Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93680 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fina Desviyanita
"[ABSTRAK
Dampak merugikan dari konflik internal yang terjadi setelah berakhirnya Perang
Dingin memunculkan pandangan internasional bahwa keterbelakangan
pembangunan menjadi ancaman keamanan baru bagi dunia internasional.
Pandangan ini membangkitkan kesadaran komunitas internasional untuk
melakukan intervensi ke negara-negara pasca konflik melalui aktivitas
peacebuilding serta rekonstruksi ekonomi dan sosial yang mendasar dalam rangka
mencapai stabilitas internasional dan membangun perdamaian liberal. Hasil
temuan memperlihatkan bahwa sebagian besar kegiatan peacebuilding dan
rekonstruksi cenderung tidak efektif untuk menciptakan perdamaian dan
pembangunan ekonomi di negara-negara pasca konflik. Paham politik liberal dan
paham pembangunan ekonomi neoliberal yang dijadikan pedoman dalam berbagai aktivitas intervensi pasca konflik diyakini menjadi salah satu penyebab utama kurang efektifnya aktivitas peacebuilding dan rekonstruksi pasca konflik.

ABSTRACT
Devastating impact of post Cold War intra-state conflicts have generated
international opinion that underdevelopment could form a new security threat to
international societies. This view has raised awareness of international community
to perform post conflict interventions through peace-building and fundamental
economic and social reconstruction in order to create international stability as
well as liberal peace. The findings show that majority of peacebuilding and
reconstruction activities are ineffective to create peace and economic
development in post conflict countries. Liberal political paradigm and neoliberal
development paradigm that guide post conflict intervention activities have caused ineffectiveness of peacebuilding and post conflict reconstruction. , Devastating impact of post Cold War intra-state conflicts have generated
international opinion that underdevelopment could form a new security threat to
international societies. This view has raised awareness of international community
to perform post conflict interventions through peace-building and fundamental
economic and social reconstruction in order to create international stability as
well as liberal peace. The findings show that majority of peacebuilding and
reconstruction activities are ineffective to create peace and economic
development in post conflict countries. Liberal political paradigm and neoliberal
development paradigm that guide post conflict intervention activities have caused ineffectiveness of peacebuilding and post conflict reconstruction. ]"
2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge, 2006
327.172 CON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo: United Nations University Press, 2005
327.172 SEC
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Konflik yang terjadi karena benturan kepentingan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia. Perang Kongo Kedua yang melibatkan sembilan negara membuktikan bahwa konflik dan kekerasan masih menjadi alat utama untuk meraih kepentingan. Perang ini berhenti di tahun 2003 setelah penandatanganan perjanjian damai Sun City. Perjanjian ini membuka jalan bagi dibentuknya negara demokrasi di RDK dengan bantuan dari aktor-aktor peacebuilding internasional, salah satunya MONUC. Akan tetapi kenyataannya konflik dan kekerasan terus terjadi khususnya di daerah Kivu.
Skripsi ini berusaha untuk menganalisis mengaap peacebuilding tidak berhasil meskipun sudah terbentuk negara demokrasi di RDK dengan menggunakan empat indikator, pertama karakteristik pemerintahan yang terbentuk, kedua alienasi kelompok masyarakat lokal, ketiga strategi aktor peacebuilding, dan keempat hubungan antar negara di kawasan Great Lakes Afrika. Kemudian akan dilihat pula bagaimana keempat indikator ini saling memengaruhi dan menciptakan hambatan dalam proses peacebuilding di RDK.

Conflict that is caused by the clash of interest is one of the integral parts in human history. The Second Congo War that put nine different states in one massive war was one of the most prominent examples on how violence is still being used as a tool to achieve their interests. The signing of Sun City peace accord in 2003 gave way to the creation of democratic states in DRC with the assistance of international peacebuilding actors, one of the most important of them was MONUC. Surprisingly the creation of democratic state didn?t necessarily mean that violence would stop, especially in the province of Kivus in the eastern part of DRC.
This thesis try to seek and analyze the reason why violence is still occuring in DRC despite the existence of democratic government. Four indicators will be used to analyze the phenomena, first is the characteristic of the new government, second is the alienation of the local community in DRC, third is the strategy of the peacebuilding actors, and fourth is the relations between states in the African Great Lakes region. This thesis will also see how those four indicators affecting one another and creating an obstacle in the implementation of peacebuilding in DRC.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo: Foundation for Advanced Studies on International Development, 2001
333.715 EVO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jogyakarta: Cordaid-CRS, 2003
R 910.25 Dir
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Reawaruw, Hanny Octoviana
"Tesis ini menganalisa tentang keberhasilan UNHCR dalam menangani proses repatriasi sukarela para pengungsi Afghanistan, guna mendukung pelaksanaan post-conflict peacebuilding secara keseluruhan di negara Afghanistan. Konflik yang terjadi di Afghanistan merupakan konflik yang berkepanjangan, yang menimbulkan civil war, dan menyebabkan berbagai akibat buruk bagi negara dan rakyat Afghanistan sendiri.
Dengan semakin lama dan tidak adanya penyelesaian yang konkrit selama 21 tahun, masyarakat Afghanistan berusaha untuk mencari cara menyelamatkan dirinya. Salah satunya adalah terjadi arus pengungsian besar - besaran keluar dari Afghanistan, menuju ke negara - negara tetangga terdekat ataupun ke negara lain yang dianggap bisa memberikan perlindungan dan keamanan. Pengungsi Afghanistan mulai bergerak tanpa bantuan dari pihak mana pun. Sedangkan negara - negara yang kedatangan akan para pengungsi tersebut tidak dapat berbuat apa - apa, kecuali menerima dan menampung mereka.
Namun kedatangan para pengungsi tersebut, seiring dengan berjalannya konflik yang tidak selesai, tidak terbendungkan dan membuat negara - negara tetangga mulai menyerah dan meminta bantuan dunia internasional untuk turut menangani akan pengungsi tersebut. Akhirnya dengan persetujuan PBB, UNHCR sebagai badan yang mengurusi masalah pengungsi di dunia, mulai menangani masalah pengungsi Afghanistan pada tahun 1979. PBB mulai memfasilitasi kedatangan para pengunsi Afghanistan ke negara - negara tetangga sekitar dan mengurusi keperluan mereka selama mereka berada di sana.
Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya civil war di Afghanistan dapat dihentikan dengan campur tangan dari pihak asing. Arus pengungsi yang hendak kembali pun meningkat secara tajam , dan membutuhkan pertolongan UNHCR untuk mefasilitasinya. Dengan jatuhnya rezim Taliban, UNHCR mulai mempersiapkan kepulangan pengungsi Afghanistan, pada tahun 2002, yang ternyata merupakan proses repatriasi terbesar yang dilakukan oleh UNHCR.
Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk menjelaskan keberhasilan UNHCR dalam post-conflict peacebuilding dengan kasus repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan, pada periode 2002. Konsep yang digunakan sebagai alat bantu analisa dalam tesis ini adalah peacebuilding. Peacebuilding merupakan proses yang memiliki memiliki nuansa kultural yang kental karena bertujuan untuk melakukan perombakan - perombakan struktur sosial budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Post-conflict peace-building mengandung makna tindakan - tindakan yang diambil pada akhir konflik untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan mencegah terjadinya kembali konfrontasi persenjataan. Dalam konsolidasi perdamaian dibutuhkan lebih dari sekedar diplomasi murni dan aksi militer, dan usaha untuk pembangunan perdamaian yang bersama - sama dibutuhkan untuk menunjukkan berbagai faktor yang menyebabkan konflik.
Seluruh kegiatan peacebuilding ini dapat dilakukan bila para pengungsi atau internal displaced person pulang kembali (repatriasi) dan bereintegrasi ke daerah asalnya. Apabila orang - orang tersebut tidak kembali ke daerah asal mereka maka proses perdamaian tidak akan berjalan efektif. Dengan berepatriasi dan berintegrasinya para pengungsi ke lingkungan asalnya, mereka dapat membantu berjalannya proses peacebuilding yang sedang berlangsung.
UNHCR (United Nations High Comissioner of Refugees) sebagai salah satu organisasi internasional, melakukan tugasnya untuk memastikan repatriasi yang aman, lancar dan cepat dan menempatkan kembali para pengungsi. Ada dua fungsi utama UNHCR, yaitu perlindungan internasional dan pencarian solusi berjangka panjang terhadap masalah pengungsi. Dalam melaksanakan fungsi kedua, solusi perrnanen, UNHCR berupaya memudahkan repatriasi sukarela para pengungsi dan re-integrasi ke dalam negara asal mereka atau, jika hal itu tidak memungkinkan, membantu mempermudah integrasi mereka di negara pemberi suaka atau di negara tempat mereka dimukimkan kembali.
Proses repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan sendiri berhasil dilakukan oleh UNHCR dan para partner yang bekerjasama mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya. Dari berbagai fakta yang dibahas dalam tesis ini, dapat dikatakan UNHCR berhasil melakukan fasilitasi repatriasi sukarela, dengan indikasi kepulangan pengungsi Afghanistan yang lebih dari perkiraan/perencanaan bahkan yang terbesar yang pernah dilakukan.
Keberhasilan dari UNHCR ini tidak terlepas dari terlaksananya faktor - faktor pendukung proses pecebuilding. Namun yang perlu diingat ada beberapa hal yang menjadikan faktor - faktor tersebut berhasil dilaksanakan, yaitu adanya perubahan pemerintahan Afghanistan yang baru, yaitu pemerintahan koalisi dan berbagai partai politik serta etnis dari seluruh negara Afghanistan, serta adanya campur tangan yang besar dari Amerika Serikat. Dengan beralaskan kemanusiaan, pemerintah Amerika berusaha menutupi maksud ekonomisnya, yaitu untuk kepentingan keamanan pipa - pipa minyaknya yang melintas di Afghanistan, dalam membantu Afghanistan, mulai dari saat penghancuran rezim Taliban sampai pada proses post-conflict peacebuilding di Afghanistan. Dengan mengabaikan akan sebab sesungguhnya Amerika Serikat mau menolong Afghanistan, peranan Amerika Serikat ini telah membantu UNHCR dalam menyelenggarakan proses pemulangan pengungsi Afghanistan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panut
"Turki, Suriah, dan Irak merupakan tiga negara yang dilintasi oleh sungai Efrat dan Tigris. Sejak dibangunnya bendungan-bendungan modern di Turki dan Suriah pada 1960-an, konflik ketegangan muncul di antara ketiga negara. Akan tetapi, munculnya Arab Spring di Tunisia kemudian memicu pemberontakan rakyat Suriah terhadap rezim yang dictator dan represif sehingga menyebabkan perang saudara di Suriah. Sedangkan di Irak, instabilitas politik telah terjadi sejak invasi Amerika Serikat tahun 2003. Instabilitas yang terjadi Suriah dan Irak kemudian memberikan celah kepada kelompok-kelompok Violent Non-state Actors untuk mengambil alih beberapa fasilitas air yang ada di Suriah dan Irak. Sehingga kelompok-kelompok tersebut menggunakan fasilitas air tersebut untuk mencapai kepentingan mereka baik ekonomi maupun politik, bahkan mereka juga menjadikan air sebagai alat penyerangan dan pertahanan. Di sisi lain, Turki harus menghadapi ancaman dari PKK, kelompok separatis Kurdi yang milisinya juga terdapat di Suriah dan Irak. Hal ini tentu menjadi babak baru dalam sejarah konflik air tawar di kawasan sungai Efrat dan Tigris. Tulisan ini membahas faktor penyebab konflik air tawar di kawasan sungai Efrat dan Tigris pasca-Arab Spring, serta dinamika konflik dan peleraiannya. Tulisan ini menggunakan teori hidropolitik dan Metodologi deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data dari Jurnal, buku dan website terkait.

Turkey, Syria, and Iraq are three countries where the Euphrates and Tigris rivers intersect. Tension conflicts have arisen between the three countries since the construction of modern dams in Turkey and Syria in the 1960s. However, the arrival of the Arab Spring in Tunisia subsequently triggered a rebellion of the Syrian people against a dictatorial and oppressive regime, causing a civil war in Syria. Meanwhile, political instability has surfaced in Iraq since the invasion of the United States in 2003. The instability experienced in Syria and Iraq provided an opportunity for violent non-state actor groups to hijack several water services in Syria and Iraq. These groups may even use water as a means of attack and defense to use water facilities to claim economic and political interests. Meanwhile, Turkey faces a threat from the  Kurdish separatist group PKK, which also has militias in Syria and Iraq. This is certainly a new chapter in the history of freshwater conflicts on the Euphrates and Tigris rivers. This paper discusses the causes of freshwater conflicts in the Euphrates and Tigris river basins after the Arab Spring,  the dynamics of the conflict, and its resolution. This treatise collects data from relevant journals, books, and websites using hydro political theory and qualitative description methods."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Anitasari Sabaniah
"[ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan tentang bagaimana perempuan agensi mengelola faktorfaktor
yang bersifat struktural dan kultural yang mendukung dan menghambat
keagensiannya pada saat konflik dan pasca konflik. Studi sebelumnya telah
membuktikan bahwa dalam situasi konflik perempuan mampu memunculkan
keagensiannya. Namun dari studi yang telah ada umumnya tidak membahas
secara komprehensif bagaimana keagensian tersebut bekerja dan apa faktor-faktor
struktural dan kultural yang mendukung maupun yang menghambat keagensian
perempuan saat dan pasca konflik.
Tesis ini merupakan hasil penelitian kualitataif dengan mengambil studi kasus di
Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan Kabupaten Poso
didasarkan pada pertimbangan bahwa Poso dikenal sebagai wilayah yang pernah
mengalami konflik. Beberapa tahun terakhir situasi damai terjadi di Poso,
berangsung-angsur masyarakat Poso termasuk perempuan mulai menata
kehidupannya kembali. Gejala yang terjadi di Poso ini dinilai oleh peneliti dapat
mengungkap permasalahan dan menjawab pertanyaan penelitian.
Argumentasi penelitian ini adalah bahwa perempuan dalam situasi konflik satu
sisi dihadapkan persoalan yang sulit, namun, di sisi lain perempuan juga mampu
menjadi agensi. Studi ini menggunakan ‘Analisis Archer membedakan Agen dan
Struktur dengan pendekatan Morphogenesis’. Analisis morphogenesis Archer
menjelaskan bekerjanya ‘keagensian’ yang saling mempengaruhi dengan kultur
(struktur) melalui tiga tahap, yaitu: (1) Structural conditioning, yang merujuk
pada struktur sebelumnya yang mengkondisikan namun tidak menentukan; (2)
Social interaction, yang muncul dari tindakan yang berorientasi pada realitas dan
kebutuhan yang berasal dari agen dan mengarah pada dua hal; yakni (3) Structural
elaboration atau reproduction, yaitu sebuah perubahan dalam hubungan dalam
sebuah sistem sosial. memungkinkan menghasilkan konfigurasi sosio-kultur yang memiliki sifat
perubahan dari agen.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa saat dan pasca konflik perubahan
konfigurasi sosio-kultur yang terjadi adalah konfigurasi sosio-kultur yang
memiliki sifat perubahan dari agen primer (passive agents) menuju lebih banyak
lagi kumpulan agen (active agents). Active agents yang dimaksud adalah
kumpulan agen-agen yang terorganisir yang berusaha ke luar dari batas-batas
struktur dan sistem kultur serta sosio-kultur yang ada menuju ‘we’ bersama-sama
berusaha untuk mengubah struktur yang ada tersebut atau dengan kata lain
mentransformasikan dirinya untuk tujuan mencapai perubahan sosial yang
transformatif. Di dalam perubahan sosial yang transformatif sebagai hasil dari
formasi siklus morphogenesis (morphogenetic cycles) maka peran baru akan
diciptakan hingga terjadi posisi baru dimana akan lebih banyak lagi agen yang
terlibat.

ABSTRACT
This thesis discusses how women's agency manage structural and cultural
factors that enable and contrains agency during conflict and post-conflict.
Previous studies have shown that in conflict situations women are able to emerged
their agency. However, the existing studies generally do not discuss
comprehensively how it works and what is the structural factors and cultural that
support or obstruct women agency during and after conflict.
This thesis is the result of qualitative research on a case study in Poso,
Central Sulawesi Province. Poso district election based on the consideration that
the Poso region once known as a conflict area. The last few years the people of
poso have living in peace, Poso community gradually including women began to
organize their lives back. According to the researcher it is useful to examine the
phenomenon that accurs in Poso to uncover problems and answer research
questions.
The argument of this study is women in conflict situations, encountered
difficult situation, but on the other hand women also capable of being the agency.
This study uses ‘Archer’s analysis of Agen-Structure: the morphogenetic
approach’. The Archer’s analysis is explained the agency works interplay with
culture (structure) through three stages: (1) Structural conditioning, which refers
to the previous structure, but does not specify; (2) Social interaction, which
emergence from the actions oriented to the realities and needs and leads to two
things; are (3) Structural elaboration or reproduction, is a change in the
relationship in a social system.
At the stage of social interaction, agency works begins with the
emergence of self-consciousness, then the emergence of personal identity and
continued to the emergence of social identity. The third stage enables generating
socio-cultural configurations which have the changing nature of the agent.
The research findings showed socio-cultural configuration changes that
occur during and post-conflict changing nature of the primary agent (passive
agents) into collection agents (active agents). Active agents are organized agent,
that attempted to exit outside of the confines of existing structure and socioculture
systems and culture that exist towards 'we' and jointly try to change the
existing structure, or in other words to transform itself to achieve a transformative
social change. In transformative social change as a resulted of the formation cycle of morphogenesis (morphogenetic cycles) then the new role will be created until
there is a new position emerge and involving more agents., This thesis discusses how women's agency manage structural and cultural
factors that enable and contrains agency during conflict and post-conflict.
Previous studies have shown that in conflict situations women are able to emerged
their agency. However, the existing studies generally do not discuss
comprehensively how it works and what is the structural factors and cultural that
support or obstruct women agency during and after conflict.
This thesis is the result of qualitative research on a case study in Poso,
Central Sulawesi Province. Poso district election based on the consideration that
the Poso region once known as a conflict area. The last few years the people of
poso have living in peace, Poso community gradually including women began to
organize their lives back. According to the researcher it is useful to examine the
phenomenon that accurs in Poso to uncover problems and answer research
questions.
The argument of this study is women in conflict situations, encountered
difficult situation, but on the other hand women also capable of being the agency.
This study uses ‘Archer’s analysis of Agen-Structure: the morphogenetic
approach’. The Archer’s analysis is explained the agency works interplay with
culture (structure) through three stages: (1) Structural conditioning, which refers
to the previous structure, but does not specify; (2) Social interaction, which
emergence from the actions oriented to the realities and needs and leads to two
things; are (3) Structural elaboration or reproduction, is a change in the
relationship in a social system.
At the stage of social interaction, agency works begins with the
emergence of self-consciousness, then the emergence of personal identity and
continued to the emergence of social identity. The third stage enables generating
socio-cultural configurations which have the changing nature of the agent.
The research findings showed socio-cultural configuration changes that
occur during and post-conflict changing nature of the primary agent (passive
agents) into collection agents (active agents). Active agents are organized agent,
that attempted to exit outside of the confines of existing structure and socioculture
systems and culture that exist towards 'we' and jointly try to change the
existing structure, or in other words to transform itself to achieve a transformative
social change. In transformative social change as a resulted of the formation cycle of morphogenesis (morphogenetic cycles) then the new role will be created until
there is a new position emerge and involving more agents.]"
2015
T43903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leeuwen, Mathijs van
"How do international organizations support local peacebuilding? Do they really understand conflict? Partners in Peace challenges the global perceptions and assumptions of the roles played by civil society in peacebuilding and offers a radically new perspective on how international organizations can support such efforts. Framing the debate using case studies from Africa and Central America, the author examines different meanings of peacebuilding, the practices and politics of interpreting conflict and how planned interventions work out. Comparing original views with contemporary perceptions of non-state actors, Partners in Peace includes many recommendations for NGOs involved in peacebuilding and constructs a new understanding on how these possible solutions relate to politics and practices on the ground. Concise in both theoretical and empirical analysis, this book is an important contribution to our understanding of civil society's role in building sustainable peace"
London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2016
303.66 LEE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>