Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108475 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anasthasia Devina Sutedja
"Acute Kidney Injury (AKI) pada anak dengan penyakit jantung bawaan mencakup 5-33% dari seluruh pasien anak yang melalui bedah jantung terbuka, dengan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan luaran pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian AKI adalah durasi penggunaan mesin pintas jantung paru. Penelitian metode kohort retrospektif dilakukan terhadap 122 pasien dengan durasi panjang dan 73 pasien dengan durasi pendek pasca bedah jantung terbuka di PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis yang dianalisis menunjukkan bahwa terdapat kemaknaan (p<0,05) hubungan antara durasi CPB dengan AKI dengan OR 2,95. Kesimpulan penelitian adalah durasi CPB >60 menit merupakan faktor risiko terjadinya AKI pasca bedah jantung terbuka.

Acute kidney injury (AKI) in children with congenital heart disease consists of 5-33% pediatric patients who went through open heart injury, with significant impact on the quality of life and outcome of the patient. One of the factors affecting the incidence of AKI is the duration of cardiopulmonary bypass machine. Retrospective cohort study was done on 122 patients with bypass duration >60 minute and 73 patients with bypass duration <60 minute after open heart surgery in PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analysis of medical records shown that there was a significant difference (p<0,05) between the duration of cardiopulmonary bypass with the incidence of AKI with OR of 2,95. It was concluded that duration of bypass >60 minutes was a risk factor of post open heart surgery AKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Iswanto Pantoro
"Kejadian Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) pasca bedah jantung terbuka masih merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemukan. Salah satu faktor risikonya adalah durasi pintas jantung. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 187 pasien bedah jantung terbuka di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2015. Subjek dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan durasi pintas jantung (durasi >60 menit dan ≤60 menit). Sebanyak 107 (57,2%) pasien mengalami SIRS dalam 24 jam pasca operasi. Kejadian SIRS ditemukan pada 75 (65,8%) pasien dari kelompok durasi >60 menit dan 32 (43,8%) pasien dari kelompok durasi ≤60 menit. Melalui analisis multivariat regresi logistik, didapatkan hubungan bermakna (p<0,05) antara durasi CPB dan SIRS dengan OR2,04 (IK95% 1,05-3,93). Durasi CPB merupakan faktor risiko independen dari kejadian SIRS pasca bedah jantung terbuka.

Sytemic inflammatory Response Syndrome (SIRS) is a major complication foundat patient following open heart surgery. One of the risk factors is the duration of the cardiopulmonary bypass. A historical cohort study had been done on 187 postcardiac surgery patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. The subjects were divided into 2 separate groups based on the duration of cardiopulmonary bypass (duration >60 minutes and ≤60 minutes). There were 107 (57.2%) patients having SIRS within 24 hours following the surgery. SIRS was found on 75 (65.8%) patients from group with duration >60 minutes and 32 (43.8%) patients from group with duration ≤60 minutes. Through logistic regression multivariate analysis, there was a significant difference (p<0.05) with OR 2.04 (CI95% 1.05-3.93) between two groups. Therefore, duration of cardiopulmonary bypass was an independent risk factor of post open heart surgery SIRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iskandarsyah Agung Ramadhan
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) dikoreksi dengan bedah jantung terbuka dengan bantuan alat mesin pintas jantung paru (cardiopulmonary bypass). Namun teknik ini dapat menyebabkan inflamasi pada paru yang menghasilkan kondisi Acute Respiration Dysfunction Syndrome (ARDS). Meskipun insidensinya pada pasien bedah dengan mesin pintas jantung paru hanya rendah, tingkat mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara durasi penggunaan mesin jantung paru dengan insidensi ARDS pada pasien anak dengan PJB pasca bedah jantung terbuka.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 194 anak yang menjalani bedah jantung terbuka atas indikasi PJB di Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM periode Januari 2014-September 2015.
Hasil: 64 (32,99%) pasien mengalami ARDS pasca bedah jantung terbuka dan sisanya sebanyak 130 (67,01%) tidak mengalami ARDS. Median penggunaan mesin pada golongan ARDS dan non-ARDS masing-masing sebesar 80 menit (23-219, IK90%) dan 70 menit (18-320, IK90%). Insidensi ARDS pada kelompok dengan durasi pendek (≤60 menit) adalah 27,5% dan dengan durasi panjang (> 60 menit) adalah 36%. Secara statistik dan klinis tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin dengan munculnya ARDS (p = 0,298, uji chi square).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dengan kejadian ARDS pada pasien PJB pasca bedah jantung terbuka.

Background: Congenital heart disease (CHD) is corrected by open thoracic surgery with the help of cardiopulmonary bypass machine (CPB). This technique can cause pulmonary inflammation resulting in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Even though its incidence is low, the mortality rate of is up to 50%.
Aim: To find whether the duration of CPB using is related with incidence of ARDS in pediatric patients underwent open thoracic surgery.
Methods: Retrospective cohort study was done involving 194 pediatric patients underwent open thoracic surgery with CHD indication at Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM within January 2014 and 2015 September.
Results: 64 (32,99%) patients had ARSD after open thoracic surgery. The mean of CPB machine duration was 80 minutes (23-219, CI90%) in patients with ARDS and 70 minutes (18-320, CI90%) in patients with no ARDS. The incidence of ARDS in patients with short duration of CPB (≤60 minutes) was 27.5% and long duration (>60 minutes) was 36%. There was no such correlation statistically and clinically between duration of CPB and ARDS occurence (p = 0.298, chi square test).
Conclusion: Duration of CPB using is not related with ARDS occurrence in pediatric patients with CHD underwent open thoracic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
"Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih.
Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru.
Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014.
Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm.
Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.

Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill.
Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass.
Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014.
Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm.
Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rigel Kent Paat
"Latar Belakang: Penyakit arteri koroner dapat di tata laksana dengan bedah pintas arteri koroner (BPAK) menggunakan mesin pintas jantung paru (PJP) dan fraksi ejeksi (FE) yang rendah berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. Kejadian AKI pascaoperasi BPAK dengan mesin PJP merupakan kejadian yang cukup sering dengan prevalensi bervariasi antara 7,6-48,5%. Patogenesis acute kidney injury(AKI) pascaoperasi jantung bersifat kompleks dan multifaktorial, dengan beberapa mekanismenya melibatkan proses inflamasi, iskemia-cedera reperfusi, dan stres oksidatif. Hingga saat ini belum ada pedoman strategi proteksi ginjal pada operasi BPAK. Glutamin, sebuah asam amino esensial-kondisional memiliki efek anti inflamasi dan anti oksidena melalui induksi heat shock protein (HSP) dan produksi antioksidan glutathione (GSH). Sehingga, dihipotesiskan pemberian glutamin dapat menurunkan kejadian AKI menurunkan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif pada pasien yang menjalani operasi BPAK menggunakan mesin PJP dengan FE rendah. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi dan kelompok yang tidak mendapat glutamin. Kejadian AKI 24 jam pascaoperasi, kadar kreatinin serum 24 jam pascaoperasi dan estimated glomerular filtration rate(eGFR) 24 jam pascaoperasi merupakan luaran yang dinilai pada penelitian ini.
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan kejadian AKI 24 jam pascoperasi pada kelompok glutamin sebesar 3,3% dan kelompok kontrol 10%. Namun, tidak didapatkan hubungan bermakan kejadian AKI 24 jam pascaoperasi terhadap pemberian glutamin intravena praoperasi (p=0,612). Dari hasil pemeriksaan eGFR 24 jam pascaoperasi, didapatkan rerata kelompok kontrol 57,67 ± 18,86 mL/min/1,73m2dan kelompok glutamin 64,43 ± 17,56 mL/min/1,73m2, namun tidak berbeda bermakna (p=0,156). Dari hasil pemeriksaann kreatinin serum 24 jam pascaoperasi, didapatkan median kelompok kontrol 1,3 (0,87 – 2,68) mg/dL dan kelompok glutamin 1,2 (0,78 – 2,35), namun hasil ini juga tidak berbeda bermakna (p=0,258)
Kesimpulan: Pemberian glutamin intravena praoperasi pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, tidak memiliki hubunga bermakna terhadap kejadian AKI dan eGFR serta kadar kreatinin serum 24 jam pascaoperasi.

Background: Coronary artery disease can be managed by coronary artery bypass graft surgery (CABG) using a cardiopulmonary machine (CPB) and low ejection fraction (FE) is associated with increased short-term and long-term mortality. The incidence of postoperative acute kidney injury (AKI) after CABG using a CPB machine is quite common with a prevalence varying between 7.6-48.5%. The pathogenesis AKI after cardiac surgery is complex and multifactorial, with several mechanisms involving inflammation, ischemia-reperfusion injury, and oxidative stress. Until now, there are no guidelines for kidney protection strategies in CABG surgery. Glutamine, a conditionally essential amino acid has anti-inflammatory and anti-oxidant effects through the induction of heat shock protein (HSP) and the production of the antioxidant glutathione (GSH). Thus, it is hypothesized that the administration of glutamine can reduce the incidence of AKI and decrease renal function impairment after CABG surgery.
Methods: This study is a retrospective cohort study in patients who underwent CPA surgery using a PJP machine with low FE. Subjects were divided into groups that received preoperative intravenous glutamine and groups that did not receive glutamine. The incidence of AKI 24 hours postoperatively, serum creatinine levels 24 hours postoperatively and the estimated glomerular filtration rate (eGFR) 24 hours postoperatively were the outcomes assessed in this study.
Results:From this study, the incidence of AKI 24 hours postoperatively in the glutamine group was 3.3% and the control group was 10%. However, there was no significant relationship between the incidence of AKI 24 hours postoperatively with preoperative intravenous glutamine administration (p=0.612). From the results of the 24-hour postoperative eGFR examination, the mean of the control group was 57.67 ± 18.86 mL/min/1.73m2 and the glutamine group was 64.43 ± 17.56 mL/min/1.73m2, but not significantly different (p= 0.156). From the results of serum creatinine examination 24 hours postoperatively, the median control group was 1.3 (0.87 – 2.68) mg/dL and the glutamine group 1.2 (0.78 – 2.35) mg/dL, but these results also did not differ significantly (p=0,258)
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
"Latar belakang: Hiperglikemia dan AKI merupakan komorbiditas yang sering dijumpai pada anak sakit kritis. Keduanya berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hubungan antara hiperglikemia dan AKI pada anak sakit kritis belum banyak diketahui.
Tujuan: Diketahuinya perbedaan proporsi AKI pada kelompok anak sakit kritis dengan hiperglikemia dan nonhiperglikemia. Diketahuinya perbedaan rerata kadar gula darah admisi, kadar gula darah puncak, dan durasi hiperglikemia pada kelompok anak sakit kritis dengan AKI dan tanpa AKI.
Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada anak sakit kritis usia 1 bulan-18 tahun di ruang resusitasi IGD dan perawatan intensif anak RSCM selama bulan Agustus-Desember 2016. Pemeriksaan kadar gula darah, kreatinin serum, dan kadar NGAL urine dilakukan pada saat admisi. Pemantauan kadar gula darah dilakukan dengan interval 2 jam pada kelompok hiperglikemia. Seluruh subyek diikuti sampai keluar ruang perawatan intensif.
Hasil: Proporsi subyek anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia adalah 46,5 IK 95 36,8-56,2 . Proporsi subyek dengan hiperglikemia yang mengalami AKI menurut kriteria AKIN adalah 30,7 IK 95 21,8 ndash;39,6 , sedangkan proporsi subyek dengan hiperglikemia yang memiliki kadar NGAL urine >135 ng/mL adalah 21,8 IK 95 13,8 ndash;29,8 . Acute kidney injury menurut kriteria AKIN maupun kadar NGAL urine lebih banyak dijumpai pada subyek dengan hiperglikemia, namun perbedaan proporsi tersebut tidak bermakna secara statistik kriteria AKIN: RR 2,08; IK 95 0,93-4,67; P 0,072; NGAL urine >135 ng/mL: RR 1,34; IK 95 0,81-2,1; P 0,243 . Paparan hiperglikemia pada perawatan intensif dengan durasi ge;4 jam risiko AKI meningkat sebesar 2,38 kali IK 95 1,25 ndash;4,56.
Simpulan: Acute kidney injury banyak dijumpai pada anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia. Paparan hiperglikemia ge;4 jam pada perawatan intensif berkaitan dengan peningkatan risiko AKI pada anak sakit kritis.

Background Hyperglycemia and AKI are common in critically ill children. Both conditions are associated with increasing mortality and morbidity. The association of hyperglycemia and AKI in critically ill children is still not well understood.
Objective To evaluate the difference in proportion of AKI between critically ill children with and without hyperglycemia. To evaluate the mean difference of initial blood glucose, peak blood glucose, and the duration of hyperglycemia between critically ill children with and without AKI.
Method A prospective cohort study was conducted in critically ill children aged 1 month to 18 years at the emergency unit and the pediatric intensive care unit at Cipto Mangunkusumo Hospital between August December 2016. Blood glucose, creatinine serum, and urine NGAL was examined at admission. Blood glucose was monitored every 2 hours in hyperglycemic subjects. All of the subjects were followed until time of discharge from the intensive care unit.
Result Hyperglycemia in critically ill children was found in 46.5 subject 95 CI 36.8 56.2. Acute kidney injury based on the AKIN criteria was found in 30.7 hyperglycemic subjects 95 CI 21,8 ndash 39,6, and hyperglycemia with an increased urine NGAL level 135 ng mL was found in 21.8 subjects 95 CI 13.8 ndash 29.8. Acute kidney injury and an increased urine NGAL were more frequently found in subjects with hyperglycemia, however, the difference in the proportion was statistically insignificant AKIN criteria RR 2,08 95 CI 0,93 4,67 P 0,072 urine NGAL level 135 ng mL RR 1,34 95 CI 0,81 2,1 P 0,243 . The duration of hyperglycemia ge 4 hours at the intensive care unit increases the risk of AKI up to 2.38 times CI 95 1.25 ndash 4.56.
Conclusion Acute kidney injury are frequently seen in hyperglycemic critically ill children. A duration of hyperglycemia of ge 4 hours in intensive care unit is associated with an increased risk of AKI in critically ill children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ditia Gilang Shah Putra Rahim
"Latar belakang : Pasien penyakit jantung bawaan memiliki risiko untuk mengalami
kehilangan berbagai macam mikronutrien sesudah operasi koreksi dengan mesin pintas
jantung paru, salah satunya adalah vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat memperberat
komplikasi yang terjadi sesudah operasi koreksi dengan mesin pintas jantung paru.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari mesin pintas jantung paru terhadap
kadar vitamin D sesudah operasi koreksi penyakit jantung bawaan.
Metode : Penelitian dilakukan secara kohort prospektif dari bulan Maret-Juli 2020.
Pada penelitian ini didapatkan total 30 pasien yang menjalani operasi koreksi dengan
mesin pintas jantung paru. Pemeriksaan kadar vitamin D dilakukan sebelum operasi dan
24 jam sesudah mesin pintas jantung paru dimatikan.
Hasil : Rerata kadar vitamin D preoperasi adalah 27,24 ng/mL dengan yang mengalami
insufisiensi dan defisiensi sebanyak 70%. Rerata kadar vitamin D sesudah operasi
adalah 20,73 ng/mL dengan jumlah subjek yang mengalami insufisensi dan defisiensi
meningkat sebanyak 90%. Setelah operasi, terdapat penurunan vitamin D sebanyak 6,52
ng/mL (24% dari kadar sebelum operasi). Uji korelasi antara penurunan kadar vitamin
D dengan penggunaan mesin PJP menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai P <
0,001. Sedangkan tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara durasi penggunaan
mesin pintas jantung paru dan durasi aortic cross clamp dengan penurunan kadar
vitamin D.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan mesin pintas
jantung paru dengan penurunan kadar vitamin D, namun penurunan ini tidak
dipengaruhi oleh durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dan durasi aortic cross
clamp.

Background: Patients with congenital heart disease are at risk of losing various
micronutrients after corrective surgery with a cardio-pulmonary bypass machine, one
of which is vitamin D. Vitamin D deficiency can exacerbate complications that occur
after corrective surgery with a cardio-pulmonary bypass machine. This study aimed to
assess the effect of the cardio-pulmonary bypass machine on vitamin D levels after
corrective surgery for congenital heart disease.
Methods: This study was conducted in a prospective cohort from March to July 2020.
In this study, a total of 30 patients underwent corrective surgery with cardio-pulmonary
bypass machine. Vitamin D level checks were carried out before surgery and 24 hours
after the machine was turned off.
Results: The mean preoperative vitamin D level was 27.24 ng / mL with insufficiency
and deficiency as much as 70%. The mean postoperative vitamin D level was 20.73
ng/mL with the number of subjects experiencing insufficiency and deficiency increasing
by 90%. After surgery, there was a decrease in vitamin D by 6.52 mg / mL (24% of the
preoperative level). The correlation test between decreased levels of vitamin D and the
use of cardio-pulmonary bypass machines showed significant results with a P-value
<0.001. Meanwhile, there was no significant relationship between the duration of using
the cardio-pulmonary bypass machine and the duration of aortic cross clamp with a
decrease in vitamin D
Conclusion: There is a significant relationship between the use of cardio-pulmonary
bypass machines and a decrease in vitamin D levels, but this decrease was not
influenced by the duration of using the cardio-pulmonary bypass machine and the
duration of the aortic cross clamp.
"
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Maya Sari
"Pendahuluan: Acute kidney injury AKI merupakan komplikasi gagal organ pada sepsis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas di ICU.
Hasil dan pembahasan: Pemenuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI sangat tergantung pada keadaan klinis pasien dan terapi AKI. Pada serial kasus ini terdapat satu pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan 3 pasien dengan AKI klasifikasi AKIN 3. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 maupun sepsis dengan AKI AKIN 3 selama perawatan di ICU diberikan dengan target energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari. Perburukan fungsi ginjal pada pasien sepsis dengan AKI tidak disebabkan oleh pemberian nutrisi tinggi protein melainkan disebabkan oleh keadaan sepsis yang tidak teratasi. Terapi renal replacement therapy RRT dibutuhkan pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan AKIN 3 agar nutrisi dapat diberikan secara optimal untuk menunjang perbaikan klinis. Terapi nutrisi optimal pada pasien sepsis dengan AKI dapat mempertahankan lean body mass, memperbaiki sistem imun, dan memperbaiki fungsi metabolik.
Kesimpulan: Terapi nutrisi yang adekuat dengan energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari pada pasien sepsis dengan AKI dapat menunjang perbaikan klinis.

Introduction Acute kidney injury AKI is an organ failure complication in sepsis that increased morbidity and mortality in ICU.Results and discussion Nutrition in sepsis with AKI patients are dependent on clinical condition and AKI treatment. In this serial case displayed one case septic AKI classification AKIN 2 and three cases septic AKI classification AKIN 3.
Nutritional requirements for sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKI classification AKIN 3 in ICU setting were targetted at 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day. Worsening renal function in sepsis with AKI are not caused by high protein intake but caused by unresolved infection. Renal replacement therapy is required in sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKIN 3 to maintain adequate nutritional therapy for better clinical outcomes.
The optimal nutritional therapy in sepsis with AKI aimed to maintain lean body mass, improved immune function, and metabolism.Conclusion Adequate nutritional therapy with energy 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day in sepsis with AKI can bolster better clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Syahidatul Wafa
"Latar Belakang: Strategi yang sering digunakan untuk mengurangi kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin adalah kombinasi hidrasi dan mannitol. Walaupun sebagian studi menyatakan bahwa mannitol menurunkan kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin, studi lainnya menunjukkan hal sebaliknya.
Tujuan: Mengetahui pengaruh penambahan mannitol pada hidrasi terhadap kejadian acute kidney injury pada pasien kanker yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi.
Metode: Studi dengan desain kohort ambispektif terhadap pasien kanker organ padat yang mendapat kemoterapi cisplatin dosis tinggi di RSCM dan MRCCC Siloam Hospitals. Penelitian dilakukan pada September 2017-Februari 2018. Luaran yang dinilai adalah peningkatan kreatinin serum ge; 0,3 mg/dl atau 1,5 kali kadar pra kemoterapi. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi antara kelompok dengan penambahan mannitol terhadap kelompok tanpa penambahan mannitol pada hidrasi.
Hasil: Data didapat dari 110 pasien (57,3% laki-laki) dengan median usia 44,5 tahun (kisaran 19 - 60 tahun); 63 mendapat penambahan mannitol dan 47 hanya hidrasi. Proporsi kejadian AKI lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan penambahan mannitol vs kelompok tanpa penambahan mannitol (22,6% vs 10,4%). Pada analisis bivariat didapatkan penambahan mannitol pada hidrasi meningkatkan probabilitas terjadinya AKI pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi, dengan risiko relatif (RR) sebesar 2,168 (IK 95% 0,839-5,6). Pada analisis multivariat dengan mengontrol usia, adjusted RR adalah 3,52 (IK 95% 1,11-11,162; p value = 0,033).
Simpulan : Penambahan mannitol pada hidrasi memiliki risiko lebih besar terhadap kejadian AKI pasca kemoterapi Cisplatin dosis tinggi.

Background: The addition of mannitol to saline hydration has been used frequently for preventing cisplatin induced acute kidney injury (AKI). Meanwhile, the initial studies demonstrated that mannitol diuresis decreased cisplatin induced renal injury and others have shown renal injury to be worst.
Objective: To compare the risk of acute kidney injury in cancer patients receiving high dose cisplatin with and without addition of mannitol.
Method: This was an ambispective cohort study based on consecutive sampling at Cipto Mangunkusumo General Hospital and Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals. The data was obtained from September 2017 to February 2018. The choice of mannitol administration based on responsible physician clinical judgment. The outcome was any increment more than 0,3 mg/dl or 1,5 times from baseline of serum creatinine. Analysis was done by using SPSS statistic which consist of; univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of cisplatin induced acute kidney injury probability of mannitol addition on hydration.
Result: Data from 110 patients (57,3%) male with a median age of 44,5 years old (range 19 to 60 years old) were collected; 47 received saline alone and 63 received saline with mannitol addition. Acute kidney injury were higher with mannitol than without mannitol addition (22,6% vs 10,4%). Bivariate analysis showed higher probability of post chemotherapy AKI in mannitol group (RR 2,168; 95% CI 0,839-5,6). On multivariate analysis the adjusted RR was 3,52 (95% CI 1,11-11,162; p value = 0,033) by controlling age.
Conclusion: The addition of mannitol on hydration had higher risk of AKI after high dose cisplatin chemotherapy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>