Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188923 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rossa Avrina
"[ABSTRAK
Tingkat bebas parasit dini merupakan gambaran fungsi dari aktivitas artemisinin. Beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap bebas parasit hari pertama setelah pengobatan salah satunya adalah kepadatan parasit sebelum pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan parasit sebelum pengobatan dengan bebas parasit pada hari pertama setelah pengobatan dihidroartemisinin-piperakuin pada anak dengan malaria tanpa komplikasi di enam propinsi di Indonesia. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif yang dianalisis dengan cox regression dan menggunakan data sekunder efikasi dan keamanan obat dihidroartemisinin-piperakuin (DP) di enam propinsi di Indonesia. Kejadian tidak bebas parasit pada penelitian ini sebesar 31,74%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kepadatan parasit sebelum pengobatan dengan kejadian bebas parasit setelah hari pertama setelah pengobatan, dimana kepadatan parasit >20000/μl mempunyai risiko tidak bebas parasit sebesar 2,327 kali (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) dibandingkan kepadatan parasit <4000/μl dan kepadatan parasit 4000-20000/μl berisiko tidak bebas parasit sebesar 1,669 kali (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) dibandingkan kepadatan parasit <4000/μl setelah dikendalikan faktor jenis parasit dan wilayah. Kepadatan parasit (μl) dapat dijadikan pemeriksaan standar penderita malaria dan penilaian pengobatan.

ABSTRACT
Early parasite clearance is the function of artemisinin?s activity. One of the factors that are related to parasite clearance on the first day after treatment is parasite density pre treatment. The aim of this study was to determine the relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on first day after treatment in children with uncomplicated malaria at six provinces in Indonesia. The design of this study was retrospective cohort and analyzed with cox regression and used the secondary data of efficacy and safety of dihydroartemisinin-piperaquine (DP) at six provinces in Indonesia. The proportion of uncleared parasite in this study was 31,74%. There was statically relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on the first day after treatment, where parasite density >20000/μl had uncleared parasite? risk 2,327 times (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) more than parasite density <4000/μl and parasite density 4000-20000/μl had uncleared parasite? risk 1,669 times (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) more than parasite density <4000/μl after controlled by Plasmodium species and region. Parasite density (μl) can be used as standard tests for patients with malaria and treatment evalution., Early parasite clearance is the function of artemisinin’s activity. One of the factors that are related to parasite clearance on the first day after treatment is parasite density pre treatment. The aim of this study was to determine the relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on first day after treatment in children with uncomplicated malaria at six provinces in Indonesia. The design of this study was retrospective cohort and analyzed with cox regression and used the secondary data of efficacy and safety of dihydroartemisinin-piperaquine (DP) at six provinces in Indonesia. The proportion of uncleared parasite in this study was 31,74%. There was statically relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on the first day after treatment, where parasite density >20000/μl had uncleared parasite’ risk 2,327 times (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) more than parasite density <4000/μl and parasite density 4000-20000/μl had uncleared parasite’ risk 1,669 times (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) more than parasite density <4000/μl after controlled by Plasmodium species and region. Parasite density (μl) can be used as standard tests for patients with malaria and treatment evalution.]"
2015
T44227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marantina, Sylvia Sance
"ABSTRAK
Sebanyak 120 sampel Dried Blood Spot (DBS) malaria falciparum yang diperoleh dari studi efikasi obat DHP pada 5 wilayah di Indonesia dianalisis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, untuk melihat varian SNPs K13 dan alel FcγRIIa -131 serta hubungannya dengan densitas parasit dan efikasi Dihidroartemisinin-Piperakuin. Hasil penelitian tidak menemukan mutasi gen K13 pada seluruh isolat P. falciparum yang diperiksa. Artemisinin masih efektif untuk pengobatan malaria di Indonesia. Analisis gen FcγRIIa menunjukkan bahwa genotip RH memiliki frekuensi yang paling tinggi (50,8%) dibandingkan RR (17,5%) dan HH (31,7%). Alel R131 gen FcγRIIa menunjukkan efek protektif terhadap High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasit/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) dan berkaitan dengan keberadaan gametosit yang lebih lama pada inang (> 72 jam.

ABSTRACT
Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).;A total of 120 samples of Dried Blood Spot (DBS) falciparum malaria acquired from DHP drug efficacy studies in 5 regions in Indonesia were analyzed by Polymerase Chain Reaction (PCR) and sequencing, to look at variants of K13 SNPs and FcγRIIa-131 allele and its Association with Parasite Density and Efficacy of Dihydroartemisinin- Piperaquine. No mutations in the K13 gene was found in any of the isolates examined. Artemisinin is still effective for the treatment of malaria in Indonesia. The FcγRIIa gene analysis indicated that genotype RH has the highest frequency (50.8%) compared to RR (17.5%) and HH (31.7%). Allele R131 showed a protective effect against High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasites/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) and associated with longer gametocytes carrier clearance time (> 72 hours; Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Wikara
"Artemisinin merupakan senyawa SOH-seskuiterpen lakton dengan gugus unik peroksida yang berhasil diisolasi dari tanaman Artemisia annua. Dari hasil uji in vitro dan in vivo, artemisinin terbukti efektif melawan malaria dan menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan untuk galur Plasmodium yang telah kebal sekalipun. Dihidroartemisinin adalah salah satu derivat artemisinin dari hasil semisintesis sederhana, yang lebih poten dari artemisinin. Penelitian ini bertujuan memodifikasi struktur artemisinin menjadi dihidroartemisinin menggunakan katalis Ni/TiO2 melalui proses hidrogenasi dan mengkaji aktivitasnya sebagai antimalaria melalui uji in vitro. Cara baru modifikasi struktur artemisinin menjadi derivatnya dihidroartemisinin telah berhasil dilakukan melalui reaksi hidrogenasi menggunakan katalis Ni/TiO2 Sintesis senyawa ini menghasilkan kristal berbentuk jarum dengan titik leleh 151- 153oC. Rendemen yang diperoleh sebesar 16.58%. Analisa TLC dengan plat silika gel 60 F254 menggunakan eluen toluene: etil asetat: asam formiat menunjukkan satu spot dengan Rf 0,44. Analisa LC-MS menunjukkan satu puncak dengan tR 2.2 menit serta berat molekul 284.29 sama dengan dihidroartemisinin yaitu C15H24O5. Spektrum IR menunjukkan adanya gugus hidroksil pada frekuensi 3371.57 cm-1 didukung dengan munculnya pita serapan dari vibrasi ulur C-O pada frekuensi 1034.14 cm-1. Reaksi hidrogenasi tidak merusak keberadaan gugus endoperoksida. Hal ini terbukti dengan masih terdapatnya serapan vibrasi ulur dari C-O-O-C pada frekuensi 1091.71; 875.68; 844.82 cm-1. Dari data NMR membuktikan bahwa senyawa tersebut adalah campuran rasemat STX/ETX dihidroartemisinin. Senyawa ini mempunyai aktivitas antimalaria dengan IC50 0.20 nM, melalui uji in vitro menggunakan biakan Plasmodium falciparum kultur 3D7.

Artemisinin is a SOH-sesquiterpene lactone that incorporates an endoperoxide moiety. This compound is isolated as the active compound of Artemisia annua. Based on the result of in vitro and in vivo assay, artemisinin is an effective antimalarial drug and it shows possitive result, moreover strain of Plasmodium resistant. Dihydroartemisinin is the simplest semisynthetic derivative of artemisinin and is more potent than artemisinin. The objective of this research are to modify the structure of artemisinin into dihydroartemisinin. A new way to modify the structure of artemisinin into dihydroartemisinin, had been successfully done using hydrogenation process with Ni/TiO2 catalyst, and the result was a soft white needle like crystal with melting point of 151-153oC. The yield of the crystal was 16.58%. the TLC analysis on TLC plate silica gel 60 F254 using toluene: etil asetat: asam formiat showed a spot with Rf 0.44. LC-MS analysis showed that the compound contained mainly a peak with tR 2.2 minutes and mass spectrum showed that the molecular weight of the compound was 284.29 which is similar to that of dihydroartemisinin, C15H24O5. The IR spectrum showed that there was a spectrum from C-O in a frequency of 1034.14 cm-1. Hydrogenation reaction did not destroy the existance of endoperoxide group. This was proven by the existance of C-O-O-C in a frequency of 1091.71; 875.68; 844.82 cm-1. NMR data showed that the compound was the mixture of racemic. The compund also had the activity of antimalarial with IC50 0.20 ng/ml by using in vitro test with Plasmodium falciparum strain 3D7."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T29035
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Sriwijaya
"Dihidroartemisinin-piperakuin (DHA-PPQ) telah digunakan secara global sebagai terapi kombinasi standar pada pengobatan malaria vivaks di Indonesia. Efikasi dan keamanan obat ini banyak dilaporkan, namun data efek samping obat terhadap jantung masih sangat terbatas. Salah satu efek samping yang patut diwaspadai adalah pemanjangan repolarisasi ventrikel yang dapat menyebabkan berkembangnya aritmia ventrikuler yang dikenal sebagai Torsade de Pointes (TdP).
Pengukuran interval QT telah dijadikan standar untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel. Interval QT juga mewakili waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel sehingga tidak selalu bisa dijadikan indikator akurat pada kelainan repolarisasi. Saat ini pengukuran interval QT digunakan sebagai standar utama penilaian efek samping obat terhadap jantung, namun menurut pemikiran sebagian ahli, pengukuran interval JT lebih akurat untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel, karena tidak terpengaruh oleh variabilitas durasi kompleks QRS. Interval QT dan JT dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung, maka dalam penelitian ini digunakan dua formula yang sudah dikoreksi terhadap frekuensi denyut jantung, yaitu formula Bazett (QTcB, JTcB) dan Fridericia (QTcF, JTcF).
Penelitian before-after ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai rerata interval QTc dan JTc penderita malaria vivaks sebelum dan sesudah pemberian DHA-PPQ. Penelitian ini dilakukan pada penderita malaria vivaks yang juga diberikan primakuin (PQ) untuk mencegah kekambuhan, sehingga juga dilakukan pengukuran interval QTc dan JTc sebelum dan sesudah pemberian PQ.
Subyek yang masuk dalam kriteria seleksi pada pemberian DHA-PPQ berjumlah 24 subyek, sedangkan pada pemberian PQ sebanyak 14 subyek. Pengukuran interval QT dan JT dilakukan pada data rekaman EKG penelitian utama ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? tahun 2010.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pemanjangan rerata interval QTcF dibandingkan baseline yang bermakna secara statistik di D3 setelah pemberian DHA-PPQ. Pemanjangan sebesar 14,42 milidetik terjadi di D3 predose dan 20,53 milidetik di D3 postdose, sedangkan rerata pemanjangan interval JTcF yang bermakna setelah pemberian DHA-PPQ, didapatkan sebesar 13,43 milidetik di D3 postdose.
Hasil penelitian pada pemberian PQ terdapat perbedaan nilai rerata interval QTcB dibandingkan baseline sebesar 19,42 milidetik. Nilai median interval QTcB di D42 predose dan D42 postdose, masing-masing sebesar 402,69 milidetik dan 399,73 milidetik, sedangkan nilai median QTcB D29 predose sebagai baseline 380,31 milidetik, dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Untuk rerata pemanjangan interval JTcF dibandingkan baseline diperoleh sebesar 16,50 milidetik di D42 postdose dan secara statistik bermakna.

Dihydroartemisinin-piperaquin (DHA-PPQ) has been used globally as standard combination therapies for vivax malaria treatment in Indonesia. There are accumulating reports of efficacy and safety for these drugs. However, data on cardiotoxicity are limited. One of the side effects that must be put into caution is the prolongation of ventricular repolarization which can lead to the development of ventricular arrhythmia known as Torsade de Pointes (TdP).
QT interval has been the standard measurement of ventricular repolarization. However, it includes both depolarization and repolarization time, and may not always be an accurate indicator for repolarization abnormalities. Recently, many experts suggest that JT interval could be a more accurate measurement of ventricular repolarization since the variability of QRS complex duration does not affect it. QT and JT intervals are affected by heart rate, so both of them have to be corrected for the heart rate using two formulas, i.e.: Bazett (QTcB, JTcB) and Fridericia (QTcF, JTcF) formulas.
This study used ?before and after? design and was aimed to find out whether there was a significant difference of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post DHA-PPQ dose. Since our patients were also given primaquine (PQ) the differences of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post PQ were also explored.
The ECG record of 24 DHA-PPQ and 14 PQ treated subjects taken from ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with Primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? study in the 2010 year, were analyzed.
The results showed significant QTcF prolongations of 14.42 ms predose and 20.53 ms postdose on D3 DHA-PPQ treatment compared to the baseline value, D1, whereas prolongations of JT interval were 13.43 ms found on D3 postdose.
The results after given PQ showed mean difference of QTcB compared to the baseline value was 19.42 ms and the values of QTcB interval median were 402.69 ms and 399.73 ms for D42 predose and D42 postdose, respectively, compared to the baseline value 380.31 ms for D29 predose, and which was statistically significant. The result for JTcF interval after given PQ, showed mean difference of prolongations compared to the baseline value was 16.50 ms, statistically significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Labibah Qotrunnada
"ABSTRAK
Jumlah parasitemia pada infeksi malaria yang ada di dalam darah perifer tidak mampu menunjukkan total biomassa parasit malaria. Total biomassa parasit malaria yang diukur dengan pemeriksaan antibodi histidine rich protein HRP dan Plasmodium lactate dehydrogenase pLDH menunjukkan bahwa biomassa parasit malaria lebih tinggi dibandingkan dengan parasitemia di darah perifer. Biomassa parasit malaria berhubungan dengan inflamasi sistemik dan tidak berhubungan dengan aktivasi endotel. Oleh karena itu, biomassa parasit malaria kemungkinan tidak terakumulasi di sel-sel endotel, melainkan di organ non endotel seperti limpa. Penelitian tentang malaria di limpa masih sangat jarang dilakukan, namun ada beberapa yang menunjukkan terdapat perbedaan arsitektur limpa yang terinfeksi oleh P. falciparum dan P. vivax. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan sel inang yang diinfeksi, yaitu eritrosit pada P. falciparum dan retikulosit pada P. vivax. Sebanyak 12 sampel limpa pasien splenektomi digunakan untuk membuktikan apakah limpa manusia merupakan reservoir parasit malaria dan terjadi penghindaran respons imun di limpa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi berat limpa pasien berhubungan dengan tingginya parasitemia, luas pulpa putih dan akumulasi parasit malaria. Akumulasi P. falciparum juga terjadi di limpa dengan tingginya parasitemia di limpa namun stadium hidup yang muda lebih banyak ditemukan di limpa. Hal tersebut berhubungan dengan mekanisme penghindaran respons imun dengan dugaan sekuestrasi di pembuluh darah sehingga menurunkan stadium matang di limpa. Mekanisme penghindaran pada stadium yang lebih muda juga dilakukan dengan cara membentuk rosetting. Akumulasi P. vivax di limpa tidak dapat dideskripsikan di penelitian ini karena jumlah sampel yang sedikit dengan parasitemia rendah. Namun penelitian ini mampu memprediksi kemungkinan akumulasi P. vivax di limpa dengan tingginya retikulosit di limpa.Kata kunci: Limpa, Malaria, P. falciparum, P. vivax, limpa, retikulosit.

ABSTRACT
The number of parasitemia in malaria infections from peripheral blood was not able to show the total parasite biomass. Total malaria parasite biomass as measured by histidine rich protein HRP and Plasmodium lactate dehydrogenase pLDH antibody test showed higher parasitic biomass than parasitemia in peripheral blood. Total parasite biomass was not correlated with endothelial activation. Therefore parasite biomass was possible to accumulate in non endothelial organ such as the spleen. Research on malaria in the spleen was still very limited, but there were some that showed the differences of splenic architecture in P. falciparum and P. vivax infection. The difference was due to the difference of infected host cell ie red blood cell in P. falciparum and reticulocyte in P. vivax. A total of 12 spleen from splenectomy patients were used to prove whether the human spleen is malaria parasite reservoir and the escaping immune response in the spleen. The results showed that the higher spleen weight was associated with high parasitemia, white pulp area, and accumulation of malaria parasites. P. falciparum accumulation also occurs in the spleen with high parasitemia in the spleen but younger life stages are more common in the spleen. It is related to the mechanism of escaping the immune response with sequestration in the blood vessels thereby decreasing the mature stage in the spleen. The mechanism of escaping immune respons in the spleen at younger stages was also done by forming rosetting. The accumulation of P. vivax in the spleen can not be described in this study because of the limited number of samples with low parasitemia. However, this study was able to predict the possibility of P. vivax accumulation in the spleen with high reticulocytes in the spleen.Keywords Spleen, Malaria, P. falciparum, P. vivax, spleen, reticulocyte.
"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhti Okayani
"Di Indonesia, malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian.Obat malaria yang digunakan dalam program Nasional di Indonesia yaitu kombinasi Artesunat dengan Amodialuin, di laboratorium amodiakuin sudah terbukti bereaksi silang dengan klorokuin sehingga dikhawatirkan kombinasi artesunat-amodiakuin penggunaannya tidak akan bertahan lama di Indonesia. Hal ini didukung dengan data di lapangan yang memperlihatkan variasi efektifitas artesunat-amodiakuin di berbagai daerah malaria. Laporan uji efikasi artesunat-amodiakuin di Lampung memperlihatkan efektifitasnya 80% terhadap P.falciparum. karena itu diperlukan kombinasi artemisinin lain yang aman, efektif, murah, dapat digunakan balk Untuk P.falciparum dan P.vivax serta tidak mengandung komponen yang bereaksi silang dengan klorokuin_ Untuk itu digunakan alternatif kombinasi Dihidroartemisinin --- Piperakuin sebagai pilihan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan risiko kejadian yang tidak diitiginkan pada terapi dengan pengobatan kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin dibandingkan terapi Artestinat-Amodiakuin untuk penderita malaria P.falciparum tanpa komplikasi. Penelitian dilakukan di Puskesmas Hanura, Kabupaten Lampung Selatan, propinsi Lampung. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian Uji Klink Acak terkontrol atau Randomized Controlled Trial (RCT), Uji klinis terbuka (open trial) . Penelitian dilakukan mulai September 2005 sampai November 2006. Dengan pertimbangan waktu, tenaga dan biaya, pada penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 106 orang (55 orang untuk dihidroartemisinin-piperakuin dan 51 orang untuk artesunat-amodiakuin). Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dengan Chi Square dan multivariat dengan logistic regression dengan backward elimination.
Proporsi kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin , yaitu Sakit kepala, lesu dan lemah, gangguan pada sistim gastro intestinal, dan Gangguan lain pada hari 1-3 adalah 69%, 67%, 60%, 67% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 67%, 67%, 76,5%, 67% berturutan. Pada hari 7-28 kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin seperti disebutkan diatas, yaitu 24%, 7%, 9%, 24% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 24%, 18%, 14%, 23,5% berturutan. Perbandingan proporsi terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dengan penggunaan obat DHA-Piperakuin mempunyai risiko relatif lebih sedikit atau hampir sama dibandingkan penggunaan obat Artesunat-Amodiakuin.

Malaria needs to be taken into consideration in Indonesia, in particular in Eastern part, as its incidence rate is still high thereby causing high mortality rate amongst the children under five years of age and bearing women. To date, a drug combination of Artesunate-Amodiaquine is widely used by the Indonesia National Program. However, this combination seems unlikely to be chosen in the future as Amodiaqume was experimentally proven to cause a cross-reaction to Chloroquine. Moreover, several data from the field showed a wide diversity of the effectivity of this drug combination, In example, an efficacy trial performed in Lampung has shown the 80% effectivity of this combination drug administration. Consequently, another drug combination,.e.g. Dihydroartemisinine (DHA) - Piperaquine to be considered as an alternate drug of choise.
This study aims to investigation the risk discrepancies of Adverse Event (AEs) between DHA-Piperaquine and Artesunate-Amodiaquine administration during therapy in P.falciparum malaria patients without complication. This study uses a randomized Controlled Trial (RCT), open trial was conducted at health district Hanura, South Lampung from September 2005 to November 2006. 106 subjects (55 with DHA-Piperaquine and 51 with Artesunate Amodiaquine administration) were included due to time, financial and energy constraints in this study. Findings were analyzed using linivariate, Bivariate with the Chi Square test and the logistics regression with backward elimination (Multivariate analysis).
This study result shows that on day 1 to 3, the AEs due to DHA - Piperaquine administration were headache, weakness, gastrointestinal disturbance, an others of 69%, 67%, 60%, 67% respectively, while those of Artesunate - Amodiaquine were of 67%, 67%, 76,5%, 67% respectively. On day 7 to 28, the AEs due to DHA Piperaquine administration were definitely similar to above mention AEs of 24%, 7%, 9%, 24% respectively, while AE rate after Artesunate-Amodiaquine administration were 24%, 18%, 14%, 23,5% respectively. The DHA-Piperaquine appeared to have less or almost the same the mild AEs of Artesunate-Amodiaquine administration."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Hendriyan
"Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (Plasmodium) dengan gejala klinis yang umum, yaitu demam, menggigil secara berkala dan sakit kepala. Penyebaran penyakit malaria didasarkan atas 3 (tiga) komponen utama, yaitu host, agent dan environment.
Insiden penyakit malaria di Kabupaten Tasikmalaya relatif masih tinggi, walaupun upaya pemberantasan terus dilakukan salah satunya yaitu melalui program pengobatan penderita. Kasus yang ada di Tasikmalaya umumnya (95,7%) adalah malaria vivax dan dari data tahun 2001 hampir sebagian besar penderita yang diberi pengobatan radikal menjalani pengobatan lanjutan (follow up) karena pemeriksaan kedua masih positif parasit. Adanya penderita yang menjalani follow up dan yang tidak ini kemungkinan berhubungan dengan perilaku penderita dalam mengkonsumsi obat yang diberi sarana kesehatan, disamping faktor lainnya. Dengan demikian untuk mengetahui kebenaran dugaan itu maka perlu dilakukan penelitian. Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan pola makan obat dengan kesembuhan klinis malaria di Kabupaten Tasikmalaya.
Desain penelitian menggunakan kasus kontrol dan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita malaria vivax berusia >15 tahun yang diberi pengobatan radikal dan tercatat di puskesmas. Jumlah sampel seluruhnya yaitu 272 dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol 1:1, yaitu kasus 136 responden dan kontrol 136 responden.. Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan bantuan komputer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita yang sembuh klinis malaria pada pengobatan radikal (kasus) memiliki probabilitas odds 8,140 kali memiliki riwayat pola makan obat sesuai dibanding penderita yang tidak sembuh klinis (kontrol) (95%Ci = 4,1-13,235). Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya interaksi maupun confounding antara pola makan obat dengan variabel asal daerah terjadinya infeksi dan pengalaman berobat sendiri. Dengan demikian variabel tersebut berhubungan dengan dependen variabel secara independen.
Untuk lebih mengefektifkan pemberian obat kepada penderita dalam pengobatan radikal, maka perlu dilakukan intervensi berupa melibatkan peran kader dalam pengawas makan obat dan penyuluhan kepada masyarakat tentang makan obat yang benar dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan penderita yang sembuh klinis pada pengobatan radikal.

Malaria is an infectious disease caused by plasmodium parasite characterized with general clinical indications (symptoms) of fever, periodic tremble, and headache. Spreading of malaria disease is based on three main components, such as host, agent and environment.
Malaria incidence in Tasikmalaya is still relatively high, although effort of fight is done continuously with curative care of patient. The cases (incident) in Tasikmalaya mostly (95,7%) is Plasmodium vivax malaria, and the data in the year 2001 showed that most of the patients received radical treatment underwent follow up treatment, since the second check up indicated parasitic positive. The fact that not all patients underwent follow up treatment might be related to patient habits in medicine intake and other factors. Therefore, to test the assumption a research needs to be done. This research aimed to find out the relationship between pattern of medicine intake habits and clinical recovery of P. vivax malaria in Tasikmalaya.
The research used a case control study. The populations of the research were all patient of P. vivax malaria aged over 15 years old received a radical curative, and recorded in public health service. The numbers of samples were 272 people with the ratio of case and control of 1:1 (136 respondents of case and 136 respondents of control). The data were analyzed with univariate, bivariate, and multivariate analysis using a computer device.
The results of the research showed that the clinical recovered malaria patients in radical curative were having probabilities of 8.14 times greater than regularly medicine intake compared to the clinical in-recovered patient. (95% CI=4.1--13.235). There was no interaction and confounding between medicine intake habits and the original region of infection and self treatment experience variables. Therefore, the variables independently correlated with dependent variables.
To make the medicine treatment in radical curative effective, the intervention by medicine intake supervisor and mass extension on good medicine intake habits need to be done. It is hoped that the recovered clinical patients in radical curative could be increased.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Santoso
"Latar Belakang: Indonesia bagian Timur memiliki beban ganda dalam infeksi parasit di negara tropis yaitu cacing usus dan malaria. Infeksi parasit tersebut secara tunggal maupun bersama-sama dapat menyebabkan kejadian anemia. Di Indonesia, kejadian anemia berhubungan dengan asupan nutrisi zat besi yang kurang dan infeksi parasit Belum diketahui bagaimana hubungan antara infeksi parasit dan anemia pada populasi anak sekolah di Kecamatan Nangapanda yang merupakan daerah ko-endemis malaria dan cacing usus.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara infeksi parasit dengan prevalensi anemia pada anak-anak sekolah dasar di Nangapanda Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh studi potong lintang dari tim peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Populasi terjangkau adalah populasi anak sekolah di Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur berusia 6-10 tahun. Teknik pengambilan sampel menggunakan total population sampling. Penentuan status gizi menggunakan aplikasi WHO AnthroPlus untuk anak usia 5-18 tahun. Pemeriksaan infeksi cacing usus pada tinja menggunakan pemeriksaan Katokatz. Pemeriksaan malaria menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Data diuji menggunakan uji chisquare dengan alternatifnya uji Fisher. Hubungan bermakna bila nilai p < 0,05.
Hasil: Didapatkan 240 subyek penelitian dengan rerata usia 8,21 tahun, rerata hemoglobin 11,92g/dL dengan proporsi anemia 53,3%. Proporsi infeksi cacing usus sebesar 24,2% dan infeksi malaria sebesar 6,7%. Hasil analisis didapatkan bemakna pada variabel jenis kelamin (p<0,001) sedangkan variabel infeksi cacing usus dan malaria didapatkan hasil tidak bermakna terhadap kadar hemoglobin dengan masing-masin nilai p=0,747 dan p=0,782.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara infeksi cacing usus dan malaria dengan tingkat keparahan anemia pada anak-anak sekolah dasar yang tinggal di daerah Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.

Background: East Region of Indonesia has double burden for parasitic infection endemic in tropical country such as soil transmitted helminths and malaria. These parasitic infections alone or together can cause anemia. In Indonesia, anemia was associated with low nutrition intake of iron and parasitic infection. However, this association was not known in the population of school children in Nangapanda Distric, Nusa Tenggara Timur Province which was ko-endemic between malaria and soil transmitted helminths.
Aim: To find the association between parasitic infection and prevalence of anemia in children who attends primary school in Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
Method: This research used secondary data from cross-sectional study conducted by FKUI Parasitology Team. Target population was children 6-10 year who attended primary school in Ende, Nusa Tenggara Timur. The sampling method was using total population sampling. The nutritional status was determined using the application of WHO AnthroPlus for children aged 5-18 years old. Soil-transmitted helminths infection was being detected by Katokatz method and malaria infection is using PCR method. Data was being analyzed with chi-square test and Fisher test as the alternative. Association is significant when p value is<0,05.
Result: Total sample is 240 subjects with mean age 8,21 years old, mean hemoglobin is 11,92 g/dL and anemic proportion is 53,3%. Soil-transmitted helminths infection proportion is 24,2% and malaria infection is 6,7%. The analytical results is significant for gender(p<0,001) and not significant for Soil-transmitted helminths infection and malaria with p=0,747 and p=0,782, respectively versus hemoglobin concentration.
Conclusion: There is no association between Soil-transmitted helmints infection and malaria with the severity of anemia in children who attends primary school and live in Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habibah Nurul Rahmah
"Latar Belakang: Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria masih menjadi penyakit menular paling mematikan kedua di dunia dan masih menjadi penyakit endemis di Indonesia. Kabupaten Mimika merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berstatus endemis tinggi malaria (API 597,58‰ per tahun 2022).
Tujuan: Mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu udara, kelembaban, dan curah hujan) dan pengobatan malaria dengan kejadian malaria di Kabupaten Mimika tahun 2016-2022.
Metode: Desain studi ekologi menggunakan data sekunder dengan analisis korelasi dan uji regresi linear ganda. Skenario waktu time lag 0, 1, dan 2 diterapkan untuk melihat hubungan antara faktor iklim dengan kejadian malaria per bulan di Kabupaten Mimika tahun 2016-2022.
Hasil: Hasil analisis dengan uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan antara pengobatan malaria dengan kejadian malaria tahun 2016-2022 (p = 0,000; r = 0,990). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara suhu udara, kelembaban, dan curah hujan rata-rata dengan kejadian malaria di Kabupaten Mimika tahun 2016-2022 pada seluruh skenario waktu. Analisis dengan uji regresi linear ganda menghasilkan model prediksi dengan persamaan Kejadian Malaria = 4912,9 - 129,3 (suhu udara) - 3,36 (curah hujan) - 13,6 (kelembaban) + 0,997 (pengobatan ACT). Berdasarkan hasil uji regresi linear ganda model dapat menjelaskan 98% variasi variabel kejadian malaria (R Square = 0,980). Variabel yang paling dominan terhadap kejadian malaria di Kabupaten Mimika tahun 2016-2022 adalah pengobatan malaria.

Background: Malaria is an infectious disease caused by Plasmodium parasites and transmitted to humans through the bite of female Anopheles mosquitoes. Malaria is the wolrd’s second deadliest infectious disease and an endemic disease in Indonesia. Mimika Regency is one of the regencies in Indonesia that has a high malaria endemic status (API 597.58‰ as of 2022).
Objective: To determine the relationship between climatic factors (air temperature, humidity, and rainfall) and malaria treatment with malaria incidence in Mimika Regency in 2016–2022.
Methods: Ecological study using secondary data with correlation analysis and multiple linear regression. Scenarios of time lag 0, 1, and 2 were applied to investigate the relationship between climate factors and malaria incidence in Mimika Regency in 2016–2022.
Results: The results of the correlation test showed a significant relationship between malaria treatment and the incidence of malaria in 2016–2022 (p = 0,000; r = 0,990). No significant relationship was found between average air temperature, humidity, and rainfall with malaria incidence in Mimika Regency in 2016–2022 in all time scenarios. Multiple linear regression analysis produced a predictive model with the equation Malaria Incidence = 4912,9 - 129,3 (air temperature) - 3,36 (rainfall) - 13,6 (humidity) + 0,997 (ACT treatment). Based on the multiple linear regression result, the model can explain 98% of malaria incidence variation (R Square = 0,980). The most dominant variable for malaria incidence in Mimika Regency in 2016–2022 is malaria treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mentari
"Infeksi saluran cerna oleh cacing dan protozoa memiliki prevalensi cukup tinggi dan masih menjadi masalah di Indonesia, terutama pada anak-anak. Dengan faktor sampah sebagai sumber penyebaran penyakit infeksi parasit usus, kawasan Bantar Gebang merupakan salah satu kawasan yang berisiko tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka prevalensi infeksi parasit usus pada anak-anak di TPA Bantar Gebang, Bekasi dan hubungannya dengan jarak rumah terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Desain penelitian ialah Cross-Sectional. Penelitian dilakukan pada Februari 2012 sampai Juni 2014 di RT 01 RW 01, RT 01 RW 03 dan Sekolah Alam, Desa Ciketing, Kecamatan Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi dan terkumpul sebanyak 139 responden yang melakukan pemeriksaan feses dan mengisi kuesioner. Hasil penelitian ditemukan sebanyak 72,7 % anak-anak di TPA Bantar Gebang terinfeksi parasit usus yang didominasi infeksi protozoa dengan infeksi Blastocystis hominis terbanyak (52,2 %). Data sebaran responden diketahui paling banyak (61,2 %) tinggal pada jarak dekat (kurang dari 10 meter) dengan TPA. Hasil uji Chi-Square, tidak terdapat hubungan bermakna antara infeksi parasit usus dengan jarak rumah terhadap TPA (p=0,766). Disimpulkan, Prevalensi infeksi parasit usus pada anak-anak di TPA Bantar Gebang adalah 72,7 % dan tidak terdapat hubungan bermakna antara infeksi parasit usus dengan jarak rumah terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Gastrointestinal worms and protozoa infections have high prevalence and are still problems in Indonesia, especially in children. Waste factor is the source of intestinal parasites infectious disease spread, and Bantar Gebang is one of the high-risk area. This study aims to determine the prevalence of intestinal parasitic infections in children at Bantar Gebang landfill, Bekasi and its relationship with the distance of home to the landfill (TPA). The study design was cross-sectional. The study was done in February 2012 until June 2014 at RT 01 RW 01, RT 01 RW 03 and Sekolah Alam, Ciketing village, Sumur Batu sub-district , Bantar Gebang, Bekasi, and collected 139 respondents who have stool examination and filled the questionnaire. Results of the study found 72.7 % children at Bantar Gebang landfill infected with intestinal parasites witch is dominated by protozoa infection with the most one is Blastocystis hominis infection (52.2 %). Data distribution of the respondents known most (61.2 %) lived in short distance (<10 meters) with landfill. Results of Chi-Square test, there was no significant relationship between intestinal parasite infection with the distance of home to the landfill (p = 0.766). As the conclusion, prevalence of intestinal parasite infections in children at Bantar Gebang landfill is 72.7 % and there was no significant relationship between intestinal parasite infection with the distance of home to the landfill (TPA).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>