Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62367 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Anggreini Putri
"Eceng gondok merupakan gulma perairan dengan pertumbuhan sangat cepat. Berbagai usaha pemanfaatan eceng gondok saat ini belum mampu mengimbangi pertumbuhannya. Eceng gondok mempunyai kandungan serat yang tinggi (mencapai 20% berat) sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku pembuatan komposit dan industri tekstil. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kadar air di dalamnya. Jika ingin dimanfaatkan sebagai bahan baku komposit dan tekstil, kadar air serat eceng gondok harus di bawah 10%, sedangkan pada keadaan awal kadar airnya dapat mencapai lebih dari 90%. Untuk itu, dibutuhkan pretreatment awal berupa proses pengeringan eceng gondok. Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Mixed Adsorption Drying merupakan salah satu inovasi metode yang dapat menggantikan proses pengeringan konvensional. Metode fluidisasi sudah umum digunakan untuk digunakan untuk pengeringan produk pertanian dan farmasi, dapat ditingkatkan kemampuannya jika digabungkan dengan adsorpsi. Pada proses pengeringan dengan sistem fluidisasi-adsorpsi akan terjadi penguapan air dari eceng gondok oleh udara pengering dan di saat yang sama adsorbent akan menjerap uap air di udara ini sehingga kelembaban udara dapat dijaga rendah. Variabel yang diubah dalam penelitian ini berupa suhu dan jumlah adsorben. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi suhu dan jumlah adsorben, maka laju pengeringan juga akan semakin cepat. Suhu optimum dalam penelitian ini adalah 60 ℃ dan rasio eceng gondok: fly ash optimum adalah 50:50. Selain itu, dari dua variabel optimum tersebut didapatkan difusivitas efektif sebesar 6,64E-7.

Water hyacinth is an aquatic weed which is growth very fast. Various utilization of water hyacinth is not currently able to compensate the growth. Water hyacinth has a high fiber content (up to 20% by weight) so it has the potential to become raw material for making composites and textile industries. The quality of water hyacinth fiber is strongly influenced by the water content in it. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used as composite and textile industry raw material, that is below 10%. Drying by Mixed Adsorption Drying method is one of the innovative methods that can replace conventional drying process. Fluidization method is commonly used for used for drying agricultural products and pharmaceuticals, can be enhanced when combined with adsorption. The independent variable in this study are temperature and the amount of adsorbent. The result showed that if the temperature and the amount of adsorbent is higher, the drying rate will also fast. The optimum temperature in this study wis 60 ℃ and the optimum ratio of water hyacinth and fly ash is 50:50. In addition, two variables optimum effective diffusivity obtained by 6,64E-7."
2016
S62046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Razanah Zharfan
"Eceng gondok merupakan gulma perairan yang dapat dimanfaatkan seratnya menjadi bahan baku industri tekstil, kertas, dan komposit. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kandungan air di dalamnya. Sebagai tanaman air, eceng gondok mempunyai kandungan air awal tinggi, di atas 90%. Perlu proses pengeringan untuk mengurangi kandungan air yang tinggi tersebut hingga menjadi rendah dan dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan, yaitu di bawah 10%. Mixed Adsorption Drying dengan Unggun Terfluidisasi adalah metode pengeringan eceng gondok dengan terlebih dahulu mencampurkannya dengan adsorbent fly ash pada rasio campuran tertentu, lalu mengeringkannya dengan prinsip fluidisasi menggunakan udara pengering. Fly ash digunakan sebagai adsorbent karena memiliki kandungan silika dan alumina yang dapat mengadsorp air selama proses pengeringan. Parameter yang mempengaruhi proses pengeringan dengan metode ini yaitu suhu udara pengering, kecepatan udara pengering, dan rasio campuran eceng gondok-fly ash. Dari penelitian yang dilakukan, nilai masing-masing parameter yang memberikan waktu pengeringan tercepat untuk mengeringkan eceng gondok dari kandungan air awal 94.7% menjadi di bawah 10% adalah suhu 60oC, kecepatan 2 m/s, dan rasio campuran 50:50. Secara keseluruhan, kondisi operasi yang memberikan nilai kecepatan pengeringan pada constant rate tertinggi, 0.01535 gr uap air/cm2.menit, adalah suhu udara pengering 60oC, kecepatan udara pengering 2 m/s, dan rasio campuran eceng gondok-fly ash 50:50.

Water hyacinth is aquatic weed that actually its fiber can be utilized into raw material of textile, paper, and composite industry. The quality of hyacinth fiber is strongly influenced by its moisture content. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used for various purposes, that is below 10%. Mixed Adsorption Drying in fluidized-bed is drying method that will mix water hyacinth with fly ash adsorbent first, then dry it with fluidization principle using drying air. Fly ash is used as adsorbent because it consists mainly of silica and alumina which has capability to adsorp moisture. Parameter of drying process are drying air temperature, drying air velocity, and ratio of water hyacinth-fly ash mixture. Research shows the value of each parameter that gives fastest drying time to reduce water content from 94.7% into below 10% are temperature 60oC, velocity 2 m/s, and ratio of mixture 50:50. Operating condition that give highest constant drying rate, 0.01535 gr moisture/cm2.minute, are drying air temperature 60oC, drying air velocity 2 m/s, and ratio of water hyacinth-fly ash mixture 50:50."
2014
S58848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winni Rezki Wulandari
"Salah satu nutrien utama yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada sistem akuatik adalah senyawa fosfat. Jumlah fosfat yang tinggi di sistem akuatik mengakibatkan kualitas air menjadi menurun dan keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Fenomena eutrofikasi ini dapat diatasi dengan suatu metode, yaitu adsorpsi yang dipengaruhi oleh suatu adsorben. Abu terbang batubara telah menjadi perhatian oleh para peneliti untuk dijadikan sebagai adsorben dalam adsorpsi fosfat. Dalam penelitian ini, dilakukan modifikasi abu terbang dengan asam, yang terdiri dari H2SO4, HCl dan campuran kedua asam tersebut serta dilakukan modifikasi abu terbang menggunakan basa, yaitu NaOH secara hidrotermal. Hasil modifikasi abu terbang dikarakterisasi dengan menggunakan XRF, XRD, SEM, FTIR dan SSA lalu dijadikan sebagai adsorben untuk adsorpsi fosfat dan dibandingkan dengan abu terbang tanpa modifikasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi fosfat dari abu terbang termodifikasi asam dan abu terbang modifikasi basa secara hidrotermal memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan abu terbang tanpa modifikasi. Abu terbang termodifikasi asam, yaitu HCl, H2SO4 dan campuran kedua asam tersebut memiliki kapasitas adsorpsi masing-masing mencapai 0,606 mg P-PO4/g, 0,655 mg P-PO4/g, dan 0,705 mg P-PO4/g
dengan %efisiensi adsorpsi sebesar 73,58%, 79,60% dan 85,62%. Abu terbang modifikasi basa secara hidrotermal memiliki kapasitas adsorpsi mencapai 0,677 mg P-PO4/g dengan %efisiensi sebesar 82,27%. Sementara, abu terbang tanpa modifikasi memiliki kapasitas adsorpsi mencapai 0,485 mg P-PO4/g dengan %efisiensi sebesar 60,07%. Kondisi pH optimum adsorpsi fosfat diperoleh pada pH 7 untuk adsorben abu terbang yang telah
dimodifikasi dan pH 5 untuk abu terbang tanpa modifkasi. Model isoterm yang sesuai pada kelima adsorben ini adalah isoterm Freundlich.
One of the main nutrients that causes eutrophication in aquatic systems is phosphate compounds. The high amount of phosphate in the aquatic system results in decreased water quality and the balance of the ecosystem is disturbed. This eutrophication phenomenon can be overcome by a method, namely adsorption which is influenced by an adsorbent. Coal fly ash has been of interest by researchers to be used as an adsorbent in phosphate adsorption. In this study, fly ash was modified with acid, consisting of H2SO4, HCl and a mixture of the two acids and modified fly ash using a base, namely NaOH hydrothermally. The modified fly ash was characterized using XRF, XRD, SEM, FTIR and AAS and then used as an adsorbent for phosphate adsorption and compared with fly ash without modification. The results showed that the phosphate adsorption capacity of acid modified fly ash and base modified fly ash hydrothermally had a higher value than unmodified fly ash. Acid-modified fly ash, namely HCl, H2SO4 and a mixture of the two acids had adsorption capacities of 0.606 mg P-PO4/g, 0.655 mg P-PO4/g, and 0.705 mg P-PO4/g respectively.
with % adsorption efficiency of 73.58%, 79.60% and 85.62%. Hydrothermal base modified fly ash has an adsorption capacity of 0.677 mg P-PO4/g with an efficiency of 82.27%. Meanwhile, unmodified fly ash has an adsorption capacity of 0.485 mg P-PO4/g with an efficiency of 60.07%. The optimum pH conditions for phosphate adsorption were obtained at pH 7 for fly ash adsorbents that had been modified and pH 5 for fly ash without modification. The suitable isotherm model for these five adsorbents is the Freundlich isotherm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aini Nadhokhotani Herpi
"Fosfat merupakan nutrien pembatas dalam peristiwa eutrofikasi sehingga dibutuhkan sebuah metode untuk menangani kandungan fosfat berlebih dalam sistem akuatik. Penelitian ini menyajikan optimasi penggunaan debu terbang sebagai adsorben. Debu terbang diberikan pra-perlakuan asam, disintesis dengan menggunakan metode hidrothermal untuk menghasilkan zeolit NaP1 kemudian dimodifikasi dengan menggunakan metode ion exchange menghasilkan zeolit LaP1. Pengaruh ketiga material hasil sintesis terhadap kapasitas adsorpsi diuji pada 5 parameter meliputi variasi konsentrasi adsorben, variasi pH, variasi waktu kontak, variasi konsentrasi fosfat dan variasi suhu. Isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich dievaluasi untuk mengetahui mekanisme adorpsi pada ketiga material. Zeolit LaP1 merupakan adsorben paling efektif untuk adsorpsi fosfat dengan kapasitas adsorpsi mencapai 46.582 mg g-1 pada jumlah adsorben 0.025 gram, pH 7 dan konsentrasi fosfat 10 mg L-1. Pola kinetika adsorpsi adsorben LaP1 mengikuti kinetika orde semu kedua, sementara pola adsorpsi mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir. Kajian termodinamika adsorpsi menghasilkan nilai ΔG yang meningkat, sementara nilai ΔH dan ΔS berturut-turut sebesar 19.62 kJ mol-1 dan 98.33 J K-1 mol-1 menunjukkan bahwa adsorpsi fosfat bersifat spontan dan endotermik.

Phosphate is a limiting nutrient in the eutrophication process, so a method is needed to reduce phosphate excess in the aquatic system. This study presents an optimization of the use of fly ash as an adsorbent. Fly ash was treated by acid then synthesized using the hydrothermal method to produce NaP1 zeolite and then using the ion exchange method produce LaP1 zeolite. The effect of the three synthesized materials on the adsorption capacity was tested on 5 parameters including variations in the concentration of adsorbent, variations in pH, variations in contact time, variations in phosphate concentration, and variations in temperature. Langmuir and Freundlich adsorption isotherms were evaluated to determine the mechanism of adsorption in the three materials. Zeolite LaP1 is the most effective adsorbent for phosphate adsorption with an adsorption capacity of 46.582 mg g-1 at 0.025 gram of adsorbent, pH 7, and 10 mg L-1 concentration of phosphate. The adsorption kinetics of LaP1 followed the pseudo-second-order kinetics, while the adsorption pattern followed the Langmuir adsorption isotherm. Thermodynamic studies of adsorption resulted in an increased ΔG value, while the ΔH and ΔS values were 19.62 kJ mol-1 and 98.33 J K-1 mol-1, respectively, indicating that phosphate adsorption was spontaneous and endothermic.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Thariq
"Persediaan kayu yang terus menipis namun permintaan yang tinggi membuat dunia beralih kepada papan partikel. Eceng gondok dikenal sebagai gulma perairan merupakan serat alam yang berpotensi sebagai bahan dasar papan partikel. Sifat mekanik yang tinggi dan ketersediaan yang melimpah dapat menjadikan eceng gondok sebagai serat dalam komposit papan partikel. Fly ash merupakan hasil pembakaran batubara yang terbukti dapat meningkatkan sifat pada komposit papan semen partikel. Pada penelitian ini eceng gondok diberi tambahan fly ash dan dibuat menjadi papan partikel dengan mencampurkannya dengan resin urea formaldehid. Papan partikel 30% eceng gondok dan 70% resin urea formaldehid merupakan papan partikel yang memiliki kekuatan patah yang paling baik. Sedangkan penambahan fly ash menurunkan sifat mekanis pada papan partikel eceng gondok dengan urea formaldehid.

Supply of wood is constantly decreases but the demand is increase, makes people move from wood to particle board. Water hyacinth is an aquatic weed which has potential of natural fiber as raw material particle board composite. High mechanical properties and availability are the reason water hyacinth can be natural fiber in particle board composite. Fly ash from coal combustion can be used to increase mechanical characteristics of particle cement board composites. Water hyacinth is added with fly ash and mix with urea formaldehyde to be particle board. 30% water hyacinth and 70% urea formaldehyde particle board shows the best characteristics. Besides adding fly ash decrease the mechanics characteristics of water hyacinth with urea formaldehyde particle board."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47626
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiandi Priantoso
"Proses pengeringan dilakukan untuk memperpanjang daya simpan produk, mengurangi volume dan berat produk sehingga produk tersebut lebih awet dan mudah untuk didistribusikan. Umumnya masalah yang sering terjadi adalah produk yang tidak dapat kering (lengket) akibat rendahnya temperatur glass transition serta tidak kering akibat kurangnya energi pengeringan. Selain itu temperatur pengeringan yang tinggi dapat merusak kandungan vitamin pada produk yang dihasilkan. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah air murni dan tomat dengan penambahan 25% maltodextrin, dengan parameter pengeringan: kelembaban spesifik udara masuk 0.00763 dan 0.01213 (kg/kgda), tekanan nozzle 2 (bar), aliran bahan 0.005 dan 0.0025 (liter/menit), aliran udara pengering 17, 24, 30, 35 (m3/h).
Hasil dan analisa menyimpulkan bahwa Temperature minimum udara pengeringan pada larutan tomat lebih tinggi dibandingkan air. Temperature udara pengeringan yang paling minimum terjadi pada debit udara 35 m3/h, kelembaban spesifik 0.00763 kg/kgda, serta debit bahan 0.0025 liter/menit yaitu 360C untuk air dan 400C untuk larutan tomat. Semakin tinggi debit bahan maka semakin tinggi pula temperatur minimum udara pengeringannya. Semakin tinggi kelembaban spesifiknya maka semakin tinggi temperature minimum udara pengeringnya. Semakin rendah debit udaranya maka semakin tinggi temperature minimum udara pengeringnya.

The drying process carried out to extend the shelf life of the product, reducing the volume and weight of the product so that the product is more durable and easier to distribute. Generally, a problem that often occurs is the product that can not be dried (sticky) due to the low glass transition temperature and does not dry up due to lack of energy draining. Besides the high drying temperatures can damage the vitamins in the product. The materials used in this study is pure water and tomatoes with the addition of 25% maltodextrin, with drying parameters: inlet air specific humidity 0.00763 and 0.01213 (kg/kgda), the pressure nozzle 2 (bar), the flow of material 0005 and 0.0025 (liters/min) , the flow of air dryer 17, 24, 30, 35 (m3/h).
Results and analysis concluded that the minimum Temperature of air drying tomatoes in the solution is higher than the water. The drying air temperature minimum occurs at air discharge 35 m3/h, specific humidity 0.00763 kg/kgda, as well as the discharge of materials 0.0025 liter/menit 360C to 400C for a solution of water and tomatoes. The higher the discharge material, the higher the minimum temperature of air drying. The higher the humidity, the higher specific minimum temperature air dryer. The lower discharge air temperature, the higher the minimum air dryer.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44355
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurina Zahrah
"Debu terbang (fly ash) merupakan limbah padat sisa pembakaran batu bara yang dapat digunakan untuk adsorben dalam penyerapan senyawa fosfat dalam sistem akuatik. Jumlah senyawa fosfat yang berlebih dalam sistem akuatik dapat menyebabkan eutrofikasi, sehingga diperlukan penanganan untuk menguranginya. Dalam penelitian ini, debu terbang dimodifikasi dengan metode hidrotermal membentuk zeolite, selanjutnya zeolite debu terbang tersebut dicampurkan dengan partikel magnetite (Fe3O4) membentuk sebuah adsorben magnetik. Adsorben yang disintesis dari debu terbang dimanfaatkan untuk mengadsorpsi senyawa fosfat dari sistem akuatik. Adsorpsi fosfat oleh adsorben debu terbang diamati dalam beberapa variasi, meliputi jumlah adsorben, pH, waktu kontak, dan konsentrasi analit. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa adsorben debu terbang termodifikasi magnetite memiliki kapasitas dan efisiensi adsorpsi terbaik dibanding adsorben lainnya. Kapasitas adsorpsi maksimum fosfat yang diserap oleh adsorben debu terbang termodifikasimencapai 2,24 mg P-PO4/g dengan % efisiensi adsorpsi sebesar 90,42%. Sedangkan, debu terbang tanpa modifikasi memiliki kapasitas adsorpsi tertinggi pada 2,0107 mg P-PO4/g dengan % efisiensi adsorpsi sebesar 80,51% dan kapasitas adsorpsi tertinggi zeolite debu terbang adalah 2,1851 mg -PO4/g dengan % efisiensi adsorpsi 88,28%. Kondisi optimum penyerapan fosfat diperoleh pada pH asam, yaitu pH 3 untuk adsorben setelah modifikasi sedangkan pH basa, yaitu pH 11 untuk adsorben debu terbang tanpa modifikasi. Penambahan partikel magnetite memudahkan pemisahan adsorben dengan supernatan dengan bantuan medan magnet.

Fly ash is residue from coal combustion that can be used as adsorbent for phosphate compound from aquatic system. The abundance of phosphate compounds in aquatic system can lead into eutrophication, so the handling of this problem is needed. In this study, fly ash is modified with hydrothermal method to form a fly ash zeolite. The zeolite is mixed with magnetite (Fe3O4) to form a magnetic adsorbent. The adsorbent from fly ash will be used to adsorp phosphate from aquatic system. Phosphate adsorption from fly ash adsorbents observed in various parameters, such as adsorbent amount, pH, contact time, and initial phosphate concentration. The result from this study showed that fly ash modified with magnetite has the highest adsorption capacity and efficiency. The maximum phosphate adsorption capacity for the adsorbent reach 2.24 mg P-PO4/gand 90,42% for the % adsorption efficiency. Meanwhile, the adsorption capacity of unmodified fly ash is 2,0107 mg P-PO4/g with 80,51 for the %adsorption efficiency and the maximum adsorption capacity of fly ash zeolite is 2,1851 mg P-PO4/g with 88,28% for its % adsorption efficiency. The optimum pH condition for fly ash adsorbent after modifications are on pH 3 (acid) and the unmodified fly ash adsorbent is on pH 11 (alkaline). Magnetite particle addition eased the separation of adsorbent and supernatant using magnetic field. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurina Zahrah
"Fly ash merupakan limbah padat hasil pembakaran batubara yang dapat digunakan sebagai adsorben untuk penyerapan senyawa fosfat dalam sistem perairan. Jumlah senyawa fosfat yang berlebihan dalam sistem perairan dapat menyebabkan eutrofikasi, sehingga diperlukan penanganan untuk menguranginya. Pada penelitian ini, debu lalat dimodifikasi dengan metode hidrotermal menjadi zeolit, kemudian zeolit ​​debu lalat tersebut dicampur dengan partikel magnetit (Fe3O4) untuk membentuk adsorben magnetik. Adsorben yang disintesis dari debu lalat digunakan untuk mengadsorbsi senyawa fosfat dari sistem perairan. Adsorpsi fosfat oleh adsorben debu lalat diamati dalam beberapa variasi, antara lain jumlah adsorben, pH, waktu kontak, dan konsentrasi analit. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa adsorben debu lalat modifikasi magnetit memiliki kapasitas dan efisiensi adsorpsi yang paling baik dibandingkan dengan adsorben lainnya. Kapasitas adsorpsi maksimum fosfat yang diserap oleh adsorben debu lalat modifikasi mencapai 2,24 mg P-PO4/g dengan efisiensi adsorpsi 90,42%. Sedangkan debu terbang yang tidak dimodifikasi memiliki kapasitas adsorpsi tertinggi pada 2.0107 mg P-PO4/g dengan % efisiensi adsorpsi 80,51% dan kapasitas adsorpsi tertinggi debu terbang zeolit ​​adalah 2,1851 mg P-PO4/g dengan % efisiensi adsorpsi. 88,28%. Kondisi optimum penyerapan fosfat diperoleh pada pH asam yaitu pH 3 untuk adsorben setelah modifikasi, sedangkan pH basa yaitu pH 11 untuk adsorben debu lalat tanpa modifikasi. Penambahan partikel magnetit memudahkan pemisahan adsorben dari supernatan dengan bantuan medan magnet.
Fly ash is a solid waste from coal combustion that can be used as an adsorbent for the absorption of phosphate compounds in aquatic systems. Excessive amounts of phosphate compounds in aquatic systems can cause eutrophication, so treatment is needed to reduce it. In this study, fly dust was modified by hydrothermal method into zeolite, then the fly dust zeolite was mixed with magnetite (Fe3O4) particles to form a magnetic adsorbent. The adsorbent synthesized from fly dust is used to adsorb phosphate compounds from the aquatic system. Phosphate adsorption by fly dust adsorbent was observed in several variations, including the amount of adsorbent, pH, contact time, and analyte concentration. The results obtained in this study indicate that the magnetite modified fly dust adsorbent has the best adsorption capacity and efficiency compared to other adsorbents. The maximum adsorption capacity of phosphate absorbed by the modified fly dust adsorbent was 2.24 mg P-PO4/g with an adsorption efficiency of 90.42%. Meanwhile, the unmodified fly dust had the highest adsorption capacity at 2.0107 mg P-PO4/g with % adsorption efficiency of 80.51% and the highest adsorption capacity of zeolite fly dust was 2.1851 mg P-PO4/g with % adsorption efficiency. 88.28%. The optimum condition for phosphate absorption was obtained at an acidic pH, namely pH 3 for the adsorbent after modification, while the alkaline pH was pH 11 for the fly dust adsorbent without modification. The addition of magnetite particles facilitates the separation of the adsorbent from the supernatant with the help of a magnetic field."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutomo Kusmarnadi B.
"Pada pembuatan komposit dengan matriks aluminium dan dengan abu terbang sebagai penguat digunakan metode stir casting. Pengunaan metode stir casting dilakukan untuk mengurangi terjadinya pembentukan kelompok pada penguat abu terbang. Selain itu, untuk meningkatkan kemampu basahan matriks dengan penguat digunakan penambahan magnesium sebagai agen pembasah. Pada penelitian magnesium menjadi variabel tetap dengan nilai volum fraksi sebesar 3% dan menggunakan abu terbang sebagai variabel pengubah dengan volum fraksi sebesar 2.5%, 4%, 6%, dan 8%. Kemudian dilakukan pengujian untuk mendapatkan data sifat mekanik akibat perubahan volum fraksi penguat. Pengujian mekanik yang dilakukan berupa pengujian tarik, pengujian kekerasan, pengujian densitas dan porositas. Selain itu, pengamatan struktur mikro, X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Eletron Microscope (SEM) digunakan sebagai pendukung untuk mendapatkan data sifat mekanik yang terjadi pada komposit bermatriks aluminium.

In fabrication of aluminum matrix composite reinforced by fly-ash writer used stir casting method in order to reduce clustering effect of reinforce. Magnesium used in order to increase the wetability of aluminum matrix. As wetability increase, aluminum matrix can bind the reinforce more. Volume Fraction of magnesium used as fixed variable with value of volume fraction of 3% magnesium used. Fly-ash used as variables with variation of volume fraction 2.5%, 4%, 6%, and 8%. After fabrication made, composite is tested by mechanical testing to observe the mechanical properties of composite. The composite tested by using tensile testing and hardness test. Microstructure observation, X-Ray Diffraction (XRD), and Scanning Electron Microscope was used to support the mechanical properties that occured at aluminum composite."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrakhman Mukhyiddin
"Penelitian ini menggunakan suatu larutan yang akan disemprotkan melalui sistem spray dengan menggunakan uap anti pelarut karena teknik ini diyakini dapat menghasilkan partikel bulat mikro yang seragam dan proses pengeringannya yang sangat singkat. Eksperimen ini juga dilakukan pada temperature ruang dan tekanan atmosfer dimana ini berbeda dibandingkan teknik lain yang dilakukan pada tekanan yang sangat tinggi seperti Supercritical Antisolvent Precipitation (SAS). Karakteristik partikel ketika dikeringkan dengan menggunakan uap etanol antipelarut atau dengan udara panas akan dipelajari. Kemudian, kombinasi paparan antara uap etanol antipelarut dan udara panas diyakini akan mendapatkan hasil yang diinginkan dengan memperhatikan laju adsorpsi etanol (detik) dan kelembapan relatif (RH%).
Dapat dilihat pada 50 detik dengan RH 90% dan 60 detik pada RH 80%, akan menghasilkan bentuk partikel bulat mikro yang seragam. Ini mengindikasikan bahwa semakin lama laju adsorpsi pada RH% yang tinggi akan menghasilkan morfologi partikel yang diharapkan. Ukuran droplet di dapat pada rentang 25-35 µm dengan ukuran partikel ketika dikeringkan adalah 0.15–0.8 μm. Pengukuran droplet dilakukan dengan menggunakan ImageJ® yang di dapat melalui observasi mikroskop dan metode In-line holografi. Sedangkan, pengukuran partikel dianalisa dengan menggunakan SEM. Dengan kemiripan morfologi partikel yang didapatkan melalui eksperimen ini, teknik baru ini diyakini lebih menguntungkan secara ekonomis dibandingkan SAS.

The research was conducted in modified spray drying system since the technique offers uniform microspheres particles and rapid dehydration rate in very short time. This was also done in normal temperature and atmospheric pressure which is different than spray drying system conducted in high pressure like Supercritical Antisolvent Precipitation (SAS). The characteristic of particles when it is dried by ethanol vapor or by hot air will be studied. Then, the combination of drying time between ethanol vapor and hot air drying leads to the expected result by considering preferable ethanol adsorption time rate (seconds) and relative humidity (RH%).
It was observed that 50 and 60 seconds with RH 90 and 80%, respectively, will initiate better formation of microspheres particles which means, the longer time and higher RH% is the better. Furthermore, the droplets size of aqueous is in the average of 25-35μm and size of the particles is in the range of 0.15–0.8 μm. The measurement of droplet size was done by ImageJ® from microscope and In-line holography observation while the particles were measured and analysed by SEM. With similar particles morphology resulted by this research to existing process like SAS, this experiment is economically more advantageous than SAS.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S53710
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>