Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kemal Fariz Kalista
"Latar Belakang: Saat ini insidens infeksi jamur invasif yang disebabkan oleh Candida semakin meningkat. Candida merupakan genus jamur yang paling sering menyebabkan infeksi jamur invasif. Kandidiasis invasif berdampak pada meningkatnya angka mortalitas dan meningkatnya masa rawat dan biaya perawatan. Sampai saat ini di Indonesia belum ada studi yang meneliti tentang prevalensi, karakteristik klinis pasien dan pola sebaran spesies jamur pada pasien kandidiasis invasif dewasa.
Tujuan: Mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis pasien kandidiasis invasif dewasa di RSCM serta mengetahui pola penyebabnya.
Metodologi: Penelitian ini bersifat retrospektif, menggunakan desain potong lintang, berdasarkan data sekunder (rekam medis) pasien sepsis yang dirawat di RSCM sejak bulan Januari 2012 sampai bulan Juni 2014. Dari rekam medik, dicari pasien kandidiasis invasif (KI) berdasarkan kriteria EORTC/MSG tahun 2008. Pada pasien kandidiasis invasif, selanjutnya dilakukan pencatatan data demografis, data klinis dan penunjang, diagnosis, spesies penyebab, jenis obat antifungal dan antibiotik yang diberikan, luaran klinik serta masa rawat.
Hasil: Prevalensi pasien kandidiasis invasif di RSCM adalah 12,3%, yakni 91 pasien KI dari 738 pasien sepsis yang rekam mediknya dapat diteliti. Dari 91 pasien KI yang memenuhi kriteria diagnosis EORTC/MSG tahun 2008, didapatkan 35 pasien dengan kategori proven, 31 pasien probable dan 25 pasien possible. Manifestasi klinik KI yang paling sering ditemukan adalah kandidemia dengan penyebab utama Candida albicans. Rerata usia pasien adalah 47,9 tahun yang didominasi oleh pasien medis, dirawat di ruang rawat biasa, non-neutropenia dan menderita syok sepsis. Kebanyakan pasien menderita keganasan, yang seringkali disertai infeksi paru, sedangkan piranti medik yang paling sering digunakan adalah kateter urin. Umumnya pasien mendapat antibiotik cefalosporin generasi tiga, sementara antifungal yang paling sering digunakan adalah flukonazol. Sebagian pasien KI (44%) tidak mendapatkan pengobatan antifungal sistemik. Mortalitasnya sebesar 68,4% dan median masa rawat total adalah 27 hari.
Kesimpulan: Prevalensi kandidiasis invasif sebesar 12,3%. Mortalitas akibat kandidiasis invasif cukup tinggi dan C. albicans merupakan spesies yang paling sering ditemukan.

Background: Recently, incidence of invasive fungal infection is rising. Candida is the most common cause of invasive fungal infection. Invasive candidiasis contribute to high mortality, prolonged hospitalization and high cost. Until now in Indonesia, there is no study about the prevalence, clinical characteristic and etiologic pathogen of invasive candidiasis in adults.
Objective: To study the prevalence, clinical characteristic and etiologic pathogen in adult patients with invasive candidiasis at RSCM.
Methods: Retrospective, cross sectional, based on the medical record sepsis patients which hospitalized in January 2012 until June 2014. We traced candidiasis invasive (IC) patients which fulfill EORTC/MSG 2008 diagnostic criteria for IC. We recorded demographic data, clinical and supporting data, diagnosis, etiologic pathogen, antibiotic, antifungal, outcome and length of stay.
Results: IC prevalence at RSCM was 12,3%. We have found 91 IC patients from 738 sepsis patients which has complete medical record. The proportion is 35 proven patients, 31 probable patients and 25 possible patients. Candidemia was the most common form of IC and C. albicans was the most common etiologic pathogen. Mean age were 47,9 years, dominated with medical patient, non-neutropenic and septic shock. Most patients had malignancy with lung infection. The most common medical intervention was application of urinary catheter. Most patient was given cephalosporin 3rd generation and the most common antifungal used was fluconazole. Most patient (44%) didn?t get systemic antifungal treatment. Mortality was 68,4% and median length of stay were 27 days.
Conclusions: IC prevalence was 12,3%. Mortality because of IC is high and C. albicans is most common etiologic pathogen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Ardian
"Latar Belakang: Mortalitas pasien dengan kandidiasis invasif cukup tinggi berkisar 30 ndash; 70. Perbedaan angka mortalitas pada tiap tiap studi erat kaitannya dengan desain penelitian dan sampel penelitian. Data tentang profil dan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang ada di Indonesia belum ada.
Tujuan: Memberikan informasi profil kandidiasis invasif pada pasien sakit kritis beserta faktor faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata laksana pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional, mengumpulkan data dari rekam medis pada seratus dua pasien sakit kritis dengan diagnosa kandidiasis invasif. Pasien kandidiasis invasif adalah pasien dengan hasil kultur darah dan atau kultur cairan tubuh normal steril positif jamur spesies Candida. Data yang dikumpulkan meliputi data usia, spesies jamur candida penyebab infeksi, faktor risiko kandidiasis invasif, serta faktor faktor yang diduga berpengaruh terhadap mortalitas yaitu ada tidaknya kondisi sepsis, nilai APACHE, ada tidaknya kondisi gagal nafas, ada tidaknya gagal ginjal, waktu pemberian terapi antijamur, Charlson Index, dan tempat perawatan ICU atau Non ICU. Uji analisa bivariat dengan uji chi square dilakukan terhadap masing masing faktor yang diduga dengan mortalitas, yang dilanjutkan dengan uji multivariat regresi logistik untuk menilai faktor yang paling berhubungan terhadap mortalitas 30 hari.
Hasil: Dari 102 sampel penelitian didapatkan laki laki 52,9 dan perempuan 47,1. Median usia 53 th. angka mortalitas 68,6. Spesies candida penyebab terbanyak adalah Candida Tropicalis 34,3 dan Candida Parapsilosis 29,4. Faktor risiko kandidiasis invasif terkait dengan penyakit dasar adalah sepsis 78,9. keganasan 42,15. diabetes melitus 29,4. sedangkan terkait terapi atau tata laksana yang diberikan adalah penggunaan antibiotik spektrum luas 99. kateter vena sentral 77,5. serta pemberian nutrisi parenteral 70,6. Dari uji multivariat regresi logistik diperoleh data faktor yang paling berpengaruh terhadap mortalitas 30 hari adalah sepsis berat. 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash; 24,6. Charlson Index ge;. p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash; 10,2. dan gagal nafas. 0,066, OR 2,7, IK95 0,9 ndash; 8,0.
Simpulan: Pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang dirawat di RSCM laki laki lebih banyak dari perempuan, dengan median usia 53 tahun, dengan angka mortalitas 68,6. Spesies candida terbanyak penyebab infeksi adalah Candida Tropicalis dan Candida Parapsilosis. Faktor risiko kandidiasis invasif terkait penyakit dasar adalah sepsis, sedangkan terkait tata laksana perawatan yang terbanyak adalah penggunaan antibiotik spektrum luas. Sedangkan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas 30 hari adalah kondisi sepsis berat, dan Charlson index ge;3.

Background: Mortality rate candidiasis invasive is still high, approximately 30 70. Every study has. variety mortality rate depend on study design and sample. There is no data in Indonesia about profile and mortality factors analysis in critically ill patients with candidiasis invasive.
Objectives: To give information about candidiasis invasive profile and to evaluate some factors relate to 30 days mortality in critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Method: The Study design was Cross Sectional. We studied 102 hospitalized critically ill patients with candidiasis invasive. The demographic, clinical and laboratory data, the risk factors for candidiasis invasive and the outcome of each patient in 30 days were recorded. An analysis bivariate with chi square or Fisher's test was carried out to analyse some factors such as age 60 years old, severe sepsis, APACHE score 20, respiratory failure, renal failure, delayed antifungal treatment 72 hours after positive culture, Charlson index score, and ICU or Non ICU patients. The logistic regression of multivariate analysis was carried out to identify the most influence of all mortality factors.
Result; Among 102 identified sample, the majority was male 52.9. the median age was 53 years old and the mortality rate was 68,6. Laboratory candida findings came from blood sample candidemia 98,03. liquor cerebrospinal 1,5 and retina exudat 1,5. The most common candida species was Candida Non Albicans especially Candida Tropicalis 34,3 and Candida Parapsilosis 34,3. The risk factors for Candidiasis invasive from this study, relate to underlying disease were sepsis 78,9. malignancy 42,15. diabetes mellitus 29,4 and relate to therapy or treatment were the usage of broad spectrum antibiotic 99. catheter vena central 77,5. and parenteral nutrition 70,6. The result from multivariate analysis, severe sepsis. 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash 24,7. Charlson Index ge. p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash 10,2. and respiratory failure. 0,066, OR 2,7 IK95 0,9 ndash 8,0 were independently asscociated with mortality.
Conclusion: Critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo hospital, male was predominan than female, median age was 53 years old, and mortality rate was 68,6. The two most species candida caused infection were Candida Tropicalis and Candida Parapsilosis. The most risk factors of candidiasis invasive from underlying disease was sepsis and the one from the treatment was the usage of broad spectrum antibiotic. Severe sepsis, and Charlson index ge. were associated with. 30 day mortality in critically ill patients with candidiasis invasive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmaniyah Fauziah
"TUJUAN: Mengetahui prevalensi serta karakteristik yang berhubungan dengan DDP, termasuk kasus POP, IU dan IF di poliklinik rawat jalan RSCM.
LATAR BELAKANG: Disfungsi dasar panggul DDP termasuk prolaps organ panggul POP. inkontinensia urin IU dan inkontinensia fekal IF. Prolaps organ panggul prevalensinya semakin meningkat seiring dengan usia. Perubahan pada demografi populasi dunia akan menghasilkan pula dampak yang lebih besar pada perempuan, yang akan meningkatkan kelainan ginekologi salah satunya adalah terhadap permintaan pelayanan kesehatan terkait DDP. Diperkirakan peningkatan jumlah permintaan akan pelayanan DDP pada 30 tahun mendatang akan meningkat sebanyak dua kali lipat dari populasi. Rasa malu dan tidak nyaman pada saat pemeriksaan dasar panggul merupakan batasan yang signifikan bagi perempuan yang datang ke poliklinik.
DESAIN DAN METODE: Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang, dengan populasi terjangkau yang dipilih secara konsekutif, berlangsung pada bulan Januari hingga April 2016 di poliklinik rawat jalan ginekologi, uroginekologi dan endokrinologi RSCM. Data diambil dari subjek penelitian menggunakan form penelitian serta dilakukan pemeriksaan dasar panggul menggunakan formulir POP-Q.
HASIL: Sebanyak total 197 subjek, didapatkan prevalensi pasien DDP di poliklinik rawat jalan RSCM sebesar 33. Prevalensi kasus POP adalah 26,4. kasus IU sebesar 15,3 serta kasus IF sebesar 2,5. Dilakukan uji Chi square untuk menilai hubungan antara masing-masing karakteristik dengan kejadian DDP didapatkan kelompok usia. 60 tahun sebanyak 69 kali berisiko terjadinya DDP dan 14 kali pada kelompok usia 40-56 tahun; sebanyak 76 kali risiko terjadinya DDP pada kelompok multiparitas dan 14,2 kali pada primiparitas. Kelompok perempuan dengan persalinan pervaginam mempunyai risiko sebanyak 1,9 kali terjadinya DDP. Kelompok postmenopause mempunyai risiko terjadinya DDP sebesar 18 kali. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DDP ddidapatkan terbesar adalah usia diikuti oleh paritas, suku, cara persalinan dan menopause.
KESIMPULAN: Disfungsi dasar panggul mempunyai pengaruh cukup besar terhadap perempuan dan meningkat dengan usia, paritas serta penuaan.

AIM: To determine the prevalence and characteristics related to pelvic floor dysfunction PFD. including pelvic organ prolapse POP. urinary incontinence UI. and fecal incontinence FI in RSCM outpatient clinic.
BACKGROUND: Pelvic floor dysfunction including pelvic organ prolapse, urinary incontinence and fecal incontinence. Prevalence of pelvic organ prolapse increasing with age. Changes in the demographics of the world population will generate. greater impact on women, which will increase gynecological disorders which will impact the services demand related to PFD. It is estimated that demand of DDP services in the next 30 years will increased as much as twice of the population. The embarrassment and discomfort during the pelvic floor examination is. significant limitation for those who come to the clinic.
DESIGN AND METHODOLOGY: Cross sectional study was conducted in the RSCM outpatient clinic, patients selected using consecutively sampling lasted from January until April 2016 at the gynecology, endocrinology and uroginekologi RSCM outpatient clinic. Data were taken from the study subjects using research form and pelvic floor examination using POP. form.
RESULTS: total of 197 subjects obtained in this study, the prevalence of patients with PFD found 33. The prevalence of POP was 26.4 UI case of 15.3 and the case of FI of 2.5. Chi square test performed to assess the relation between individual characteristics and PFD, found women aged 60 years and aged 40 59 years have probability 69 and 14 times respectively to developed PFD.The probability of developing PFD are 76 and 14,2 times in multiparity and primiparity. Woman with vaginal delivery had. change to developed PFD 1,9 times. Postmenopausal woman had. probability 18 times developing PFD. Strongest risk factor in PFD are age parity, race, mode of delivery and postmenopausal women.
CONCLUSION: Pelvic floor disorder affect. substantial of women and increases with age, parity and aging.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levana
"Latar belakang: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 dengan gejala ringan hingga berat seperti komplikasi paru dan kematian. Derajat keparahan penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat memperberat kondisi pasien yang direncanakan operasi. Karakteristik klinis serta komplikasi pascaoperasi pasien dengan COVID-19 cukup banyak diteliti di negara lain. Namun Indonesia belum memiliki data terkait yang dapat dijadikan panduan dalam menjalani tindakan pembedahan pada pasien dengan COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan pengambilan data sekunder pasien COVID-19 yang menjalani pembedahan di RSCM dan RSUI dari Maret 2020 sampai September 2021. Hasil luaran yang dinilai adalah komplikasi paru dan mortalitas.
Hasil: Total 458 pasien COVID-19 menjalani pembedahan di RSCM dan RSUI, dengan operasi elektif 62% dan emergensi 38%. Angka kejadian komplikasi paru pascaoperasi sebesar 21,8% dan mortalitas 30 hari pascaoperasi sebesar 26%. Karakteristik klinis pasien yang mengalami komplikasi paru dan mortalitas yaitu berjenis kelamin laki-laki, berusia >65 tahun, memiliki jumlah komorbid dua atau lebih, gejala klinis awal batuk, sesak dan demam, nilai NLR ≥5,9 yang dikategorikan derajat berat COVID-19, gambaran CXR konsolidasi atau opasitas, serta menggunakan ventilasi mekanik praoperasi. Pasien dengan Early Warning Score (EWS) >10 memiliki risiko 2,98 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi paru. Sedangkan risiko terjadinya mortalitas dapat meningkat 31,8 kali pada pasien yang memiliki ASA 3-5 dan 6,91 kali pada penggunaan ventilasi mekanik praoperasi.
Simpulan: Pasien COVID-19 yang menjalani pembedahan memiliki risiko terjadinya komplikasi paru dan mortalitas pascaoperasi. Kejadian komplikasi paru memberat pada pasien dengan EWS >10, dan pada mortalitas memberat pada pasien dengan ASA 3-5 serta menggunakan ventilasi mekanik praoperasi. Faktor lain yang turut berperan diantaranya usia, jumlah komorbid, jenis operasi dan penggunaan topangan intraoperasi.

Background: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a disease caused by SARS-CoV-2 infection with mild to severe symptoms such as pulmonary complications and death. The severity of disease is one of the factors that can aggravate the condition of patient who is planned for surgery. The clinical characteristics and postoperative complications of COVID-19 patients have been extensively studied in other countries. However, Indonesia does not yet have relevant data that can be used as a guide for COVID-19 patients in undergoing surgery.
Methods: This study is a retrospective cohort with secondary data collection of COVID-19 patients undergoing surgery at RSCM and RSUI from March 2020 to September 2021. The primary outcomes were pulmonary complications and mortality.
Results: A total of 458 COVID-19 patients underwent surgery at RSCM and RSUI, with 62% elective surgery and 38% emergency. The incidence of postoperative pulmonary complication was 21,8% and 30-day mortality was 26%. Clinical characteristics of patients with pulmonary complications and mortality were male, aged >65 years, had two or more comorbidities, initial symptoms of cough, dyspnea and fever, NLR value ≥5,9 which was categorized as severe COVID-19, consolidated CXR or opacity, and used preoperative mechanical ventilation. Patients with Early Warning Score (EWS) >10 had risk for pulmonary complications about 2,98 times. While, the risk of mortality can increase 31,8 times in patients with ASA 3-5 and 6,91 times in the use of preoperative mechanical ventilation.
Conclusions: COVID-19 patients undergoing surgery are at risk for pulmonary complications and mortality. The incidence of pulmonary complications was severe in patients with EWS >10, and mortality was severe in patients with ASA 3-5 and using preoperative mechanical ventilation. Other factors that play a role include age, number of comorbidities, type of surgery and use of intraoperative support.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Artetha Mutiara Pujiantana
"Latar belakang: COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 telah menginfeksi ribuan orang di Indonesia dan memberikan manifestasi klinis yang luas mulai dari gejala ringan hingga berat yang dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dasar, laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pada pasien kritis dalam pemantauan (PDP) ataupun terkonfirmasi COVID-19.
Metode: Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan di ICU RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Universitas Indonesia (RSUI) selama Maret 2020 hingga September 2020. Sebanyak 259 subjek yang sesuai kriteria inklusi diambil dari data rekam medis. Dilakukan pengambilan data berupa data demografik, karakteristik dasar, parameter respirasi, data laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pasien. Data yang terkumpul dijabarkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase, serta histogram. Data yang terdistribusi normal disajikan dalam rerata dan data yang terdistribusi tidak normal disajikan dalam median.
Hasil: Karakteristik dasar pasien adalah jenis kelamin laki-laki, usia 52 tahun, penyakit penyerta paling banyak hipertensi dan diabetes mellitus. Gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah sesak napas, batuk, dan demam. Suhu tertinggi selama perawatan adalah 37.20C. Awitan muncul gejala hingga pasien masuk rumah sakit adalah tiga hari, dan awitan muncul gejala hingga pasien masuk rawat ICU adalah enam hari. Metode diagnosis yang paling sering adalah adanya infiltrat bilateral pada pemeriksaan foto polos toraks, dan pemeriksaan PCR swab. Support pernapasan pada saat pasien masuk ICU paling banyak menggunakan ventilator invasif dan masker oksigen. PEEP tertinggi pasien pada 8 cmH2O, PEEP terendah 5 cmH2O. Rasio PF tertinggi adalah 299,75, dan terendah 136,1. PCO2 tertinggi pasien 47,9 mmHg, dan terendah 27,45 mmHg. Tekanan darah sistolik pasien tertinggi 151,88 mmHg, dosis norepinefrin tertinggi 1 mcg/kgBB/menit, dan dosis dobutamin tertinggi 10 mcg/kgBB/menit. Parameter laboratoris menunjukkan nilai leukosit 11.150 103/μL, neutrofil 84%, Limfosit 8,4%, monosit 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, trombosit 284000 103/μL, D-dimer tertinggi 6730 μg/L, D-dimer terendah 1590 μg/L, ferritin tertinggi 1815,59 ng/mL, ferritin terendah 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, ureum 45 mg/dL, kreatinin 0,94 mg/dL, SGOT 41 U/L, SGPT 34 U/L, bilirubin total 0,7 mg/dL, kadar laktat tertinggi 5,1 mmol/L, laktat terendah 1,7 mmol/L, natrium tertinggi 143 mEq/L, natrium terendah 132 mEq/L, kalium tertinggi 4,9 mEq/L, kalium terendah 3,4 mEq/L, klorida tertinggi 108 mEq/L, klorida terendah mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, CRP tertinggi 178,7 mg/L, CRP terendah 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada biakan sputum adalah Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan infeksi jamur.Terapi diberikan pada pasien mencakup pemberian antibiotik, antiviral, steroid, vitamin C, dan terapi pengganti ginjal (hemodialisa dan CRRT). Komplikasi yang paling sering terjadi adalah ARDS, Syok sepsis, dan AKI. Luaran pasien yang pindah dari ICU dalam keadaan hidup sebesar 146 pasien (56,4%), dan meninggal sebesar 41,7% pasien.
Simpulan: Karakteristik dasar pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 adalah lakilaki, usia lebih tua dengan komorbid, parameter laboratorium yang menonjol adalah limfopenia, peningkatan D-dimer, ferritin, CRP, dan PCT. Komplikasi yang paling banyak terjadi adalah ARDS dan syok sepsis. Mortalitas pada pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 sebesar 41,7%.

Background: COVID-19 caused by SARS-CoV-2 infection has a very broad clinical spectrum ranges from mild to critically ill cases. We aimed to describe the clinical course, laboratory findings, therapy, complication, and outcomes of critically ill patients with SARS-CoV-2 infection.
Method: In this multi-centered, retrospective, observational study we enrolled 259 critically ill adult patients with SARS-CoV-2 infection who were admitted to the ICU of RSCM and RSUI between March 2020, and September 2020. Demographic data, sympthom, comorbidities, diagnostic method, respiratory parameters, laboratory values, treatments, complications, and clinical outcomes were all collected. The data is described in the form of a frequency and percentage table, as well as a histogram. We express descriptive data as mean (SD) or median (minmax) for continuous variables and number (%) for categorical variables.
Results: Characterictic of the patients were male, age 52 years, most common comotbidities were hypertension and diabetes mellitus. Symptoms most often complained are shortness of breath, cough, and fever. The highest temperature during treatment was 37,20C. The onset of symptoms until the patients was admitted to ICU was 6 days. The most common diagnostic method were the presence of bilateral infiltrates on plain chest radiographs and PCR swabs. Respiratory support when patients admitted to ICU mostly using invasive ventilators and oxygen masks. The patient’s hightest PEEP was 8 cmH2O, the lowest was 5 cmH2O. The highest PF ratio was 299,75 and the lowest was 136,1. The highest PCO2 was 47,9 mmHg, and the lowest was 27,45 mmHg. The patient’s highest systolic blood pressure was 151.88 mmHg. The highest dose of norepinephrine was 1 mcg/kg/minute, and the higest dose of dobutamine was 10 mcg/kg/minute. Laboratory parameters showed the value of leucocytes 11.150 103/μL, neutrophils 84%, lymphocytes 8,4%, monocytes 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, platelets 284000 103/μL, highest D-dimer 6730 μg/L, lowest D-dimer 1590 μg/L, highest ferritin 1815,59 ng/mL, lowest ferritin 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, urea 45 mg/dL, creatinine 0,94 mg/dL, AST 41 U/L, ALT 34 U/L, total bilirubin 0,7 mg/dL, highest lactate level 5,1 mmol/L, lowest laktate level 1,7 mmol/L, highest sodium 143 mEq/L, lowest sodium 132 mEq/L, highest potassium 4,9 mEq/L, lowest potassium 3,4 mEq/L, highest chloride 108 mEq/L, lowest chloride mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, highest CRP 178,7 mg/L, lowest CRP 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. The most common bacteria found in sputum are Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, and fungal infection. Therapy given to patients are antibiotics, antivirals, steroids, vitamin C, and renal replacement therapy. The most common complications are ARDS, septic shock and AKI. ICU.
Conclusion. The baseline characteristics of the critically infected SARS-CoV-2 patients were male, older age with comorbid hypertension and diabetes mellitus. Laboratory parameters showed lymphopenia, elevated D-dimer, ferritin, lactate, CRP, and PCT. The most common complications are ARDS and septic shock. Mortality in critically patients with SARS-CoV-2 was 41,7%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Diptyanusa
"Status imunodefisiensi pada individu yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat mengakibatkan adanya peningkatan risiko infeksi, salah satunya adalah diare kronis yang disebabkan oleh Cryptosporidium spp. dan Giardia duodenalis. Pada populasi anak, infeksi tersebut dapat berdampak pada gangguan fungsi kognitif dan tumbuh kembang. Gambaran beban kedua penyakit tersebut masih belum jelas, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi prevalensi, mendeskripsikan karakteristik klinis, dan mengidentifikasi faktor risiko infeksi Cryptosporidium dan Giardia pada anak yang terdiagnosis HIV. Penelitian bersifat potong lintang pada anak terdiagnosis HIV berusia 6 bulan hingga <18 tahun di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama tahun 2021. Penegakan diagnosis infeksi Cryptosporidium dan Giardia adalah berdasarkan hasil pemeriksaan PCR feses setelah diskrining secara mikroskopis dan pemeriksaan coproantigen. Karakteristik klinis dan identifikasi faktor risiko didapatkan dari data rekam medis dan pengisian kuesioner oleh pasien/walinya. Dari total 52 subjek, prevalensi kriptosporidiosis adalah 42,3%, sedangkan prevalensi giardiasis adalah 3,8%. Tidak ditemukan infeksi ganda Cryptosporidium spp. dan G. duodenalis. Gejala yang paling banyak dilaporkan adalah penurunan berat badan (19/52; 36,5%) dan diare (11/52; 21,2%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanya gejala diare (AOR 6,5; 95%CI 1,16–36,67), sumber air minum air sumur (AOR 6,7; 95%CI 1,83–24,93), dan air minum yang tidak direbus (AOR 5,8; 95%CI 1,04–32,64) merupakan faktor risiko independen kejadian kriptosporidiosis pada studi ini. Penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi kriptosporidiosis asimtomatik dengan faktor prediktor adanya diare, sumber air minum berupa air sumur, dan air minum yang tidak direbus, sedangkan prevalensi giardiasis rendah dengan gejala yang tidak spesifik.

Immunodeficiency in individuals infected with Human Immunodeficiency Virus (HIV) may lead to increased risk of infection, particularly chronic diarrhea caused by Cryptosporidium spp. and Giardia duodenalis. These parasitic infections may cause long-term impact in children, including impaired growth and cognitive function. Actual disease burden is not well studied, hence delay in diagnosis and patient management. Current study aimed to estimate prevalence of cryptosporidiosis and giardiasis, to describe their clinical characteristics, and to identify risk factors of disease transmission in pediatric HIV patients. The cross-sectional study involved participants of children aged 6 months through 18 years with confirmed HIV infection in Sardjito General Hospital, Yogyakarta. Diagnosis of cryptosporidiosis and giardiasis was made using PCR after being screened with microscopic and coproantigen examinations. Clinical characteristics and risk factors were obtained from medical records and structured questionnaires. A total of 52 participants were included in the final analysis. The prevalence of cryptosporidiosis was 42.3%, while prevalence of giardiasis was 3.8%. There was no mixed infection observed. Most frequently reported symptoms include weight loss (19/52; 36.5%) and diarrhea (11/52; 21.2%). Multivariate analysis identified the following variables as independent risk factors of cryptosporidiosis: presence of diarrhea (AOR 6.5; 95%CI 1.16–36.67), well water as drinking water source (AOR 6.7; 95%CI 1.83–24.93), drinking untreated water (AOR 5.8; 95%CI 1.04–32.64). Current study showed the prevalent asymptomatic cryptosporidiosis with risk factors including diarrhea, well water for drinking, and drinking untreated water, whereas prevalence of giardiasis was found to be low with nonspecific symptoms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Anes Rimu
"Penyakit jantung bawaan dan abnormalitas jalan napas merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan dapat terjadi bersamaan. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan dapat berpengaruh pada tata laksana serta prognosis pasien. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihata data dari rekam medis pasien penyakit jantung bawaan di RSCM tahun 2020–2022. Data yang diambil ialah usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis penyakit jantung bawaan, dan kondisi abnormalitas jalan napas. Data disajikan untuk melihat prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan. Dari 69 subjek pasien penyakit jantung bawaan yang memenuhi kriteria inklusi, 15 atau 21,7% diantaranya memiliki abnormalitas jalan napas. Jenis penyakit jantung bawaan yang paling banyak ditemukan ialah Tetralogy of Fallot sebanyak 27 (39,1%) kasus. Jenis abnormalitas jalan napas yang paling banyak ditemukan ialah Laringomalasia sebanyak 9 (13%) kasus. Oleh karena itu, prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan ialah sebesar 21,7%, dengan jenis abnormalitas jalan napas terbanyak ialah laringomalasia sebesar 13%. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan memerlukan perhatian khusus dalam penanganan pasien. 

Congenital heart disease and airway abnormalities are two related conditions that can occur together. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease can affect patient management and prognosis. The research was conducted retrospectively by looking at data from medical records of congenital heart disease patients at RSCM from 2020–2022. The data collected were age, gender, weight, diagnosis of congenital heart disease, and airway abnormality conditions. The data was presented to see the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease. From 69 subjects of congenital heart disease patients who met the inclusion criteria, 15 or 21.7% of them had airway abnormalities. The most commonly found type of congenital heart disease was Tetralogy of Fallot, with 27 (39.1%) cases. The most commonly found type of airway abnormality was Laryngomalacia, with 9 (13%) cases. Therefore, the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease is 21.7%, with the most common type of airway abnormality being Laryngomalacia at 13%. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease requires special attention in patient management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrieanta
"Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.
Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.
Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.

Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.
Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.
Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.
Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli's score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.
Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Indrasanti
"Kandidiasis orofaring yang disebabkan oleh C. albicans merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV/AIDS. Flukonazol telah digunakan secara luas untuk terapi kandidiasis. Beberapa penelitian saat ini telah melaporkan terjadinya resistensi spesies Candida terhadap flukonazol terutama pada pasien HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini untuk melihat besarnya resistensi spesies Candida yang diisolasi dari pasien HIV/AIDS juga ingin diketahui categorical agreement antara metode otomatik Vitek2 dengan metode manual difusi cakram dalam menguji kepekaan spesies Candida terhadap antijamur. Penelitian potong lintang ini terdiri dari 137 isolat Candida yang didapatkan dari 86 subyek HIV/AIDS dengan Kandidiasis Orofaring di RSCM. Data karakteristik subyek dicatat dan dilakukan pengambilan swab orofaring. Identifikasi spesies dilakukan menggunakan media CHROMagar dan YST Vitek2. Uji kepekaan dilakukan memakai metode otomatik Vitek2 dan manual difusi cakram, kemudian dicari interpretasi error dan categorical agreement antara kedua metode. Didapatkan 8 spesies Candida yaitu C.albicans sebesar 77 (55,3%), C.glabrata 21(15,3%), C.tropicalis 19 (13,9%), C.krusei 9 (6,7%), C.parapsilosis 5 (3,6%), C.dubliniensis 4 (2,9%), C.famata 1 (0,76%), C.magnoliae 1 (0,76%). Angka resistensi C.albicans dengan Vitek2 terhadap FCA,VOR,AMB, dan FCT berturut turut adalah 0; 1,3%; dan 2,6%; dan 0, C.glabrata 9,5%; 9,5%; 5%; dan 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%; dan 0, C.dubliniensis 0; 0; 25%; dan 0. Angka resistensi C.albicans dengan difusi cakram terhadap FCA,VOR,AMB berturut turut adalah 2,6%; 2,6%; 0, C.glabrata 52,4%; 23,8%; 23,8%, C.tropicalis 5,3%; 5,3%; 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Categorical agreement uji resistensi antara metode otomatik Vitek2 dengan manual difusi cakram terhadap FCA, VOR, dan AMB berturut turut untuk C.albicans yaitu 90,9%; 92,2%; dan 98,7%, C.glabrata 19,05%; 71,4%; dan 80,95%, C.tropicalis 89,5%; 89,5%; dan 89,5%, C.krusei 100%; 88,9%; dan 55,6%, C.parapsilosis 100%; 100%; dan 80%, serta C.dubliniensis 75%; 100%; dan100%. Kami menyimpulkan C.albicans masih merupakan penyebab kandidiasis tersering, dan angka resistensi isolat Candida yang didapatkan dari subyek HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring di RSCM cukup rendah, kecuali C.krusei dan C.glabrata. Total categorical agreement untuk seluruh spesies Candida antara Vitek2 dengan difusi cakram cukup baik, kecuali untuk C.glabrata.

Oropharyngeal candidiasis caused by C. albicans is the most common opportunistic infection in patients with HIV / AIDS. Fluconazole has been used widely for the treatment of candidiasis. Recent studies have reported the occurrence of fluconazole resistance to Candida species, especially in HIV / AIDS patients. The purpose of this study is to determine frequency of resistance of Candida species isolated from patients with HIV / AIDS to antifungal drugs. Further, to explore the categorical agreement between Vitek2 automatic with manual disc diffusion method to determine the sensitivity of Candida species. This cross-sectional study conducted between October 2012 and March 2013 yield on 137 Candida isolates from 86 oropharyngeal candidiasis HIV/AIDS patients at RSCM. Data on baseline characteristic were recorded and isolation of Candidia species was obtained by performing oropharyngeal swab. Species identification using CHROMagar media and YST Vitek2 and sensitivity test by automatic Vitek2 methods and manual disc diffusion was performed. The error interpretation and categorical agreement between the two methods was then calculated We identified total of eight Candida species, 77 (55.3%) C.albicans and non albicans included C.glabrata 21 (15.3%) ; C.tropicalis 19 (13.9%) ; 9 (6.7%) C.krusei; 5 (3.6%) C.parapsilosis; 4 (2.9%) C.dubliniensis and 1 (0.76%) for each C.famata and C.magnoliae. Vitek2 resistance rates against C.albicans with fluconazole (FCA), voriconazole (VOR), amphoterisin B (AMB), and flucytosin (FCT) were 0; 1.3%; 2.6% and 0 respectively, C.glabrata 9.5%; 9.5%; 5% and 0, respectively. C.krusei 100%; 0; 11.1%, and 0 respectively. C.dubliniensis 0; 0; 25%, and 0. Using disc diffusion the resistance of FCA, VOR, AMB was 2.6%, 2.6%, 0 for C.albicans, C.glabrata 52.4%, 23.8%, 23.8%, C. tropicalis 5.3%, 5.3%, 0, C.krusei 100%; 0; 11.1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Total categorical agreement for all Candida species against FCA, VOR and AMB, Vitek2 and disc diffusion method Vitek2 was C.albicans 90,9%; 92,2%; and 98,7%, C.glabrata 19,05%, 71,4%, and 80,95%, C.tropicalis 89,5%, 89,5%, and 89,5%, C.krusei 100%, 88,9%, and 55,6%, C.parapsilosis 100%, 100%, and 80% C.dubliniensis 75%, 100%, and 100% respectively. C.albicans still found as the most common caused of oropharyngeal candidiasis and remained sensitive to antifungal treatment. Among the non albicans species, susceptibilities of C.krusei and C.glabrata to antifungal treatment was poor. Sensitivity test using Vitek2 and disc diffusion methods resulted in excellent to
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Florida Kalumpiu
"

Kriptokokosis adalah infeki jamur yang disebabkan olehCryptococcus. Manifestasi klinis utama pada pasien terinfeksi HIV adalah kriptokokosis meningeal.  Angka kematian masih tinggi, walaupun pasien telah mendapatkan obat anti-retroviral (ARV). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi, profil klinis-mikologis dan prediktor yang mempengaruhi luaran klinis. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menelusuri rekam medik pasien RSCM yang bahan kliniknya diperiksa di Departemen Parasitologi FKUI pada Januari 2013 – Oktober  2018. Prevalensi kriptokokosis meningeal pada 161 pasien HIV yang diteliti adalah 24,2% (39 pasien). Pemeriksaan cairan otak  dengan tinta india menunjukan hasil positif pada 47 dari 50 pasien (94%). Pemeriksaan lateral flow assay(LFA) menunjukkan hasil positif pada 27 dari 28 pasien (96,4%) dan biakan pada 29 dari 30 pasien (96,7%). Profil klinis pada 46 pasien yang diteliti menunjukkan gejala klinis terbanyak  sakit kepala (93,5%), diikuti demam (65,2%), muntah (65,2%) dan penurunan berat badan (47,8%). Pencitraan otak pada 38 pasien, menunjukkan hasil normal pada 20 pasien (52,6%), lesi fokal pada 5 pasien dan penyangatan meningen pada 5 pasien (13,1%). Analisis statistik menunjukkan  pemeriksaaan fisis tekanan darah >130/90 mmHg, kaku kuduk dan papiledema didapatkan berhubungan dengan kematian (p<0,05). Dari 46 pasien setelah keluar dari RSCM, luaran hidup ditemukan sebanyak 21 orang (45,7%). Pada tindak lanjut 20 pasien setelah enam bulan keluar RSCM, luaran hidup ditemukan pada 13 orang (65%). Prediktor yang berhubungan dengan luaran klinis mati pada penelitian ini adalah penurunan berat badan, status HIV baru dan papiledema (p<0,05). 


Cryptococcosis is a fungal infection caused by Cryptococcus. The main clinical manifestation in HIV-infected patients is meningeal cryptococcosis. The mortality rate is still high, despite the use of anti-retroviral drugs (ARVs). The purpose of this study was to determine the prevalence, clinical-mycological profile and predictors for clinical outcomes. This study was retrospective, the data was retrieved  from medical records at Cipto Mangunkusumo hospitalwhose clinical materials were examined in the Parasitology Department faculty of medicine University of Indonesia in January 2013 - October 2018. The prevalence of meningeal cryptococcosis in 161 HIV patients studied was 24.2% (39 patients). Examination of brain fluids with Indian ink showed positive results in 47 of  50 patients (94%). Lateral flow assay (LFA) positive in 27 of 28 patients (96.4%) and from culture the result was positive in 29 out of 30 (96,7%). The clinical profile in 46 patients studied showed the most clinical symptoms is headache (93.5%), followed by fever (65.2%), vomiting (65.2%) and weight loss (47.8%). Brain imaging in 38 patients showed normal results in 20 patients (52.6%), focal lesions in 5 patients and meningeal enhancement in 5 patients (13.1%). Physical examination of blood pressure >130/90 mmHg, neck stiffness and papilledema was found to be associated with death (p<0.05). Of the 46 patients after leaving the Cipto Mangunkusumo hospital, live outcomes were found in 21 patients (45.7%). Live outcomes at follow-up of 20 patients after six months out of the Cipto Mangunkusumo hospitalwere found in 13 patients (65%). Predictors related to dead clinical outcomes in this study were weight loss, new HIV status and papilledema (p <0.05).

"
2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>