Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shafira Ninditya
"[Latar Belakang: Di Amerika Serikat, terdapat 16.000 kematian setiap tahunnya
karena trauma pada dada, berkontribusi pada 75% kematian akibat trauma. Di
RSCM Jakarta, tercatat setidaknya ada 1200 mayat yang masuk dengan hanya
33,3% mayat diautopsi sehingga dapat diketahui kerusakan organ dalamnya.
Pemanfaatan epidemiologi forensik untuk menentukan hubungan kemaknaan
antara temuan luka luar dengan kerusakan organ dalamnya dapat menunjang opini
ahli dokter forensik pada kasus yang tidak diautopsi.
Metode: Subjek penelitian ini adalah 128 mayat yang diautopsi di Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM Jakarta Tahun 2010-
2013, dengan temuan luka luar akibat kekerasan tajam pada dada dan punggung.
Dari rekam medis korban yang sesuai dengan kriteria inklusi kriteria dan eksklusi
diinput ke dalam program SPSS, dan selanjutnya dianalisis hubungan antara
kedua variabel.
Hasil: Berdasarkan Uji Chi Square ataupun Uji Fischer, ditemukan hubungan
bermakna (p<0,05) antara (i) luka tusuk dada kanan dengan iga kanan, paru
kanan, dan hati; (ii) luka tusuk dada kiri dengan iga kanan, iga kiri, jantung, paru
kanan, dan paru kiri; (iii) luka tusuk dada tengah dengan sternum; (iv) luka tusuk
punggung kanan dengan iga kanan, jantung, dan paru kanan; (v) luka tusuk
punggung kiri dengan kerusakan iga kanan, jantung, paru kanan, paru kiri, hati,
dan ginjal kiri; serta (vi) luka bacok dada kiri dengan paru kiri.
Pembahasan: Terdapat variasi kemaknaan pada setiap hubungan antara kedua
variabel. Hal ini terutama dipengaruhi oleh hubungan secara letak anatomi, yang
selanjutnya dipengaruhi oleh jenis luka, alat tajam yang digunakan dalam
kekerasan tersebut beserta arah penetrasinya, besar gaya untuk menentukan
sedalam apa luka yang dihasilkan, dan densitas jaringan organ dalam.;Introduction: In the United States, there are 16,000 deaths each year from chest
injury, giving 75% death caused by trauma. At Cipto Mangunkusumo Hospital
Jakarta, there are at least 1,200 corpses registered with only 33.3% of the corpse?s
visceral organ injury could be discovered. Utilization of forensic epidemiology to
determine the relation between findings of external injuries and damages to
visceral organ could support the opinion of the expert forensic doctor in a case of
non-autopsy.
Method: The subjects of this research are 128 corpses, which were autopsied
from 2010 until 2013 in the Forensic Medicine and Medicolegal Department of
FKUI/RSCM Jakarta, exclusively corpses with sharp force trauma in the chest
and the back area. The medical records of these corpses, which met the inclusion
and exclusion criteria were inputted to SPSS program and analyzed the
relationship between them.
Result: Based on both Chi Square Test and Fischer Test, significant results
(p<0,05) were found between (i) sharp force injury on the right chest area with
damages in the right rib, right lung, and liver; (ii) sharp force injury of the left
chest area with damages in the right rib, left rib, heart, right lung, and left lung;
(iii) sharp force injury of the middle chest area with damages in the sternum; (iv)
sharp force injury of the right chest area with damages in the right rib, heart and
right lung; (v) sharp force injury of left chest area with damages in the right rib,
heart, right lung, left lung, liver, and left kidney; and (vi) gash wound on the left
chest area with damages in the left lung.
Discussion: There is variation of significance on every relationship between those
two variables. It is mainly caused by the anatomical reason, then followed by the
type of injury, weapon used with its penetrating direction, amount of force to
determine how deep the injury is, and tissue density of the visceral organs, Introduction: In the United States, there are 16,000 deaths each year from chest
injury, giving 75% death caused by trauma. At Cipto Mangunkusumo Hospital
Jakarta, there are at least 1,200 corpses registered with only 33.3% of the corpse’s
visceral organ injury could be discovered. Utilization of forensic epidemiology to
determine the relation between findings of external injuries and damages to
visceral organ could support the opinion of the expert forensic doctor in a case of
non-autopsy.
Method: The subjects of this research are 128 corpses, which were autopsied
from 2010 until 2013 in the Forensic Medicine and Medicolegal Department of
FKUI/RSCM Jakarta, exclusively corpses with sharp force trauma in the chest
and the back area. The medical records of these corpses, which met the inclusion
and exclusion criteria were inputted to SPSS program and analyzed the
relationship between them.
Result: Based on both Chi Square Test and Fischer Test, significant results
(p<0,05) were found between (i) sharp force injury on the right chest area with
damages in the right rib, right lung, and liver; (ii) sharp force injury of the left
chest area with damages in the right rib, left rib, heart, right lung, and left lung;
(iii) sharp force injury of the middle chest area with damages in the sternum; (iv)
sharp force injury of the right chest area with damages in the right rib, heart and
right lung; (v) sharp force injury of left chest area with damages in the right rib,
heart, right lung, left lung, liver, and left kidney; and (vi) gash wound on the left
chest area with damages in the left lung.
Discussion: There is variation of significance on every relationship between those
two variables. It is mainly caused by the anatomical reason, then followed by the
type of injury, weapon used with its penetrating direction, amount of force to
determine how deep the injury is, and tissue density of the visceral organs]"
Lengkap +
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenggo Septiady P
"[Pendahuluan: Luka penetrasi akibat kekerasan tajam merupakan temuan yang umum dalam pemeriksaan luar tindakan autopsi. Namun, sebagian besar mayat korban kekerasan tidak menjalani pemeriksaan dalam karena beragam alasan. Dengan demikian, temuan luka luar dapat berperan sebagai salah satu pertimbangan ahli forensik dalam memperkirakan kerusakan organ dalam walau tidak memiliki kekuatan secara hukum. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan bukti empiris terkait kerusakan organ dalam yang ditimbulkan kekerasan tajam. Metode: Peneliti mengambil sampel 5 luka penetrasi ke rongga peritoneal pada masing-masing area abdomen dari 36 subjek penelitian yang diotopsi di Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM, kemudian mencari tahu organ yang terlibat melalui data pemeriksaan baku emas. Hasil: Melalui uji hipotesis menggunakan uji Fisher, didapatkan nilai yang bermakna (p< 0,05) pada beberapa korelasi terkait temuan luka dan kerusakan organ dalam, yakni pada luka penetrasi di epigastrik dengan kerusakan hati (p= 0,01), luka penetrasi di hipokondriak kanan dengan kerusakan hati (p= 0,01), luka penetrasi di hipokondriak kiri dengan kerusakan lambung (p= 0,002), luka penetrasi di umbilikal dengan kerusakan pembuluh darah abdomen mayor (p= 0,004), serta luka penetrasi di iliaka kiri dan kerusakan pankreas (p= 0,01). Pembahasan: Korelasi yang bermakna pada temuan luka luar dan kerusakan organ dalam terkait regio anatomi dan arah luka. Besaran gaya yang diberikan turut mempengaruhi organ-organ yang terlibat;Introduction: Penetrating wounds from sharp force injuries are common findings in external examination of autopsy. Unfortunately, the majority of the victims do not undergo the internal examination part due to various reasons. Even though the forensic doctors do not perform the autopsy completely, the external findings can prove to be useful to predict the resulted organ damages. Therefore, they would still be able to release their expertise opinions based on evidence based medicine. The aim of this study is to produce the empirical evidence related to penetrating wound and organ damage. Method: Five penetrating wounds into peritoneal cavity for each abdominal region from 36 corpses, that had already been autopsied in Forensic and Medicolegal Department FKUI-RSCM, was analyzed to identify organ damage by using gold standard examination (e.g. internal examination in forensic practice), and then to find the correlation between them. Result: The results from hypothesis testing Fisher shows that the p< 0,05 appeared in some correlation findings between variables (penetration wound in epigastric and right hypochondriac and liver damage (p= 0,01), penetration wound in left hypochondriac and stomach damage (p= 0,002), penetration wound in umbilical and major abdomen blood vessel (p= 0,004), and penetration wound in left iliaca and pancreas damage (p= 0,01), thus made them statistically significant. Discussion: The significant results strongly associated with anatomical region and the direction of the wound. The amount of force applied to each wound affected the outcome of the damaged organs, Introduction: Penetrating wounds from sharp force injuries are common findings in external examination of autopsy. Unfortunately, the majority of the victims do not undergo the internal examination part due to various reasons. Even though the forensic doctors do not perform the autopsy completely, the external findings can prove to be useful to predict the resulted organ damages. Therefore, they would still be able to release their expertise opinions based on evidence based medicine. The aim of this study is to produce the empirical evidence related to penetrating wound and organ damage. Method: Five penetrating wounds into peritoneal cavity for each abdominal region from 36 corpses, that had already been autopsied in Forensic and Medicolegal Department FKUI-RSCM, was analyzed to identify organ damage by using gold standard examination (e.g. internal examination in forensic practice), and then to find the correlation between them. Result: The results from hypothesis testing Fisher shows that the p< 0,05 appeared in some correlation findings between variables (penetration wound in epigastric and right hypochondriac and liver damage (p= 0,01), penetration wound in left hypochondriac and stomach damage (p= 0,002), penetration wound in umbilical and major abdomen blood vessel (p= 0,004), and penetration wound in left iliaca and pancreas damage (p= 0,01), thus made them statistically significant. Discussion: The significant results strongly associated with anatomical region and the direction of the wound. The amount of force applied to each wound affected the outcome of the damaged organs]"
Lengkap +
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Pendahuluan: Epidemiologi forensik merupakan disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu investigasi kasus. Dengan pendekatan ini, dapat ditentukan adanya hubungan antara suatu paparan dengan cedera atau dampak yang terjadi. Salah satu paparan yang banyak ditemukan di Indonesia ialah kekerasan fisik, termasuk kekerasan tumpul. Kekerasan tumpul menempati 70,9% proporsi jenis cedera. Abdomen merupakan salah satu bagian tubuh yang rentan mengalami kerusakan akibat kekerasan fisik dikarenakan strukturnya yang lemah dan kendur karena tidak dilindungi oleh tulang, melainkan hanya tersusun atas kulit, fascia, dan otot yang membentuk dinding rongga abdomen. Kerusakan organ dalam di daerah abdomen sulit diidentifikasi karena umumnya tidak ditemukan adanya bentuk luka khas pada pemeriksaan fisik luar. Oleh sebab itu, pada penelitian ini akan dianalisis hubungan antara temuan luka pada kekerasan tumpul di abdomen dengan kerusakan organ dalamnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional berdasarkan data sekunder berupa laporan visum dan rekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2013 dengan metode consecutive sampling.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara temuan luka lecet atau memar di beberapa regio abdomen dengan kerusakan organ tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan subjek laki-laki sebanyak 25 orang (69,44%) dan perempuan sebanyak 11 orang (30,56%) dengan kelompok usia terbanyak pada 21-40 tahun sejumlah 14 kasus (28,89%). Dari uji hipotesis Fisher diperoleh hubungan yang bermakna secara statistik antara temuan luka kekerasan tumpul (lecet dan memar) di epigastrium dengan kerusakan ginjal kiri (p = 0,028), temuan luka kekerasan tumpul di epigastrium dengan kerusakan lambung (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di umbilikus dengan kerusakan lambung (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di umbilikus dengan kerusakan pankreas (p = 0,042), temuan luka kekerasan tumpul di hipokondria kiri dengan kerusakan hati (p = 0,006), dan temuan luka kekerasan tumpul (lecet dan memar) di hipogastrium dengan kerusakan hati (p = 0,023).
Pembahasan: Adanya hubungan antara temuan luka luar di abdomen dengan kerusakan organ dalam dimungkinkan akibat keterkaitan secara anatomi, baik karena dampak tekanan secara langsung maupun tidak langsung yang dihantarkan oleh otot ataupun organ lainnya yang terletak berdekatan., Introduction: Forensic epidemiology can be used to solve the criminal cases. This approach may determine the correlation between an exposure and the damages caused by the trauma. In Indonesia, blunt trauma account for 70,9% injury. Abdomen is part of the human body that vulnerable to damage caused by force injury as intra-abdominal organs consist of delicate and soft structure which aren’t completely protected by bones. Damage to the intra-abdominal organs are difficult to recognize as it is uncommon to find the definite external wound. This study is conducted to analyze the association between external wound caused by blunt trauma and the damage to the intra-abdominal organs.
Method: This study is a cross-sectional study, using secondary data from forensic examination report and medical record of Cipto Mangunkusumo Hospital in 2003-2013 with consecutive sampling method.
Result: The result implicates there was association between scratch or bruise wound from external forensic examination in various abdomen regions and damage to intra-abdominal organs. The study involved 25 males (69,44%), 11 females (30,56%), and most of the subjects were aged 21-40 years in 14 cases (28,89%). By performing Fisher test: there was significant association between scratches or bruises in the epigastrium and damage to the left kidney (p = 0,028), significant association between scratches or bruises in the epigastrium and damage to the stomach (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the umbilicus and damage to the stomach (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the umbilicus and damage to the pancreas (p = 0,042), significant association between scratches or bruises in the left hypochondriac and damage to the liver (p = 0,006), and significant association between scratches or bruises in the hypogastrium and damage to the stomach (p = 0,023).
Discussion: The correlation between external wound in abdomen and the organ damages could be caused by anatomical association or indirect impact from the other adjacent organs]"
Lengkap +
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zharifah Fauziyyah Nafisah
"Pendahuluan: Di Asia Tenggara, angka kecelakaan merupakan peringkat ke-9 pada daftar penyebab kematian. Kekerasan akibat benda tumpul sendiri menyebabkan hampir tiga ribu kematian di Amerika pada tahun 2007-2011. Kekerasan tumpul, terutama pada dada dapat menyebabkan komplikasi pada organ dalam seperti jantung, paru, pembuluh, saraf, bahkan tulang dan otot. Komplikasi inilah yang dapat menjadi penyebab kematian seseorang. Akan tetapi, tidak semua jenazah yang ada selalu diotopsi sehingga penyebab kematian korban tidak dapat diketahui dengan benar. Epidemiologi forensik sebagai cabang ilmu kedokteran forensik yang baru berkembang digunakan untuk menentukan hubungan antara temuan luka akibat kekerasan tumpul di dada dengan kerusakan organ dalam.
Metode: Subjek penelitian ini adalah 135 mayat yang diotopsi di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM dengan temuan luka akibat kekerasan tumpul di dada. Dari rekam medik korban yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, data jenis temuan luka dan kerusakan organ diinput ke dalam SPSS dan dilihat persebaran datanya serta dicari hubungannya.
Hasil: Pada penelitian ini, ditemukan hubungan bermakna (P<0,05) antara luka lecet di dada kanan dengan kerusakan iga kanan (P=0,00) dan iga kiri (P=0,005), luka lecet di dada kiri dengan kerusakan iga kiri (P=0,038), luka terbuka tepi tidak rata di dada kiri dengan kerusakan iga kanan (P=0,021), dan diafragma (P=0,028).
Pembahasan: Hubungan kebermaknaan ini disebabkan oleh adanya hubungan secara anatomis antara luka luar dengan kerusakan organ dalam yang dipengaruhi juga oleh jenis luka akibat perbedaan gaya trauma yang dibutuhkan untuk menghasilkan perlukaan tersebut.;Introduction: Accident is the 9th leading cause of death in South-East Asia.

Blunt force trauma caused almost three thousand deaths in United States of America from 2007 until 2011. Blunt force trauma in chest can cause complications to the visceral organs such as heart, lungs, vessels, nerves, even bones and muscles. These complications could be a cause of death. But, not all corpses always get autopsied so that the real cause of death could not be known right.
Method: Subject of this research was 135 corpses that were autopsied in Forensic Medicine and Medicolegal Department FKUI-RSCM with blunt force trauma findings in chest. From the medical record that is suitable with the inclusion and exclusion criterias, the type of blunt force trauma findings and the visceral organ damages were inputted, described by the data’s distribution, and
analyzed to find the relation.
Result: Significant result (P<0.05) found in four variable correlations, which are the relation between abrasions in right chest with right ribs damages (P=0.00) and left ribs damages (P=0.005), abrasions in left chest with left ribs damages (P=0.038), and lacerations in left chest with right ribs damage (P=0.021) and diaphragm damage (P=0.028). Discussion: These significant results caused by the anatomical relation between the blunt force trauma findings and"
Lengkap +
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Melati Suciyanie
"Latar Belakang: Identifikasi manusia yang hidup dan mati sangat penting dalam odontologi forensik. Beberapa prosedur untuk estimasi usia dewasa saat kematian yang banyak digunakan adalah metode morfohistologis, yaitu Tooth Cementum Annulation (TCA) dan Root Dentin Translucency (RDT). Namun, masih sedikit penelitian yang membandingkan kedua metode tersebut dan akurasinya dalam memperkirakan usia dewasa saat kematian. Tujuan: Untuk menguji dan membandingkan akurasi antara metode TCA dan RDT. Metode: Pencarian data dilakukan melalui lima database elektronik: Pubmed, SCOPUS, EBSCO, ScienceDirect, dan Wiley, dengan mengikuti pedoman dari Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analyses (PRISMA). Hasil: Dari total 1178 studi, 28 studi diikutsertakan untuk analisis kualitatif dan 23 studi untuk meta-analisis. Metode RDT menghasilkan metode yang lebih akurat untuk memperkirakan usia kematian orang dewasa (WMD=1,96 tahun; 95% CI: -0,88, 4,79) pada seluruh populasi. Metode RDT memberikan akurasi yang lebih baik pada dewasa tua (WMD=1,74 tahun; 95% CI: -2,33, 5,82). Namun, pada kelompok usia dewasa muda dan menengah, akurasi lebih baik pada metode TCA. Perempuan memberikan akurasi yang lebih baik daripada laki-laki pada metode TCA. Kedua metode memberikan korelasi yang cukup kuat terhadap usia kronologis, tetapi metode TCA sedikit lebih reliabel dan berkorelasi lebih kuat dengan usia kronologis. Kesimpulan: Metode RDT lebih akurat dibandingkan dengan metode TCA pada seluruh populasi. Direkomendasikan untuk menggunakan metode TCA untuk dewasa muda dan menengah (15-44 tahun) serta metode RDT untuk dewasa tua (≥45 tahun).

Background: Identification of the living and the dead is essential in routine forensic dental examinations. Several procedures for age-at-death estimation in adults have been introduced, including Tooth Cementum Annulation (TCA) and Root Dentin Translucency (RDT) methods that are frequently used. There are still few studies that compared both methods and their accuracy in estimating adult age at death. Aim: This study aims to test and compare the accuracy between the TCA and RDT methods. Methods: Data searches were carried out through five electronic databases: Pubmed, Scopus, Ebsco, ScienceDirect, and Wiley, following the guidelines of Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Results: Out of the total 1178 literature, 28 studies were recruited for qualitative analysis and 23 studies for meta-analysis. RDT produces a more accurate method to estimate age at death for adults (WMD=1.96 years; 95% CI: -0.88, 4.79) in the entire population. The RDT method gave better accuracy in older adults (WMD=1.74 years; 95% CI: -2.33, 5.82). However, in younger adults, the accuracy is better with the TCA method. Furthermore, females give a superior accuracy than males in the TCA age estimation. Both methods give a strong enough correlation to chronological age, but TCA method is slightly more reliable and correlated stronger with chronological age at death. Conclusion: The RDT age estimation is more accurate than the TCA method in the entire population. It is recommended to use the TCA method for younger adults (15-44 years) and the RDT method for the older ones (≥45 years)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Redi
"Penelitian ini mengkaji satu kasus ujaran oleh HA dan FM terhadap LBP pada tahun 2021 yang berpotensi dikategorikan sebagai ujaran penghinaan dan pencemaran nama baik. HA dan FM dianggap memberikan pernyataan yang memuat ujaran penghinaan dan pencemaran nama baik oleh LBP. Dalam penelitian ini disajikan analisis berdasarkan kajian wacana, pragmatik, dan semantik dengan metode deskriptif kualitatif. Peneliti juga menghubungkan hasil analisis dengan perundang-undangan yang dijeratkan kepada HA dan FM. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa video yang diambil dari YouTube menggunakan teknik studi dokumentasi. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pernyataan HA dan FM pada kalimat jadi, Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini dan jadi penjahat juga kita serta pada kata The Lord tidak dapat dikategorikan sebagai ujaran penghinaan dan pencemaran nama baik berdasarkan kajian linguistik forensik yang didukung oleh analisis wacana, pragmatik, dan semantik dan analisis atas Pasal 310 ayat (1) KUHP yang tidak memenuhi semua unsur. Analisis yang diterapkan dalam penelitian ini, yang mengarah pada analisis wacana, pragmatik, dan semantik, dapat menjadi model dalam pengkajian kasus ujaran kebencian di pengadilan.
This research examines one case of speech by HA and FM’s towards LBP in 2021 which has the potential to be categorized as speech humiliation and defamatory. HA and FM are considered to have provided statements containing humiliation and defamatory speech by LBP. In this research, analysis is presented based on discourse, pragmatics and semantic studies using qualitative descriptive methods. Researchers also linked the results of the analysis to the legislation that was imposed on HA and FM. This research uses data sources in the form of videos taken from YouTube using documentation study techniques. The results of this research show that HA and FM's statements in the sentence jadi, Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini and jadi penjahat juga kita and the words The Lord cannot be categorized as speech humiliation and defamation based on forensic linguistic studies supported by discourse analysis, pragmatics and semantics and analysis of Pasal 310 ayat (1) KUHP which does not meet all the elements. The analysis applied in this research, which leads to discourse analysis, pragmatics and semantics, can be a model in studying hate speech cases in court."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mindya Yuniastuti
"Latar Belakang
Penentuan usia seseorang memegang peranan penting dalam kedokteran forensik, tidak hanya untuk identifikasi tubuh, tetapi erat pula kaitannya dengan tindak kejahatan dan kecelakaan (1). Akibat dari tindak kejahatan dan kecelakaan ini, tidak jarang ditemukan kerangka manusia atau korban yang sulit diidentifikasi. Banyak prosedur dapat ditempuh dalam menentukan usia seseorang antara lain dari penutupan sutura tengkorak, penyatuan epifisis, dan diafisis tulang panjang, permukaan simfisis pubis serta dari gigi geligi seseorang (2,3,4,5,6,7,8,9,10,11).
Penentuan usia didasarkan pada gigi geligi seseorang menjadi sangat penting artinya terutama jika bahan lain yang diperlukan untuk identifikasi telah rusak, misalnya pada kasus kebakaran, kecelakaan pesawat terbang, atau telah terjadi proses pembusukan tubuh seseorang (7, 12). Pada keadaan tersebut biasanya gigi geligi merupakan jaringan satu-satunya yang relatif masih utuh (7,8,9), sehingga struktur maupun morfologinya tidak berbeda dengan orang hidup. Hal ini dapat terjadi karena gigi geligi dilapisi oleh email, yang merupakan jaringan tubuh yang paling keras (13,14,15). Oleh karena itu, perkiraan usia dan gigi geligi dapat merupakan sumbangan informasi yang amat berguna dalam hal penentuan usia tersebut, sehingga akan lebih memudahkan para ahli forensik melakukan identifikasi usia secara tepat (16).
Untuk menentukan atau memperkirakan usia didasarkan pada gigi geligi , ternyata gambaran radiografis memegang peranan penting (15,17, 18,19). Dengan foto radiografis dapat diketahui antara lain gambaran pertumbuhan gigi, urutan erupsi dan kalsifikasi gigi, yang semuanya berguna selain di bidang kedokteran gigi forensik, juga antropologi dan arkeologi, dalam kaitannya dengan identifikasi usia. Di bidang arkeologi ini biasanya gambaran radiografis digunakan untuk perkiraan usia pada penemuan sejumlah besar rangka, meskipun hal ini umumnya jarang digunakan untuk dasar pemeriksaan rutin (16). Selain itu, dengan foto radiografis identifikasi dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan tepat (18,19). Dan berbagai jenis foto radiografis, yang banyak digunakan adalah foto panoramik, karena dengan foto tersebut akan diperoleh seluruh gambaran gigi sulung maupun gigi tetap pada rahang atas dan bawah dengan jelas.
Beberapa penelitian tentang perkiraan usia berdasarkan gambaran radiografis pertumbuhan gigi telah dilakukan, namun penelitian gigi molar 3 rahang bawah masih langka. Beberapa kemungkinan langkanya penelitian ini disebabkan karena waktu erupsi gigi molar 3 sangat bervariasi dibandingkan dengan gigi lainnya (20,21). Penelitian tentang perkiraan usia berdasarkan pertumbuhan gigi molar 3 rahang bawah saja, akan mendapatkan kisaran usia yang pendek yaitu antara 14 - 20 tahun, sehingga hubungannya dengan identifikasi usia sangat terbatas.
Pembentukan akar gigi molar 2 rahang bawah sudah dimulai pada usia antara 7-8 tahun (22,23). Oleh karena itu gabungan penelitian tentang pembentukan akar gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah akan mempunyai kisaran usia yang lebih lebar, sehingga penggunaannya untuk identifikasi usia seseorang lebih luas.
Pada saat ini di Indonesia belum banyak acuan untuk memperkirakan usia dari gambaran radiografis gigi geligi. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana mendapatkan data dasar untuk pedoman memperkirakan usia berdasarkan gambaran radiografis gigi geligi. Sehubungan dengan hal itu, dilakukan penelitian perkiraan usia dari gambaran panoramik radiografis dengan metode pengukuran panjang dan stadium pertumbuhan gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah. Dengan mengukur panjang gigi dan mengetahui stadium pertumbuhan gigi tersebut di atas, dapat diketahui perkiraan usia seseorang. Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari landasan pemikiran bahwa :
Gambaran radiografis merupakan cara yang tepat untuk mengetahui pertumbuhan gigi (1,16,17,21,24). Dengan membuat foto panoramik radiografis bisa diperoleh gambaran gigi geligi pada seluruh rahang. Selain itu prosedur pembuatannya cepat dan murah.
Gambaran radiografis gigi molar rahang bawah biasanya lebih jelas dibandingkan dengan gigi molar rahang alas . Hal ini disebabkan tidak adanya struktur lain di rahang bawah dibandingkan dengan rahang atas. Karena itu dengan memilih pertumbuhan gigi molar 2 dan molar 3 rahang bawah untuk perkiraan usia, diharapkan akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas, sehingga perkiraan usia diharapkan bisa lebih akurat."
Lengkap +
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Oxford University Press, 1993
614.4 CAS (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Sampurna
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0190
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Agusalam Budiarso
"Fotografi merupakan bagian terintegrasi standard prosedur pemeriksaan forensik dan dapat berperan sebagai petunjuk, keterangan pengganti barang bukti maupun sebagai barang bukti itu sendiri. Dokumentasi fotografi forensik memiliki tujuan menghasilkan gambar yang berkualitas dan akurat. Akurasi gambar dapat dinilai dari kesesuaian antara keadaan sebenarnya (atau setidaknya mendekati) saat pengambilan gambar dan pemeriksaan dilakukan oleh dokter pemeriksa dengan interpretasi orang lain yang melihatnya di waktu yang berbeda. Hasil studi observasional potong lintang menggunakan 55 sampel penelitian gambar digital kamera DSLR didapatkan panjang fokal lensa 50mm memiliki hubungan bermakna (p < 0,05). Sedangkan rentang nilai bukaan lensa (f7,1-f8,0), kecepatan rana (1/100 detik-1/125 detik) dan sensitivitas sensor (ISO = 800-1600) dengan penggunaan cahaya tambahan flashlite dapat dijadikan acuan dasar settingan kamera digital pada pemeriksaan genitalia kasus kekerasan seksual pada anak saat ini. Selain itu, didapatkan kesesuaian keseluruhan interpretasi sedang antara dua ahli forensik (k = 0,457), kesesuaian interpretasi pada area labia minor masih dapat diterima (k = 0,238) dan fourchette posterior (k = 0,230), serta kesesuaian interpretasi kuat pada area hymen (k = 0,643).

Photography is an integrated part of standard forensic examination procedures and can act as a guide, substitute information for evidence as well as evidence itself. Forensic photography documentation aims to produce quality and accurate images. Image accuracy can be assessed from the conformity of the actual situation (or at least approaching) when shooting an image and doctors examinations with the interpretation of other people who see it at different times. The results of a cross-sectional observational study using 55 DSLR camera digital image research samples obtained that 50mm lens focal length had a significant relationship (p <0.05). While the range of lens aperture (f7,1-f8,0), shutter speed (1/100 seconds-1/125 seconds) and sensor sensitivity (ISO = 800-1600) with additional use of flashlite can be used as a basic reference for digital camera settings on child sexual violence cases examination. In addition, it was found that the overall interpretation conformity was moderate between two forensic experts (k = 0.457), interpretation conformity could still be fair in the minor labia (k = 0.238) and posterior fourchette (k = 0.230), also substantial in the hymen (k = 0.643)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>