Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192904 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radityo
"[Kulit kering merupakan penyebab tersering keluhan gatal pada pasien HIV. Terapi antiretroviral pun dikaitkan dengan kulit kering, namun pemberiannya diperlukan oleh pasien HIV dalam jangka waktu yang lama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama terapi antiretroviral dengan derajat kekeringan kulit pada pasien HIV. Studi potong lintang dan kasus kontrol ini dilaksanakan pada Juni 2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 97 subjek. Lama terapi antiretroviral lini dua berkorelasi positif terhadap nilai transepidermal water loss dan lama terapi antiretroviral berkorelasi negatif terhadap nilai skin capacitance. Lama terapi antiretroviral merupakan faktor risiko terhadap penurunan nilai skin capacitance.;Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. , Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Ari Wilandani
"Latar belakang. Kulit kering dilaporkan pada 20–30% pasien HIV namun belum ada penelitian pelembap pada keadaan tersebut.
Tujuan. Membandingkan efikasi dan efek samping petrolatum dengan satu obat jadi sebagai terapi kulit kering pasien HIV. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, antara mendapat petrolatum atau obat jadi. Evaluasi setelah 2 minggu dan 4 minggu terapi dengan mengukur transepidermal water loss (TEWL) dan skor kulit kering pada tungkai bawah. Dinilai efek samping objektif dan subjektif. Hasil. 32 orang mengikuti penelitian, 16 orang mendapat petrolatum dan 16 orang obat jadi. TEWL kelompok petrolatum 11,0 g/m2/jam, menjadi 7,9 g/m2/jam dan 5,9 g/m2/jam setelah 2 dan 4 minggu terapi sedangkan TEWL kelompok obat jadi 9,95 g/m2/jam turun menjadi 8,8 g/m2/jam dan 6,9 g/m2/jam. Skor kulit kering dasar, setelah 2 minggu, dan 4 minggu pengobatan kelompok petrolatum adalah 4, 3, dan 1 sedangkan pada kelompok obat jadi adalah 3, 2, dan 1. Nilai TEWL dan skor kulit kering di dalam masing-masing kelompok menurun secara bermakna. Perbandingan penurunan nilai TEWL dan skor kulit kering antarkedua kelompok tidak bermakna. Keluhan subjektif terdapat pada 11 orang di kelompok petrolatum dan 5 orang di kelompok obat jadi.
Kesimpulan. Petrolatum maupun obat jadi mampu menurunkan nilai TEWL dan skor kulit kering secara bermakna, namun tidak ada perbedaan penurunan nilai TEWL ataupun skor kulit kering antara keduanya. Efek samping subjektif lebih banyak akibat petrolatum.

Background. Xerosis reportedly affecting up to 30% of patients with HIV, but there were no research on moisturizer therapy for that condition. Aim. To compare efficacy and side effect of petrolatum vs one commercial moisturizer on HIV patients with xerosis. Method. Double blinded randomized controlled study. Participants was divided into 2 group, either received petrolatum or commercial moisturizer. Evaluation was done after 2 and 4 weeks treatment by measuring transepidermal water loss (TEWL) and dry skin score on lower leg.
Objective and subjective side effect were recorded. Result. 32 participants enrolled in the study, 16 received petrolatum while 16 received commercial moisturizer. TEWL in petrolatum group was 11,0 g/m2/jam, down to 7,9 g/m2/h and 5,9 g/m2/h after 2 and 4 weeks therapy whereas in commercial group was 9,95 g/m2/h down to 8,8 g/m2/h and 6,9 g/m2/h. Dry skin score in petrolatum group at baseline, 2, and 4 weeks of treatment was 4, 3, and 1 respectively whereas in commercial group was 3, 2, and 1 respectively. 11 persons in petrolatum and 5 in commercial group has subjective side effect.
Conclusion. Both petrolatum and commercial moisturizer significantly reduce TEWL and dry skin score. There were no difference in the reduction of TEWL nor dry skin score between the two group. Petrolatum caused more common subjective side effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Rina Febriyanti
"The knowledge about HIV/AIDS disease is not the important thing to make an ODHA to increase pursuance antiretroviral therapy. This research was a correlative researched and used 21 cross sectional design which has a purpose to know relation between the levels of knowledge with pursuance. The sample in this research was 42 ODHA. Sampling technique which is used in this research was purposive sampling. Thirteen (591%) of ODHA had the high level in knowledge and had high level in pursuance.
The result of statistic test (p=1.000) >α, so HO fail no receivable. The conclusion from this research, there was not relation between the levels of knowledge about HIV/AIDS disease with pursuance of ODHA to Antiretroviral therapy. The result from this research can be used for give input to ODHA be more pursuance. Recommend for next research to add respondent and area wider.

Pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS tidak dapat menjadi satu-satunya acuan ODHA dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 42 ODHA. Sebanyak 13 responden (59,1%) yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1.000. sehingga Ho gagal ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tingkat kepatuhan menjalani terapi ARV di POKDlSUS RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada ODHA untuk Iebih patuh dalam pengobatan. Penelitian ini merekomendasikan agar menambah jumlah responden dan memperluas area penelitian.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5828
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Wulansari
"Latar Belakang. Gangguan kognitif tanpa disadari dapat terjadi pada orang dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Insidens ganguan neurokognitif terkait HIV (HIV Associated Neurocognitive Disorders - HAND) pada era anti retroviral (ARV) mencapai 25-38%, dengan prevalensi 37%. Gejala klinis HAND yaitu kelainan kognitif, fungsi motor dan perilaku. Gangguan kognitif sering tidak terdiagnosis sehingga mengganggu aktivitas keseharian. Gangguan kognitif meningkat seiring dengan lamanya pasien HIV dapat bertahan hidup, dan pemakaian ARV jangka panjang berpotensi toksis yang mungkin dapat mempengaruhi tampilan neurokognitif itu sendiri. Perbaikan neurokognitif terkait HIV mulai tampak setelah pengobatan ARV 18 bulan.
Tujuan. Diketahuinya gambaran fungsi kognitif pasien HIV yang sudah dan belum mendapatkan ARV, berdasarkan sebaran umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, CD4, Hepatitis C, anemia dan depresi.
Metode. Merupakan studi potong lintang, melibatkan pasien HIV rawat jalan di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) HIV RSCM yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan data dasar pasien, nilai CD4, hemoglobin, depresi berdasarkan skala depresi Hamilton. Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan Trial Making Test A dan B (TMT A dan B), digit span forward dan backward, animal naming, Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) dan psikomotor Pegboard.
Hasil. Dari 100 subjek HIV, 50 sudah dan 50 belum ARV. Rata-rata usia subjek 32 tahun, pria sama banyak dengan wanita. Pendidikan terbanyak SMA. Subjek yang bekerja, rerata CD4, dan Hepatitis C reaktif lebih tinggi pada kelompok yang sudah ARV. Anemia lebih banyak pada kelompok subjek belum ARV. Depresi hanya didapat pada 3 subjek. Didapatkan perbedaan bermakna antara fungsi kognitif HIV dengan nilai CD4, pendidikan dan ARV. Gangguan kognitif ringan lebih tinggi pada kelompok belum ARV (48%) dibanding kelompok sudah ARV (18%) dengan perbedaan bermakna pada pemeriksaan bacward digit span, animal naming dan pegboard.
Kesimpulan. Gangguan kognitif ringan terkait HIV lebih tinggi pada kelompok belum ARV, meskipun belum dikeluhkan oleh pasien.

Background. Cognitive impairment can occure unnoticed in people with HIV. Incidence of HIV infection associated cognitive impairment reach 28-38% with 37% prevalence. HIV Associated Neurocogntive Disorders (HAND) with typicaly clinical symptoms is cognitive impairment, motor function and behavior. Cognitive impairment often under diagnosed and will affect daily activities. HAND as manifestattion of AIDS increased along with HIV patients survival. Long term in Antireroviral (ARV) treatment potentially toxic and may influence the appearance of neurocognitive impairment. After 18 months ARV treatment will make improvement in HIV related neurocognitive impairment.
Purpose. To meassure cognitive function of HIV patients after dan before ARV treatment acording to age, sex, education, employment, CD4, hepatitis C, anemia and depresion.
Method. Cross sectional study involving HIV outpatients in UPT HIV RSCM (Ciptomangunkusomo Hospital) that suitable with the inclusion criteria. Basic patients data, CD4 value, hemoglobin, hamilton depresion scale were collected. Cognitive function assesment with Trial making test (TMT A and B), digit span forward and backward, animal naming, RAVLT and psikomotor pegboard.
Result. From 100 subjects, 50 after and 50 before ARV treatment. The median age in all subject is 23 year old, man and woman in equal subjects. Majority education is senior high school. Employment subjects, CD4 mean, Hepatits C reactive are higher on before ARV group. Depresion only in 3 subjects. Significanly difference found in HIV cognitive fuction with CD4, education, and ARV treatment. Slight cognitive impairment is higher on before ARV group(48%) compare with after ARV group (18%) with significally difference in backward digit span, animal naming and pegboard test.
Conclusion. Slight HIV associated cognitive impairment is higher on before ARV grup, although the patients had no complaint.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
T. Dzulita Nurdin
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh tingkat pengetahuan keluarga terhadap kepatuhan pemberian terapi Antiretroviral pada klien HIV/AIDS di Pokdisus RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Desain penelitian yang digunakan deskriptif korelasi. Populasi pada penelitian ini adalah kelompok keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita HIV/AIDS yang sedang dalam pengobatan Antiretroviral. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 30 orang. Data diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan dan diisi oleh setiap responden. Instrumen yang digunakan terdiri dari data demografi dan pertanyaan tentang pengetahuan keluarga serta kepatuhan pasien. Setelah data terkumpul dianalisa dengan statistik univariat dan bivariat. Untuk menguji adanya perbedaan bermakna dilakukan uji hipotesa dua arah dengan derajat kemaknaan 0,05, hasil hipotesa didapatkan tidak adanya pengaruh yang bermakna antara tingkat pengetahuan keluarga terhadap kepatuhan klien dalam kepatuhan pengobatan Antirefroviral."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5536
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Fardillah
"Stigma terhadap penderita HIV/AIDS juga dilakukan oleh sektor pelayanan kesehatan seperti dokter dan perawat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan guna mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang mempengarui stigma terhadap stigmatisasi penderita HIV/AIDS pada mahasiswa kesehatan tingkat akhir program reguler di beberapa fakultas di Universitas Indonesia. Peneiitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal pengalaman masa lalu terkait HIV/AIDS saja yang memiliki hubungan terhadap stigmatisasi penderita HIV/AIDS karena nilai p(0,007) < α,(0,05). Sedangkan faktor-faktor intemal dan ekstemai lain (tingkat pengetahuan, niiai kepercayaan/agama, niiai sosial budaya dan faktor lingkungan sekitar) tidak memiliki hubungan dengan stigmatisasi pada responden yang diambil di Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Ilmu Keperawatan ini.
Dari 77 orang responden yang diteliti didapatkan hasil yaitu sebesar 40 orang (51,9%) responden memiliki stigma negatif dan 34 orang lainnya (48,1%) memiliki stigma positif tingginya stigma negatif pada mahasiswa kesehatan harusnya menjadi perhatian khusus dunia pelayanan kesehatan.

Stigma related people with HIV/AIDS are belonging to the health worker like doctor and nurse. The objective of this research is to know the relationshhn between the factors that contributing the stigma with stigmatize related people with HIV/AIDS in the freshman students of healthy at the last stage regular program in several faculties in University of Indonesia.
The analysis result shows that just internal factor experienced related HIV/AIDS that have relation with stigmatize related people with HIV/AIDS because the p value (0,007) < α (0,05). The other internal and external factors (degree of knowledge, the value of believed the value of social culture, and environment) have not relation with stigmattize people with HIV/AIDS in the subjective of this research that token in the Medical Faculty Dental Medical Faculty, and Nursing Faculty.
This research used a descriptive correlation From 77 samples that have been researched the result shown about 40 people (5.19%) samples have a negative stigma and 34 other people (48, 1 %) have a positive stigma. The high level of stigma negative in the ji-eshrnan students of healthy must be have more intention from the healthy world side.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5723
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Estie Puspitasari
"Latar Belakang: Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Pengetahuan tentang karakteristik dan prediktor mortalitas dapat membantu dalam penatalaksanaan pasien. Penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia belum ada.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien HIV/AIDS dewasa yang dirawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis HIV/AIDS selama tahun 2011-2013. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (meninggal atau hidup) dan penyebab mortalitas selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada tujuh variabel prognostik, yaitu jenis kelamin laki-laki, tidak dari rumah sakit rujukan, tidak pernah/putus terapi antiretroviral (ARV), stadium klinis WHO IV, kadar hemoglobin <10 g/dL, kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 dan kadar CD4+ ≤200 sel/µL. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 606 pasien HIV/AIDS dewasa yang dirawat inap (median usia 32 tahun; laki-laki 64,2%), sebanyak 122 (20,1%) baru terdiagnosis HIV selama rawat dan 251 (41,5%) dalam terapi ARV. Median lama rawat adalah 11 (rentang 2 sampai 75) hari. Sebanyak 425 (70,1%) pasien dirawat karena infeksi oportunistik. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,4% dengan mayoritas (92,3%) penyebabnya terkait AIDS. Prediktor independen mortalitas yang bermakna adalah stadium klinis WHO IV (OR=6,440; IK 95% 3,701 sampai 11,203), kadar hemoglobin <10 g/dL (OR=1,542; IK 95% 1,015 sampai 2,343) dan kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 (OR=3,414; IK 95% 1,821 sampai 6,402).
Simpulan: Proporsi mortalitas selama perawatan sebesar 23,4%. Stadium klinis WHO IV, kadar hemoglobin <10 g/dL dan kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 merupakan prediktor independen mortalitas pasien HIV/AIDS dewasa saat rawat inap.

Background: Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) is a big problem that threatening in Indonesia and many countries in the world. The knowledge on the characteristics and prediction of outcome were important for patients management. There are no studies on the predictors of mortality in Indonesia.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized adult patients with HIV/AIDS in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized adult patients with HIV/AIDS in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2011-2013. Data on clinical, laboratory, outcome (mortality) and causes of death during hospitalization were gathered from medical records. Bivariate analysis using Chi- Square test were used on the seven prognostic factors (male sex, not came from referral hospital, never/ever received antiretroviral therapy (ART), WHO clinical stage IV, hemoglobin level <10 g/dL, eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 and CD4+ count ≤200 cell/µL). Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: Among 606 hospitalized HIV/AIDS patients (median age 32 years; 64.2% males), 122 (20.1%) were newly diagnosed with HIV infection during the hospitalization and 251 (41.5%) on ART. Median length of stay was 11 (range 2 to 75) days. There were 425 (70.1%) patients being hospitalized due to opportunistic infection. In-hospital mortality rate was 23.4% with majority (92.3%) due to AIDS-related illnesses. The independent predictors of mortality in multivariate analysis were WHO clinical stage IV (OR=6.440; 95% CI 3.701 to 11.203), hemoglobin level <10 g/dL (OR=1.542; 95% CI 1.015 to 2.343) and eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 (OR=3.414; 95% CI 1.821 to 6.402).
Conclusions: In-hospital mortality rate was 23.4%. WHO clinical stage IV, hemoglobin level <10 g/dL and eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 were the independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with HIV/AIDS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Mariana
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Penggunaan efavirenz dan rifampisin secara bersamaan menjadi suatu tantangan dalam penanganan HIV/AIDS-Tuberkulosis. Rifampisin sebagai penginduksi enzim pemetabolisme efavirenz dapat menurunkan kadar plasma efavirenz, dan dapat menyebabkan gagal terapi HIV.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh rifampisin terhadap kadar plasma efavirenz dan viral load viral load pasien HIV/AIDS-Tuberkulosis yang telah mendapat terapi antiretrovirus 3-6 bulan. Metode : Penelitian ini mengukur kadar efavirenz dan viral load pasien HIV/AIDS yang mendapat antiretroviral berbasis efavirenz dosis 600 mg/hari setelah 3-6 bulanterapi dan pasien HIV/AIDS-Tuberkulosis dengan terapi antiretroviral yang sama dan terapi antituberkulosis berbasis rifampisin di RSPI Prof. DR Sulianti Saroso, hasilnya akan dibandingkan. Hasil : Subjek penelitian berjumlah 45 pasien, terdiri dari 27 pasien kelompok HIV/AIDS dan 18 pasien kelompok HIV/AIDS-Tuberkulosis. Pada pemeriksaan kadar plasma efavirenz didapat median (min-maks) kelompok HIV/AIDS 0,680 mg/L (0,24-5,67 mg/L), median (min-maks) kadar plasma kelompok HIV/AIDS-Tuberkulosis 0,685 mg/L (0,12-2,23 mg/L), berarti tidak terdapat perbedaan kadar plasma efavirenz yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok (MannWhitney, p=0,480). Proporsi pasien dengan viral load ≥ 40 kopi/ml pada kelompok HIV/AIDS sebesar 51,9%, sedangkan pada kelompok HIV/AIDS-Tuberkulosis sebesar 72,2% (ChiSquare, p=0,291), tidak terdapat perbedaan proporsi pasien yang viral load < 40 kopi/ml maupun ≥ 40 kopi/ml antar kelompok. Tidak terdapat perbedaan secara statistik (Chi Square, p=0,470) antara proporsi pasien yang mempunyai kadar subterapetik dalam kelompok, dengan hasil viral load < 40 kopi/ml (45,2%) maupun ≥ 40 kopi/ml (54,8%). Kesimpulan: Kadar plasma efavirenz maupun viral load pasien HIV/AIDS-Tuberkulosis yang mendapat antiretroviral bersama antituberkulosis berbasis rifampisin tidak berbeda bermakna dengan pasien HIV/AIDS setelah 3-6 bulan terapi antiretroviral.

ABSTRACT
Background: Concomitant use of efavirenz and rifampicin is a challenge in the treatment of HIV/AIDS-Tuberculosis infection. Rifampicin may decrease plasma concentration of efavirenz through induction of its metabolism, and could lead to HIV treatment failure Objective: To determine the effect of rifampicin-containing tuberculosis regimen on efavirenz plasma concentrations and viral load in HIV/AIDS-Tuberculosis infection patients who received efavirenz-based antiretroviral therapy. Methods: plasma efavirenz concentrations and HIV viral load were measured in HIV/AIDS patients treated with 600 mg efavirenz-based antiretroviral for 3 to 6 months and in HIV/AIDS-Tuberculosis infection patients treated with similar antiretroviral regimen plus rifampicin-containing antituberculosis in Prof. DR. Sulianti Saroso, Hospital Jakarta, Indonesia, The results were compared Results: Forty five patients (27 with HIV/AIDS and 18 with HIV/AIDSTuberculosis infections) were recruited during the period of March to May 2015. The median (min-max) efavirenz plasma concentration obtained from HIV/AIDS group [0,680 mg/L(0,24 to 5,67 mg/L] and that obtained from HIV/AIDSTuberculosis group[0.685 mg/L (0.12 -2.23 mg/L)] was not significantly different (Mann-Whitney U test, p = 0.480) .The proportion of patients with viral load ≥ 40 copies/ml after 3-6 months of ARV treatment in the HIV/AIDS group (51.9%), and the HIV/AIDS-Tuberculosis group (72.2%) was not significantly different (Chi Square test, p = 0.291). There was no significant difference (Chi Square, p=0,470) between the proportions of patients with subtherapeuticefavirenz plasma concentration in the groups with viral load < 40 copies/mL (45,2%) and ≥ 40 copies/mL (54,8%) Conclusions: Plasma efavirenz concentrations and viral load measurements in HIV/AIDS-Tuberculosis patients in antiretroviral and rifampicin-containing antituberculosis regimen were not significantly different with those in HIV/AIDS patients in 3 to 6 months antiretroviral therapy., Background: Concomitant use of efavirenz and rifampicin is a challenge in the treatment of HIV/AIDS-Tuberculosis infection. Rifampicin may decrease plasma concentration of efavirenz through induction of its metabolism, and could lead to HIV treatment failure Objective: To determine the effect of rifampicin-containing tuberculosis regimen on efavirenz plasma concentrations and viral load in HIV/AIDS-Tuberculosis infection patients who received efavirenz-based antiretroviral therapy. Methods: plasma efavirenz concentrations and HIV viral load were measured in HIV/AIDS patients treated with 600 mg efavirenz-based antiretroviral for 3 to 6 months and in HIV/AIDS-Tuberculosis infection patients treated with similar antiretroviral regimen plus rifampicin-containing antituberculosis in Prof. DR. Sulianti Saroso, Hospital Jakarta, Indonesia, The results were compared Results: Forty five patients (27 with HIV/AIDS and 18 with HIV/AIDSTuberculosis infections) were recruited during the period of March to May 2015. The median (min-max) efavirenz plasma concentration obtained from HIV/AIDS group [0,680 mg/L(0,24 to 5,67 mg/L] and that obtained from HIV/AIDSTuberculosis group[0.685 mg/L (0.12 -2.23 mg/L)] was not significantly different (Mann-Whitney U test, p = 0.480) .The proportion of patients with viral load ≥ 40 copies/ml after 3-6 months of ARV treatment in the HIV/AIDS group (51.9%), and the HIV/AIDS-Tuberculosis group (72.2%) was not significantly different (Chi Square test, p = 0.291). There was no significant difference (Chi Square, p=0,470) between the proportions of patients with subtherapeuticefavirenz plasma concentration in the groups with viral load < 40 copies/mL (45,2%) and ≥ 40 copies/mL (54,8%) Conclusions: Plasma efavirenz concentrations and viral load measurements in HIV/AIDS-Tuberculosis patients in antiretroviral and rifampicin-containing antituberculosis regimen were not significantly different with those in HIV/AIDS patients in 3 to 6 months antiretroviral therapy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyatmi
"AIDS merupakan bentuk paling berat dari keadaan sakit terus-menerus yang berkaitan dengan injeksi HIV stima dari masyarakat dan petugas kesehatan masih trerjadi, salah satu kelompok petugas kesehatan tersebut adalah perawat.
Perawat adalah anggota multidisiplin yang memberikan perawatan kepada pasien HIV/AIDS Pemberian perawatan yang optimal kepada pasien HIV/AIDS hanya dapat diberikan apabila perawat mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang HIV/AIDS. Dengan pengetahuan yang baik pula diharapkan perawat mempunyai Persepsi positif dalam merawat pasien HIV/AIDS.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan Persepsi perawat dalam merawat pasien HIV/AIDS. Penelitian ini diadakan di Rumah Sakit Internasional Bintaro pad a bulan mei 2008.
Desain penelitian ini menggunakan deskriptif koreIasi dengan jumlah responden 118. Dari analisa data didapatkan p sebesar 0, 02. Nilai ini lebih kecil dari a yang sudah ditetapkan sebesar 0, 05.
Hasil menunjukan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan persepsi perawat dalam merawat pasien HIV /AIDS. Dari penelitian ini diharapkan perawat dapat menyadari bahwa dengan pengetahuan yang baik akan mempengaruhi pelayanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5676
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku sedangkan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan kecemasan tersebut. Diagnosa yang merupakan vonis akhir bagi klien dapat merupakan stressor terhadap integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress baik secara fisiologis maupun psikologis. Tidak semua orang yang mengalami stressor psikologis akan menclerita gangguan cemas yang sama , hal ini tergantung pada struktur kepribadiannya juga banyak faktor yang mempengaruhinya , antara lain demografi, status fisik, dukungan psikologi, problem dalam keluarga, pelayanan kesehatan, prilaku, mekanisme koping, sosial budaya dan spiritual.
Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik telah dilakukan penelitian terhadap 20 orang yang sedang dirawat di IRNA - A Lantai VI dan IRNA - B Lantai IV kiri, yang dilaksanakan pada tanggal 12 Juli s/d 12 Oktober 2002. Metode yang digunakan adalah deskriptif sederhana dan alat pengumpul data berupa kuesioner dengan hasil penelitian sebagai berikut : dari data demografi ditemukan : Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (80 % ), usia terbanyak antara 21 - 30 tahun ( 70 %), agama yaitu Islam ( Y5 % ), tingkat pendidikan sebagian besar SLTA ( 60 % ) , belum menikah 13 orang (65 % ).
Mayoritas responden menunjukkan tingkat kecemasan berat (40%) saat didiagnosa I-IIV positif/ AIDS dengan faktor faktor yang mempengaruhinya yaitu :
faktor status fisik (1,30), faktor dukungan psikologi (2,8), faktor problem dalam keluarga (295), faktor akses pelayanan kesehatan (2,95), faktor perilaku (3,05), faktor mekanisme koping (2,6), faktor sosial budaya (2.28) dan faktor spiritual (2.7) I A Keterbatasan penelitian antara lain : kurangnya waktu, jumlah sarnpel teratas, klien ternyata banyak yang belum mengetahui status kesehatannya sendiri sehingga tidak dapat digeneralisasi."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5115
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>