moral yang menjadi pedoman dan harus ditaati. Pedoman-pedoman kerja polisi tersebut memiliki keluwesan bertindak, kewenangan yang bersifat diskresioner, yakni kewenangan atau otoritas yang dimiliki polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan pertimbangan hati nuraninya. Penggunaan diskresi merupakan kekuatan polisi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat secara cepat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban umum.
Penggunaan diskresi dalam penyidikan pada tindak pidana narkoba merupakan salah upaya untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Polres Metro Jakarta Barat menggunakan diskresi untuk mengungkap jaringan peredaran narkoba dan dalam bentuk rehabilitasi. Dalam pengungkapan jaringan peredaran narkoba, teknik controlled delivery dan undercover buy yang digunakan lebih efektif jika didukung oleh penggunaan teknologi informasi. Sedangkan penggunaan diskresi dalam bentuk rehabilitasi diberikan kepada pengguna yang terbukti positif menggunakan narkoba tanpa barang bukti atau terdapat barang bukti namun dibawah ketentuan dalam SE MA Nomor 4 Tahun 2009.

Jurisdiction in Polres Metro Jakarta Barat have a 60% nightclubs in Jakarta potential of the extent of drug trafficking. The criminal act of drug itself has been categorized as an extraordinary crime committed by using a mode that is growing in a fool police officers. Coupled with increasingly rapid technological development has also become an accelerator drug trafficking, especially in West Jakarta. It is certainly a challenge for Polres Metro Jakarta Barat to handle and cope with drug abuse, especially in the use of discretion for the user.
Police in carrying out their duties in the field has specific rules to take legal action. The provisions contained in the Code of Criminal Procedure (KUHAP), in addition, it also has the moral rules that guide and must be obeyed. The guidelines of the police work with the flexibility to act, the authority is discretionary, the authority or the authority of the police to carry out actions that deviate according to the situation and consideration of conscience. The use of discretion is a police force to solve community problems quickly in order to create security and public order.
The use of discretion in the investigation on the crime of drug is one attempt to address and combat drug abuse. West Jakarta Metro Police use discretion to uncover the drug trafficking network and in the form of rehabilitation. In the disclosure of drug distribution network, controlled delivery and undercover techniques buy used more effectively if they are supported by the use of information technology. While the use of discretion in the form of rehabilitation is given to the user who tested positive for using drugs without evidence or there is evidence but under the provisions of the SEMA No. 4 tahun 2009."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Chandra
"Wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat memiliki 60% tempat hiburan malam di DKI Jakarta yang sangat potensial akan maraknya peredaran narkoba. Tindak pidana narkoba sendiri sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan dengan menggunakan modus yang semakin berkembang dalam mengelabuhi petugas kepolisian. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat juga menjadi akselerator peredaran narkoba terutama di Jakarta Barat. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Polres Metro Jakarta Barat untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, terutama dalam menggunakan diskresi bagi pengguna.
Polisi dalam menjalankan tugasnya di lapangan memiliki aturan-aturan khusus untuk melakukan tindakan hukum. Ketentuan tersebut tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di samping itu juga memiliki aturan moral yang menjadi pedoman dan harus ditaati. Pedoman-pedoman kerja polisi tersebut memiliki keluwesan bertindak, kewenangan yang bersifat diskresioner, yakni kewenangan atau otoritas yang dimiliki polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan pertimbangan hati nuraninya. Penggunaan diskresi merupakan kekuatan polisi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat secara cepat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban umum.
Penggunaan diskresi dalam penyidikan pada tindak pidana narkoba merupakan salah upaya untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Polres Metro Jakarta Barat menggunakan diskresi untuk mengungkap jaringan peredaran narkoba dan dalam bentuk rehabilitasi. Dalam pengungkapan jaringan peredaran narkoba, teknik controlled delivery dan undercover buy yang digunakan lebih efektif jika didukung oleh penggunaan teknologi informasi. Sedangkan penggunaan diskresi dalam bentuk rehabilitasi diberikan kepada pengguna yang terbukti positif menggunakan narkoba tanpa barang bukti atau terdapat barang bukti namun dibawah ketentuan dalam SE MA Nomor 4 Tahun 2009.

Jurisdiction in Polres Metro Jakarta Barat have a 60% nightclubs in Jakarta potential of the extent of drug trafficking. The criminal act of drug itself has been categorized as an extraordinary crime committed by using a mode that is growing in a fool police officers. Coupled with increasingly rapid technological development has also become an accelerator drug trafficking, especially in West Jakarta. It is certainly a challenge for Polres Metro Jakarta Barat to handle and cope with drug abuse, especially in the use of discretion for the user.
Police in carrying out their duties in the field has specific rules to take legal action. The provisions contained in the Code of Criminal Procedure (KUHAP), in addition, it also has the moral rules that guide and must be obeyed. The guidelines of the police work with the flexibility to act, the authority is discretionary, the authority or the authority of the police to carry out actions that deviate according to the situation and consideration of conscience. The use of discretion is a police force to solve community problems quickly in order to create security and public order.
The use of discretion in the investigation on the crime of drug is one attempt to address and combat drug abuse. West Jakarta Metro Police use discretion to uncover the drug trafficking network and in the form of rehabilitation. In the disclosure of drug distribution network, controlled delivery and undercover techniques buy used more effectively if they are supported by the use of information technology. While the use of discretion in the form of rehabilitation is given to the user who tested positive for using drugs without evidence or there is evidence but under the provisions of the SEMA No. 4 tahun 2009."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viora Andari Yasman
"Terorisme merupakan sebuah permasalahan yang selalu menarik perhatian banyak orang. Kerusakan secara materiil bahkan hingga terancamnya nyawa seseorang menjadi hal yang tidak luput dari peristiwa terorisme. Tidak hanya skala kecil, terorisme juga menjadi ancaman untuk skala Internasional. Terbentuk dalam jaringan besar yang bergerak secara diam-diam, kelompok yang memiliki pemikiran dan tujuan ekstrimis ini menjadi salah satu musuh berbahaya di setiap negara. Tragedi pemboman yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia membuat pemerintah harus berfikir tepat dalam melakukan upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Tidak hanya undang-undang, bahkan pemerintah juga membentuk suatu badan yang khusus menangani kasus terorisme. Perubahan alur dalam pembentukan undang-undang menjadi pewarna dalam usaha pemerintah untuk menghadapi kasus terorisme. Hal ini pun melahirkan sebuah pertanyaan mengenai seberapa besar efektivitas yang dihasilkan dari upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini dan juga mengenai penerapan penegakan hukum yang ideal berdasarkan UU No.5 Tahun 2018 yang dilakukan oleh POLRI. Berawal dengan dibentuknya Perppu No.1 Tahun 2002 yang membahas akan kasus terorisme dari segi hukum, nyatanya tak menghentikan pergerakan kelompok ekstrimis di Indonesia. Hal ini pun menjadi bahan evaluasi untuk disahkannya Perppu tersebut menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Diharapkan menjadi payung hukum yang sah dan menjadi senjata mutakhir dalam menghilangkan terorisme, tak menjadikan UU ini cukup efektif dalam pelaksanaannya. Dengan segala diskusi dan pembahasan, pada akhirnya disahkanlah UU No.5 Tahun 2018 yang hingga saat ini menjadi aturan utama dalam kasus terorisme di Indonesia. Tak selalu berjalan mulus, UU yang disebut sebagai Security Act dan juga Patriot Act yang dalam pelaksanaannya sering mendapat kecaman karena ketidak sesuaiannya dengan Hak Asasi Manusia. Dalam penelitian ini, fokus masalah akan dibahas dengan metode penelitian hukum dengan kajian hukum normatif, empiris dan implementasi. Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum, implementasi hukum dan tujuan hukum yang dikolaborasikan dengan hasil wawancara dan data lainnya hingga menghasilkan analisa data. Sebagai kesimpulannya, ditemukan bahwa dengan proses perubahan pada aturan dan perundang-undangan mengenai kasus terorisme telah menghasilkan perubahan yang signifikan sebagai upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Meskipun beberapa upaya teror masih tetap dilakukan di sejumlah wilayah, namun upaya yang dilakukan Densus 88 dalam menangkap sejumlah tersangka yang tergabung dalam kelompok radikal menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini tentunya membantu dalam mengurangi upaya terjadinya peristiwa terorisme. Dengan disahkannya UU No.5 Tahun 2018 yang memberikan wewenang kepada pihak kepolisian untuk melakukan upaya preventif sebagai pencegahan kasus terorisme, memberikan keleluasaan atas penanganan kasus terorisme. Upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadinya kasus terorisme memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan jaringan terorisme. Dengan dilakukannya penyidikan ini, tentunya membantu dalam menguak ide atau rencana yang direncanakan oleh jaringan terorisme tersebut. Sehingga bisa dikatakan pula bahwa UU anti terorisme yang saat ini digunakan telah memberikan dampak yang cukup efektif terhadap permasalahan terorisme di Indonesia . Namun, dalam pelaksanaanya haruslah selalu diperhatikan komponen pelaksanaan dan penggunaan wewenang agar tetap sesuai dengan kaidah Hak Asasi Manusia.

Terrorism is a problem that always attracts the attention of many people. Material damage, even to the point of threatening one's life, is something that is not spared from terrorism. Not only on a small scale, terrorism is also a threat on an international scale. Formed in a large network that moves secretly, this group that has extremist thoughts and goals has become one of the most dangerous enemies in every country. The bombing tragedy that occurred in several regions in Indonesia made the government have to think properly in making efforts to deal with cases of terrorism. Not only laws, even the government has also established a body that specifically handles terrorism cases. Changes in the flow in the formation of laws become coloring in the government's efforts to deal with cases of terrorism. This also raises a question about how much effectiveness has resulted from the efforts that have been made by the government to date and also regarding the ideal implementation of law enforcement based on Law No. 5 of 2018 carried out by POLRI. Starting with the formation of Perppu No. 1 of 2002 which discussed terrorism cases from a legal perspective, in fact it did not stop the movement of extremist groups in Indonesia. This has also become an evaluation material for the ratification of the Perppu to become Law no. 15 of 2003. It is hoped that this law will become a legal umbrella and become the latest weapon in eliminating terrorism, but this law will not be effective enough in its implementation. With all the discussion and discussion, in the end Law No. 5 of 2018 was passed which until now has become the main rule in terrorism cases in Indonesia. It does not always run smoothly, the law which is referred to as the anti-terrorism law is often equated with the anti-subversion law and also the Internal Security Act and the Patriot Act which in their implementation have often been criticize for their incompatibility with human rights. In this study, the focus of the problem will be discussed using legal research methods with normative, empirical and implementation legal studies. This study also uses the theory of legal effectiveness, legal implementation and legal objectives which are collaborated with the results of interviews and other data to produce data analysis. In conclusion, it was found that the process of changing the rules and regulations regarding terrorism cases has resulted in significant changes as an effort to deal with terrorism cases. Although several terror attempts are still being carried out in a number of areas, the efforts made by Densus 88 to arrest a number of suspects belonging to radical groups have shown significant changes. This certainly helps in reducing efforts to occur terrorist incidents. With the passing of Law No. 5 of 2018 which authorizes the police to carry out preventive measures to prevent terrorism cases, it provides flexibility in handling terrorism cases. Preventive efforts that can be carried out before the occurrence of terrorism cases make it easier for the police to carry out investigations of parties related to terrorist networks. By carrying out this investigation, it certainly helps in uncovering ideas or plans planned by the terrorist network. So that it can also be said that the current anti-terrorism law has had a fairly effective impact on the problem of terrorism in Indonesia. However, in its implementation it must always pay attention to the components of the implementation and use of authority so that it remains in accordance with the principles of human rights."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasiholan, Golfried
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian ini mencari fakta-fakta langsung kelapangan dengan menggali dan mendalami factor-faktor penghambat apa yang membuat Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri tidak optimal dalam melaksanakan tugas dalam penanganan masalah tindak pidana korupsi di Indonesia.
Hasil temuan penelitian penulis menyampaikan secara ringkas bahwa Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal dalam pelaksanaan tugasnya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Banyak hambatan-hambatan yang di hadapi oleh Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri seperti dari segi personel, latar belakang pendidikan, belum adanya petunjuk teknis dalam penyidikan mengenai penanganan Tindak pidana korupsi dari Bareskrim, sarana prasarana yang belum memadai, anggaran yang masih sangat terbatas, sering terjadi bolak balik perkara, masih digabungnya penyelidikan dan penyidikan di Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri sehungga membuat tidak maksimalnya hasil dalam pelaksanaan tugas oleh personel Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri.
Sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum bidang korupsi dan rekomendasi 2 struktur organisasi lainnya peneliti sajikan yaitu perbandingan dengan Kejaksaan Jampidsus dan KPK beserta dan data-data pendukung lainnya untuk membuktikan bahwa Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri belum optimal, dengan harapan adanya pembaharuan dan perbaikan struktur organisasi Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri, dan juga dibutuhkan pimpinan yang mempunyai komitmen untuk melawan para koruptor di Indonesia ini dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas para personil Direktorat III Pidkor & Wcc Bareskrim Polri.

This study used qualitative research methods to find the facts straight spaciousness to dig and explore the factors inhibiting what makes Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police are not optimal in carrying out duties in handling the problem of corruption in Indonesia.
The findings of the study authors to submit a brief that the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police is not optimal in the performance of its duties in the handling of corruption. Many of the obstacles faced by the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police & Police like in terms of personnel, educational background, lack of technical instructions in the investigation regarding the handling of the Criminal Investigation Corruption, inadequate infrastructure, which is still very limited budget, going back and forth frequently the case, still digabungnya the investigation at the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police makes no maximum results in performance of duties by personnel of Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police.
So the conclusion of this research is the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police is not optimal in performing law enforcement duties of corruption and other organizational structure recommendation two researchers present the comparison with the Attorney Jampidsus and its KPK and other supporting data to prove that the, Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police in the hope of renewal and improvement of the organizational structure of Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police, and also takes the leadership that is committed to fight this corrupt in Indonesia in order to support the tasks of the personnel of the Directorate III of Corruption & WCC Criminal Investigation Police.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29684
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Martua Raja Tl
"Tesis ini tentang Pelaksanaan Diversi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana Di Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan. Diversi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pelaksanaannya dijelaskan dalam Surat Telegram KAPOLRI No. Pol : STR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008. Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Polres Metropolitan Jakarta Selatan memiliki kewajiban dalam melaksanakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Pada pelaksanaannya, masih banyak berbagai masalah dalam proses diversi bagi anak yang berhadapan dengan hukum terutama pada anak sebagai pelaku tindak pidana. Adapun permasalahan utama dari penelitian ini adalah Bagaimana implementasi proses diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak di Satuan Reserse Kriminal Polres Metropolitan Jakarta Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan manajerial yuridis. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data, yaitu dengan melakukan pengamatan, pengamatan terlibat, wawancara berpedoman, kajian pustaka, pemeriksaan dokumen dan audio.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa Kepolisian Resort Jakarta Selatan pada umumnya telah menjalankan dengan baik program diversi bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Kapolres Metro Jakarta Selatan memiliki program-program dan kebijakan khusus bagi anggotanya dalam pelaksanaan diversi tersebut. Salah satu kebijakannya adalah menekankan kepada anggotanya untuk mengutamakan diversi terhadap pelaku tindak pidana dalam usia anak. Selain itu juga pada penanganan kasus yang melibatkan anak, Polres Metro Jakarta Selatan selalu melakukan kordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kasus tersebut seperti keluarga korban, keluarga pelaku serta organisasi yang eksis terhadap perlindungan dan pendampingan anak. Pada Unit PPA Polres Metro Jakarta Selatan sebagai ujung tombak pelaksanaan diversi, dalam pengambilan keputusan pemberian diversi pada kasus yang melibatkan anak selalu berkordinasi dengan instansi terkait seperti P2TP2A dan KPAI. Selain itu juga Unit PPA Polres Jakarta Selatan aktif dalam program-program yang dilaksanakan rekan kerjanya dalam rangka peningkatan kemampuan anggotanya dalam menangani kasus anak.

This thesis on the Implementation of Child Diversion For Dealing With Crime Laws For Actors In Criminal Investigation Unit South Jakarta Metro Police. Diversion regulated in Law Number 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child and its implementation are described in the Letter No. Telegram Chief National Police. Pol: STR/395/VI/2008 dated June 9, 2008. PPA Unit Criminal Investigation Unit South Jakarta Metropolitan Police have a duty to carry out the diversion in accordance with the legislation. In practice, there are still many problems in the process of diversion for children in conflict with the law, especially in children as criminals. The main problem of this research is How the implementation of diversion in the settlement process criminal child Metropolitan Police Criminal Investigation Unit South Jakarta by Act No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Children. In this study, the authors used qualitative methods with juridical managerial approach. The method used for data collection, namely the observation, participant observation, guided interviews, literature review, examination of documents and audio.
From the research conducted, it was found that the South Jakarta Police Resort in general has been running fine diversion programs for children in conflict with the law as a criminal. South Jakarta Metro Police have a program-specific policies and programs for its members in the implementation of the diversion. One of the policies is stressed to its members to give priority to criminal diversion in the age of the child. In addition, the handling of cases involving children, South Jakarta Metro Police always coordinated with related parties and interest in the case such as the family of the victim, offender families and organizations that exist for the protection and assistance of children. In the PPA Unit South Jakarta Metro Police as spearheading the implementation of diversion, the decision granting diversion in cases involving children always coordinate with relevant agencies such as P2TP2A and KPAI. In addition, the South Jakarta Police Unit PPA active in programs conducted colleagues in order to improve the ability of its members in dealing with cases of child.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soepartiwi
"P4GN merupakan singkatan dari Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Program ini telah dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Masalah Narkoba sudah menjadi masalah sosial yang harus diselesaikan secara komprehensif, salah satunya adalah mengerahkan segenap potensi bangsa yang dimiliki untuk memerangi Narkoba. Kerjasama antar instansi pemerintah menjadi sebuah keharusan sehingga diterbitkan Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri, Dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Selaku Ketua Badan Narkotika Nasional dalam rangka P4GN di DKI Jakarta.
Selanjutnya, bagaimana dengan implementasi keputusan bersama tersebut? Ini yang menjadi pokok pemlasalahan dalam penelitian ini mengingat DKI Jakarta memiliki otonomi daerah yang bersifat khusus.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan in depth interview sebagai alat pengumpul datanya. Hasil penelitian kemudian diarahkan pada analisis deskriptif implementasi kebijakan keputusan bersama tersebut. Objek penelitian ini adalah BNP DKI Jakarta dan mitra kerjanya yaitu Yayasan Cinta Anak bangsa (YCAB).
Dari analisis diketahui bahwa implementasi Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri, Dan Kepala Kpolisian Negara Republik Indonesia Selaku Ketua Badan Narkotika Nasional dalam rangka P4GN di DKI Jakarta secara umum berjalan efektif. Dari empat variable yang diteliti ditemukan beberapa hal:
1. Komunikasi yang efektif berjalan dua arah baik dengan BNN atau dengan mitra kerja walaupun ada kelambanan dalam pembentukan BNK di wilayah DKI Jakarta.
2. Sumber daya yang mendukung BNP baik berupa fasilitas dari Pemprov DKI Jakarta atau dana dari APBD DKI Jakarta. Kendala yang ada adalah fasilitas yang minim dan terbatasnya dana yang diberikan.
3. Prilaku atau kecenderungan dapat dilihat dengan adanya budaya parokial dan ketiadaan aturan mengenai insentif dan sanksi bagi personal BNP.
4. Struktur Birokrasi yang mendukung adalah adanya staf dan struktur birokrasi yang efesien. Namun, kendalanya adalah jaminan karir staf yang tidak pasti karena ketiadaan aturan personel.
Untuk itu BNP DKI Jakarta memang harus berbenah kembali menata kembali agar kendala psikologis dapat diarahkan menjadi sebuah keunggulan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Listia
"Kejahatan narkotika berkembang menjadi kejahatan luar biasa dan kejahatan terorganisasi. Agar pengungkapan kasusnya bisa lebih mendalam dibutuhkan peranan seorang saksi yang juga tersangka (Justice Collaborator). Data ICJR tahun 2016 mengungkapkan banyak instansi yang telah memberikan rekomendasi persetujuan Justice Collaborator namun Badan Narkotika Nasional selama ini menolak sedangkan Polri belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis regulasi Justice Collaborator di Indonesia dan Implementasinya pada Badan Narkotika Nasional dan Polri. Metode yang digunakan kualitatif deskriptif. Hasilnya menunjukkan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa pengajuan status Justice Collaborator bisa pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemidanaan serta adanya perlakuan khusus dan penghargaan. Implementasinya pengajuan Justice Collaborator narapidana selama ini ditolak oleh dua instansi karena belum adanya aturan pelaksanaan yang padu dan khusus bagi tindak pidana narkotika. peran Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika sangat penting untuk dapat dimaksimalkan peranannya agar tercipta ketahanan nasional yang lebih baik.

Narcotics crime develops into extraordinary crime and organized crime. In order for the disclosure of his case to be more profound, the role of a witness who is also a suspect is needed (Justice Collaborator). ICJR data in 2016 revealed that many agencies had given recommendations to the Justice Collaborator, but the National Narcotics Agency had refused while the National Police was unknown. The purpose of this study was to analyze the regulation of Justice Collaborator in Indonesia and its implementation in the National Narcotics Agency and National Police. The method used is qualitative descriptive. The results show that the regulations in Law No. 31 of 2014 state that the submission of Justice Collaborator status can be at the stage of investigation, prosecution and punishment as well as special treatment and awards. The implementation of the prisoners Justice Collaborator submission has been rejected by two agencies because there is no implementation rule that is unified and specifically for narcotics crime. However, the rejection attitude so far still corresponds to justice as well as the efforts of law enforcement agencies in realizing national security amid the limitations of existing regulations."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52712
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>