Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42231 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"One effort to overcome the limited cotton is the use of dissolving pulp with high a-cellulose content. The aim of this research is to study the nitration process of cellulose (PNC). The most important parameter in the preparation of propellant is nitrogen level, which should be higher. than 12,75%. The dissolving pulps from softwood sulfite process (A), Hardwood kraft process (B), and hardwood sulfite process (C) were pre-treated before nitration process, namely ball mill, willey mill, and blender. Nitrocellulose was made using two types of formulas, which were formula one (HNO3;HN03 fumming;H2SO4 = 1 : 3 : 12) and formula two HNO3:HNO3 fumming;H2SO4 = 1 : 1.24 : 4). The results showed that the preparation of nitrocellulose from dissolving pulp A using blender pretreatment and formula two provided the highest nitrogen level (14.05%). The burn test of nitrocellulose met the smokeless specifications. Furthermore, the functional groups test by FTIR showed the presence of nitro group "
JS 4:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Missile Technology Control Regime (MTCR) adalah rejim multilateral yang memuat suatu kebijakan pembatasan atau pengendalian misil dan teknologi misil. Rejim ini bertujuan mengurangi resiko penyebaran nuklir dan mengawasi alih peralatan dan alih teknologi yang dapat berperan dalam pengembangan sisttem pengangkut (roket). MTCR mengendalikan dan membatasi ekspor teknologi antariksa termasuk bahan baku propelan. Batasan tersebut berpengaruh terhadap pengembangan pembuatan propelan, yaitu mengakibatkan pengembangan pembuatan propelan di Indonesia tidak dapat berjalan secara kontinu. Upaya yang dapat dilakukan mengatasi kesulitan emmperoleh bahan baku propelan, salah satu adalah mengembangkan industri bahan baku propelan, atau mengembangkan industri kimia nasional yang telah ada sehingga dapat menghasilkan bahan baku propelan."
621 DIRGA 7:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ammonium Perkhlorat (AP) merupakan bahan oksidator propelan untuk bahan bakar roket padat. Saat ini Ammonium Perkhlorat yang dipakai LAPAN masih diimpor dari negara lain. Dengan adanya embargo bahan strategis dari negara lain, pasokan Ammonium Perkhlorat menjadi terhambat. sehingga AP yang dibutuhkan bergantung pada tersedianya bahan di pasar. Hal ini sangat mempengaruhi unjuk kerja propelan yang dihasilkan, karena spesifikasi bahan selalu berubah-ubah. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan upaya pembuatan Ammonium Perkhlorat, sehingga diharapkan ketersediaan dan spesifikasi bahan terjamin."
621 DIRGA 8 (1-4) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Setyaningsih
"Perubahan sifat propelan padat komposit selama penyimpanan mempengaruhi kinerja roket secara keseluruhan. Penambahan zat antioksidan berupa senyawa fenol tipe AO 2246 dipilih untuk memperkecil perubahan sifat propelan karena aging. Empat komposisi propelan dengan variasi jumlah AO 2246 sebesar 0 ndash; 1 berat binder dibuat dan disimpan selama 260 hari pada suhu 27°C dan 60°C. Karakterisasi propelan meliputi kekerasan, densitas, kuat tarik, sifat termal, dan kecepatan bakar dilakukan sebelum dan setelah aging.
Hasil penelitian menunjukkan semakin besar jumlah antioksidan, semakin kecil perubahan sifat propelan selama aging dan semakin lama umur pakai propelan. Penambahan AO 2246 sebanyak 1 terhadap berat binder memberikan hasil optimal dalam memperkecil perubahan sifat propelan yaitu penurunan elongasi sebesar 33,95 ; kenaikan kuat tarik 35,08 ; dan penurunan nilai energi aktivasi 8,34 selama penyimpanan 60 hari pada suhu 60°C. Sedangkan perubahan kekerasan, densitas, dan kecepatan bakar propelan pada tekanan 6 MPa masing-masing sebesar 8,94 ; 0,64 ; dan 5,81 untuk penyimpanan suhu 60°C selama 260 hari.

The property changing of composite solid propellants during their storage affect the rocket performance as a whole. The addition of phenol compound phenol, type of AO 2246 as an antioxidant was selected to minimize the property changing of the propellants due to aging process. Four variations of AO 2246 i.e 0 ndash 1 wt to binder were added to the propellants and these four propellants were stored for 260 days at a temperatures of 27°C and 60°C. Propellant characterization included hardness, density, thermal properties, tensile strength, and burning rate was conducted before and after aging.
The results showed that the greater amount of the antioxidants, the smaller the property changing and the longer the service life of propellants. The addition of 1 wt to binder of AO 2246 provided optimal results. The elongation decreased of 33.95 increased in tensile strength 35,08 , and decreased in 8,34 for 60 days storage at the temperature of 60°C. While the change in density, hardness, and burning rate of propellant at a pressure of 6 MPa were 8.94 0.64 and 5.81 respectively at storage temperature of 60°C for 260 days."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wisnu Kusuma
"Katun merupakan salah satu bahan pakaian yang umumnya sering ditemui dan digunakan. Pembersihan katun dari kotoran yang menempel memerlukan usaha dan biaya. Titanium dioksida (TiO2) menjadi salah satu bahan yang sering dan ekstensif dipelajari sebagai bahan swabersih, self-cleaning. Namun, pelapisan TiO2 secara langsung pada katun menghasilkan tingkat keberhasilan pelapisan yang rendah. Diperlukan spacer, yaitu bahan kimia (gugus fungsi) yang dicangkokkan kepada rantai selulosa pada katun untuk membantu pengikatan TiO2. Lapisan TiO2 pada permukaan katun akan membuat katun menjadi material yang memiliki kemampuan membersihkan diri sendiri (self-cleaning). Sebelum pelapisan, kain katun dipotong sebesar 3x3 cm dan di treatment menggunakan H2O2 10 %, NaOH 1 M, dan ammonia pekat. Pelapisan dilakukan menggunakan asam suksinat sebagai spacer dan suspensi TiO2 dengan cara dip coating. UV-VIS DRS, FT-IR, SEM, pengukuran sudut kontak air dilakukan untuk mengkarakterisasi permukaan katun yang dilapisi oleh TiO2. Permukaan katun yang telah berhasil dilapisi TiO2 ditandai oleh kemunculan indikasi band gap optis sebesar 3,43 eV; dan keberadaan puncak serapan IR pada daerah bilangan gelombang 676 cm-1 (indikasi adanya ~Ti-O-Ti~). Hasil SEM menunjukkan morfologi permukaan katun yang menunjukkan adanya lapisan TiO2 yang menempel. Sudut kontak yang didapat pada keadaan gelap sebesar 108, 48o dan pada saat diiiluminasi dengan lampu UV selama 150 detik sebesar 9,505o, yang menunjukkan permukaan katun memiliki sifat ampifilik. Katun yang dilapisi oleh TiO2 mampu mendegradasi senyawa methylene blue hingga 94.34 % dalam keadaan diiiluminasi dengan lampu UV selama 100 menit dan 86.5 % dalam keadaan diiiluminasi dengan sinar matahari selama 6 jam.

Cotton is one of the most common Clothing found and used. Cleaning of the dirt cotton requires more effort and expense. Titanium dioxide (TiO2) became one of the ingredients that often and extensively studied as self-cleaning materials. However, TiO2 coating directly on cotton have low success rate. Required spacer, namely chemical (functional group) is grafted to the cellulose chains in cotton to help the binding of TiO2. TiO2 layer on the surface of cotton into cotton will make a material that has the ability to clean it yourself (self-cleaning. Before coating, cotton cut by 3x3 cm and treatment using 10 % H2O2, 1 M NaOH, and concentrated ammonia. Coatings using succinic acid as a spacer and TiO2 suspension by dip coating technique. UV - VIS DRS, FT - IR, SEM, contact angle measurements were performed to characterize the surface of cotton coated by TiO2. Surfaces coated cotton that has been successfully characterized by the TiO2 band gap of 3.43 eV and the existence of the IR absorption peaks at wavenumber region 676 cm-1 (indicative of the presence of ~ Ti - O - Ti ~). SEM results showed that cotton surface morphology indicates that TiO2 layer attached. Contact angle obtained in the dark at 108, 48o and when illuminated with UV light for 150 seconds at 9.505 °, which shows the surface of cotton has amphiphilic properties. Cotton coated with TiO2 able to degrade compounds up to 94.34 % methylene blue in illuminated with UV light for 100 minutes and 86.5 % when illuminated by sunlight for 6 hours.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55156
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riefky Ichsan Baihaqi
"Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan angka kematian tertinggi di dunia. Metode tradisional untuk analisis kandungan glukosa secara invasive melalui darah memiliki beberapa kekurangan, salah satunya membutuhkan pengambilan darah dari ujung jari secara berulang kali. Keringat manusia merupakan cairan biologis yang dapat dianalisis secara non-invasive dan memiliki korelasi dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk memfabrikasi sensor elektrokimia non-enzimatik dari material yang ramah lingkungan melalui modifikasi kain katun dengan polipirol dan CuNPs. Secara keseluruhan, metode yang digunakan untuk memfabrikasi elektroda dilakukan pada temperatur kamar melalui polimerisasi dengan metode in-situ dip-coating polymerization dan deposisi logam dengan electrochemical deposition. Pada penelitian ini didapatkan nilai R2 sebesar 0,95452 untuk rentang linearitas 0,399 – 428,232 μM dan nilai R2 sebesar 0,98709 untuk rentang linearitas pada konsentrasi rendah 0,399 – 3,191 μM dengan nilai LOD sebesar 0,838 μM dan sensitivitas 3937,862 μA mM-1 cm-2. Penelitian ini menunjukkan fabrikasi sensor glukosa non-enzimatis melalui modifikasi kain katun menjadi elektroda kerja dengan polipirol dan CuNPs (CF/Ppy/CuNPs) memberikan sensitivitas dan selektivitas yang tinggi.

Diabetes mellitus (DM) is a non-communicable disease that causes the highest mortality rate in the world. Traditional methods for glucose content analysis are invasive and involve blood sampling, which has several drawbacks, one of which is the need for repeated blood collection from the fingertip. Human sweat is a biological fluid that can be analyzed non-invasively and correlates with blood glucose concentration. This research aims to fabricate a non-enzymatic electrochemical sensor from environmentally friendly materials by modifying cotton fabric with polypyrrole and CuNPs. Overall, the method used to fabricate the electrode was conducted at room temperature through polymerization with in-situ dip-coating polymerization and metal deposition with electrochemical deposition. In this study, an R2 value of 0.95452 was obtained for the linear range of 0.399 – 428.232 μM and an R2 value of 0.98709 for the linear range at low concentrations of 0.399 – 3.191 μM with an LOD value of 0.838 μM and a sensitivity of 3937,862 μA mM-1 cm-2. This research demonstrates that fabricating a non-enzymatic glucose sensor by modifying cotton fabric into a working electrode with polypyrrole and CuNPs (Cotton/Ppy/CuNPs) provides high sensitivity and selectivity."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman K. Nawireja
"Adopsi dan difusi inovasi sebagai fenornena komunikasi telah menarik banyak peneliti untuk mendalaminya. Studi-studi adopsi kebanyakan terfokus pada tahapan decision. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan petani dalam tahapan konfirmasi, dimana ia mungkin masuk ke dalam salah satu dari empat kategori berikut (1) continued adoption, (2) later adoption, (3) disadoption, atau (4) continued rejection dengan membangun model multinomial logit, dengan mengambil kasus adopsi kapas Bt di Sulawesi Selatan. Seperti di ketahui penanaman kapas Bt telah berlangsung sekurangnya selama setahun ini di Sulawesi Selatan, yang berarti telah terjadi adopsi terhadapnya, dan bahkan telah sampai pada tahapan konfirmasi dalam sekuen adopsi ala Rogers (1995).
Studi menggunakan metode triangulasi; gabungan antara metode kualitatif, sehingga diharapkan diperoleh gambaran utuh adopsi dan difusi kapas Bt tersebut. Mengingat petani kapas Bt mencapai 6.638 orang, pengambilan sampel menggunakan metode stratified random sampling. Strata dibuat pada level kecamatan dengan membuat tipologi kecamatan berdasarkan luasan lahan garapan dan produktifitas kapas. Berdasarkan tipologi ini dipilih secara purposif lima kecamatan di lima kabupaten (Bantaeng, Bone, Bulukumba, Takalar, dan Wajo). Sementara itu, responden petani dipilih secara acak di tingkat kecamatan sejumlah 298 orang, terdiri dari 263 sampel petani kapas Bollgard dan sebagai kontrol dipilih 35 responden petani kapas non-Bollgard. Sementara untuk studi kualitatif, dilakukan wawancara terhadap 35 responden, 26 informan, dan dilakukan tujuh kali diskusi kelompok fokus (Focus Group Discussion).
Hasil analisis multinomial logit menunjukkan; keterlambatan adopsi kapas Bt dipengaruhi terutama oleh faktor-faktor luasan lahan yang digunakan untuk usahatani kapas Bt, biaya total yang dibutuhkan untuk melaksanakan usaha tani kapas Bt, proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya total, dan kepuasan petani terhadap pelatihan produksi kapas Bt. Dalam kaitannya dengan faktor kelembagaan, ditenggarai bahwa kelompok tani sebagai suatu entitas berperan penting dan efektif sifatnya dalam menyusun perencanaan produksi dan sebagai representasi para petani menghadapi perusahaan. Sementara itu, petani yang terus menolak mengadopsi dipengaruhi oleh proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya total, total pendapatan bersih dari usahatani selain kapas, dan pengalaman petani dalam berusaha tani kapas. Sedangkan keputusan berhenti mengadopsi proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya total, luasan lahan yang digunakan untuk menanam kapas, dan kepuasan petani terhadap pelatihan produksi kapas Bt.
Adopsi kapas Bt berlangsung melalui pengikutsertaan tokoh-tokoh petani agar menjadi pendorong petani-petani yang berada dalam lingkaran pengaruhnya untuk mencoba menanam kapas Bt menimbulkan dinamika komunitas tersendiri. Oleh karena tokoh-tokoh petani tersebut pada gilirannya ada yang bertindak sebagai distributor dan sebagai pengurus inti kelompok-kelompok petani, dimana petani pada dasarnya menyandarkan keputusannya kepada pemuka masyarakatnya.
Pendekatan komunikasi PT Monagro yang cenderung mengandalkan pemuka masyarakat, perlu ditunjang dengan metode komunikasi yang mampu menjangkau petani (dan dapat diakses petani) dalam waktu cepat guna menangkal informasi yang unfavorable terhadap pengembangan kapas Bt. Sementara itu, untuk meningkatkan adopsi diperlukan penyuluhan dengan materi yang mengkontraskan perbedaan teknis dan biologis antara kapas Bt dengan kapas non-Bt.
Faktor pendukung utama penkembangan budidaya kapas Bt Sulawesi Selatan adalah prosesnya dilakukan dalam kerangka infrastruktur kelembagaan agribisnis kapas dari proses pra-produksi hingga pemasaran yang pernah dikenal sebelumnya-artinya kapas Bt masuk ke Sulawesi dengan kerangka kelembagaan yang telah mapan. Artinya, hasil penelitian ini hanya dapat digeneralisir pada kondisi kelembagaan yang mapan saja, sementara untuk kelembagaan yang lain, diperlukan studi yang lebih mendalam.

Adoption of Bt Cotton: An Application of Multinomial Logit ModelAdoption and diffusion of innovation as communication phenomena has been studied since long time ago. Adoption studies mostly concentrated on decision stage of adoption sequences. As such we are trying to study confirmation stage, by identified factors underlying farmers choice in confirmation stage, in which they may stay in one of four possible categories as follows: (1) continued adoption, (2) later adoption, (3) disadoption, or (4) continued rejection. To identify, we develop multinomial logit model for Bt cotton adoption in South Sulawesi. As been known, Bt cotton cultivation in this area prevail at least since a year ago, so it is can be assumed this recently adoption of Bt cotton already reaching confirmation stage from Rogers (1995) adoption stage.
The study employ triangulation method; a combination of quantitative and qualitative method to capture the complete picture of Bt cotton adoption and diffusion process. Considering huge amount of respondents to interviewed (as much 6,638 farriers), we use slralii ied random sampling. At sub-district level a district typology based on cotton acreage per fanner and cotton productivity. Based on the typology, five subdistticts in five regencies have been set out purposively (Bantaeng, Bone, Bulukumba, Takalar, and Wajo); 298 respondents were interviewed using pre-prepared questionnaire, randomly. As a control we also interview 35 non-Bt cotton farmers. For qualitative method, the study interviewed 35 respondents, 26 informants, and conducting Focus Group Discussion in seven different locations.
Multinomial logit model shows; late adopter was mainly affected bt cotton farm acreage, total cost of Bt cotton farming, and proportion of labour cost to total fanning cost, and revealed satisfaction to Bt cotton production training held by PT Monagro. In relation to institutional factor, farmers group as an entity plays important role and effective in nature to plan farming activity and at the same time as farmer's representation to bargain with PT Monagro. On other hand, continuous rejection mainly due to proportion of labour cost to total farming cost, total net farm income from others commodity, and farmer's experience at cotton farming. Farmer's decision to dis-adopt Bt cotton was influenced by proportion of labour cost to total farming cost, total Bt cotton acreage, and revealed satisfaction to Bt cotton production training.
Bt cotton adoption run smoothly with involvement of farmers' informal leaders to attract farmers finally triggered specifics community dynamic, because the informal leader also playing important role as seed distributor to the farmers and at the same time they tend to chair the farmer group himself, in which basically farmers will follow informal leader decision not or no to adopt Bt cotton.
PT Monagro external communication strategy which mainly bearing important role to informal leaders need to be back up by other communication means that capable to access farmers directly and timely to prevent farmers againts unfavorable information. At the same time, following the multinomial logit analysis result it is recommend that extension program should contrasted technical and biological differences among the competing commodity: Bt cotton and conventional non-Bt cotton.
Need to mention that adoption and diffusion of Bt cotton run smoothly in South Sulawesi was because this process was prevail in community with mature cotton agribusiness institution-either farmers, local government, and other supporting institution already been build long time ago. It bear such an implication the finding might not be applicable to predict adoption of Bt cotton in another community with unmature cotton agribusiness institution, so it is need another study in diffe'rent community to test against hypotheses tested here.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutijah
Bogor: Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Pertannian, 1994
633.51 SUT b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nalani Abigail Soegiono
"Permasalahan sampah plastik merupakan suatu fenomena yang tidak lepas dari perkembangan industri. Salah satu jenis plastik yang umum digunakan untuk berbagai macam produk adalah expanded polystyrene (EPS), atau “styrofoam”. Namun, EPS membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terdekomposisi dan akan membentuk mikroplastik pada prosesnya. Selain itu, proses pembuatan EPS juga menghasilkan gas rumah kaca hidrofluorokarbon (HFC) yang jauh lebih berbahaya dari karbon dioksida. Oleh karena itu, dibutuhkan bahan kemasan alternatif yang dapat terurai secara hayati (biodegradable) dan tidak melibatkan bahan kimia berbahaya dalam proses produksinya, seperti material miselium. Material miselium dapat dibuat dengan mengkultivasi fungi berfilamen pada substrat padat berupa limbah lignoselulosa. Kajian ini mempelajari aspek teknoekonomi produksi material miselium skala besar menggunakan fungi Phanerochaete chrysosporium yang memiliki performa yang baik dalam degradasi lignoselulosa. Simulasi proses dibuat menggunakan perangkat lunak SuperPro Designer versi 13. Variabel bebas yang digunakan adalah jenis substrat, yaitu eceng gondok dan batang kapas yang telah diketahui data kinetika pertumbuhannya dari penelitian terdahulu. Selain itu, rasio inokulum juga divariasikan sebesar 40% dan 50%. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa produksi material menggunakan substrat batang kapas dengan rasio inokulum 50% memberikan hasil yang paling baik dari keempat skenario yang dibuat. Harga jual yang diperoleh untuk mendapat margin keuntungan sebesar 20% adalah Rp446.134/kg. Skenario ini menghasilkan tingkat rendemen sebesar 58,25%, NPV sebesar Rp7.389.053.225, IRR 12,01%, ROI 12,91%, dan PBP selama 7,25 tahun.

The problem of plastic waste is a phenomenon closely tied to industrial development. One common type of plastic used for various products is expanded polystyrene (EPS), or "styrofoam". However, EPS takes an extremely long time to decompose and contributes to the formation of microplastics in the process. Furthermore, the production of EPS also emits hydrofluorocarbon (HFC) greenhouse gases, which are significantly more harmful than carbon dioxide. Therefore, there is a need for alternative packaging materials that are biodegradable and do not involve hazardous chemicals in their production process, such as mycelium materials. Mycelium can be cultivated by growing filamentous fungi on solid substrates like lignocellulosic waste. This study examines the techno-economic aspects of large-scale mycelium material production using Phanerochaete chrysosporium fungi, known for its efficient degradation of lignocellulose. Process simulation is made using SuperPro Designer Version 13 software. The study varies the independent variables: substrate types (water hyacinth and cotton stalks, with growth kinetics data found from previous research) and inoculum ratios of 40% and 50%. Analysis results indicate that the production using cotton stalk substrates with a 50% inoculum ratio gave the best outcome from all scenarios. The resulted selling price to obtain a margin of 20% is Rp446.134/kg. This scenario generated a yield rate of 58,25%, NPV of Rp7.389.053.225, IRR of 12,01%, ROI of 12,91%, and PBP of 7,25 years."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"ABSTRAK
Propelan merupakan bahan bakar pada suatu roket. Guna mendapatkan propelan dengan kinerja tinggi, Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mengembangkan berbagai jenis propelan yaitu: jenis polisulfid, poliuretan dan polibutadien.
Roket merupakan suatu mesin kalor karena kalor yang dihasilkan dari reaksi pembakaran bahan-bahan penyusun propelan digunakan sebagai tenaga penggerak roket tersebut. Berdasarkan hal ini, perlu diupayakan untuk membuat propelan yang memiliki nilai kalor tinggi. Beberapa elemen metal memiliki energi pembakaran yang tinggi sehingga apabila ditambahkan sebagai bahan aditif pada propelan bisa diharapkan mampu meningkatkan nilai kalornya. Adanya aditif tentu juga akan mengubah sifat-sifat propelan yang lain sehingga perlu diuji pengaruhnya terhadap sifat-sifat tersebut.
Pada tugas akhir ini dilakukan pembuatan .propelan dengan variasi aditif yang berupa elemen metal seperti: aluminium (Al), magnesium (Mg), besi (Fe) dan zink (Zn) kemudian beberapa sifatnya diuji. Pengujian yang dilakakan meliputi: uji nilai kalor, kuat tarik, kekerasan, kerapatan dan laju pembakaran.
Pada penggunaan aditif sebesar 4 % pada komposisi propelan: fuel = 20 % dan oksidator = 76 % (bagian berat), magnesium (Mg) memberikan nilai kalor tertinggi dan laju pembakaran yang paling stabil terhadap perubahan tekanan dibanding tiga jenis aditif yang lain."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>