Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139785 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"[Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan dan diresepkan di rumah sakit, salah satunya di Instalasi Gawat Darurat. Tingginya frekuensi penggunaan antibiotik tidak dapat dipisahkan dari risiko meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, sehingga dapat menimbulkan kegagalan terapi antibiotik. Pemakaian antibiotik di suatu fasilitas kesehatan harus selalu di evaluasi agar dapat menghindari hal tersebut. Metode Defined Daily Dose merupakan salah satu metode evaluasi pemakaian obat secara kuantitatif yang sudah terstandardisasi oleh WHO. Penelitian ini menghitung estimasi jumlah pemakaian antibiotik di Instalasi Gawat Darurat RSCM pada bulan Januari-Maret 2015. Penelitian menggunakan 109 sampel rekam medik pasien IGD RSCM yang mendapatkan terapi antibiotik. Hasil perhitungan menunjukkan kuantitas pemakaian antibiotik di IGD RSCM diperkirakan sangat tinggi dengan tiga antibiotik yang paling sering digunakan yaitu ampisilin-sulbaktam (33,59 DDD/1000 kunjungan pasien), sefiksim (20,02 DDD/1000 kunjungan pasien), dan seftriakson (14,44 DDD/1000 kunjungan pasien, The antibiotic is one of the most frequently drug that prescribed in the hospital, especially in the emergency room. High frequency of antibiotic usage is related to the risk of antibiotic resistance that can impact to therapy failure. Antibiotic usage in health care facility must be evaluated in order to prevent that problem. Defined Daily Dose is a method to evaluate antibiotic usage quantitatively which is standardized by WHO. This study calculates estimation amount of antibiotic usage in Emergency Room RSCM on January-March 2015. This study includes 109 medical records from patients of emergency room RSCM that got antibiotic therapy. The result showed that the quantity of antibiotics usage in Emergency Department of RSCM is estimated to be very high with the three most frequently used are ampicillin-sulbactam (33,59 DDD/1000 patients visit), cefixime (20,02 DDD/1000 patients visit), and ceftriaxone (14,44 DDD/1000 patients visit).]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafiz Yusaryahya
"Penyakit infeksi masih menjadi sepuluh besar penyebab kematian di Indonesia. Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan oleh dokter untuk mengatasi penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik sering tidak tepat sasaran dan tidak dibutuhkan. Data tentang evaluasi penggunaan antibiotik di Departemen Bedah RSCM masih minim. Metode defined daily dose (DDD) dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif pada orang dewasa
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan metode pengambilan data secara cross sectional. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari rekam medis pasien dewasa yang dirawat di lantai 4 zona B gedung A RSCM dari bulan Januari hingga Maret 2015. Penggunaan antibiotik pasien dihitung menggunakan metode defined daily dose (DDD) dengan DDD/1000 patient-days sebagai unit pengukuran. Sampel penelitian ini berjumlah 307 orang. Diagnosis terbanyak pada sampel penelitian adalah jenis neoplasma (104 kasus), nefrourologi (49 kasus), dan trauma (42 kasus). Antibiotik lebih sering diberikan lewat jalur parenteral (5316.5 vial) dibandingkan oral (1182 vial/tablet). Antibiotik dengan DDD/1000 patient-days tertinggi adalah sulbactam (231.3 DDD/1000 patient-days), seftriakson (166 DDD/1000 patient-days), dan sefiksim (96.5 DDD/1000 patient-days). Untuk penelitian selanjutnya, perlu dihubungkan DDD/1000 patient-days antibiotik dengan diagnosis atau prosedur pembedahan untuk mengetahui ketepatan penggunaan antbiotik.

Infectious disease still becoming top ten cause of death in Indonesia. Antibiotic is one of the most common prescribed drug to treat infectious disease. However, the use of antibiotics often mistargeted and unnecessarily needed. Evaluation of antibiotics usage in Surgical Department of RSCM is still few. Defined daily dose (DDD) method could be used to quantitatively evaluate the usage of antibiotic in adult patient.
This study is an observational descriptive study. Data collected cross-sectionally from medical record of adult inpatient in B zone, 4th floor of building A RSCM for January until March 2015 period. Patient’s antibiotics usage were calculated using defined daily dose method with DDD/1000 patient-days as a unit measurement. The number of patients whose medical record were extracted is 307 person. The most common diagnosis of the patients were neoplasm (104 cases), nephrourology (49 cases), and trauma (42 cases). Antibiotics were more frequently administered parenterally (5316.5 vial) rather than orally (1182 tablet). Antibiotics with the highest DDD/1000 patient day are sulbactam (231.3 DDD/1000 patient-days), ceftriaxone (166 DDD/1000 patient-days), dan cefixime (96.5 DDD/1000 patient-days). For further research, DDD/1000 patient-days need to be correlated with the diagnosis or surgical procedure to know the appropriate use of antibiotics."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tingginya frekuensi penyakit tropik infeksi di Indonesia dan peran antibiotik yang sangat vital dalam terapinya menyebabkan tingginya pula potensi penggunaan antibiotik dalam jumlah yang besar di Indonesia. Kondisi ini dapat berujung pada resistensi antibiotik jika penggunaan antibiotik tidak dipantau. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kuantitas antibiotik yang diterima oleh pasien rawat inap dewasa di RSCM dengan penyakit tropik infeksi selama periode Juni 2014-2015. Data terkait terapi setiap sampel penelitian diperoleh melalui penelusuran rekam medik, yang kemudian dihitung dengan rumus defined daily dose (DDD). Hasil menunjukkan bahwa secara umum, antibiotik dengan kuantitas tertinggi adalah seftriakson (60,85 DDD/100 pasien-hari). DDD tersebut tergolong tinggi karena terdapat 18 pasien dari 34 sampel penelitian yang menerima terapi seftriakson. Untuk setiap diagnosis yang ditemukan pada sampel penelitian, seftriakson juga menjadi yang tertinggi pada demam tifoid (33,27 DDD/100 pasien-hari). Ditemukan pula penggunaan seftriakson pada pasien DBD (7,83 DDD/100 pasien-hari) dan malaria (3,20 DDD/100 pasien-hari) yang kemungkinan disebabkan oleh adanya infeksi sekunder pada pasien. Sementara itu, pada pasien leptospirosis, kuantitas penggunaan antibiotik tertinggi adalah meropenem (24,91 DDD/100 pasien-hari)., As the frequency of communicable disease in Indonesia is still high and antibiotic’s role as its therapy is vital, there is a possibility that the amount of antibiotic used in Indonesia is also high. This condition may lead to antibiotic resistance. This research was conducted to quantify antibiotic usage of patient with tropical infection diseases in Ward A Building of RSCM during June 2014-2015. Data were collected from Medical Record Unit. Then, then data were calculated using defined daily dose (DDD) formula. The result showed that the highest antibiotic used to treat the patients, generally, was ceftriaxone (60,85 DDD/100 patient-days). This number is high as from 34 patients, 22 of them received ceftriaxone as part of their medication. For each diagnosis found in the sample of population, ceftriaxone was also the highest in thyphoid fever (29,78 DDD/100 patient-days). The use of ceftriaxone was also found in dengue hemorrhagic fever (7,48 DDD/100 patient-days) and malaria (2,55 DDD/100 patient-days). There is probability that those patients also had bacterial infection. Meanwhile, in patient with leptospirosis, the highest antibiotic used was levofloxacin (21,98 DDD/100 patient-days).]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Resistensi antibiotik masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Resistensi dipercepat oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan. Pada pasien diabetes mellitus (DM) terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh karena adanya masalah vaskular, saraf perifer, maupun hiperglikemi sehingga menjadi lebih rentan terkena infeksi. Salah satunya kaki diabetes yang juga sering mendapatkan terapi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah penggunaan antibiotik pada pasien DM di bangsal IPD RSCM. Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif. Data identitas, diagnosis, lama rawat, serta riwayat penggunaan obat berasal dari rekam medik pasien yang selanjutnya dihitung menggunakan metode Defined Daily Dose (DDD). Pada penelitian ini didapatkan 60 pasien DM yang mendapatkan terapi antibiotik, dengan 67% diantaranya terdiagnosis infeksi. Antibiotik dengan jumlah penggunaan tertinggi yaitu kombinasi ampisilin dan sulbaktam 65,900 DDD/100 patient-days, meropenem 26,266 DDD/100 patient-days, dan levofloksasin 20,265 DDD/100 patient-days. Jumlah penggunaan antibiotik pada pasien DM cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan penggunaan antibiotik terutama dalam hal durasi pemakaian, Antimicrobial resistance is still a world health problem. The progress is accelerated by misuse and overuse. In diabetes mellitus (DM) patients, vascular problems, neuropathy, or hyperglycemia often leads to suppression of immune system and eventually make the patient more susceptible to infection. One of them is diabetic foot which often treated with antibiotics. The aim of this research is to quantify antibiotic usage in DM patient in internal medicine department Cipto Mangunkusumo hospital. This research conducted with a descriptive study design. We obtained patient’s identity, diagnosis, treatment duration, and history of drug use from medical record and count with DDD method. From this study, we found that 67% from 60 DM patient’s who treated with antibiotics diagnosed with bacterial infection. The highest antibiotic that been used in IPD-RSCM is combinatios of ampicillin and sulbactam with 65,900 DDD/100 patient-days, meropenem with 26,266 DDD/100 patient-days, and levofloxacin with 20,265 DDD/100 patient-days. The number of antibiotic usage in DM patient is still high, thus it needs to be reviewed particularly on usage duration]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tingginya tingkat infeksi nosokomial di ICU menyebabkan penggunaan antibiotik ICU cenderung lebih tinggi dari ruang rawat yang lain. Penggunaan antibiotik ini sering kali tidak menunggu hasil uji kepekaan bakteri. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap antibiotika semakin cepat terjadi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis antibiotik yang banyak digunakan di ICU RSCM dan mengetahui jumlah penggunaan antibiotik berdasarkan perhitungan Defined Daily Dose (DDD) WHO di ICU RSCM periode Januari hingga Maret 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan menggunakan rekam medis pasien. Dari 167 rekam medis yang diikutkan dalam penelitian ini, tiga antibiotik dengan frekuensi pemakaian terbanyak adalah meropenem (15.31%), seftriakson (14.43%), dan fosfomisin (11.57%). Hasil penilaian kuantitas penggunaan antibiotik berdasarkan metode DDD menunjukkan tiga antibiotik dengan DDD tertinggi adalah meropenem (433.51 DDD/1000 hari rawat), dilanjutkan dengan seftriakson (268.04 DDD/1000 hari rawat dan amikasin (180.41 DDD/1000 hari rawat). Hasil ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kuantitas penggunaan antibiotik rumah sakit lain, The high incidence nosocomial infection in Intensive Care Unit could increase the antibiotics administration. Furthermore, the administration of antibiotics often not based on the results of bacterial susceptibility test. This phenomenon cause the high level of bacterial resistance in ICU. The aim of this study was to determine the most frequent antibiotics used in ICU and to evaluate antibiotic consumption quantitatively using ACT/DDD method in ICU RSCM. This research is a descriptive-observasional study using medical record of the patient. From 167 medical records, three antibiotics with the highest frequency administration were meropenem (15.31%), ceftriaxone (14.43%), dan fosfomycin (11.57%). By using DDD method, three antibiotics with the highest DDD were meropenem (433.51 DDD/1000 bed days), ceftriaxone (268.04 DDD/1000 bed days), and amikacin (180.41 DDD/1000 bed days). This result is quite high when compared with antibiotic consumpsion in another hosp]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Bestari
"Salah satu faktor yang dianggap berperan menyebabkan peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka infeksi yang masih tinggi sehingga tingkat penggunaan antibiotika pun relatif tinggi. Salah satu infeksi dengan insiden yang tinggi adalah infeksi saluran napas bawah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotika pada pasien dengan pneumonia di unit rawat inap penyakit dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari hingga Maret 2015 dengan parameterDefined Daily Dose (DDD)/100 pasien-hari. Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang, menggunakan rekam medik pasien. Jumlah sampel adalah 115 orang, dengan jumlah pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas 56 orang dan pneumonia nosokomial 53 orang. Antibiotika dengan penggunaan terbanyak adalah azitromisin (35,71 DDD/100 hari pasien), seftriakson (31,34 DDD/ 100 pasien-hari), meropenem (28,83 DDD/100 pasien-hari), sefepim(27,44 DDD/100 pasien-hari), dan levofloksasin (19,64 DDD/100 pasien-hari).

Inappropriate use of antibiotic could increase the number of resistant bacterias. Indonesia is a country with high incidence of infection, therefore the use of antibiotics is relatively high. Lower respiratory tract infection is one of the infection with highest incidence. This study aimed to assess the quantity of antibiotic utilization in internal medicine inpatients ward in Cipto Mangunkusumo Hospital during January to March 2015. This study is a descriptive cross-sectional study using medical record as the data source. The number of sample is 115 patients, with 56 patients diagnosed with community acquired pneumonia and 53 patients diagnosed with nosocomial pneumonia. The most frequently used antibiotics are azithromycin(35,71 DDD/100 patient-days), ceftriaxone(31,34 DDD/ 100 patient-days), meropenem (28,83 DDD/100 patient-days), cefepime(27,44 DDD/100 patient-days), dan levofloxacine (19,64 DDD/100 patient-days).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Mustika Sari
"Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan infeksi pada sayatan atau organ yang terjadi setelah pembedahan. Upaya pencegahan terhadap infeksi ini menjadi semakin penting dengan jumlah operasi yang semakin meningkat. Pemberian antibiotik profilaksis seringkali dianggap sebagai pencegahan IDO yang paling mudah dilakukan. Namun ketidaktepatan dalam penggunaannya dapat menjadi faktor risiko penyebab terjadinya IDO. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah di RSUD Kota Depok pada periode Januari-Maret 2020. Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan disain penelitian deskriptif cross sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis dilakukan pada sampel sebanyak 139 menggunakan metode Gyssens. Hasil analisis ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis dengan metode Gyssens yaitu pada kategori VI sebanyak 138 sampel (99,28%), kategori V sebanyak 83 sampel (60,14%) kategori IVa sebanyak 52 sampel (94,54%). Untuk kategori IVb sampai IIc memiliki nilai yang sama yaitu sebanyak 0 sampel. Kategori I semua sampel tidak tepat waktu pemberian sehingga analisa berakhir pada kategori I dengan jumlah 3 sampel.(100%). Sedangkan angka kejadian infeksi daerah operasi pada pasien bedah di RSUD Kota Depok periode 1 Januari -19 Maret 2020 sebanyak 2,87%. Faktor penyebab terjadinya infeksi daerah operasi karena ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada waktu pemberian, kepatuhan pasien dan penyakit penyerta (komorbid).

Surgery area infection (SSI) is an infection of the incision or organ that occurs after surgery. prevention against this infection is becoming increasingly important with an increasing number of operations. Treatment of prophylactic antibiotics as the easiest prevention of SSIs. However, inaccuracy in its use can be a factor in causing SSI. The purpose of this study was to analyze the inaccuracy of prophylactic use in surgical patients at RSUD Kota Depok in the period January-March 2020. This study was conducted observational with a cross-sectional descriptive study and data collection was carried out retrospectively. The analysis was carried out on a sample of 139 using the Gyssens method. The results of the inaccuracy analysis of prophylactic antibiotics using the Gyssens method were 138 samples (99.28%) in category VI, 83 samples (60.14%) in category IVa as many as 52 samples (94.54%). For categories IVb to IIc, there are 0 samples. Category I all samples are not presented on time so that the analysis ends in category I with a total of 3 samples. (100%). Meanwhile, the incidence of infection in the surgical area in surgical patients at the Depok City Hospital for the period January 1-March 19 2020 was 2.87%. Factors causing regional infection due to inappropriate use of prophylactic antibiotics at the specified time, patient and comorbidities (comorbid)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Ayu
"Resistensi antibiotik yang terjadi secara global memunculkan kekhawatiran dalam keberhasilan terapi pengobatan infeksi bakteri, khususnya bakteri patogen. Bakteriosin adalah Peptida Anti Mikroba (PAM) yang diproduksi oleh bakteri di ribosom, sebagai fungsi pertahanan terhadap bakteri lain yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan bakteri penghasilnya. Awalnya, bakteriosin dimanfaatkan sebagai pengawet makanan alami. Namun, bakteriosintelah diteliti lebih lanjut sebagai terapi pengobatan infeksi bakteri. Lysostaphin diketahui memiliki efek sinergis dalam kombinasi dengan antibiotik Polymixin B terhadap inhibisi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Penelitian ini bertujuan utuk melihat adanya efek yang sinergis dari kombinasi antibiotik lain dengan BLIS yang dihasilkan bakteri Streptococcus macedonicus MBF 10-2 dan Weissella confusa MBF 8-1 terhadap bakteri multiresistensi MRSA.Uji aktivitas dilakukan dengan metode difusi sumur agar dengan menginjeksikan campuran masing - masing larutan BLIS dengan antibiotik ke dalam sumuran logam yang ditancapkan pada medium yang telah ditumbuhkan bakteri. Efek sinergis dilihat dari penambahan zona hambat yang dihasilkan dari masing - masing kombinasi BLIS dan antibiotik yaitu Kloramfenikol, Vankomisin, Ampisilin, dan Tetrasiklin.Peningkatan zona hambat diperoleh dari kombinasi BLIS dari Streptococcus macedonicus MBF 10-2dengan antibiotik Kloramfenikol dan Ampisilin dan dari BLIS dari Weissella confusa MBF 8-1 dengan Kloramfenikol.

Antibiotic resistance, which happening globally, causes a big concern about the success of bacterial-infections treatment therapy, especially caused by pathogens. Bacteriocin is an Anti-microbial peptide (AMP) which produced by bacteria ribosomally as a defense mechanism against other bacteria, which is closely related with the bacteria producer. At the early introduction, bacteriocin wasfirstlyused as food preservatives. Furthermore, bacteriocin is investigated as an anti-microbial agent for infection therapy. Lysostaphin was known its synergistic effect towards inhibitory of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), when combined with antibiotic Polymixin B. The goal of this research was to get know the synergistic effect from combination between BLIS produced by Streptococcus macedonicus MBF 10-2 dan Weissella confusa MBF 8-1 with another antibiotics against multiresistance bacteria MRSA. Well Agar Diffusion Method was used for the activity test by injecting combination of each BLIS and antibiotics inside a well on a medium with bacteria. Synergistic effect was interpreted by the increasing of inhibition zone resulted from each combination between BLIS and antibiotics used which were Chloramphenicol, Vancomycin, Ampicillin, and Tetracycline. The increase of inhibition zone resulted from combination of BLIS from Streptococcus macedonicus MBF 10-2 with Chloramphenicol and Ampicilin and also of BLIS from Weissella confusa MBF 8-1 with Chloramphenicol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S61168
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafni Pamela Sari
"lnstalasi farmasi di Rumah sakit pcrlu mendapatkan pengelolaan yang baik, karena instalasi ini bcrperan penting dalam menenlukan baik tidaknya pclayanan Rumah Sakit dan juga pengeluaran Rumah Sakit unluk lnstalasi ini cukup besar. Di Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi pengeluaran unmk Instalasi Faxmasi Tahun 2008 sebesar 36,24 % dari total pengeluaran Rumah Sakil, dan dari jumlah tersebut 46,19 % adalah untuk obat, sedangkan jumlah item obat adalah 11733. Dcngan jumlah investasi yang sangat besar tersebut (Rp. 8.000.000.000,-) dengan jumlah item obat yang cukup banyak memerlukan suatu sistem perencanaan yang akurat. Pengawasan obat dengan jumlah item yang banyak akan lebih mudah dilakukan apabila dibuat pengelompokkan obat tcrsebut menurut tingkat pemakaian, tingkat invcstasi dan tingkat kckritisannya. Sedangkan perencanaan dapat dilakukan dengan melakukan forecasiing menggunakan data tahun yang lalu.
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bckasi dan merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan operation research. Melalui pendekatan kualitatif diharapkan diperoleh informasi tentang Manajemen Farmasi, khususnya perencanaan. Sedangkan dengan operation research didapatkan bahwa dengan suatujumlah persedian yang optimal akan mengcluarkan biaya yang lebih rendah dan sekaligus dapat mengoptimalkan pelayanan. Objek yang akan cliteliti adalah obat golongan antibiotik, karena obat golongan ini banyak dipakai 30,55 % dari total pemakaian obat dan investasi umuk obat ini cukup besar yaitu 24,05 % dari total investasi obat selama tahun 2008. Dilakukan Analisis ABC indeks kritis untuk obat golongan ini dan dihitung prakiraanjumlah kebutuhan bulan januari, Februari dan Maret 2009 untuk antibiotik kelompok A dalam analisis ABC indeks kritis dengan metodc Sinynle Exponenfial Smoothing dengan dengan 0. = 0,3 dan patokan perhitungan adalah MAD. Selanjutnya dibandingkan dengan perencanaan yang dilakukan Rumah Sakit dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon. Untuk antibiotik kelompok Ajuga dilakukan perhitunganjumlah pemesanan optimal.
Hasil yang dipcrolch dari pcnclitian ini dikctahui bahwa lnstalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi. Dalam melakukan perencanaan memakai metode Moving Average dan pemesanan dengan Order Cyrcle Sysrem namun tidak diperolch alasan yang jelas mcngcnai pcmilihan metode ini. Dari analisis ABC indeks kritis diperoleh I2 item antibiotik yang termasuk kelompok A, 50 kelompok B dan 222 kelompok C. Ke-I2 item antibiotik yang termasuk kelompok A tersebut merupakan 51,99 % dari total pemakaian dan 20,73 % dari total invcstasi. Hasil jzrecastmg terhadap kelompok A setelah dibandingkan dengan perencanaan yang dibuat Rumah Sakit ternyata tidak ada perbedaan yang bermakna.
Mengacu pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melakukan pengelompokan antibiotik menurut analisis ABC indeks kritis dapat mcmpcmwdah pcngawasan karena dapat ditentukannya prioritas pengawasan, untuk itu disarankan kepada Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kota Bekasi untuk membuat pengelompokkan semua obat menurut analisis ABC indeks kritis untuk mcmudahkan pcngawasan. Dari hasil _/brecasiing yang dilakukan dan setelah diuji ternyala tidak ada pcrbedaan yang bermakna dengan yang telah dilakukan Rumah Sakit, artinya metode perencanaan yang dilakukan Rumah Sakit telah cukup baik, disarankan untuk dipcrtahankan.

Pharmacy unit should have good management in relation to its role in detemmining the quality of service in the hospital and the cost of this unit is quite high indeed. In Bekasi Public Hospital City 2008, the cost of this unit is about 36,24 % of total cost ofthe hospital from such amount 46,19 % is paid for |.733 items of medicine. Referring a large amount of such invest beside a large number of medicine (Rp. 8.000.000.000,-), the accurate planning is required. Managing of large number of medicine could be simplified by grouping the medicine according to level of use, level of invest and level of critical point. Therefore, the planning could be done by forecasting using the last data.
This reseach was conducted in pharmacy unit of Bekasi Public Hospital City by qualitative and quantitative approach with operation research. By quantitative approach, we expect the information about pharmaceutical management especially planning. More over, operation research could be define that optimal amount of stock would cost less even optimize the sen/ice. Object the research are antibiobics, because the using of this kind of medicine is 30.55 % of total number of all kind of medicine and the invest of antibiotics is quite large number, namely 24.05 % of total invest all kind of medicine a long 2008. Critical index ABC analysis is carried out. Requirement in January, February and March 2009 have been estimated for A group of antibiotics by this analysis using Simple Exponential Smoothing method with U. = 0.3 and calculation point is MAD. Futhennore, the value were compared with the data of planning which done by the hospital by wilcoxon signed ranks test.
The result showed that phamiaceutical instalation in Bekasi Public Hospital City, planning was carried out by Moving Average Method, meanwhile ordering was carried out by Order Cycle System, unfortunately there are no definitive reason in choosing these methods. Critical index ABC analyses found that I2 items of antibiotics were belonging A groups, 50 were belonging B groups and 222 were belonging C groups. All of I2 items of antibiotics belonging A groups were 35.90 % of total using and 28.46 % of total invest. The result of forecasting to A groups compared with planning carried out by hospital showed no significant difference.
The data showed that grouping the antibiotics according to critical index ABC analyses could simply the controlling because the priority of controlling could be determined. Therefore, it could be adviced to the Bekasi Public Hospital City to grouping all the medicine according to the critical index ABC analyses. The result of foreecasting and test showed no significant difference with those carried out by the hospital. It meaned that planning method carried out by hospital is good enough and could be continue.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T34258
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arva Pandya Wazdi
"Penggunaan antibiotik harus dilakukan dan kontrol penggunaan antibiotik sudah direkomendasikan dari WHO. Hal ini bertujuan untuk menekan resistensi mikroba terhadap antibiotik karena ancaman resistensi antibiotik adalah salahsatu yang dikhawatirkan oleh WHO. Dalam perespan dan penggunaan antibiotik dapat dianalisis dengan metode ATC/DDD untuk evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik. Analisis menggunakan metode ATC/DDD ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit pada periode Januari-Desember 2022. Setelah dilakukan analisis didapatkan penggunaan antibiotik di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit pada periode Januari – Desember 2022 tergolong sangat tinggi terutama pada golongan antibiotik beta laktam dengan kecenderungan peresepan yang kurang rasional. Dari hasil analisis ini dapat dilakukan pengetesan resistensi mikroba terhadap antibiotik di lingkungan Puskesmas Kecamatan Duren Sawit untuk melihat sebaran mikroba resisten terhadap golongan antibiotik sebagai evaluasi pendekatan pengobatan yang optimal.

The use of antibiotics must be carried out and control of antibiotic use has been recommended by WHO. This aims to suppress microbial resistance to antibiotics because the threat of antibiotic resistance is one that WHO is concerned about. The prescription and use of antibiotics can be analyzed using the ATC/DDD method to evaluate the rationality of antibiotic use. Analysis using the ATC/DDD method was carried out at Puskesmas Kecamatan Duren Sawit in the period January-December 2022. After the analysis was carried out, it was found that the use of antibiotics in Puskesmas Kecamatan Duren Sawit in the January-December 2022 period was classified as very high, especially in the beta-lactam antibiotics group with a high prescribing tendency. less rational. From the results of this analysis, testing for microbial resistance to antibiotics can be carried out in Puskesmas Kecamatan Duren Sawit environment to see the distribution of microbes that are resistant to antibiotic groups as an evaluation of optimal treatment approaches.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>