Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136349 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Geger Riyanto
"ABSTRAK
Studi ini akan mengulas bagaimana penalaran asosiatif memungkinkan diskursus kebudayaan Indonesia bergulir dan membingkai para pelakunya dalam satu proyek kehidupan sosial bersama. Penalaran asosiatif, sejauh beberapa kajian antropologi terdahulu memperlihatkan, dikonseptualisasi sebagai fitur cara berpikir masyarakat primitif yang cacat dalam menangkap realitas khususnya ketika dibandingkan dengan modus berpikir modern yang saintifik. Telusur-telusur antropologis lainnya terhadap bentuk rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas yang identik dengan masyarakat Barat cenderung mengabaikan konseptualisasi ini dan lebih berfokus memperlihatkan bagaimana penalaran liyan yang dikajinya juga logis dan masuk akal. Namun, penulis melihat konsep penalaran yang juga galib dianggap tak menaati prinsip kemasukakalan ini mempunyai faedah justru memungkinkan hubungan sosial yang ekstensif terselenggara, dan ini terlihat dari bagaimana tubuh pengetahuan diskursus kebudayaan Indonesia yang metaforis memungkinkan para pelaku yang tak sulit dikatakan bagian dari kehidupan modern sekalipun membayangkan keterlibatan dirinya dalam diskursus ini. Dibayangkan sebagai watak dari sebuah bangsa, kebudayaan senantiasa memperoleh tempat sebagai topik yang urgen karena dianggap variabel yang tak bisa tidak diperhitungkan bila bangsa bersangkutan ingin menaja diri menjadi bangsa yang unggul, betapapun dalam praktiknya kita tak bisa mempertanggungjawabkan adanya entitas empiris kebudayaan Indonesia. Kapasitas analogi antropomorfistis kebudayaan yang membuat para pelaku secara imajiner merasa berada dalam kompetisi konstan dengan entitas kebangsaan lainnya, dalam praktiknya, jauh lebih berarti untuk menggerakkan mereka sebagai kolektivitas alih-alih plausabilitasnya.

ABSTRACT
This study will examine the way associative reasoning enacting the discourse of Indonesian culture and involving the actors in a common social life project. Associative reasoning, in numbers of past anthropological studies, was commonly conceptualized as primitive society?s mode of false thinking which is unable to perceive objective reality especially when it came under comparison with modern scientific reasoning. The more recent anthropological studies on different form of rationalities compared to the Western one tend to dismiss this conceptualization and took more interest in showing how the other mode of reasoning is also logical and making sense in its own term. I, however, thought that the mode of thinking which disregard the rule of coherence is essential in enabling extensive social relationship, and this case is being shown by how the discourse of Indonesian culture make it possible for its actors to imagine his or her involvement in the discursive community. Imagined as the character of a nation, culture is always having a central place in common conversations due to it being considered as inseparable aspect for a nation which strives to be greater than the other, even though, in practice, I suspect, we could never prove the empirical presence of Indonesian culture. This anthropomorphist analogy of culture, which imaginarily providing the actors with a sensation of being in a constant competition with other national communities, in practice, is a far more important capacity in mobilizing people as a collectivity rather than its plausibility;This study will examine the way associative reasoning enacting the discourse of Indonesian culture and involving the actors in a common social life project. Associative reasoning, in numbers of past anthropological studies, was commonly conceptualized as primitive society?s mode of false thinking which is unable to perceive objective reality especially when it came under comparison with modern scientific reasoning. The more recent anthropological studies on different form of rationalities compared to the Western one tend to dismiss this conceptualization and took more interest in showing how the other mode of reasoning is also logical and making sense in its own term. I, however, thought that the mode of thinking which disregard the rule of coherence is essential in enabling extensive social relationship, and this case is being shown by how the discourse of Indonesian culture make it possible for its actors to imagine his or her involvement in the discursive community. Imagined as the character of a nation, culture is always having a central place in common conversations due to it being considered as inseparable aspect for a nation which strives to be greater than the other, even though, in practice, I suspect, we could never prove the empirical presence of Indonesian culture. This anthropomorphist analogy of culture, which imaginarily providing the actors with a sensation of being in a constant competition with other national communities, in practice, is a far more important capacity in mobilizing people as a collectivity rather than its plausibility.
"
2015
T43549
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Waluyo
"Tesis ini berusaha menjelaskan adanya persamaan dan perbedaan alam pikiran budayawan Lekra dan Manifestan dalam mencari sosok budaya bangsa Indonesia yang tidak kunjung selesai sampai sekarang. Proses pencarian sosok budaya bangsa sudah, diawali sejak perdebatan di kalangan budayawan/intelektual tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Ki Hadjar Dewantara (KID) dan kawan-kawan. Proses pencarian sosok budaya bangsa ini terus berlanjut dalam Kongres Kebudayaan Nasional I tahun 1948 di Magelang yang dilanjutkan dengan Konferansi Kebudayaan di Jakarta tahun 1950, Kongres Kebudayaan II tahun 1951 di Bandung, Kongres Kebudayaan III tahun 1954 di Surakarta, dan Kongres Kebudayaan IV tahun 1991 di Jakarta.
Proses pencarian sosok budayabangsa tidak dapat dilepaskan dari situasi politik dalam dan luar negeri yang mempengaruhi alam pikiran penguasa politik di tanah air dan di kalangan budayawan. Kongres Kebudayaan I di Magelang dilaksanakan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Madiun tahun 1948 dan Agresi Militer Belanda kee 2 tanggal 18 Desember 1948. Suasana hingar bingar politik pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) turut pula menggiatkan suasana Kongres Kebuda.yaan II di Bandung tentang pentingnya organisasi kebudayaan.
Pada tahun 1950 lahirlah organisasi kebudayaan yang berafiliasi kepada PKl, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disingkat Lekra. Organisasi ini berkiprah di bidang kebudayaan sejak Kongres Kebudayaan II (1951) di Bandung. Pada tanggal 19 Nopember 1946 di Jakarta lahir gagasan dari kolompok "Gelanggang" yang didirikan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani dan kawan-kawan. Di dalam preamblue anggaran dikatakan bahwa "Generasi Gelanggang'' terlahir dari pergolakan roh hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama ini untuk menjalankan baru kekuatan baru.
Akar budaya "humanisme universal" ternyata sudah masuk ke tanah air bersamaan dengan masuknya sistem pendidikan masa kolonial Belanda yang terkenal dengan nama "Budi Utomo," tetapi sudah memikirkan tentang "pentingnya" persatuan di kalangan "pribumi" yang kemudian diikuti dengan ikrar "Sumpah Pemuda" pada tanggal 2.8 Oktober 1928. Pada tahun 1930-an, seorang seniman muda Indonesia yang menyadari akan arti penting "persatuan dan kesatuan" memperjuangkan kemerdekaan di bidang kebudayaan (sastra) dan melahirkan aliran "Pujangga Baru" yang ingin melepaskan kreativitas sastra daerah (Malaya) menjadi sastra Indonesia yang dimanifestasikan dalam bahasa Indonesia Gerakan di bidang kebudayaan ini terus berlanjut dengan perdebatan STA dengan KHD mengenai sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia di masa depan. Perdebatan di kalangan budayawan tahun 1930-an ini sudah terlihat adanya dua pola pikir yang "bertabrakan" yaitu pola. pikir "Barat? yang dikehendlaki oleh STA dengan pola pikir :?Tradisi" yang dikehendaki oleh KHD dan kawan-kawan. Pola pikir STA sangat dipengaruhi oleh pola pikir :Barat" yang dalam hal ini diartikan Belanda.
Ide dasar perjuangan budayawan yang mendukung prinsip "humanisme universal" ialah "kebebasan kreatif." Ide dasar "humanisme universal" terus berkembang menjadi gerakan yang manuntut "kemanusiaan yang adlil dan beradab" yang dituntut Chairil Anwar dalam "Aku ini binatang jalang, dan kumpulan yang terbuang" dan melahirkan Angkatan 45 di bidang kesastraan yang dilanjutkan oleh Asrul Sani dan kawan-kawan dangan kelompok Galanggangnya.
Perdebatan di kalangan budayawan kembali menghangat setelah situasi politik dalam negeri yang didukung dengan "Manifesto Politik" Soekarno yang memperkenalkan konsepsi baru dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang disebut NASAKOM (Nasional-Agama-Komunis). Konsepsi ini sangat didukung oleh budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena sejalan dengan ideologi realisme sosialis yang merupakan bagian dan ajaran komunisme, sedangkan budayawan Manifestan menggunakan ideologi humanisme universal yang merupakaan bagian dari ideologi liberalisme untuk menentang kebijakan pemerintah di bawah rezirn Saekarno.
Kontroversi lahirnyaPancasila dan gagalnya Konstituante (1959) dalam memecahkan masalah "dasar negara" Islam, Pancasila, atau Sosial-Ekonomi, menjadikan' bangsa ini tidak matang dalam kehidupan berbaangsa, bernegara, dan bermasyarakat, Sebagai orang Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan sangat menyadari akan arti penting "seni" dalam kehidupan mereka, tetapi sebagai warga bangsa dan negara Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan memanfaatkan "situasi politik" bagi kelompoknya daripada kepentingan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tesis ini menyimpulkan bahwa budayawan Lekra dan Manifestan baru menyadari kedudukannya dan perannya sebagai anggota kelompok "seniman kerakyatan" atau "seniman inerdeka" tetapi belum sepenuhnya menyadari kedudukan dari perannya sebagai "warga bangsa Indonesia" yang berkepentingan dalam mowujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undarig Dasar 1945 di dalam negara persatuan yang bernama Repubik Indonesia. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Halomoan, Bernardo Gyorgy
"ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperjelas permasalahan justifikasi epistemik. Descartes, pada kedua buku tersebut, diasumsikan memiliki argumentasi yang mendasari pengetahuan-pengetahuan yang ia temui. Beberapa dari pengetahuan tersebut adalah eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif. Epistemologi Descartes berangkat dari fondasi 'aku berpikir'; pengetahuan tersebut niscaya benar dan indubitable. Dari situ, Descartes mengetahui bahwa substansi ada dua: mind dan body. Setelah itu, ia mendeduksi (non-silogistik) bahwa pengetahuan mengenai realitas objektif bukan direpresentasikan oleh sensasi, melainkan direpresentasikan oleh ide-ide bawaan di dalam mind. Dari penelitian saya, saya berkesimpulan tiga hal. Yang pertama Descartes melakukan kekeliruan (invaliditas) ketika ia mengetahui eksistensi diri. Descartes keliru mencampur knowing-how dan knowing-that, dan menganggap 'aku berpikir' sebagai objek, hal yang dihipotesiskan tidak luput dari Evil Genius. Yang kedua pengetahuan mengenai distingsi mind-body inkoheren. Hal ini dikarenakan kekeliruan kategoris yang ia lakukan. Yang ketiga prakondisi pengetahuan Descartes mengenai realitas objektif tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan justifikasi realitas formal dengan realitas objektif sama, dan akhirnya pengetahuan tersebut bergantung pada natural light. Oleh karena ketiga hal tersebut, argumentasi Descartes, dalam kedua buku tersebut, mengenai eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif tidak justified.

ABSTRACT
This undergraduate thesis aims to clarify the issues raised about the problem of epistemic justification. Descartes, on both of this book, is assumed to have underlying arguments on the knowledge he discovered. Some of these knowledge are self-existence, the mind-body distinction, and objective reality. Descartes‘ epistemology started from the foundation of 'I think'; such knowledge is necessarily true and indubitable. Descartes recognized that there are two substances: mind and body. Then, he deduced (non-syllogistically) that the knowledge of objective reality is not represented by sensation, but rather by the innate ideas inside of the mind. From my research, I concluded three things. First, Descartes committed an invalid deduction when he discovered self-existence. Descartes mistakenly mixed 'knowing-how' and 'knowing-that', and thought that 'I think' as an object, things which is hypothetically couldn't escape from the Evil Genius. Second, the mind-body distinction is incoherent. This is caused by categorical error that he committed. Third, Descartes' precondition of knowledge about objective reality is not sufficient. This is because in Descartes formal reality and objective reality is the same, and ultimately the knowledge depend on natural light. Because of these three notions, Descartes' arguments inside the two books, about the existence of self, mind-body distinction, and the objective reality are not justified."
2014
S54464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bracher, Mark
Yogyakarta: Jalasutra, 2009
303.4 BRA j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Khalisya Zahwa Rachmadina
"Indonesia dan Belanda dikenal memiliki banyak keterkaitan karena adanya kontak secara terus-menerus pada masa lampau sehingga terdapat berbagai dampak dalam berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdampak hingga saat ini adalah budaya, seperti pada restoran-restoran Belanda di Indonesia yang melakukan akulturasi budaya. Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui upaya penyesuaian budaya dalam bentuk akulturasi apa yang telah dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet dan bagaimana respon dari para pengunjung terhadap akulturasi yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teori akulturasi oleh Redfield, Linton, dan Herskovits melalui pendekatan studi kasus yaitu mengumpulkan data dengan mengobservasi objek yang diteliti melalui wawancara dengan pemilik dan pengunjung restoran H.E.M.A. dan survei langsung ke restoran. Hasil dari penelitian ini yaitu Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet melakukan akulturasi dalam bentuk bahasa, makanan, pakaian, dan juga arsitektur bangunan sebagai upaya untuk menyesuaikan budaya Belanda di Indonesia. Upaya akulturasi budaya Belanda dan Indonesia yang dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. ini berhasil menarik perhatian para pengunjung karena dapat menambah pengetahuan budaya Belanda dan Indonesia.

Indonesia and the Netherlands are known to have many connections because there was continuous contact in the past so that there were various impacts in various aspects. One aspect that has been affected to this day is culture, as in Dutch restaurants in Indonesia which carry out cultural acculturation. This research was made with the aim of knowing what cultural adjustment efforts in the form of acculturation have been carried out by the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet and how the response from visitors to the acculturation carried out. This study uses a qualitative method with the theory of acculturation by Redfield, Linton, and Herskovits through a case study approach, namely collecting data by observing the object under study through interviews with H.E.M.A. restaurant owners and visitors. then survey directly to the restaurant. The results of this study are the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet acculturates in the form of language, food, clothing, and also building architecture as an effort to adapt Dutch culture in Indonesia. Efforts to acculturate Dutch and Indonesian culture carried out by the H.E.M.A. Restaurant This succeeded in attracting the attention of the visitors because it could increase knowledge of Dutch and Indonesian culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zafar Iqbal
Jakarta: Citra, 2006
297.66 MUH k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bachtiar Alam
"This paper discusses the relevance of culture theories for understanding globalization and cultural change taking place in Indonesia. The issue of globalization and cultural change has recently figured prominently in various discourses in Indonesia, especially in relation to the question of how Indonesia's cultural identities should be maintained in the face of such a global process. This paper argues that the contemporary culture theory can help us understand such concepts as national culture and identity not as a static, essentialist entity, but rather as a dynamic social construction that is continuously reproduced and innovated by individual subjects. Such an argument is put forth in this paper by introducing aspects of culture theory that have not received much attention in Indonesia, i.e. practice, process, context and discourse concerning cultural construction."
1997
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rissa Amanda
"ABSTRAK
Jurnal ini membahas tentang asal-usul bakcang dan kue cang secara lebih mendalam, juga bakcang dan kue cang di Indonesia sebagai hasil dari akulturasi antara budaya Tiongkok dengan Indonesia. Bakcang dan kue cang ini biasanya disajikan dalam Perayaan Peh Cun yang merupakan salah satu perayaan yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa setiap tahun, tepatnya pada tanggal 5 - bulan 5 penanggalan Imlek. Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa munculnya bakcang dan kue cang dalam perayaan Peh Cun didasari oleh cerita Wu Zixu seorang tokoh dari zaman Musim Semi ndash; Musim Gugur dan tokoh Qu Yuan dari zaman Negara Berperang. Bagi masyarakat Tionghoa, bakcang dan kue cang ini menjadi salah satu simbol untuk mengenang jasa dan kematian Wu Zixu dan Qu Yuan yang kemudian simbol ini dijadikan salah satu simbol terpenting dalam perayaan Peh Cun. Seiring dengan berjalannya waktu, karena berkembangnya zaman dan terjadinya akulturasi antara budaya Tiongkok dengan Indonesia, lambat laun bakcang dan kue cang mengalami perkembangan dalam segi makna, fungsi, serta bentuk fisik maupun variasi isi bakcang yang disesuaikan dengan bahan makanan yang ada di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kualitatif berbasis studi kepustakaan.

ABSTRACT
This journal discusses the origin of bakcang and kue cang more deeply, also bakcang and kue cang in Indonesia as a result of acculturation between Chinese culture and Indonesian. Bakcang and kue cang is usually presented in Peh Cun Celebration which is one of the celebrations that celebrated by Chinese people every year, precisely on the fifth day of the fifth lunar month. The Chinese people believe that the emergence of bakcang and kue cang in the Peh Cun Celebration based on the story of Wu Zixu, a figure from the Spring ndash; Autumn era and Qu Yuan, from the Warring States era. For Chinese society, bakcang and kue cang become one of the symbols to commemorate the kindness and the death of Wu Zixu and Qu Yuan which later become one of the most important symbols in the Peh Cun celebration. As time goes by because of the current development and the occurrence of acculturation between Chinese culture and Indonesian, bakcang and kue cang gradually go through development in terms of meaning, function, as well as physical form and variations of bakcang contents which be adjusted with foodstuff in Indonesia. The research method that were used in this journal is a qualitative method based on literature study.Keywords: Peh Cun Celebration, Bakcang, Kue Cang, Wu Zixu, Qu Yuan "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Amalia
"Makalah ini membahas budaya makan masyarakat Belanda dan Indonesia, ditinjau dari iklan margarin Pusaka berbahasa Belanda dan Indonesia yang terdapat di majalah De Huisvrouw in Indie: orgaan van de Vereneeging voor Huisvrouw in Batavia pada tahun 1951. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menjabarkan bagaimana budaya makan ditampikan oleh dua masyarakat yang berbeda melalui sebuah iklan margarin. Penelitian ini juga bertujuan untuk mendata persamaan serta perbedaan dari budaya makan yang ditampilkan oleh kedua masyarakat tersebut. Hasilnya terdapat persamaan dan perbedaan antara budaya makan masyarakat Belanda dan Indonesia. Persamaan terdapat pada fungsi margarin sebagai bahan untuk membuat kue, menggoreng lauk, ataupun sebagai olesan roti. Perbedaannya terdapat  pada segi modernitas kebudayaan, kebiasaan, serta pengetahuan masyarakat mengenai makanan.

This paper discusses the culinary culture of the Dutch and Indonesian public, based on Dutch and Indonesian Pusaka Margarine advertisements. This advertisement founded in the De Huisvrouw in Indie: orgaan van de Vereeniging voor Huisvrouw in Batavia magazine in 1951. This descriptive qualitative research aims to show the culinary culture in two different societies through margarine advertisements. This study aims to record the similarities and differences in the culinary culture displayed by both communities. As a result, there are some similarities and differences between the culinary culture of Dutch and Indonesian society. An equation exists in the function of margarine as an ingredient for baking, frying a side dish, or as a bread spread. A contrast is in terms of cultural modernity, customs, and society’s knowledge of food."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>