Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135326 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manggar Ariska Riza
"[Bagi umat Islam, perkawinan tidak hanya dianggap sakral, tetapi juga bermakna ibadah, karena kehidupan berkeluarga selain untuk melestarikan kelangsungan hidup umat manusia, juga untuk menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat bagi laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan, tidak semua tujuan perkawinan berjalan sesuai dengan harapan. Ketegangan dan konflik serta perselisihan sering terjadi. Semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan dengan arif dan bijaksana dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Penulisan ini memberikan suatu analisis mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan bagi bekas suami apabila bekas isterinya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya pada masa iddah dengan baik. Pokok masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana ketentuan hak dan kewajiban bekas suami dan bekas isteri pada masa setelah sidang penetapan ikrar talak yang putus perkawinannya karena cerai talak dan bagaimana kewajiban bekas suami terhadap bekas isteri yang pada masa iddah melakukan nusyuz seperti melakukan pernikahan lagi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normative. Pendekatan ini dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Kesimpulan yang diperoleh dalam penulisan ini yaitu bahwa bekas isteri memiliki kewajiban untuk tetap patuh selama masa iddah kepada suaminya dan memiliki hak untuk mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya. Sedangkan, bekas suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah. Hak bekas suami yaitu hak untuk merujuk bekas isterinya selama masa iddah dan hak untuk tidak memberikan nafkah iddah apabila bekas isteri melalaikan kewajibannya selama masa iddah.

For muslims, the marriage is not only considered to be sacred, but also meaningful worship, because the life of a family in addition to preserve the survival of mankind, as well as to ensure social stability and a dignified existence for both men and women. In life, not all purpose marriage runs in accordance with expectations. Tension and conflict and disputes often occur. All of that is already properly can be completed with as the way of discussion, mutual dialogue openly. Writing this, gives an analysis of the legal effort that can be made for the former wife who does not implement the obligation at masa iddah. Subject matter in this study i.e. how provisions of the rights and obligations of the former husband and wife in the aftermath of the trial of the divorce pledge assignment broke his marriage because of divorce, and how divorced former husband's liability towards the wife at the time she did nusyuz like doing weddings again. Research methods used in this study i.e. the juridical normative approach. This approach is carried out based on the primary law materials by way of studying the theories, concepts, principles and laws and regulations related to this research. The conclusions obtained in writing this, that the former wife had an obligation to remain obedient during masa iddah and have the right to earn a nafkah iddah from the former husband. Meanwhile, former husband has the obligation to provide a living and mut'ah. Former husband's rights i.e. rights to refer to former wife during masa iddah and right not to give a living when the wife of shirking its obligations during the masa iddah., For muslims, the marriage is not only considered to be sacred, but also meaningful worship, because the life of a family in addition to preserve the survival of mankind, as well as to ensure social stability and a dignified existence for both men and women. In life, not all purpose marriage runs in accordance with expectations. Tension and conflict and disputes often occur. All of that is already properly can be completed with as the way of discussion, mutual dialogue openly. Writing this, gives an analysis of the legal effort that can be made for the former wife who does not implement the obligation at masa iddah. Subject matter in this study i.e. how provisions of the rights and obligations of the former husband and wife in the aftermath of the trial of the divorce pledge assignment broke his marriage because of divorce, and how divorced former husband's liability towards the wife at the time she did nusyuz like doing weddings again. Research methods used in this study i.e. the juridical normative approach. This approach is carried out based on the primary law materials by way of studying the theories, concepts, principles and laws and regulations related to this research. The conclusions obtained in writing this, that the former wife had an obligation to remain obedient during masa iddah and have the right to earn a nafkah iddah from the former husband. Meanwhile, former husband has the obligation to provide a living and mut'ah. Former husband's rights i.e. rights to refer to former wife during masa iddah and right not to give a living when the wife of shirking its obligations during the masa iddah.]"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2016
S61741
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustin Budiningsih
"Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Orang pribadi atau Badan yang mempunyai hak dan kewajiban pajak tersebut disebut Wajib Pajak. Seorang Wajib Pajak dapat menunjuk seorang Kuasanya untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal itu dapat dilaksanakan apabila Wajib Pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya. Orang yang menerima Kuasa tersebut disebut Kuasa Wajib Pajak. Pernyataan tersebut diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan Pasal 32 Ayat (3) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, seorang Kuasa harus memenuhi persyaratan tertentu untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Dalam penelitian ini penulis mengambil permasalahan mengenai ketentuan pemberian kuasa dengan menggunakan Surat Kuasa Khusus. Penulis menggunakan metode yuridis normatif yakni dengan mengambil salah satu konflik sistem hukum pada objek peraturan tertentu. Objek terletak pada Surat Kuasa Khusus. Penulis mengambil permasalahan mengenai ketentuan pemberian kuasa dengan menggunakan Surat Kuasa Khusus. Surat Kuasa Khusus ini diperlukan untuk urusan tertentu dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Pengertian urusan tertentu antara lain pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dalam rangka pemeriksaan, pengajuan keberatan, permohonan fasilitas perpajakan, dan pengisian serta penandatanganan Surat Pemberitahuan (SPT). Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan yang digunakan adalah pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008. Kontroversi pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 22/PMK.03/2008 bagi yang mempunyai profesi dalam bidang perpajakan khususnya Seorang Kuasa Khusus yang bukan Konsultan menarik perhatian penulis untuk menjadikannya sebagai pokok permasalahan dalam tesis ini. Hasilnya dituangkan dalam kesimpulan bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa khusus dari Wajib Pajak dibatasi dari segi peran kuasa Wajib Pajak yang berasal dari Konsultan Pajak maupun peran karyawan dari Wajib Pajak(bukan konsultan) dan menyebabkan terbatasnya urusan untuk menjalankan hak dan kewajibannya Perpajakan.

Tax is a compulsory contribution from the person, to the goverment to defray the expence incurered in the common interest of all,with litte reference to special benefit conferred. An individual or agency who has the rights and obligations of such tax called Tax Payer. A taxpayer may appoint a Proxy to perform rights and obligations of taxation. It can be done if the taxpayer is may not conduct its own rights and obligations of taxation. People who receive a Power of Attorney is called the Taxpayer Authorization. The statement set forth in Laws of Article 32 Paragraph (3) of the Act on General Rules and Administration of Taxation, an Authorization must meet certain requirements to exercise the rights and obligations of taxpayers taxation. In this research, the authors take issue regarding the provision of power by using the Special Power of Attorney. The author uses the method of normative conflict by taking one of the legal system on the object of certain regulations. The object is located in the Special Power of Attorney. The author takes issue regarding the provision of power by using the Special Power of Attorney. Special Power of Attorney is required for certain matters in exercising their rights and obligations of taxation. Understanding of certain matters including the implementation of rights and tax obligations in the framework of the examination, appeal, application for tax incentives, and filling and signing (SPT). Legislation regarding the taxation that is used is article 32 paragraph (3) of Law Number 28 Year 2007 concerning General Provisions and Procedures for taxation and regulation of the Minister of Finance Number 22/PMK.03/2008. Controversies in Regulation of the Minister of Finance Number. 22/PMK.03/2008 for those who have a profession in the field of taxation, especially A Special Power Consultant who is not attracted the attention of the writer to make it as a principal problem in this thesis. The result stated in the conclusion that the requirements and the implementation of the rights and obligations of a special authorization from the taxpayer's role is limited in terms of power that comes from taxpayers as well as the role of Tax Consultant employees from the taxpayer (not the consultant) and caused limited to running the affairs of their rights and obligations Taxation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T38070
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Devi Melissa
"Perkawinan merupakan hal dasar yang paling berpengaruh dalam penentuan status hukum seseorang, dimana membawa akibat yuridis salah satunya terhadap harta kekayaan. Menurut KUHPerdata, perkawinan menyebabkan terjadinya percampuran bulat harta kekayaan. Di sisi lain, dalam UU No. 1Tahun 1974 dipisahkan antara harta bawaan dan harta bersama. Pengaturan tersebut dapat disimpangi dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat dengan tujuan memisahkan harta kekayaan dalam perkawinan serta melindungi suami atau isteri dari tindakan yang dapat merugikannya. Namun demikian, perjanjian perkawinan seringkali menimbulkan masalah terutama terkait dengan pewarisan, yaitu apakah perjanjian perkawinan dapat menghapus hak mewaris suami/isteri. Hasil penelitian penulis menyatakan bahwa dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diperjanjikan mengenai pelepasan hak waris serta perjanjian perkawinan merupakan bidang hukum keluarga berbeda dengan perjanjian dalam asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata yang merupakan bidang hukum perikatan. Dengan demikian, perjanjian perkawinan tidak menghapus hak mewaris suami/isteri. Adapun, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu menggunakan bahan hukum primer dan sekunder.

Marriage underlies the determination of someone legal status, which followed by legal consequences mainly in material property. According to KUHPerdata, marriage causes a fully joint marital property. On the other hand, UU No. 1 Tahun 1974 divides innate property and joint marital property. That consequence could be neglected by doing marriage agreement with the purpose of separating material property between husband and wife in order to protect themselves from harm actions. However, marriage agreement often leads to a matter regarding inheritance, whether marriage agreement could abolish someone?s inheritance rights or not. The results of this research explain that husband and wife are not allowed to set a clause about obliteration of inheritance rights on marriage agreement due to the principle of family law, where in inverse proportion with clause of agreement in article 1338 KUHPerdata as part of contract law. Thus, marriage agreement doesn't wipe off husband and wife?s inheritance rights. The research method used in writing this thesis is normative law, namely focused on primary and secondary legal materials."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S53322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zico Fernando
"Tindakan hukum berupa pengalihan asset oleh Debitur Pailit dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. Pembatalan tersebut disebut Actio Pauliana yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Namun demikian pada prakteknya tidak mudah untuk memintakan pembatalan terhadap perbuatan hukum Debitor kepada pengadilan. Dari beberapa pengajuan hanya Actio Pauliana pleh kurator, sampai saat ini, hanya segelintir yang dikabulkan oleh hakim. Adanya beberapa putusan Actio Pauliana menyatakan Pengadilan Niaga tidak berwenang memeriksa perkara Actio Pauliana dengan alasan kewenangannya merupakan Pengadilan Negeri.

Legal action in the form of transfer of assets by Debtor Bankruptcy may be requested cancellation to the court. Cancellation is called actio Pauliana provided for in Article 41 through Article 50 of Law No. 37 of 2004. However, in practice it is not easy to request cancellation of the debtor to the court legal action. From some of the submissions only actio Pauliana pleh curator, to date, only a handful have been granted by the judge. The existence of several decisions of the Commercial Court declared actio Pauliana unauthorized actio Pauliana examine cases on the grounds its authority is the District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Satria Adinugraha
"The regulations regarding the Restoration of Cultural Heritage were established from the restriction of its removal. The main treaty providing the norm to restore the removed Cultural Heritage from the State of origin is 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Through this convention, State, as a subject in international law, was given a set of Rights and Obligations to claim for its Restoration. Indonesia as a developing State has its own interest in the Restortion of Cultural Heritage after its independence, including from Netherlands. Through this thesis, the author analyses the practice in the case of the Restoration from Netherlands to Indonesia, Indonesian Law No. 11 of 2010 on Cultural Heritage, and the urgency of Indonesia to become a State party to 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property.

Ketentuan mengenai Pengembalian Benda Cagar Budaya muncul dari ketentuan pelarangan pemindahan atasnya. Perjanjian Internasional yang terutama dalam mengatur Pengembalian Benda Cagar Budaya kepada Negara asal adalah 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property. Dalam konvensi tersebut Negara sebagai subyek hukum internasional yang diberikan seperangkat Hak dan Kewajiban untuk mengajukan klaim Pengembalian. Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki kepentingan Pengembalian Benda Cagar Budaya dari Negara-Negara maju pasca kemerdekaan, salah satunya dari Belanda. Penulisan ini melakukan analisis terhadap praktik Pengembalian yang selama ini telah dilakukan oleh Belanda ke Indonesia, UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, dan kepentingan Indonesia menjadi Negara peserta Konvensi 1970 UNESCO Convention on the Means of Prohibiting Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S61117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adellina Syariffa
"Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peratuan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Untuk menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan hak dan kewajiban ingkar serta untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya peraturan lebih lanjut yang mengatur mengenai hal tersebut di atas. Penelitian ini permasalahannya mengenai tidak adanya peraturan yang mengatur secara hukum positif mengenai hak dan kewajiban ingkar dan mengkaji pelaksanaan kewajiban dan hak ingkar PPAT akibat dari adanya ketentuan mengenai kewajiban dan hak Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk menjaga rahasia jabatan dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum, serta untuk mengetahui akibat hukum bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuka rahasia jabatannya dalam proses peradilan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku serta teori-teori hukum yang ada, kemudian dilengkapi dengan wawancara dari narasumber yang relevan. Hasil penelitian ini disajikan secara deskriptif. Disimpulkan bahwa PPAT sebagai pejabat umum memiliki hak dan kewajiban ingkar terkait rahasia jabatannya terhadap akta yang dibuatnya, sehingga dapat membeaskan PPAT dari kewajiban sebagai saksi/memberikan kesaksian di muka pengadilan, atau membebaskan PPAT dari segala tuntutan hukum dari piha/pihak-pihak yang berkepentingan apabila menurut ketentuan hukum ia diwajibkan memberikan kesaksian.

Land Deed Making Officer (PPAT) in carrying out their duties and responsibilities based on Government Regulation Number 24 of 2016 concerning Amendments to Government Regulation Number 37 of 1998 concerning the Rule of Position of Land Deed Making Officials. To ensure legal certainty regarding the implementation of the position of the Land Deed Officer relating to denial rights and obligations and to protect the public interest there needs to be further regulations governing the above. This research is a problem regarding the absence of positive legal regulations regarding denying rights and obligations and reviewing the implementation of PPAT's obligations and denial due to the provisions regarding the obligations and rights of Land Deed Officials to maintain the secret of office in carrying out their positions as public officials, and to know the legal consequences for the Land Deed Making Officer who discloses the secret of his position in the judicial process. This research is a normative juridical research, namely research conducted by examining the prevailing laws and regulations as well as existing legal theories, then supplemented by interviews from relevant sources. The results of this study are presented descriptively. It was concluded that PPAT as a public official has infidelity rights and obligations related to the secret of his position to the deed he made, so he can issue PPAT from the obligation as a witness/testify before the court, or release PPAT from all lawsuits from the parties/interested parties if according to legal provisions he is obliged to give a testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel
"Peninjauan kewajiban dokter dalam penelitian ini dikarenakan maraknya malpraktik dokter di Indonesia yang sarat akan pelanggaran kewajiban dokter di dalamnya. Penelitian ini membahas konsep kewajiban secara filsofis dan yuridis; melihat kewajiban dokter dalam undang-undang tentang praktik kedokteran dan kewajiban dokter dalam kode etik dokter Kodeki ; serta meninjau penerapan kewajiban dokter pada putusan Nomor 365K/Pid/2012.
Tujuan penelitian untuk mengetahui serta memahami konsep kewajiban, baik secara filosofis maupun yuridis terutama dalam kaitannya dengan profesi dokter. Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangan Pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Jenis data berupa data sekunder. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Laporan penelitian berbentuk deskriptif-analitis.
Kesimpulan penelitian yaitu: terdapat perbedaan konsep kewajiban secara filosofis dengan konsep kewajiban secara yuridis; terdapat perbedaan kewajiban dokter dalam undang-undang tentang praktik kedokteran dengan kewajiban dokter dalam Kodeki; serta terdapat pelanggaran kewajiban dokter dalam putusan Nomor 365K/Pid/2012.

The review of physician 39 s obligation in this research is caused by the malpractice of doctor in Indonesia which is full of violation of doctor 39 s obligation in it. This research discusses the concept of philosophical and juridical obligations see the doctor 39 s obligations in the law on medical practice and the obligations of doctors in the code of conduct of doctors Kodeki as well as reviewing the application of physician obligations to the decision Number 365K Pid 2012.
The purpose of research to know and understand the concept of obligations, both philosophically and juridically, especially in relation to the profession of doctors. This research is normative juridical. Problem approach using the legislation approach The collection of data in the form of literature study. Data type is secondary data. Data analysis is done qualitatively. The research report is descriptive analytical.
The conclusion of the research are there are differences of concept of philosophical obligation with the concept of juridical obligation there is a difference of physician 39 s obligation in the law on medical practice with the doctor 39 s duty in Codeci and there is a violation of the obligations of doctors in the decision Number 365K Pid 2012.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S70296
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Cathleen
"Hak dan Kewajiban Suami Istri merupakan bagian dari Hukum Keluarga yang mengatur apa-apa saja yang menjadi baik hak maupun kewajiban masing-masing suami atau istri dalam sebuah perkawinan menurut Hukum Perdata. Secara khusus, pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam UU Perkawinan di Indonesia dan Code Civil di Prancis. Perbedaan-perbedaan yang ada antara hak dan kewajiban perdata suami dan istri di Indonesia dan Prancis memunculkan pertanyaan mengenai tingkat kesetaraan antara hak dan kewajiban suami istri di tiap-tiap negara dan implementasinya. Dalam skripsi ini, penulis menemukan bahwa meskipun dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri di Indonesia dan Prancis terdapat beberapa kesamaan dari segi substansi, namun tedapat juga perbedaan-perbedaan fundamental yang terletak pada pembedaan hak dan kewajiban pasangan dalam perkawinan berdasarkan jenis kelamin di Indonesia. Pengaturan di Indonesia secara prinsip menempatkan suami pada posisi yang lebih tinggi dalam keluarga dengan titel “kepala keluarga” melalui Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan. Kewajiban perdata suami dan istri dalam perkawinan juga masih sarat dengan bias stereotip gender, dengan menyematkan kewajiban yang “maskulin” yakni melindungi dan mencari nafkah kepada suami dan kewajiban yang “feminin” yakni mengurus rumah tangga kepada istri berdasarkan Pasal 34 UU Perkawinan. Sementara itu, hak dan kewajiban perdata suami dan istri dalam perkawinan di Prancis sudah mencapai kesetaraan yang sempurna di mata hukum dengan ketiadaannya pembedaan antara hak dan kewajiban perdata suami dan istri berdasarkan jenis kelamin. Kewajiban untuk saling membantu dalam bentuk devoir d’assistance, kewajiban untuk berkontribusi terhadap biaya rumah tangga (charge de marriage), dan Kewajiban suami dan isteri untuk memberi makan, merawat dan membesarkan anak-anak mereka (l’obligation des père et mère de nourrir, entretenir et élever leurs enfants) sama sekali seimbang antara kedua pasangan tanpa memperhatikan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan hukum mengenai hak dan suami istri di Prancis lebih setara ketika dibandingkan dengan hak dan kewajiban suami istri di Indonesia.

The Rights and Obligations of Husband and Wife is a section of Family Law that regulates what are the rights and obligations of each husband or wife in a marriage according to Civil Law. In particular, the regulation of the rights and obligations of husband and wife is regulated in the Marriage Law in Indonesia and the Code Civil in France. The existing differences between the civil rights and obligations of husband and wife in Indonesia and France lead to questions regarding the level of equality between the rights and obligations of husband and wife in each country. In this thesis, the author finds that although there are some substantive similarities in the regulation of the rights and obligations of husband and wife in Indonesia and France, there are also fundamental differences that lie in the distinction of the rights and obligations of spouses in marriage based on gender in Indonesia. The Indonesian regulation in principle places the husband in a higher position in the family with the title "head of the family" through Article 31 paragraph (3) of the Marriage Law. The civil obligations of husbands and wives in marriage are also still laden with gender stereotyping bias, by assigning the "masculine" obligation of protecting and earning a living to the husband and the "feminine" obligation of taking care of the household to the wife based on Article 34 of the Marriage Law. Meanwhile, the civil rights and obligations of husband and wife in marriage in France have achieved perfect equality in the eyes of the law with no distinction between the rights and civil obligations of husband and wife based on gender. The civil rights and obligations of husbands and wives in French marriage law have achieved perfect equality in the eyes of the law with no distinction between the rights and obligations of husbands and wives based on gender. The obligation to help each other in the form of devoir d'assistance, the obligation to contribute towards household expenses (charge de marriage), and the obligation of husband and wife to feed, care for and raise their children (l'obligation des père et mère de nourrir, entretenir et élever leurs enfants) are completely equal between the two spouses without regard to gender. This shows that the legal arrangements regarding the rights and obligations of husband and wife in France are more equal when compared to the rights and obligations of husband and wife in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Nasrul Hamzah
"Pasal 2 UU No. 1/1974 yang terdiri dari dua ayat telah melahirkan dikotomi tentang kedudukan hukum nikah dan talak di bawah tangan yaitu sah menurut Hukum Islam, tetapi tidak diakui oleh negara atau tidak sah. Di kalangan ulama atau sarjana Islam ada pendapat yang menyatakan, bahwa sahnya perkawinan tidak ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat nikah semata-mata tetapi wajib di ikuti dengan pendaftaran. Guna melindungi masyarakat pada umumnya dan umat Islam khususnya supaya terhindar dari akibat hukum yang merugikan dan berbagai dampak negatif yang cukup luas dari nikah dan talak di bawah tangan perlu ditempuh langkah-langkah positif antara lain: i) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan dan perceraian serta kerugian yang mungkin ditimbulkannya, ii) meningkatkan peranan lembaga-lembaga yang berkompeten atau tokoh-tokoh masyarakat dalam mensosialisasikan ketentuan mengenai pencatatan perkawinan dan perceraian, dan iii) mempertegas peraturan mengenai pencatatan perkawinan dan perceraian"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nashruddin Thaha
Jakarta: Bulan Bintang, 1967
297.577 NAS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>