Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shierly Citra Setiawan
"Latar Belakang: Beberapa penelitian menyatakan bahwa perawatan ortodonti non ekstraksi pada kasus borderline menyebabkan perubahan inklinasi insisif atas dan bawah yang dapat mempengaruhi profil jaringan lunak pasien.
Tujuan: Mengetahui korelasi perubahan inklinasi insisif atas dan bawah terhadap perubahan besar sudut Nasolabial dan sudut Mentolabial sebelum dan sesudah perawatan ortodonti non ekstraksi pada maloklusi kelas I.
Metode: 26 sampel penelitian sefalometri lateral sebelum dan sesudah perawatan ortodonti non ekstraksi dilakukan penapakan dan pengukuran sudut I-SN, IMPA, sudut Nasolabial, dan sudut Mentolabial. Uji statistik menggunakan uji non parametrik Wilcoxon dan uji korelasi Spearman.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada sudut I-SN dan sudut Nasolabial sebelum dan sesudah perawatan namun, terdapat perbedaan yang bermakna pada IMPA dan sudut Mentolabial sebelum dan sesudah perawatan ortodonti. Uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi negatif yang sangat lemah antara perubahan sudut I-SN terhadap perubahan sudut Nasolabial serta antara perubahan IMPA terhadap perubahan sudut Mentolabial.
Kesimpulan: Penurunan sudut I-SN disertai peningkatan sudut Nasolabial, meskipun korelasinya sangat lemah. Peningkatan sudut IMPA disertai peningkatan sudut Mentolabial, juga mempunyai korelasi yang sangat lemah.

Background: Some studies showed that non-extraction orthodontic treatment in borderline cases led to upper and lower incisor inclination changes that affected patient’s soft tissue profile.
Objective: To find out the correlation between upper and lower incisor inclination changes towards Nasolabial angle and Mentolabial angle value changes before and after non-extraction orthodontic treatment in class I malocclusion.
Method: There were 26 samples before and after lateral cephalometric of orthodontic non extraction treatment with measurement of I-SN, IMP, Nasolabial, and Mentolabial angles. Statistical test was done using non parametric Wilcoxon test and Spearman correlation test.
Result: No significant difference in I-SN angle and Nasolabial angle before and after orthodontic treatment. However, there was a significant difference in IMP and Mentolabial angles before and after orthodontic treatment. Correlation test showed a very weak negative correlation between I-SN and IMP angle changes towards Nasolabial and Mentolabial angle changes.
Conclusion: The decrease of I-SN angle is followed by the increase of Nasolabial angle, although the correlation is very weak. The increase of IMP angle is followed by the increase of Mentolabial angle, which also has a very weak correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Kartini
"Latar Belakang: Maloklusi adalah ketidakteraturan kesejajaran gigi dan/atau hubungan lengkung gigi dengan gigi yang tidak normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat menyebabkan ketidakpuasan estetika sampai masalah pada segi fungsional. Pasien dengan maloklusi memerlukan perawatan ortodonti salah satunya untuk memperbaiki maloklusi. Inklinasi dan angulasi gigi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan ortodonti yang stabil dan optimal. Tujuan: Mengetahui gambaran sudut inklinasi dan angulasi gigi anterior pada pasien maloklusi skeletal kelas I pasca perawatan ortodonti cekat di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 96 rekam medik pasien maloklusi kelas I yang telah selesai mendapatkan perawatan ortodonti cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan rerata sudut U1-SN sebesar 105,60° ± 5,80°, rerata sudut U1-PP sebesar 114,55° ± 6,21°, rerata sudut L1-MP sebesar 93,63° ± 7,94°, dan rerata sudut IMPA adalah sebesar 96,40° ± 7,96°. Rerata angulasi gigi 11 sebesar 89,03° ± 3,26°, rerata angulasi gigi 21 sebesar 90,35° ± 3,07°, rerata angulasi gigi 31 sebesar 89,28° ± 4,33°, dan rerata angulasi gigi 41 sebesar 90,61° ± 5,04°. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Inklinasi dan Angulasi Gigi Anterior pada Pasien Maloklusi Kelas I Pasca Perawatan Ortodonti Cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, rerata sudut inklinasi gigi anterior pasien termasuk dalam kisaran nilai normal, kecuali pada sudut IMPA. Rerata sudut angulasi gigi anterior pasien relatif tegak dan paralel.

Background: Malocclusion is the irregularity of teeth and is considered as oral health problem resulting from various etiological factors causing esthetic dissatisfaction to functional impartment. Patients with malocclusion require orthodontic treatment to correct the malocclusion. Inclination and angulation of teeth are one of the factors that influence the success of stable and optimal orthodontic treatment. Objective: This study aims to describe the inclination and angulation of anterior teeth on class I malocclusion patients after fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI. Methods: Cross-sectional descriptive study is done using the secondary data found in the patient’s medical record. Results: From 96 medical records of class I malocclusion patients who have completed fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the mean U1-SN angle is 105.60° ± 5.80°, the mean U1-PP angle is 114.55°. ± 6.21°, the mean angle of L1-MP is 93.63° ± 7.94°, and the mean angle of IMPA is 96.40° ± 7.96°. The mean angulation of tooth 11 is 89.03° ± 3.26°, mean angulation of tooth 21 is 90.35° ± 3.07°, mean angulation of tooth 31 is 89.28° ± 4.33°, and mean angulation of tooth 41 is of 90.61° ± 5.04°. Conclusion: Based on research on the Inclination and Angulation of Anterior Teeth on Class I Malocclusion Patients after Fixed Orthodontic Treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the inclination of anterior teeth is within the normal range, except at the IMPA angle. The angulation of anterior teeth is relatively upright and parallel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almas Edita Ramadhanti
"

Latar belakang: Maloklusi merupakan masalah gigi dan mulut dengan prevalensi terbayak ke-3 di dunia, menurut WHO. Keadaan ini tidak diimbangi dengan adanya kesadaran mengenai maloklusi dan efek buruknya. Masih banyak anak-anak dan remaja yang belum mengetahui mengenai maloklusi dan menganggap hal tersebut normal. Kesadaran terhadap maloklusi ini dapat memengaruhi kebutuhan perawatan ortodonti. Tujuan: Mengetahui hubungan antara tingkat kesadaran maloklusi dengan kebutuhan perawatan ortodonti pada remaja, korelasi komponen ICON dengan kebutuhan perawatan, dan korelasi komponen kuesioner dengan kesadaran maloklusi Metode: dilakukan penelitian potong lintang pada 56 remaja berusia 12-15 tahun. Subjek diberikan kuesioner mengenai kesadaran maloklusi dan kemudian dilakukan pencetakan rahang dan pembuatan model studi untuk dinilai kebutuhan perawatan ortodontinya berdasarkan ICON. Hasil: Berdasarkan uji Chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kesadaran maloklusi dengan kebutuhan perawatan ortodonti (P>0,05). Berdasarkan uji Kendall’s tau-b, komponen estetika dental dan pertanyaan mengenai masalah pada gusi mempunyai korelasi paling besar terhadap kebutuhan perawatan dan kesadaran maloklusi. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kesadaran mengenai maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada remaja, kompnen estetika dental dan pertanyaan mengenai masalah pada gusi mempunyai korelasi paling besar.

 


Background: Malocclusion is the third most common oral problem in the world. This situation is not supported with an adequate awareness of malocclusion. There are still children and adolescents who are not aware about malocclusion and consider the situation is normal. Awareness of malocclusion can influence the need for orthodontic treatment. Objectives: Discover the relationship between malocclusion awareness and orthodontic treatment needs among adloescent, correlation between ICON components and treatment needs, and correlation between questionaire component with awareness of malocclusion Methods: A cross-sectional study was done towards adolescents aged 12-15. They were given questionaire about awareness of malocclusion and jaws impressing were also done which were used to make study models in order to determine the treatment needs according to ICON. Result: According to Chi-square test, there is no statistically significant difference between awareness of malocclusion and orthodontic treatment needs (P>0,05).  Based on Kendall’s tau-b test dental aesthetic and question about gum problems have the greatest correlation toward treatment needs and malocclusion awareness. Conclusion: There is no relationship between malocclusion awarenes and orthodontic treatment needs among adolescent. Dental aesthetic and question about gum problems have the greatest correlation toward treatment needs and malocclusion awareness.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Adriani
"Pengukuran inklinasi insisif atas dan pola skeletal vertikal menggunakan berbagai bidang referensi sefalometri seperti bidang SN, FHP, dan maksila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengukuran dan skor interpretasi sudut inklinasi insisif atas antara sudut I?SN dengan I?MxP dan pola skeletal vertikal antara sudut FMPA, SNMP, dan MMPA. Pengukuran dilakukan pada 25 sefalogram. Terdapat perbedaan hasil pengukuran dan skor interpretasi yang bermakna (p<0,05) antara sudut I?SN dan I?MxP, dan antara FMPA, SNMP, dan MMPA. Pengukuran inklinasi insisif dan pola skeletal vertikal dengan menggunakan bidang referensi sefalometri berbeda dapat memberikan hasil interpretasi yang berbeda.

Upper incisor inclination and vertical skeletal pattern measurements use various cephalometric reference planes such as SN plane, FHP, and maxillary plane. This study aims to analyze the difference of measurement results and interpretation scores of upper insicor inclination between I?SN and I?MxP and vertical skeletal pattern between FMPA, SNMP, and MMPA. Measurements were conducted on 25 cephalograms. There was significant measurement results and interpretation scores difference (p<0.05) between I?SN and I?MxP, and between FMPA, SNMP, and MMPA. Upper incisor inclination and vertical skeletal pattern measurements using various cephalometric reference planes can give different interpretation results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Elton Heryanto
"Pendahuluan : Pasien maloklusi kelas III skeletal hiperdivergen memiliki tulang alveolar simfisis mandibula yang tipis. Perawatan ortodonti pada kasus maloklusi kelas III skeletal memiliki pergerakan gigi anterior yang terbatas. Retraksi anterior insisif bawah yang terbatas merupakan perawatan kamuflase untuk mengatasi maloklusi kelas III skeletal. Tujuan : Menganalisis perubahan ketinggian dan ketebalan tulang alveolar simfisis mandibula sebelum dan sesudah perawatan ortodonti cekat maloklusi kelas III hiperdivergen. Metode : Desain penelitian ini berupa observasional analitik dengan desain potong lintang. Sampel pasien ini terdiri dari 34 sefalometri lateral pasien maloklusi kelas III skeletal hiperdivergen yang telah selesai dirawat ortodonti cekat di Kinik Ortodonti RSKGM FKG UI. Pengukuran ketinggian dan ketebalan tulang alveolar simfisis mandibula menggunakan perangkat lunak Winceph versi 11 English Edition, Rise Coorporation 3-8-15 Sendai, Japan. Hasil : Ketinggian tulang alveolar simfisis mandibula sebelum dan sesudah perawatan ortodonti menunjukkan tidak ada perbedaan yang berbeda bermakna. Ketebalan tulang alveolar sebelum dan sesudah perawatan ortodonti menunjukkan perbedaan bermakna berupa penurunan pada 1/3 servikal tualng alveolar sisi labial dan 1/3 apikal tulang alveolar sisi lingual (p<0.05). Kesimpulan : Ketebalan tulang alveolar regio simfisis bagian labial dan lingual sebelum dan sesudah perawatan ortodonti cekat mengalami penurunan namun tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan yaitu dehisensi maupun fenestrasi.

Introduction : Patient with Class III Skeletal Hiverdivergent have a thin alveolar bone thickness in symphisis region. Anterior teeth movement in orthodontic treatment in this Class III malocllusion case is limited. Retraction of lower incisors in orthodontic camouflage treatment in class III skeletal malocclusion become limited. Aim : Analyze alveolar bone height and thickness in symphisis region before and after fixed orthodontic treatment in Class III skeletal malocclusion Hyperdivergent. Methods : This research is analitic observasional study with cross sectional design. Sample are 34 cephalomatric lateral radiographs before and after fixed orthdootnics treatment in classs III hyperdivergent patients in RSGKM FKG UI. Alveolar bone height and thickness were measured using Winceph 11 English Edition Esoftware by Rise Coorp Rise Coorporation 3-8-15 Sendai, Japan. Results : There was no difference in alveolar bone height before and after orthodontic treatment. Significant decreased was found in the alveolar bone thickness in 1/3 servical on labial side and 1/3 apical on lingual side (p<0.05). Conclusion : Alveolar bone thickness was decreased before and after orthodontic treatment, however there was no undesireable effects, such as dehiscence or fenestration found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Wijayanti
"Latar belakang: Perubahan dimensi dari gigi sulung ke gigi tetap dapat menyebabkan maloklusi pada usia anak. Pada keadaan tersebut dapat dilakukan upaya interseptif untuk mencegah bertambah parahnya maloklusi. Usia 9-11 tahun merupakan usia yang tepat untuk dilakukan interseptif. Pemeriksaan dini pada populasi anak usia gigi bercampur diperlukan untuk mengetahui keadaan maloklusi.
Tujuan: Mengetahui gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Metode: Digital examination dan analisis profil wajah, untuk menentukan klasifikasi maloklusi dan pengisisan kuesioner Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti anak.
Hasil: 98 subjek penelitian diperoleh maloklusi kelas I sebanyak 65,3%, maloklusi kelas II sebanyak 31,6% dan maloklusi kelas III sebanyak 3,1%. Keseluruhan populasi yang diteliti terdapat 76,5% membutuhkan perawatan ortodonti dan 23,5% tidak membutuhkan perawatan ortodonti.
Kesimpulan: Subjek dengan maloklusi kelas I paling banyak ditemukan dan sebagian besar subjek membutuhkan perawatan ortodonti.

Background: Dimensional changes from primary teeth to permanent teeth cause malocclusion in children. Interceptive can use for that situation to prevent increased severity of malocclusion. Ages for screening the child population for interceptive orthodontics is 9 to 11 years old. Early examination in mixed dentition age population needed to determine the state of malocclusion.
Purpose: Describe malocclusion and orthodontic treatment need in child 9 to 11 years old in SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Method: Digital examination and analyze of facial profile to know malocclusion and filling of questionnaires orthodontic treatment needs indicator (IKPO) to determine about children orthodontic treatment need.
Result: 98 subject there are 65,3% with class I malocclusion, 31,6% with class II malocclusion, 3,1% with class III malocclusion. From child population about 76,5% need for orthodontic treatment and 23,5% no need for orthodontic treatment.
Conclusions: Subject most found with class I malocclusions and most of subject need orthodontic treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Pandora Djuhadi
"Latar Belakang: Inklinasi gigi insisivus merupakan titik utama dalam menentukan rencana perawatan demi mewujudkan hasil yang estetis dan seimbang. Profil wajah seseorang sangat mempengaruhi persepsi estetika dan penampilan. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan inklinasi gigi insisivus dengan profil jaringan keras dan lunak wajah masih sangat jarang dilakukan, terutama pada pasien dengan maloklusi kelas II. Di sisi lain, pasien dengan maloklusi skeletal kelas II seringkali memiliki masalah pada inklinasi gigi dan profil wajah sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi inklinasi gigi insisivus rahang atas dan bawah terhadap profil jaringan keras dan lunak wajah pada pasien maloklusi skeletal kelas II.Metode: Pengambilan sampel penelitian berupa radiograf sefalometri lateral digital pasien dengan skeletal kelas II yang diperiksa dengan alat yang terstandarisasi dari suatu klinik yang sama kemudian dilakukan identifikasi landmark dan analisis sudut dengan aplikasi OneChep untuk diperoleh data berupa besar sudut inklinasi insisivus dari analisis Eastman, profil jaringan keras wajah dari analisis Down, dan profil jaringan lunak wajah dari analisis Holdaway. Analisis data dengan uji korelasi Pearson. Hasil: Uji korelasi Pearson antara inklinasi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap seluruh parameter uji profil jaringan keras dan lunak wajah menunjukkan angka signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan skeletal kelas II. Tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang bawah terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap profil jaringan lunak dan keras wajah pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II.

Background: Incisors inclination is one of the main point on deciding the treatment plan to bring an aesthetic and balanced result. Facial profile also have a great impact on the perception of aesthetic and appearance. In Indonesia, research about the correlation of incisors inclination with facial profile is rarely done, especially in patient with class II skeletal malocclusion. On the other hand, patient with class II skeletal malocclusion usually have problems regarding incisors inclination and facial profile. Hence, research about the correlation on incisors inclination with soft and hard tissue facial profile is really important to conduct. Objective: Determine the correlation of incisors inclination with soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion. Method: 52 sample of lateral cephalometric radiograph from patient with class II skeletal malocclusion from standardized lab were analyzed with an application called OneChep to gain the data of incisors inclination from Eastman analysis, hard tissue facial profile from Down analysis, and soft tissue facial profile from Holdaway analysis. Then, the data was tested for correlation using Pearson Correlation test. Result: Pearson correlation test on class II skeletal malocclusion patient showed the significance value between maxillary and mandibular incisors inclinations towards hard and soft tissue facial profile were >0.05 on each of the parameter. The parameters used on hard tissue facial profile were facial angle and angle of convexity from Down analysis. The parameter used on soft tissue facial profile was soft tissue facial angle by Holdaway analysis. Thus, there were no correlation between maxillary incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle, also no correlation between mandibular incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle in patient with class II skeletal malocclusion. Conclusion: There were no correlation between maxillary and mandibular incisors inclination toward soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Renasanti
"ABSTRAK
Keberhasilan perawatan ortodonti, ditentukan oleh penegakan diagnosis yang tepat. Penegakan diagnosis ortodonti berisikan data-data lengkap, yang terkumpul dalam satu bentuk rekam medis terdiri dari anamnesis, analisis wajah, analisis fungsional, analisis kebutuhan ruangan dan analisis radiografi. Pengetahuan untuk menegakkan diagnosis, dan menentukan rencana perawatan ortodonti cekat didapat melalui suatu program pendidikan spesialis yang mempunyai standar kompetensi yang ditetapkan oleh kolegium dan disahkan oleh KKI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penggunaan prosedur diagnostik ortodonti sebelum perawatan ortodonti dimulai serta melihat gambaran kasus maloklusi yang dilakukan oleh ortodontis dan non ortodontis. Penelitian dilakukan terhadap 61 murid-murid SMP dan SMA Yaspen Tugu Ibu I Depok yang memakai alat ortodonti cekat. Penelitian dimulai dengan pengisian kuesioner yang telah disediakan dan dipandu oleh peneliti sendiri. Penelitian ini dilanjutkan dengan pemeriksaan ekstra oral berupa digit examination dan pengambilan foto profil untuk pemeriksaan profil wajah dan sudut tangent line. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan prosedur diagnostik ortodonti lebih banyak dilakukan oleh kelompok ortodontis dibandingkan oleh kelompok non ortodontis. Pada gambaran kasus maloklusi yang dilakukan oleh ortodontis dan non ortodontis, terlihat bahwa kelompok non ortodontis melakukan perawatan ortodonti dengan alat cekat pada variasi maloklusi yang sama dengan kelompok ortodontis.

ABSTRACT
The success of orthodontic treatment is determined by correct diagnose. Determination of orthodontic diagnose shall consists of complete data, which was collected in a form of medical record consisting of anamnesis, facial analysis, functional analysis, space requirement analysis and radiographic analysis. Knowledge in determining diagnoses and deciding correct fixed orthodontic treatment plan shall be obtained from specialist educational program which has competency standard issued by collegium and endorsed by KKI. The intention of this research was to see how the implementation of orthodontic diagnostic procedure prior to orthodontic treatment started and to see malocclusion case overview done by orthodontist and non orthodontist. Research was conducted toward 61 SMP and SMA Yaspen Tugu Ibu I Depok students using fixed orthodontic appliance. Research was started by filling in questionnaire prepared and guided by the researcher herself. Research was continued by extra oral examination in the form of digit examination and capturing profile pictures to analyze facial profile and tangent line angle. The result shows that implementation of orthodontic diagnostic procedure is more often done by orthodontist group rather than non orthodontist group. In malocclusion case overview done by orthodontists and non orthodontist, it is shown that non orthodontist group does orthodontic treatment with fixed appliance on the same malocclusion variation with orthodontist group."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Catherine Naivasha
"Pendahuluan: Bimaxillary protrusion merupakan kondisi gigi insisif atas dan bawah sangat maju sehingga perawatan umumnya memerlukan pencabutan diikuti dengan retraksi gigi anterior. Retraksi pada maloklusi hiperdivergen perlu memperhatikan kondisi simfisis mandibula yang memiliki tulang alveolar tipis untuk mencegah dehisensi atau fenestrasi. Tujuan: Menganalisis perbedaan ketinggian dan ketebalan tulang alveolar regio simfisis mandibula sebelum dan setelah perawatan ortodonti cekat dengan ekstraksi premolar pada maloklusi kelas I bimaxillary protrusion dan hiperdivergen. Metode Penelitian: Penelitian menggunakan data sekunder berupa 34 sefalogram lateral pasien kelas I bimaxillary protrusion dan hiperdivergen sebelum dan setelah perawatan di klinik Ortodonti RSKGM FKG UI. Desain penelitian berupa observasional analitik dengan desain potong lintang. Pengukuran ketinggian dan ketebalan tulang alveolar dilakukan menggunakan perangkat lunak Winceph versi 11 English edition, Rise Corporation 3-9-15 Sendai, Jepang. Hasil: Terjadi penurunan ketinggian tulang alveolar sisi lingual sebesar 0.498 mm (p=0.003), dan penurunan ketebalan tulang alveolar sisi labial 1/3 servikal sebesar 0.226 mm (p=0.038). Secara keseluruhan terjadi perbedaan pada ketinggian dan ketebalan tulang alveolar sisi labial dan lingual, dengan perbedaan bermakna ditemukan pada perbedaan ketinggian sisi lingual, dan perbedaan ketebalan sisi labial 1/3 servikal. Kesimpulan: Terdapat perbedaan ketinggian dan ketebalan tulang alveolar regio simfisis mandibula sebelum dan setelah perawatan ortodonti cekat dan tidak menunjukkan adanya dehisensi ataupun fenestrasi.

ntroduction: Bimaxillary protrusion is characterized by protrusive incisors requiring first premolar extractions and retraction of anterior teeth as treatment plan. Precautions are needed when retracting aenterior teeth of hyperdivergent patients with thin alveolar bones in order to prevent dehiscence and fenestration. Aim: To Analyze the difference of alveolar bone thickness and alveolar bone height before and after orthodontic treatment in Class I hyperdivergent and bimaxillary protrusion with extraction. Methods: This research is an analytical observational cross-sectional study using 34 before and after lateral cephalograms of Class I hyperdivergent with bimaxillary protrusion cases treated in the Orthodontic Clinic at RSKGM FKG UI. Changes of alveolar bone height and thickness were measured with Winceph software 11th version English edition, Rise Corporation 3-9-15 Sendai, Japan. Results: Reduce of 0.498 mm was found in alveolar bone height on the lingual side (p=0.003), and reduce of 0.226 mm was found in alveolar bone thickness on the 1/3rd coronal part of the labial side (p=0.038). Overall changes occur in alveolar bone height and alveolar bone thickness at both labial and lingual sides, but significant changes were only found at the alveolar bone height on the lingual side, and at the alveolar bone thickness on the coronal part of labial side. Conclusion: Changes were found at the alveolar bone height and alveolar bone thickness after fixed orthodontic treatment and showed no sign of dehiscene or fenestration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Putri Secoria
"Latar Belakang : Pada sebagian besar kasus maloklusi skeletal kelas III terdapat kombinasi antara elemen dental dan skeletal yang bervariasi. Beberapa elemen tersebut diantaranya adalah pola kerangka vertikal wajah dan inklinasi insisivus mandibula. Hubungan antara gigi insisivus mandibula dan posisinya terhadap bidang mandibula seringkali menjadi pedoman dasar dokter gigi untuk merencanakan perawatan ortodontik, karena dianggap sebagai salah satu kunci dalam diagnostik ortodontik. Tujuan : Mengetahui perbedaan inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, Hiperdivergen. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif numerik secara potong lintang. Penelitian dilakukan pada 54 sefalomeri lateral pasien ortodontik sesuai kriteria inklusi. Digunakan uji komparasi One-Way ANOVA dan uji Post Hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan inklinasi insisivus mandibula antar kelompok. Hasil : Uji komparasi One-Way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik inklinasi gigi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III antara ketiga kelompok wajah tersebut. Selanjutnya berdasarkan uji Post Hoc Bonferroni menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola wajah Hipodivergen. Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara inklinasi gigi insisivus mandibular pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, dan Hiperdivergen.

Background : There are various combinations of dental and skeletal elements in most cases of class III malocclusion. Some of these elements include the vertical facial patterns and the mandibular incisors inclination. The relationship between the mandibular incisors and their position towards the mandibular plane is often the basic guideline for dentists to plan orthodontic treatment, because it is considered as one of the keys in orthodontic diagnostics. Objective : To compare the difference of mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns. Methods : This research was a comparative numerical analytic study with cross-sectional design. It was conducted on 54 lateral cephalometrics of orthodontic patients according to the inclusion criteria. One-Way ANOVA comparison test and Bonferroni Post Hoc test were used to see differences in the inclination of the mandibular incisors between groups. Results : One-Way ANOVA comparison test showed that there was a stastically significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases between three facial groups. Furthermore, based on the Bonferroni Post Hoc test, it showed that there was a significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion with a Hypodivergent facial pattern. Conclusion : There was a statistically significant difference between the inclination of the mandibular incisor in class III malocclusion with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>