Karya tulis ini meneliti kesempatan politik yang dimiliki gerakan Movement Against Tyranny (MAT), gerakan sosial yang berusaha untuk menghentikan martial law di Mindanao, Filipina. MAT menggunakan perubahan struktur kesempatan politik sebagai faktor eksternal pembentuk identitas kolektif dan kapasitas gerakan dalam strategi pembingkaian. Penelitian ini memiliki pertanyaan penelitian Bagaimana pengaruh struktur kesempatan politik terhadap pembingkaian yang dilakukan agar terbentuk identitas kolektif gerakan Movement Against Tyranny (MAT) dalam menuntut penghapusan martial law di Mindanao tahun 2017-2018?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengambilan data melalui data primer dan data sekunder. Peneliti berargumen bahwa struktur kesempatan politik di Filipina memberikan kesempatan bagi gerakan ini untuk menganalisis ancaman yang dimiliki sehingga dapat membentuk identitas kolektif serta memberikan pilihan untuk menentukan strategi pembingkaian.
Kata Kunci:
Identitas Kolektif, Martial Law, Movement Against Tyranny
This thesis discusses the political opportunities of the Movement Against Tyranny (MAT), a social movement that seeks to stop martial law in Mindanao, Philippines. MAT uses changes in the structure of political opportunities as an external factor forming a collective identity and an analysis of the selection of framing strategies. This study has a research question "How is the political structure of opportunities for framing carried out to form the collective identity of the Movement Against Tyranny (MAT) movement in requesting the completion of martial law in Mindanao in 2017-2018?". This research uses qualitative methods by retrieving data through primary and secondary data. The researcher argues about the political opportunity structure in the Philippines provides an opportunity for this movement to analyze the challenges associated with making collective identification and providing options for determining the framing strategies.
Key words:
Collective Identity, Martial Law, Movement Against Tyranny
"
Daluga atau talas rawa raksasa (Cyrtosperma merkusii (Hassk.) Schott) merupakan tanaman pangan minor dari keluarga Araceae. Penelitian daluga di Indonesia masih sangat sedikit dikerjakan. Sebanyak 36 aksesi daluga dikoleksi dari Kepulauan Siau, Sangihe dan Talaud (Pulau Karakelang dan P. Salibabu), Sulawesi Utara, pada bulan April – May 2017. Identifikasi karakter dilakukan berdasarkan morfologi, anatomi, sitologi dan molekuler. Karakterisasi morfologi memperlihatkan adanya 11 varian daluga. Berdasarkan analisis klaster dan PCA yang dilakukan menggunakan karakter morfologi dan molekuler, ke 11 varian dapat dikelompokkan menjadi 2 klaster utama, yaitu klaster pertama yang beranggotakan varian-varian dengan tangkai perbungaan panjang dan klaster kedua yang beranggotakan varian-varian dengan tangkai perbungaan pendek. Di antara 4 populasi yang diteliti, populasi Pulau Siau mempunyai tingkat variasi genetik tertinggi, sementara itu populasi Pulau Salibabu mempunyai variasi genetik terendah. Penelitian anatomi menunjukkan bahwa pada bagian adaksial daun mempunyai sel epidermis yang berbentuk hampir sama, namun sel epidermis bagian abaksial daun, bentuk dan jumlah kristal kalsium oksalat berbeda di antara varian-varian dengan tangkai perbungaan panjang dan pendek. Jumlah kromosom sama yaitu 2n = 26, meskipun tipe kromosom berbeda-beda di antara varian-varian. Hasil klasifikasi serta informasi baru mengenai karakter lengkap daluga dapat digunakan sebagai data dasar dalam mengembangkan daluga di masa depan, baik sebagai pangan alternatif maupun pangan fungsional.
Daluga or the giant swamp taro (Cyrtosperma merkusii (Hassk.) Schott) is one of the minor root crops belongs to Araceae family. Study about daluga in Indonesia is still poorly known. A total of 36 daluga accessions were collected from Siau, Sangihe and Talaud islands, North of Sulawesi, Indonesia on April – May 2017. Identification was done using morphology, anatomy, cytology and molecular. Morphological characters shows that there are 11 variants. Based on claster and PCA analysis using morphology and molecular characters, those variants can grouped into 2 main clasters, those are claster with long peduncle and claster with short peduncle. Amongst four populations studied, Siau Island population has the highest level of genetic variation, meanwhile Salibabu Island has the lowest level. Anatomy study showed that adaxial surface have the same shape of epidermal cells. However, the epidermal cells on abaxial of leaf, the shape and number of calcium oxalate crystals were different between variants with long peduncle and short peduncle. All of variants have the same number of chromosomes 2n = 26, although the type of chromosomes different among variants. This result of classification and new informations about daluga can be used for baseline data to improving and developing daluga for the future as an alternative and functional food.
"