Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193711 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Ananda
"ABSTRAK
Pembentukan daerah otonomi khusus atau daerah yang bersifat istimewa, sekiranya perlu dimuat dan menjadi suatu landasan dalam menerjemahkan Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945. Aceh, Papua, Yogyakarta, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah mempresentasikan pola desentralisasi asimetrik, namun pengaturan mengenai pembentukan daerah khusus di Indonesia tidaklah pernah diatur secara eksplisit sepanjang sejarah terbitnya berbagai macam aturan mengenai Pemerintahan Daerah baik pada era setelah kemerdekaan hingga saat reformasi. Ide-ide pembentukan yang ditinjau dari negara lain seperti Hong Kong dan Basque, dapat dijadikan suatu pijakan untuk menelaah lebih lanjut terhadap norma yang seperti apa yang dapat membentuk suatu daerah khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembentukan daerah khusus dan istimewa melalui landasan hukum pembentuknya dengan melakukan perbandingan terhadap beberapa daerah secara historis dan beberapa daerah di negara lain, serta memberikan pandangan terhadap kemungkinan atas dibentuknya daerah khusus yang baru. Penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan yang kemudian dikaji secara sistematis dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti. Landasan hukum bagi terbentuknya Daerah Khusus dan Istimewa di Indonesia di dasarkan pada pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam UUD Tahun 1945, Undang Undang Pemerintahan Daerah sebagai pelaksana Konstitusi Indonesia, serta Undang Undang khusus dan istimewa yang dimiliki Daerah Khusus dan Istimewa di Indonesia. Aceh, Papua, DKI Jakarta, serta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan empat daerah desentralisasi asimetrik di Indonesia yang terbentuk melalui faktor religi-etno politik, sosial-buadaya dan sejarah hukumnya. Sedangkan Hong Kong dan Basque memiliki ciri yang hampir serupa denan daerah asimetrik di Indonesia menjadikan sejarah hukum sebagai faktor pembentukan desentralisasi asimetrik yang kemudian dikukuhkan dalam beberapa instrumen hukum. Dilihat secara teori dan peraturan undang-undang, pembentukan daerah khusus dan istimewa dapat terjadi. Pembentukan daerah khusus dan istimewa sebaiknya tidak diberikan sertamerta dikarenakan ancaman akan disintegrasi dan menambahnya beban anggaran negara dalam pengelolaan dana khusus, akan tetapi daerah tersebut dapat dijadikan ?kawasan khusus? berdasarkan Pasal 360 UU No. 23 Tahun 2014.

ABSTRACT
The establishment of special autonomous regions or special areas, should be made into a norm to interprate Article 18B paragraph (1) Constitution of 1945. Aceh, Papua, Yogyakarta and Jakarta has presented a pattern of asymmetric decentralization, but the arrangements regarding formation special areas in Indonesia is never explicitly regulated in the history of the publication of a wide variety of rules on good regional government in the era after independence until the reform. Ideas formation are reviewed from other countries such as Hong Kong and Basque, can be used as a sample model of asymmetric for further studying of the norm as to what may establish a special area. This study aims to determine the formation of a Spesial Autonomous Region and Special Area through its constituent legal basis to do a comparison of some areas historically and several regions in other countries, as well as provide insight into the possibility of the establishment of new specialized areas. Legal research was done by using study literature and legislation that then systematically studied and drawn conclusions in relation to the matter being investigated. The legal basis for the establishment of the Spesial Autonomous Region and Special Area in Indonesia is based on the setting of the Local Government in the 1945 Constitution, the Local Government Act as executor of the Indonesian Constitution, and the Law of spesial autonomous region and special area in Indonesia. Aceh, Papua, Jakarta and Yogyakarta Special Region is the fourth area of asymmetric decentralization in Indonesia formed through based ethno-religious of political, social-culture and legal history factor. While Hong Kong and Basque have almost identical characteristics with asymmetric regions in Indonesia made legal history as a factor in the formation of asymmetric decentralization which later confirmed in several legal instruments. Based on the theory and rule of law, the establishment of spesial autonomous region and special area can be made. The establishment of spesial autonomous region and special area should not be given because it built by legal-history factors, so the other area which had a special authorities can be used as a "special region" under Article 360 of Law No. 23, 2014.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Farrera Lutfiano
"Indonesia mengakui keberadaan daerah istimewa dan daerah khusus sesuai dengan yang tercantum pada pada 18B Undang-Undang Dasar 1945. Daerah tersebut adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Daerah-daerah tersebut memiliki kewenangan-kewenangan tersendiri yang khusus dan berbeda dengan kewenangan daerah otonomin lain pada umumnya di Indonesia. Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan politis dan juga kebutuhan efisiensi pemerintahan atau administratif. Indonesia mengatur mengenai daerah-daerah khusus tersebut melalui undang-undang masing-masing yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta dan Undang-UndangNomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Indonesia yang menyatakan dengan tegas bahwa dirinya adalah negara kesatuan menerapkan kebijakan ini selaras dengan unsur-unsur negara kesatuan sesuai dengan teori tata negara mengenai negara kesatuan. Seluruh kewenangan khusus yang dimiliki daerah-daerah tersebut mengikuti teori-teori negara kesatuan yaitu kewenangan legislatif terdapat pada satu badan legislatif nasional, daerah tidak memiliki karakter kedaulatan, dan hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintah pusat. Terdapat pula negara kesatuan lain di dunia yang memiliki daerah dengan kewenangan khusus yaitu United Kingdom dengan Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara, Cina dengan Hong Kong dan Makau serta Tanzania dengan Zanzibar. Daerah-daerah khusus di Indonesia adalah yang paling ideal dengan teori negara kesatuan dibandingkan dengan daerah-daerah khusus di negara lain. Daerah khusus di Indonesia juga sesuai dengan asas desentralisasi yaitu diserahkannya wewenang pemerintah kepada daerah otonom atau pendelegasian kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam suatu hirarki teritorial melalui ketentuan legislatif berdasarkan konstitusi. Seluruh daerah khusus di Indonesia didelegasikan kekuasaan khusus melalui ketentuan legislatif nasional sehingga sesuai dengan asas desentralisasi, berbeda dengan negara lain yaitu Cina dan Tanzania.

Indonesia recognizes the existence of special areas or special autonomus areas in accordance with those stated in article 18B in the Constitution of 1945. The area is a Special Capital Region of Jakarta, the Special Autonomous Region of Papua and West Papua, Yogyakarta and Aceh. These areas have their own authority which is special and different from other autonomus regions authority in general in Indonesia. Application of asymmetric decentralization policy is based on political needs or the needs of governmental or administrative efficiency. Indonesia regulating these areas with each of their own Act which is Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Indonesia, which is a unitary state, is well-suited with the elements of a unitary state in accordance with the theory of the unitary state when applying this policy. All of the special Areas authority follow the unitary states theory which is the legislative power should be held by one national body, the local areas doesn?t have sovereignity characteristic, and the power should be held only by the central government. There is also another unitary state in the world that has a region with a special authority, namely the United Kingdom with Wales, Scotland and Northern Ireland, China with Hong Kong and Macao as well as Tanzania with Zanzibar. Special regional authority in Indonesia when compared to these areas is the most ideal when analized by the theory of unitary state. The Special Region in Indonesia is also ideal when analyzed with the theory of decentralization where the power is being transfer to autonomous region and delegating the power to the lower level in a territorial hierarchy through regulations by national legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 43(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vincent, Andrew
Oxford: Basil Blackwell, 1987
320.1 VIN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Nasroen
Jakarta: Aksara Baru, 1986
352.13 NAS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raharusun, Yohanis Anton
"Disertasi ini membahas mengenai desentralisasi asimetrik dalam negara kesatuan ditinjau dari perspektif perkembangan ketatanegaraan Indonesia: studi terhadap format pengaturan asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua dalam periode 1950 sampai 2012. Dalam penelitian ini, dikaji dan dianalisis mengenai penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen-elemen dasar pemerintahan daerah meliputi: (1) urusan dan kewenangan, (2) kelembagaan (3) personil (4) sumber keuangan (5) perwakilan (6) pelayanan publik, (7) pembinaan dan pengawasan. Permasalahan yang dikaji adalah (1) apakah kebijakan otonomi khusus dalam perspektif praktik ketatanegaraan Indonesia hanya diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua. (2) penerapan desentralisasi asimetrik dapat menciptakan percepatan dan pencapaian tujuan demokratisasi ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah. (3) strategi penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dan penelitian empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus/istimewa (1950-2012) dalam praktiknya masih memperlihatkan pola sentralistik yang dominan dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah. Kebijakan desentralisasi asimetrik yang dipraktikkan di ketiga daerah tersebut memiliki karakter asimetrik yang berbeda-beda dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sesuai karakter perundang-undangan yang berlaku di ketiga daerah tersebut. Perbedaan tersebut dalam hal pengaturan tentang urusan dan kewenangan, kelembagaan, perwakilan dan sistem pemilihan kepala daerah, kebijakan fiskal dan pelayanan publik. Perbedaan asimetrik lainnya adalah, Yogya lebih didasarkan pada alasan historically driven with some culturally oriented goals, Aceh lebih didasarkan pada alasan politically driven with religiously oriented goals dan Papua lebih di dasarkan pada alasan politically driven with slight religiously oriented goals. Meskipun terdapat perbedaan penerapan berbagai elemen dasar pemerintahan daerah tersebut di atas, namun kebijakan asimetrik yang diberikan kepada ketiga daerah tersebut dalam kenyataannya lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal yang besar dapat tersebut diharapkan membawa perubahan yang siginifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya titikberat kebijakan fiskal yang besar tersebut tidak diikuti dengan penerapan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan belum dapat memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan, terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan percepatan pencapaian tujuan demokrasi dan demokratisasi.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai jawaban terhadap research quetions dari penelitian adalah, bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal yang didasarkan pada pertimbangan politik (politicaly driven) tanpa adanya suatu grand design atau blue print kebijakan asimetrik secara menyeluruh berdasarkan elemen-elemen dasar Pemerintahan Daerah. Ketujuh elemen dasar di atas, secara integrated merupakan alat tools untuk melihat substansi asimetrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut dipakai sebagai tools untuk mempertajam penerapan desentralisasi asimetrik di ketiga daerah tersebut di atas. Penataan terhadap elemen-elemen dasar tersebut haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh, pendekatan yang bersifat piece-meal yang dilakukan akan selalu menghasilkan outcomes yang kurang optimal bahkan seringkali menimbulkan ketegangan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang manakala pemerintah masih memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus/istimewa terhadap daerah lain di Indonesia sebagai solusi politik dalam mempertahankan integritas negara kesatuan, maka diperlukan penataan terhadap ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu diatur dalam payung hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena desentralisasi asimetrik dalam perspektif negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut dapat saja dijadikan rujukan bagi Daerah lainnya di Indonesia untuk meminta status khusus atau keistimewaan yang sama seperti yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua, mengingat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut masih menimbulkan multi tafsir sehingga perlu dipertegas kembali makna ketentuan tersebut, manakala Pemerintah bermaksud akan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

This study discusses asymmetrical decentralization in a unitary state viewed from the perspectives of Indonesian constitutional development. It focuses on the format of asymmetrical arrangements for Yogyakarta, Aceh, and Papua during the period of 1950 through 2012. It analyzes the specific asymmetrical characteristics of the special autonomy for the three provinces based on the 7 basic elements of a local government which comprise of: (1) local authority; (2) local institutions (3) personnel/staffing; (4) local sources of revenue, (5) representation and election system of regents, (6) public services, and (7) guidance and supervision. Specifically the issue analyzed here in this study include: (1) why the special autonomy in the perspective of the constitutional development given only to Yogyakarta, Aceh, and Papua and (2) whether the implementation of asymmetrical decentralization expected to accelerate democracy improvement and the realization of a democratic life, viewed from the perspective of the basic elements of local government, and (3) how this strategy of implementing asymmetric decentralization in Yogyakarta, Aceh, and Papua viewed from the perspective of the basic elements of local government can expedite welfare. This is a normatively legal study with a historical approach. The data collection was done through document study and interviews. The collected data were then analyzed qualitatively.
The study found that various types of local government regulations in Indonesia including the special autonomy regulations (1950-2012) in practice still indicate traces of centralistic patterns in implementing the local government elements. Through broad observation, the three provinces are seen to have differed slightly. The asymmetrical arrangements for Yogyakarta have been historically driven with some culturally oriented objectives; the asymmetrical arrangements for Aceh have been religiously driven through political maneuvers; and the asymmetrical arrangements for Papua have been politically driven with ethnic and some slight religiously oriented purposes. This discussion has been done in light of a local government elements and the implementation of asymmetric decentralization based on the local government elements. The asymmetric decentralizations implemented in three provinces have distinctive asymmetric features. They have not fully followed the asymmetric features found in the special autonomy regulations for these three provinces. The differences may be observed in the arrangements of authorization, institutions, representation and election system of regents, fiscal policies, and public services. Despite the above differences, the asymmetrical arrangements given to these three provinces have been heavily focused on fiscal policies ? which have been meant to bring about significant improvements in the running of the local governments, i.e. improvements of public services. In reality, the special autonomy has not resulted in significant improvements, particularly in the betterment of social welfare and the acceleration to reach democracy and democratization.
In summary, the asymmetrical decentralization granted for these three provinces in the form of heavily fiscal advantages, have been more politically driven without grand design or blue print of comprehensive asymmetric decentralization policy, which should have been strictly based on the local government elements. The seven basic elements are an integral tool to view the asymmetric substance to enhance prosperity and welfare of the people. The seven basic elements are utilized as tools to sharpen the implementation of asymmetric decentralization in the three regents above. Arrangement of the basic elements should be integrated and comprehensive; a piece-meal approach would always create outcomes less optimal or even cause tension between Central and Regions. Therefore, in the constitutional practices in the future, especially considering the central government still grants special policies to other regions in Indonesia as a political solution to maintain the integrity of the unitary state, then it is necessary to better arrange the seven basic elements of local governments under an umbrella law in the form of special regulations. As one may observe, asymmetrical decentralization is found in the Constitution 1945, Article 18B verse (1). It is possible for other regions in Indonesia to request special status such that granted to Yogyakarta, Aceh and Papua, remembering the Constitution 1945, Article 18B verse (1) still create multiple interpretations, such that it needs reinforcement the meaning of that clause, should the Government want to do the Fifth amendment of the Constitution 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Fauzi Hidayat
"Tesis ini membahas dasar ditetapkannya kawasan perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional, implikasi kedudukan kawasan perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional terhadap penataan ruang daerah di kawasan perbatasan negara, serta kedudukan dan pelaksanaan penataan ruang kawasan perbatasan negara yang ideal dikaitkan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang terkait. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kawasan perbatasan negara ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional karena memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi negara, khususnya dari aspek pertahanan dan keamanan, dan di dalamnya terdapat kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap tata ruang wilayah di sekitarnya dan kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya. Implikasi kedudukan kawasan perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional terhadap penataan ruang daerah di kawasan perbatasan negara, yaitu: terbatasnya kemandirian pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun dan menetapkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang dalam RTRW-nya, terbatasnya kemandirian pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun dan menetapkan indikasi program utama pemanfaatan ruang dalam RTRW-nya, serta terbatasnya kemandirian pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun dan menetapkan arahan pengendalian pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW-nya. Sementara itu, dikaitkan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedudukan kawasan perbatasan negara yang ideal adalah sebagai Kawasan Otorita Perbatasan Negara yang pengelolaannya termasuk pelaksanaan penataan ruangnya menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat.

This research discusses about the basis for the establishment of the state border area as a National Strategic Area, the implication of the status of the state border area as a National Strategic Area on the regional spatial planning in the state border area, and the ideal status of the state border area and the ideal implementation of the state border area rsquo s spatial planning associated with the principle of the Unitary State of the Republic of Indonesia NKRI . The research method used is normative juridical by reviewing the legislation and related literatures. The result of the research concludes that the state border area is designated as a National Strategic Areas because it has a very important and strategic role for the state, especially from the aspects of defense and security, and there are activities that have great influence on the surrounding spatial planning and other activities in the field the like and activities in other fields. The implication of the status of the state border area as a National Strategic Area on the regional spatial planning in the state border area, namely the limited independence of provincial and district municipal governments in compiling and stipulating spatial structure plan and spatial pattern plan in its local regulation of spatial planning, the limited independence of provincial and district municipal governments in compiling and stipulating indication of the main program of spatial use in its local regulation of spatial planning, as well as the limited independence of provincial and district municipal governments in compiling and stipulating the direction of control of spatial utilization and the provision of spatial control in its local regulation of spatial planning. Meanwhile, in relation to the principle of the Unitary State of the Republic of Indonesia NKRI , the ideal status of the state border area is as the State Border Authority Area whose management including the implementation of spatial planning becomes the full authority of the central government."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>