Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54423 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This paper links the settlement of the separatist conflict to the democratization that took place in Indonesia after fall of President Suharto in 1998. It argues that the separatist conflict resolution in Aceh (constructed under the Helsinki Agreement in 2005) is a result of the democratization process in Indonesia that ha raised awareness among the Indonesian government and GAM (the free Aceh movement) leaders of the importance and effectiveness of dialogue and negotiation to settle the conflict. in addition, focusing on the case of Aceh, this aper also contributed to the literature on the relationship between democracy and peace by identifying the circumstance under which democracy may have a positive link with peace."
DIPLU 7:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aspinall, Edward
Singapore: NUS Press Singapore, 2009
959.804 ASP i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Harza Mauludi
"Skripsi ini membahas mengenai perjuangan Partai Aceh (PA) dalam penyusunan qanun lembaga wali nanggroe. Penyusunan qanun lembaga wali nanggroe yang tidak terlepas dari peran PA yang sangat dominan di Aceh, terutama di parlemen serta intervensi dari Pemerintah Pusat. Melalui metode penelitian kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi kepentingan PA dalam qanun lembaga wali nanggroe, terutama dari sudut pandang politik. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa kepentingan PA di dalam penyusunanqanun lembaga wali nanggroe adalah membentuk lembaga wali nanggroe yang kuat dan mengamankan kursi wali nanggroe.

This thesis examines the Aceh Party?s struggle in establishing the institution of guardian of the state law (qanun lembaga wali nanggroe). The making of this law is separable with Aceh Party's dominant role in Aceh, especially in the parliament, and Central Government?s intervention. Using qualitative research methods, this study aims to determine and understand Aceh Party?s secret interests inthe institution of guardian of the state law, especially the political one. This study finds that Aceh Party?s interests in establishing the institution of guardian of the state law is making the strong institution and securing the guardian of the state position."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S62374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Heri Suhanda
"Tesis ini merupakan hasil penelitian yang mengambarkan Model Birokrasi Pemerintah Dalam Otonomi Khusus yang berfokus pada penataan struktur organisasi dan tata kerja di Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini bersumber dari timbulnya permasalahan dalam birokrasi pemerintah dalam merealisasikan kebijakan otonomi khusus dalam hal struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) yang kurang efektif dan efisien Disamping itu terdapat ketidakjelasan dalam pembuatan SOTK yang menyebabkan terhambatnya pembahauran.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sebelum dilaksanakan penelitian ini diadakan analisa kepustakaan untuk memperoleh gambaran model birokrasi yang tepat diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya data diperoleh melalui studi kepustakaan, wawancara mendalam dengan para informan dan observasi. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dimana informan dipilih berdasarkan informasi yang dibutuhkan. Jumlah informan sebanyak 13 orang yang terdiri dari Aparatur pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah 10 orang kemudian dari tokoh agama 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang, dan 1 orang tokoh pendidikan. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan model birokrasi yang tepat bagi pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara teori dan mendiskripsikan kenyataan model birokrasi yang diterapkan. Dengan penganalisaan akan diperoleh bentuk optimal dari model birokrasi secara kelembagaan dalam konteks otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan analisa kepustakaan didapatkan bahwa model birokrasi yang tepat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang kelembagaan harus memiliki struktur organisasi dan hirarki yang jelas sehingga setiap pegawai mempunyai wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria kedudukan yang telah ditetapkan. Di samping itu harus terdapat adanya peraturan yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap pegawai dapat mengambil keputusan dalam tiap unit tugas yang didasarkan pada pembagian tugas dan fungsi berdasarkan keahlian (spesialisasi). Penciptaan struktur kelembagaan harus mencerminkan keinginan masvarakat. Mengakomodasi karakteristik masyarakat. Potensi wilayah, Kemampuan keuangan, Kebutuhan daerah, dan Sumberdaya aparatur yang ada.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih terdapat hambatan internal dan eksternal dari organisasi perangkat daerah, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan didaerah terhambat. Untuk itu diperlukan adanya penataan dalam bidang kelembagaan perangkat daerah sehingga akan tercipta bentuk optimal dari kelembagaan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Abdul Karim Jakobi
Jakarta : Yayasan Sekawan RI-001, 1992
959.85 TEN a (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Abdul Karim Jakobi
Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001, 1992
959.81 TEN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
A. Khemal Pasha
"Skripsi ini membahas strategi politik Partai Aceh (PA) dalam merealisasikan kesepakatan yang tertuang didalam MoU Helsinki. Setelah 13 tahun damai, masih terdapat 10 Pasal dari MoU Helsinki yang hingga saat ini belum direalisasikan. PA sebagai partai politik lokal yang didominasi oleh mantan kombatan GAM merasa memiliki tanggung jawab politik terhadap realisasi MoU Helsinki. Hal ini sebagaimana manifestasi mereka yang telah beralih dari perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik melalui partai politik lokal. Melalui metode kualitatif, penulis melihat pada lima pasal dari 10 pasal yang belum selesai. Pertama,  nama Aceh dan gelar pejabat senior. Kedua, perbatasan. Ketiga, hak menggunakan simbol-simbol wilayah. Keempat,  kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil (Pengadilan Negeri) di Aceh. Kelima, pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada empat pola yang dilakukan oleh PA dalam upaya realisasi MoU Helsinki. Pertama, advokasi yang dilakukan oleh kader baik secara kelembagaan maupun non-kelembagaan. Kedua, memaksimalkan pengesahan qanun turunan MoU Helsinki di DPRA. Ketiga, lobi yang dilakukan kepada pemerintah pusat. Keempat, melakukan pewacanaan di kampanye politik. Penulis melihat PA memanfaatkan kemenangan mereka di dua Pemilu pasca damai sebagai kekuatan mereka didalam upaya realisasi MoU Helsinki. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan strategi yang dilakukan tersebut belum dapat memberikan hasil yang signifikan, dan upaya realisasi ini cenderung berfokus kepada beberapa pasal terutama yang bersifat simbolik.

This thesis discusses the political strategy of the Aceh Party (PA) in realizing the agreement contained in the MoU Helsinki. After 13 years of peace process, there are still 10 Articles from the MoU Helsinki which have not been realized yet. PA as a local political party that is dominated by former GAM combatants perceive that they have political responsibility for the realization of the MoU Helsinki. This is like the manifestation of those who have switched from armed struggle to political struggle through local political parties. Through qualitative methods, the author looks at five articles out of 10 that have not been realized yet. First, the name of Aceh and the title of senior elected officials. Second, border. Third, the right to use regional symbols. Fourth, civilian crimes committed by military personnel in Aceh will be tried in civil courts (District Court) in Aceh. Fifth, the establishment of a Joint Claims Settlement Commission. The results of this study show that there are four patterns carried out by PA in the realization of the MoU Helsinki. First, advocacy carried out by cadres both institutionally and non-institutionally. Second, maximize the legislation of the derivative qanun from the MoU Helsinki in the DPRA. Third, lobbying that carried out to the central government. Fourth, conduct discourse in political campaigns. The author sees PA using their victory in two post-peaceful elections as their strength in order to realize the MoU Helsinki. Furthermore, the results of this study indicate that the carried out strategy has not been able to produce significant results, and this realization tends to focus on several articles, especially those that are symbolic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Aceh during the 2004 tsunami was a war-zone, with Indonesia's military engaged in a major operation to crush a separatist rebellion that had been simmering since 1976. Even though the funds had been donated for tsunami relief, any real reconstruction of Aceh had to consider the impact of the conflict on the well-being of the population, as well as governance and administrative capacities."
Singapore: Institute of South East Asia Studies, 2012
e20442425
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Malya Nova Imaduddin
"Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran pemerintah dan mantan kombatan GAM dalam penyelesaian konflik pasca konflik Aceh. Hasil penelitian menemukan bahwa pertama, pemerintah sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik dengan melakukan cara kolaborasi atau kerjasama dan kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Namun demikian, masih ada beberapa program kegiatan dan bantuan dari pemerintah yang belum terealisasikan, masih ada beberapa pihak pemerintah yang mengunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kedua, mantan kombatan juga sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Namun demikian, masih ada beberapa mantan kombatan yang menunjukkan adanya rasa ketidakpuasan akan peran pemerintah dalam hal penegakan hukum hak asasi manusia, lambang dan bendera dan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Ketiga, masih terjadi konflik-konflik kecil diantara pihak pemerintah dan mantan kombatan yang disebabkan oleh konflik internal dalam demokrasi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu menerjemahkan secara operasional kerangka penyelesaian konflik dalam menjaga perdamaian dengan skema yang dipahami oleh seluruh stakeholder melalui workshop dan pelatihan-pelatihan guna memudahkan sinergi dan kolaborasi pada seluruh level pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.

The study aims to analyze how the role of government and GAM ex combatants in conflict resolution post conflict Aceh. The results of the study found that firstly, the government has performed its role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. The role of government in resolving conflicts by way of collaboration or cooperation and compromise on the parties to the conflict. However, there are still some programs of activity and assistance from the government that have not been realized, there are still some government parties that use the authority for personal interests. Secondly, ex combatants have also exercised their role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. Nevertheless, there are still some ex combatants demonstrating a sense of dissatisfaction with the role of the government in terms of human rights law enforcement, symbols and flags and injustices in the equitable distribution of development. Third, there are still small conflicts between the government and ex combatants caused by internal conflicts in Aceh 39 s democratic government. Therefore, the Aceh Government needs to translate operational conflict resolution framework in keeping peace with a scheme understood by all stakeholders through workshops and trainings to facilitate synergy and collaboration at all levels of government in provinces and districts.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dien Madjid
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor indonesia, 2014
959.811 DIE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>