Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pasaribu, Saadatur Rizqillah
"ABSTRAK
Nervus ischiadicus tikus umum digunakan sebagai model dalam evaluasi cedera dan regenerasi saraf perifer., yang menjadi nervus tibialis dan nervus peronealis. Penilaian pemulihan fungsi saraf setelah cedera, digunakan Sciatic functional index (SFI) untuk nervus ischiadicus, tibial functional index (TFI) untuk nervus tibialis dan peroneal functional index (PFI) untuk nervus peronealis. Sedangkan informasi mengenai kisaran gerak (ROM/range of motion) fleksiektensi setiap sendi dari siklus berjalan dapat dianalisis dengan pengukuran sudut pergelangan kaki belakang.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental analitik yang bertujuan mengetahui korelasi antara tingkat pemulihan nervus ischiadicus pasca cedera akut dengan TFI, PFI, dan sudut sendi pergelangan kaki belakang. Dua belas ekor tikus jantan Sprague Dawley dibagi menjadi kelompok cedera (nervus ischiadicus dipotong dan dijahit kembali; n=6) dan sham (n=6), diobservasi pemulihannya hingga hari ke-59 dengan jarak antar pemeriksaan tujuh hari. Pemulihan fungsi dinilai dengan melakukan analisis berjalan yang meliputi analisis jejak kaki dan sudut sendi dengan serial foto.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pemulihan nervus ischiadicus diikuti dengan perbaikan nilai TFI dan PFI, dengan kecepatan perbaikan nilai PFI mendahului TFI. Analisis Spearman menunjukkan korelasi kuat antara tingkat pemulihan dengan TFI (r=0,978) dan PFI (r=0.836). Tingkat pemulihan juga berkorelasi dengan sudut pergelangan kaki, yaitu fase midstance (MSt; r = 0.438). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemulihan nervus ischiadicus akan diikuti dengan pemulihan cabang-cabangnya, dengan pemulihan cabang peroneal lebih cepat dibandingkan cabang tibial.

ABSTRACT
The sciatic nerve (nervus ischiadicus) of rats is commonly used as the model in the evaluation of injury and peripheral nerves. This nerve branches into tibial nerve and peroneal nerve. In the assessment of nerve function recovery level post injury, Sciatic functional index (SFI) is used to analyze sciatic nerve, tibial functional index (TFI) is to assess tibial nerve, and peroneal functional index (PFI) is to examine peroneal nerve. The information on the ROM (range of motion) of the flexion and extension of each joint at each phase of the walking gait cycle can be analyzed by measuring the ankle joint angle of the hind foot.
This study is an analytical and experimental research aiming to discover the correlation between the recovery level of acute sciatic nerve injury and TFI, PFI, and the ankle joint angle of the hind foot. Twelve male Sprague dawley rats were divided into injury group (the sciatic nerve was cut and had end-to-end nerve repair; n=6) and sham group (n=6); their recoveries were observed periodically until the 59th day with seven day distance between each examination. Functional recovery level was assessed by conducting walking gait analysis which included the analysis of footprints and ankle joint angle with a series of photos.
The results of the study showed that the increase in the recovery level of the sciatic nerve is followed by the improvement of TFI and PFI values, with the improvement of PFI value being faster than that of TFI value. Analysis using the Spearman test showed the strong correlation between recovery level and TFI (r = 0,978) and PFI (r = 0.836). Recovery level also correlates with ankle joint angle, which is at the midstance phase (MSt; r = 0.438). The study results pointed out that the recovery level of sciatic nerve will be followed by the recovery level of its branches, with peroneal branch recovering faster than tibial branch.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahmat Widodo
"Cedera saraf perifer merupakan beban klinis yang besar. Berbagai modalitas terapi dikembangkan untuk mencapai perbaikan fungsi, salah satunya dengan platelet-rich plasma (PRP). Walaupun PRP sudah diterapkan secara klinis, namun proses intrinsik di dalamnya belum sepenuhnya diketahui. Oleh karena itulah penelitian ini dibuat untuk mengetahui efek pemberian PRP terhadap populasi sel Schwann dan makrofag pada lokasi cedera saraf perifer. Penelitian eksperimental dengan sampel tikus Wistar, terdiri dari tiga kelompok penelitian untuk masing-masing terminasi di hari ke-3 dan hari ke-7, yaitu kontrol, model sciatica, dan model sciatica yang diberi PRP. Model sciatica dilakukan dengan metode crush injury. Fungsi motorik dinilai pada hari ke-3 dan ke-7 menggunakan Sciatic Functional Index (SFI) dan Foot Fault Test (FFT). Ekspresi marker sel Scwann diperiksa dengan imunohistokimia (IHK) SOX10, dan ekspresi marker sel makrofag dengan IHK CD68. Fungsi motorik meningkat pada hari ke-7 (p<0,05), dan populasi sel Schwann meningkat pada hari ke-7 (p<0,05). Pemberian PRP mempengaruhi proses regenerasi saraf perifer model tikus sciatica.

Peripheral nerve injury is a large clinical burden. Various therapeutic modalities have been developed to achieve improved function, one of which is with platelet-rich plasma (PRP). Although PRP has been applied clinically, the intrinsic processes are not fully understood. For this reason, this study was made to determine the effect of PRP administration on the Schwann cell population and macrophages at the site of peripheral nerve injury. Experimental study with samples of Wistar rats, consisted of three research groups for termination on day 3 and day 7 respectively, namely control, sciatica model, and sciatica model treated with PRP. The sciatica model was performed using the crush injury method. Motor function was assessed on day 3 and 7 using the Sciatic Functional Index (SFI) and Foot Fault Test (FFT). Schwann cell marker expression was examined by SOX10 immunohistochemistry (IHC), and macrophage cell marker expression was examined by CD68 IHC. Motor function increased on day 7 (p<0.05), and the Schwann cell population increased on day 7 (p<0.05). PRP administration affects the process of peripheral nerve regeneration in the sciatica rat model."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Ima
"Saat ini terdapat berbagai metode penyembuhan dari cedera saraf perifer. Namun, berbagai metode tersebut mempunyai keterbatasan yaitu masih dalam kategori lambat. Pada PRP terdapat kandungan Growth Factor yang penting untuk meningkatkan proses regenerasi saraf. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran PRP terhadap regenerasi cedera nervus ischiadicus. Kelompok perlakuan dibagi menjadi hari ke 7 dan hari ke 42. PRP sebanyak 0.2 ml diberikan pada cedera nervus ischiadicus melalui absorbable gelatine sponge. Pengamatan analisis fungsional gaya berjalan dilakukan dengan menghitung nilai SFI, TOA, dan Q1-Q4. Pengamatan gambaran mikroskopis dilakukan untuk melihat diameter akson, densitas akson, diameter akson + mielin, dan ketebalan mielin. Hasil penelitian, nilai SFI kelompok PRP membaik pada hari ke 21 dan 35. Nilai Q1-Q4 pada kelompok PRP memiliki nilai perbaikan sudut mendekati normal yang lebih stabil pada hari ke 7 dibandingkan pada kelompok skiatika tanpa pemberian PRP yang baru mengalami perbaikan pada hari ke 21. Sedangkan pada pengamatan gambaran mikroskopis, kelompok skiatika dengan pemberian PRP memberikan pengaruh terhadap peningkatan diameter akson dengan hasil yang signifikan baik pada hari ke 7 maupun hari ke 42. Oleh karena itu, pemberian PRP pada tikus model skiatika mampu memaksimalkan percepatan fungsi berjalan pada proses regenerasi saraf pasca terjadinya cedera melalui regenerasi akson.

Currently there are various methods of healing from peripheral nerve injuries. However, these various methods have limitations, namely they are still in the slow category. PRP contains Growth Factor which is important for enhancing the process of nerve regeneration. This study aims to see the role of PRP in the regeneration of injured sciatic nerves. The treatment group was divided into day 7 and day 42. 0.2 ml of PRP was administered to the injured sciatic nerve via an absorbable gelatine sponge. Observation of gait functional analysis was carried out by calculating SFI, TOA, and Q1-Q4 values. Microscopic observation was carried out to see axon diameter, axon density, axon + myelin diameter, and myelin thickness. The results of the study, the PRP group's SFI scores improved on days 21 and 35. The Q1-Q4 values in the PRP group had an angle improvement value close to normal which was more stable on day 7 than in the sciatica group without PRP which only improved on day 21 Whereas in the observation of microscopic images, the sciatica group with PRP administration had an effect on increasing axon diameter with significant results both on day 7 and day 42. Therefore, giving PRP to sciatica model rats was able to maximize the acceleration of walking function in the regeneration process post-injury nerves through axon regeneration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizqi Adhi Primaputra
"Pendahuluan: Cedera pleksus brachialis traumatik merupakan cedera pada ekstremitas atas yang menimbulkan disabilitas motorik dan sensorik yang berakhir pada penurunan kualitas hidup. Prosedur pembedahan saraf atau otot masih menjadi terapi pilihan untuk menangani cedera pleksus brachialis, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Penelitian mengenai luaran pasien dengan cedera pleksus brachialis traumatik pasca prosedur pembedahan, khususnya di Indonesia, belum pernah dilakukan. Prosedur pembedahan cedera pleksus brachialis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sudah berlangsung sejak tahun 2010, namun belum ada hasil luaran yang terdokumentasikan dengan baik. Studi ini diharapkan menjadi gambaran awal mengenai hasil luaran klinis dan fungsional pasien cedera pleksus brachialis setelah dilakukan tindakan pembedahan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan metode potong lintang. Data pasien diambil minimum follow up 6 bulan pasca pembedahan. Luaran klinis dinilai dengan mengukur kekuatan motorik (Medical Research Council Scale) dan ruang lingkup gerak dari sendi abduksi bahu dan fleksi siku. Luaran fungsional dinilai melalui sistem skoring Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH). Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara berbagai faktor (usia, jenis kelamin, penyebab cedera, awitan cedera, tipe cedera, tindakan pembedahan, rehabilitasi) dengan luaran klinis dan fungsional (skor DASH dan perubahan skor DASH).
Hasil Penelitian: Sebanyak 67 dari 139 pasien cedera pleksus brachialis traumatik yang menjalani pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode 2010-2017 dimasukkan ke dalam penelitian dengan rerata waktu follow up 28 bulan pasca pembedahan. Laki-laki (82,2%) dengan nilai rerata usia 26 tahun dengan penyebab cedera tumpul karena kecelakaan lalu lintas. Tipe cedera terbanyak adalah postganglionik tipe total (56,7%). Sebagian besar subjek (65,7%) menjalani rehabilitasi. Rerata skor DASH 71,7 dengan perubahan skor DASH sebesar 17,5.
Diskusi: Luaran klinis dan fungsional pada pasien cedera pleksus brachialis traumatik baik dipengaruhi oleh awitan cedera, tipe cedera, jenis tindakan pembedahan, dan rehabilitasi pasca pembedahan. Analisis multivariat menunjukkan bahwa rehabilitasi menjadi faktor prediktor terhadap seluruh luaran klinis, sementara rehabilitasi dan tipe cedera dapat digunakan untuk memprediksi skor DASH.

Introduction: Traumatic brachial plexus injury (TBPI) is a disease that cause disability in motoric and sensory upper extremity that leads to decrease in quality of life. Nerve or muscle surgeries are still the treatment of choice for treating brachial plexus injury, despite the result is still not satisfying. Study on the outcomes of brachial plexus injury after surgical procedures, especially in Indonesia, has not been conducted. Surgical procedure for brachial plexus injury in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo has been performed since 2010, but no study had recorded outcome result yet. This study aim to give a brief clinical and functional outcome of patient with brachial plexus injury after surgical procedure.
Methods: We performed an observational analytic study using cross-sectional method. Data was taken with minumum follow up 6 months after surgery. Clinical outcome was measured with motoric strengh using Medical Research Council Scale and range of motion shoulder abduction and elbow flexion. Functional outcome was assessed through DASH scoring. Bivariate and multivariate analysis was performed to find relationships between various factors (age, sex, injury onset, type of injury, type of surgery, rehabilitation) and clinical and functional outcomes (DASH score and change in DASH score).
Results: A total of 67 from 139 traumatic brachial plexus injury patients had surgery at Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2010-2017 with mean of follow up for 28 months. Male contributed major patient (82.2%) and had median age of 26 years. The most common type of brachial plexus injury was postganglionic total type (56.7%). Most subjects (65.7%) underwent rehabilitation. Mean DASH score was 71,7 with DASH score changed 17,5.
Discussion: Clinical and functional outcomes in TBPI patients who underwent surgery were influence with onset, type of TBPI, choice of surgery performed, and rehabilitation after surgery. Multivariat analysis showed rehabilitation is the main predictor factor in determine clinical outcome. Rehabilitation and type of injury can be predicted for DASH score. Multivariate analysis showed that rehabilitation was predictive of shoulder abduction ROM and motoric function, and also elbow flexion ROM and motoric function. Rehabilitation and type of injury can be used to predict DASH scores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"ABSTRAK
Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

ABSTRACT
Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Basuki
"Tujuan penelitian : Mendapatkan nilai rerata orang dewasa normal tentang (1) n peroncus dan n.tibialis serta PAST n.suralis, (2). Mengamati apakah usia, jenis kelamm dan panjang tungkai mempengaruhi nilai rerata yang didapat, (3). Mengamati apakah terdapat perbedaan antara tungkai kanan dan kiri. Subyek penelitian : Meliputi 50 orang yang terdiri dari 26 orang pria dan 24 orang wanta di lingkungan bagian ilmu penyakit saraf FKUI-RSUPNCM, Jakarta; usia 16-50 tahun, dalam keadaan normal dan schat. Tempat penelitian : Laboratonum EMG-Evoked potential bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSUPNCM, Jakarta, data dikumpulkan dari Desember 1997 s./d. Mei 1998. Pemeriksaan : Dilakukan terhadap (1). N.peroneus, n.tibialis dan n.suralis dengan alat EMG Medelec MS-6 II, (2). Data yang didapat dicatat secara manual kemudian diolah dengan komputer di bagian statistik ilmu kesehatan masyarakat FKUI-RSUPNCM. Hasil: Dari analisa statistik didapatkan (1). Pengaruh jenis kelamin terhadap (a) PAOT n.peroneus didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita pada latensi proksimal tungkai kanan dan tungkai kiri, sedangkan KHS dan latensi F pada tungkai kiri, (b) PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna antara pra dan wanita pada amplitudo F tungkai kanan, (c). PAST n.suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada tungkai kanan maupun tungkai kini. (2) Pengaruh usia terhadap (a). PAOT n.peroncus tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai, (b). PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna pada amplitudo tungkai kiri, (c) PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai. (3). Pengaruh panjang tungkai terhadap PAOT nperoneus, n.tibialis dan PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada semua parameter. Kesimpulan : Secara umum (1). PAOT n peroncus dari subyek yang diteliti dipengaruhi oleh (a). Jenis kelamin latensi proksimal tungkai kanan dan kin pada pria lebih panjang daripada wanita KHS pria lebih cepat daripada wanita, (b). usia dan panjang tungkai tidak mempengaruhi nilai yang didapat (2). PAOT n tibialis, (a) Jenis kelamin : amplitudo F pada pria lebih tinggi daripada wanita, (b). Usia : amplitudo dipengaruhi oleh usia, yaitu makin tua usia amplitudo makin rendah, (3). Panjang tungkai : tidak mempengaruhi nilai yang didapat. (3). Pada penelitian ini PAST n suralis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan panjang tungkai. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fracella Putri
"Latar Belakang: Berlari merupakan pilihan olahraga yang semakin banyak diminati, namun seringkali menyebabkan cedera khususnya pada pergelangan kaki. Ligamen lateral pergelangan kaki merupakan bagian yang paling sering mengalami cedera. Kejadian cedera yang berulang dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas pergelangan kaki kronis yang dapat mengganggu fungsi keseimbangan. Kinesio taping merupakan pendekatan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi keseimbangan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek kinesio taping dengan teknik Ankle Balance Taping (ABT) dan Sham disertai latihan penguatan otot pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis. Metode: Studi intervensi pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis yang berusia 17-35 tahun dengan status gizi normal. Subjek dibagi ke dalam kelompok ABT dan kelompok Sham. Kedua kelompok juga diberikan latihan penguatan otot kaki dan tetap berlari. Fungsi keseimbangan kemudian diukur dengan Stork Test dan SEBT. Hasil: Didapatkan 36 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Rerata usia pada kelompok perlakuan adalah 24.37 tahun dan kelompok kontrol 27.47 tahun (p<0.05). Setelah mendapatkan taping dan latihan penguatan otot kaki selama 3 minggu didapatkan perbaikan jarak jangkauan pada arah anterior, posteromedial dan posterolateral pada pemeriksaan SEBT di kelompok perlakuan, dan perbaikan pada arah posteromedial pada kelompok kontrol. Untuk keseimbangan statis diadapatkan perbaikan pada kedua kelompok (p<0,05). Kesimpulan: Pemberian Ankle Balance Taping (ABT) dan latihan penguatan otot kaki efektif dalam meningkatkan keseimbangan statis dan dinamis pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis.

Background: Running is one of sport choices that is increasingly in interest, but often causes injury especially to the ankles. The lateral ankle ligament is the most frequently injured part. Recurring injuries can lead to chronic ankle instability that can interfere the balance function. Kinesio taping is a new approach that can be used to improve balance function. Therefore, this study aims to compare the effects of kinesio taping with Ankle Balance Taping (ABT) and Sham techniques accompanied by muscle strengthening exercises in runners with chronic ankle instability. Methods: Interventional studies of runners with chronic ankle instability aged 17- 35 years with normal nutritional status. Subjects were divided into ABT groups and Sham groups. Both groups were also given exercises to strengthen foot muscles and keep running. The balance function is then measured by the Stork Test and SEBT. Results: There were 36 subjects who met the inclusion criteria. The mean age in the treatment group was 24.37 years and the control group was 27.47 years (p <0.05). After getting taping and leg strengthening exercises for 3 weeks, there was an improvement in the range of anterior, posteromedial and posterolateral direction in the SEBT examination in the treatment group, and improvement in the posteromedial direction in the control group. For static balance there was an improvement in both groups (p <0.05). Conclusion: Provision of Ankle Balance Taping (ABT) and leg strengthening exercises are effective in increasing static and dynamic balance in runners with chronic ankle instability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Anggraini
"ABSTRAK
Nervus optikus merupakan saraf kranial kedua, mempersyarafi bola mata, yang terdiri dari selubung dan serabut nervus optikus didalamnya Diameter nervus optikus dapat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai sebab yaitu ras, etnik, jenis kelamin atau karena sebab lain yaitu inflamasi, tumor, trauma ataupun penekanan nervus optikus akibat massa disekitarnya. Selubung nervus optikus dapat dinilai rasionya dan dapat dipengaruhi nilainya bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata nervus optikus serta rasio selubung dan nervus optikus dengan pemeriksaan MRI pada usia lebih dari 18 tahun sejumlah 64 nervus optikus dari 32 pasien (16 laki-laki dan 16 perempuan) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan permpuan. Pasien dianamnesis tidak terdapat riwayat trauma orbita, sakit mata yang menyebabkan penurunan lampang pandang, dan dilakukan pemeriksaan visus yang mambaik setelah dilakukan uji pinhole. Pasien juga tidak terdapat kelainan pada orbita atau massa pada intrakranial pada pemeriksaan MRI kepala. Selanjutnya dilakukan penambahan sekuen sesuai aksis nervus optikus potongan koronal T2 supresi lemak untuk menilai rasio selubung dengan nervus optikus, potongan parasagital kanan kiri T1 supresi lemak untuk pengukuran diameter nervus optikus segmen intraorbita dan intrakanalikular, serta potongan aksial T2 untuk pengukuran segmen intrakranial. Statistik deskriptif disajikan berupa rerata dengan simpangan baku nervus optikus serta rasio selubung dengan nervus optikus. Rerata diameter selubung nervus optikus intraorbita dewasa normal bagian proksimal 4,54 mm (SD 0,28 mm), bagian tengah (mid) 3,49 mm (SD 0,19 mm), bagian distal 3,26 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakanalikular 3,03 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakranial 4,22mm (SD 0,32 mm), diameter nervus optikus bagian proksimal 2,54 mm (SD 0,28 mm). Rerata rasio normal selubung dengan nervus optikus adalah 1,81:1 (SD 0,11). Pada statistik analitik dengan uji t tidak berpasangan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diameter selubung dan nervus optikus antara laki-laki dibandingkan perempuan.

ABSTRACT
Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure. The aim of this research is to determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment. Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ridho Nur Hidayah
"ABSTRAK
Pendahuluan: Terbentuknya jaringan fibrosis pada saraf perifer masih menjadi suatu tantangan di bidang orthopaedi terutama dengan eksplorasi saraf. Penggunaan metylprednisolon telah banyak digunakan untuk mengurangi risiko edema jaringan lunak pasca operasi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian irigasi metylprednisolon asetate terhadap pencegahan perlengketan saraf pada jaringan sekitarnya dan pembentukan jaringan parut epineuralMetode: Dua puluh tikus putih Sprague Dawley jantan yang memenuhi kriteria sampel dibagi ke dalam dua kelompok. Pada seluruh sampel dilakukan perangsangan pembentukan jaringan parut pada saraf skiatika paha kanan menggunakan nylon brush. Kelompok perlakuan diberikan irigasi metylprednisolon asetat 0.1cc; Depomedrol , dan sisanya kontrol. Setelah 4 minggu, tikus dikorbankan, dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis untuk melakukan perhitungan luas area fibrosis dengan software ImageJ intensifier dan angka Index Fibrotik dengan alat pengukur mikrometer setelah sebelumnya dilakukan pembuatan sedian histologi dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin dan Masson rsquo;s Trichrome.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol pada skor Petersen p.

ABSTRACT
Introduction The formation of fibrotic tissue in peripheral nerves is remains a challenge. Methylprednisolone was believed to inhibit fibrotic formation, although its still controversial. This research is intended to prove that the irrigation of methylprednisolone acetate can prevent nerve adhesion on surrounding tissues and the formation of epineural scar.Methods Twenty male Sprague Dawley rats were divided into two groups. Treatment group was irrigated intralesionally with methylprednisolone 0.1cc Depomedrol , and the rest as control. In all samples we performed abrasion injury to stimulate fibrotic formation using nylon brush. The samples were sacrificed after 4 weeks, Peterson score was used to assess macroscopically, and area of fibrotic was measured microscopically. Area of fibrosis was calculated using ImageJ intensifier and fibrotic index number with the micrometer measurement tool after histologic preparation with Haematoxylin Eosin and Masson 39 s Trichrome.Result There was a significant difference between treatment and control group on Petersen score p "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>