Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226063 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tessa Apriestha
"Latar Belakang: Obesitas dapat menganggu kesehatan dan mempengaruhi penerbang dalam menjalankan tugasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif pada penerbang sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data yang dikumpulkan meliputi faktor demografi, pekerjaan, sosial, genetik, pengetahuan, sikap dan perilaku. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pengukuran antropometri. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 690 penerbang, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 259 penerbang terdiri dari 184 obesitas dan 75 subjek dengan berat badan normal. Dibandingkan subjek dengan kebiasaan hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4 kali per minggu berisiko obesitas 6,3 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=6,28; 95% interval kepercayaan (CI)=1,55-25,46; p=0,010], sedangkan pada subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak hampir setiap hari berisiko obesitas 6 kali lipat (RRa=6,04; CI=1,43-25,54; p=0,014). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan subjek yang memiliki 16-1499 jam terbang total, subjek yang memiliki 1500-4999 jam terbang total berisiko 18% lebih tinggi obesitas (RRa=1,18; 95% CI=1,01-1,39; p=0,038) dan subjek yang memiliki 5000-28000 jam terbang total berisiko 39% lebih tinggi obesitas (RRa=1,39; 95% CI=0,99-1,93; p=0,052).
Simpulan: Kebiasaan makan makanan berlemak 3 kali atau lebih per minggu dan jam terbang total 1500 jam atau lebih meningkatkan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: Obesity can interfere and affect the health of pilots in performing their duties. The purpose of this study was to identify factors associated with the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study was done with purposive sampling among civilian pilots undergoing periodic medical examinations at Civil Aviation Medical Center on May 18-29th, 2015. Data collected were demographic, occupation, social, genetic, knowledge, attitudes and behavior factors. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Data analysis used Cox regression with constant time.
Results: There were 690 pilots eligible for this study, 428 subjects were willing to become respondents. The subject chosen for analysis amounted to 259 pilots, with 184 pilots were obese and 75 had normal BMI. Compared with pilots who rarely consumed fatty foods, pilots who ate fatty foods 3-4 times/week had 6.3-fold risk of obesity [adjusted relative risk (RRa)=6.28; 95% confidence interval (CI)=1.55-25.46; p=0.010], whereas the pilots who ate fatty foods almost everyday had 6-fold risk of obesity (RRa=6.04; CI=1.43-25.54; p=0.014). Furthermore, when compared to pilots with 16-1499 total flight hours, pilots with 1500-4999 total flight hours had 18% higher risk of obesity (RRa=1.18; 95% CI=1.01-1.39; p=0.038) and pilots with 5000-28000 total flight hours had 39% higher risk of obesity (RRa=1.39; 95% CI=0.99-1.93; p=0.052).
Conclusions: Eating fatty foods habit 3 times/week or more and 1500 or more of total flight hours increased the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Teguh Pribadi
"Latar belakang : Hiperkolesterolemia antara lain menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner dan komplikasinya dapat menyebabkan inkapasitasi pada pilot. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan kebiasaan makan lemak dan faktor lainnya terhadap risiko hiperkolesterolemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta tanggal 18-29 Mei 2015. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh melalui wawancara. Data kolesterol total diperoleh dari laboratorium yang telah dikalibrasi. Kategori kolesterol total dibagi dua yaitu hiperkolesterolemia ( ≥ 240 mg/dl) dan normal (< 200 mg/dl). Analisis menggunakan risiko relatif yaitu regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil : Di antara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 327 pilot, 12,3% memiliki hiperkolesterolemia dan 87,7% memiliki kadar kolesterol normal. Subjek dengan kebiasaan makan lemak hampir setiap hari dibandingkan hampir tidak pernah berisiko 3,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia [risiko relatif suaian (RRa)=3,78; p=0,223]. Subjek dengan usia 50-65 tahun dibandingkan dengan 19-34 tahun berisiko 1,8 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=1,82; p=0,103). Selanjutnya subjek dengan riwayat hiperkolesterolemia dibandingkan tanpa riwayat hiperkolesterolemia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar hiperkolesterolemia (RRa=2,13; p=0,118).
Simpulan : Kebiasaan makan lemak hampir tiap hari, usia 50 tahun atau lebih, riwayat keluarga hiperkolesterolemia dalam keluarga meninggikan risiko hiperkolesterolemia di antara pilot sipil di Indonesia.

Background : Hypercholesterolemia becoming one of a risk factor for coronary heart disease and complications may cause the pilots incapacitation. The purpose of this study was to identify eating fatty food habits and other factors and the risk of hypercholesterolemia in civilian pilots in Indonesia.
Methods : A cross sectional study with purposive sampling was conducted in civilian pilots at Indonesian Aviation Medical Center in Jakarta from 18-29 May, 2015. Demogrhapic characteristics, employment, habits was obtained through interviews. Total cholesterol data obtained from laboratory test had been calibrated. Category of cholesterol total was divided into hypercholesterolemia (≥ 240 mg/dl) and normal (<200 mg/dl). Analysis using risk relative by Cox regression with a constant time.
Result : Among the 690 pilots who conducted medical examination, 428 subjects agree to join the study. This analysis included 327 pilots, 12.3% had hypercholesterolemia, and 87.7% normal cholesterol levels. The subjects who had eating fatty food habits almost every day compared to almost never, had 3.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia [adjusted relative risk (RRa)=3.78; p=0.223]. The subject aged of 50-65 years compared to 19-34 years, had 1.8 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=1.82; p=0.103). Furthermore, subjects with a family history of hypercholesterolemia compared with no family history, had 2.1 fold higher risk to be hypercholesterolemia (RRa=2.13; p=0.118).
Conclusions : Having eating fatty food habits almost every day, age 50 and over, history of hypercholesterolemia elevate the risk of hypercholesterolemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radistrya Sekaranti Brahmanti
"Pendahuluan Excessive daytime sleepiness / EDS sering dikaitkan dengan penurunan performa kerja dan fatigue pada penerbang sipil. Namun, rekomendasi aeromedis untuk evaluasi EDS saat ini untuk lebih dikaitkan dengan kecurigaan apnea tidur obstruktif / OSA. Dewasa ini, sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara obesitas dengan EDS terlepas adanya OSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara obesitas dengan EDS pada penerbang sipil di Indonesia dan risikonya terkena OSA.
Metode Penelitian ini menggunakan disain krosseksional dan dilaksanakan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner, termasuk Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur EDS dan STOP-Bang untuk menilai risiko OSA, dilanjutkan dengan pengukuran antropometri berupa indeks masa tubuh dan lingkar pinggang untuk indikator obesitas.
Hasil Didapatkan 156 responden dengan hasil prevalensi EDS sebesar 16,7%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara obesitas dan EDS (p >0,05), tapi prevalensi EDS lebih tinggi pada responden obese berdasarkan lingkar pinggang dibandingkan indeks masa tubuh (17,8% vs 15,6%). Pada penerbang obese dengan EDS, sebagian besar memiliki risiko rendah OSA (83,3% dan 80%).
Kesimpulan Terdapat prevalensi EDS yang meningkat pada penerbang sipil di Indonesia, terutama pada penerbang dengan obesitas sentral. Kejadian EDS tidak dipengaruhi oleh risiko penyakit OSA.

Introduction Excessive daytime sleepiness / EDS is often associated with decreased work performance and fatigue in civil pilots. However, aeromedical recommendations for evaluation of EDS are associated with suspicion of obstructive sleep apnea/OSA. Currently, many studies have found an association between obesity and EDS regardless of OSA. This study aims to determine whether there is a relationship between obesity and EDS in Indonesian civilian pilots, and its risks to get OSA.
Methods This study used a cross-sectional design and was carried out at the Directorate General Civil Aviation Medical. Respondents were asked to fill out questionnaires, including the Epworth Sleepiness Scale to measure EDS and STOP-Bang to assessed the risks to have OSA, followed by anthropometric measurements for body mass index and waist circumference as obesity indicators.
Results We obtained 156 respondents with EDS prevalence of 16.7%. There was no significant relationship between obesity and EDS (p > 0.05), but prevalence of EDS was higher in obese respondents based on waist circumference than body mass index (17,8% vs 15,6%). Most obese pilots with EDS had low risk of OSA (83,3% and 80%).
Conclusion There was an increase of EDS prevalence among Indonesian civilian pilots, especially in pilots with central obesity. The incidence of EDS was not affected by the risk of OSA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Indah Imelda R.H.
"Latar belakang: Kebiasaan makan protein yang berlebihan dapat berdampak terhadap timbulnya penyakit ginjal, hati dan risiko tinggi penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan terjadinya inkapasitasi pada pilot. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor sosiodemografi dan faktor lainnya terhadap kebiasaan makan protein berlebih pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder Survei kebiasaan makan, minum dan latihan fisik pada pilot sipil di Indonesia 2016. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi, kebiasaan latihan fisik, pengetahuan, indeks massa tubuh dan karakteristik penerbangan. Analisis regresi cox dipakai untuk menganalisis faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan makan protein berlebih.
Hasil: Di antara 528 pilot yang berusia 19-64 tahun, kebiasaan makan protein berlebih ditemukan pada 194 (36.74%) pilot. Lama masa kerja dan indeks massa tubuh menjadi faktor risiko dominan yang berkaitan dengan kebiasaan makan protein berlebih pada pilot. Jika dibandingkan dengan pilot dengan lama masa kerja 1 - 9 tahun, pilot dengan masa kerja 10 ? 40 tahun berisiko 35% lebih kecil memiliki kebiasaan makan protein berlebih (RRa = 0.65 ; 95% CI 0.49 ? 0.87). Jika dibandingkan dengan pilot dengan indeks massa tubuh normal, pilot yang overweight berisiko 34% lebih kecil memiliki kebiasaan makan protein berlebih (RRa = 0.66 ; 95% CI 0.47 - 0.93).
Kesimpulan: Lama masa kerja dan overweight memiliki risiko lebih rendah kebiasaan makan protein berlebih.

Background: Excessive protein eating habits can have an impact on the incidence of kidney disease, liver and high risk of cardiovascular disease that can cause incapacity on the pilot. The purpose of this study was to identify sociodemographic factors and other factors on eating proteins habits in civilian pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using secondary data from Survey of eating habits, drinking and physical exercise on a civilian pilot in Indonesia in 2016. Data were collected on demographic characteristics, physical exercise habits, smoking habits, knowledge, body mass index and flight characteristics. Cox regression analysis was used to analyze the dominant factors associated with protein eating habits.
Results: Among the 528 pilots aged 19-64 years, the eating habits of excessive protein found in 194 (36.74%) pilots. Long working periode and body mass index was the dominant risk factors associated with protein eating habit in the pilot. When compared to the pilot with working 1-9 years, pilot with working periode 10-40 years 35% lower risk of eating habits of excess protein (RRA = 0.65; 95% CI 0:49 - 0.87). When compared to normal body mass index, pilot overweight had 34% lower risk of eating habits of excess protein (RRA = 0.66; 95% CI 0:47 - 0.93).
Conclusion: longer working periode and overweight have a lower risk of excessive protein eating habits.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resna Nurhantika Sary
"Latar belakang: Pramugari harus memiliki kesehatan yang prima karena memiliki tugas utama menjaga keselamatan penumpang selama penerbangan. Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering kali mengenai wanita usia produktif dan dapat mengganggu kesehatan.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada pramugari penerbangan sipil di Indonesia.
Metode: Metode yang digunakan adalah potong lintang dan pengambilan sampel dengan metode sampling purposif dan analisa dengan regresi cox. Kriteria anemia apabila kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl.
Hasil: Subjek terdiri dari 185 pramugari penerbangan sipil berusia 18 ? 46 tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan. Persentase anemia pada penelitian ini sebesar 28,1%. Faktor risiko dominan terhadap anemia pada pramugari penerbangan sipil di Indonesia adalah masa kerja > 4 tahun ? 16 tahun (RRa1,51 ;95% CI 0,96 ? 2,37; p 0,073), frekuensi makan daging lebih dari 2 kali seminggu (RR 0,57; 95% CI 0,32 ? 1,03; p 0,064), menstruasi heavyflow (RR 3,45; 95% CI 1,05 ? 3,4; p 0,000) dan jenis penerbangan panjang (RR 1,91; 95% CI 2,36 ? 5,02;p 0,034).
Kesimpulan: Pramugari dengan menstruasi heavyflow dan jenis penerbangan panjang mempunyai risiko lebih besar mengalami anemia.Oleh karena itu perlu penanganan anemia lebih komprehensif pada pramugari yang melibatkan pihak regulator dan operator di Indonesia.

Background: Flight attendants must have good health because their main task is maintaining safety of passengers during the flight. Anemia is one of the health problems that often affects reproductive women and can interfere health. This study was conducted to determine the factors associated with anemia in civilian female flight attendant in Indonesia.
Methode: The method used was cross-sectional with purposive sampling and analysis with cox regresion. Anemia criteria if hemoglobin level less than 12 g/dl.
Result: Subjects consisted of 185 civilian female flight attendants aged 18-46 years who conduct regular health checks at Balai Kesehatan Penerbangan. The percentage of anemia in this study was 28.1%. Dominant risk factor for anemia in civil female flight attendants in Indonesia are working period >4 - 16 years (RR 1.51; 95% CI 0.96- 2.37; p 0.073), frequency of eating red meat more than 2 times a week (RR 0.57; 95% CI 0.32 - 1.03; p 0.064), heavyflow menstruation (RR 3.45; 95% CI 1.05 - 3.4; p 0.000) and long haul flight (RR 1, 91; 95% CI 2.36 - 5.02; p 0.034).
Conclusion: Female flight attendant with heavyflow menstruation and long haul flight have higher risk to anemia. Need more comprehensive treatment of anemia in female flight attendant involving regulators and operators in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"Pendahuluan Bagi seorang pilot, OSA dapat berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Salah satu faktor predisposisi utama terjadinya OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia.
Metode Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner STOP-BANG untuk menilai risiko OSA, kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur Excessive Daytime Sleepiness, kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation untuk mengukur obstruksi di hidung, dan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire untuk mengukur aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa body mass index dan lingkar leher.
Hasil Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko tinggi OSA sebesar 35,8%. Kemudian, obesitas dan lingkar leher ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Untuk faktor lainnya, ditemukan juga bahwa usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Untuk faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05).
Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA. Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA.

Introduction In pilots, OSA can impact flight safety as it can cause fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving skills, and multitasking. Increased body weight can predispose to OSA, and occupational factors may influence risk development. This study aims to determine the relationship between obesity and other factors on the risk of OSA in civilian pilots in Indonesia.
Methods This study used a cross-sectional design and was conducted at the Aviation Health Center. Respondents were asked to fill out the STOP-BANG questionnaire to assess OSA risk, the ESS questionnaire to measure EDS, the NOSE questionnaire to measure nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire to measure physical activity. Then anthropometric measurements were taken in the form of BMI and neck circumference.
Results From 176 respondents, 35,8% had a high risk of OSA. Obesity and neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk (p>0.05). The factors most associated with OSA risk were neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction (p<0.05).
Conclusion There is a significant relationship between anthropometric factors such as BMI and neck circumference; demographic factors such as age; comorbid factors such as blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity; and habit factors such as smoking with the risk of OSA. There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"OSA berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Faktor predisposisi utama OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia. Penelitian menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden mengisi kuesioner STOP-BANG untuk risiko OSA, kuesioner ESS untuk EDS, kuesioner NOSE untuk obstruksi di hidung, dan kuesioner GPAQ untuk aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa BMI dan lingkar leher. Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko OSA 35,8%. Kemudian, obesitas, lingkar leher, usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05). Terdapat hubungan bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA.

OSA can impact flight safety by causing fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving, and multitasking abilities. Increased body weight can predispose to OSA, and the risk development is affected by occupational factors. A cross-sectional study to determine the association between obesity and other factors on the risk of OSA in Indonesian civilian pilots was conducted at the Aviation Health Center. The respondents filled out the STOP-BANG questionnaire for OSA risk, the ESS questionnaire for EDS, the NOSE questionnaire for nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire for physical activity. Anthropometric measurements (BMI and neck circumference) were measured. Of the 176 respondents, the prevalence of OSA risk was 35.8%. Obesity, neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There was no significant association between occupational factors and OSA risk (p>0.05). Neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction were the factors most associated with OSA risk (p<0.05). There was a significant association between anthropometric factors (BMI and neck circumference), demographic factors (age), comorbid factors (blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity), and also smoking habits with the risk of OSA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listiana Aziza
"ABSTRAK
Latar belakang: Pilot dapat mengalami dehidrasi ringan yang akan mempengaruhi performa kognitif dan keselamatan penerbangan, sehingga pilot perlu mengonsumsi air putih yang cukup. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih pada pilot sipil.
Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder Survei Kebiasaan Hidup Sehat Pada Pilot Sipil di Indonesia Tahun 2016. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi, pekerjaan, pengetahuan, kebiasaan konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik dan indeks massa tubuh (IMT). Aktifitas fisik dikategorikan aktif (frekuensi latihan fisik ≥ 3 kali/minggu) dan kurang aktif (frekuensi latihan fisik < 3 hari/minggu). Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Dari data 644 pilot, terdapat 528 data yang memenuhi kriteria. Sebanyak 59,3% pilot sipil memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1910 ± 600 ml/hari. Aktifitas fisik, jenis penerbangan, pengetahuan tentang hidrasi dan indeks massa tubuh merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih. Pilot dengan aktifitas fisik aktif memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 34% lebih tinggi dibandingkan kurang aktif [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Pilot sipil dengan jenis penerbangan jarak menengah memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 16% lebih tinggi dibandingkan dengan jenis penerbangan jarak dekat [RRa= 1,16; IK95% 1,00-1,35;p= 0,045]. Pilot yang memiliki pengetahuan baik tentang hidrasi memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 20% lebih tinggi dibandingkan dengan pilot pengetahuan kurang [RRa= 1,20; IK95% 1,05-1,38; p= 0,006]. Dibandingkan pilot dengan IMT <18,5kg/m2, pilot dengan IMT 18,5-23 kg/m2 memiliki 4,14 kali lipat [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] dan IMT > 23 kg/m2 [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] memiliki 4,33 kali lipat lebih terbiasa mengonsumsi air putih yang cukup.
Simpulan: Pilot dengan aktivitas fisik aktif, penerbangan jarak menengah, pengetahuan baik tentang hidrasi dan indeks massa tubuh ≥ 18,5 kg/m2 akan lebih memiliki kebiasaan konsumsi air putih yang cukup.

ABSTRACT
Background: Pilots could risk mild dehydration that would affect cognitive performance and flight safety, so they should have adequate plain water consumption. The purpose of this study was to determine the dominant factor associated with plain water consumption habit among civilian pilots.
Methods: A cross-sectional study using secondary data of Healthy Habit Survey on a civilian pilot in Indonesia 2016. The data collected were demographic, job characteristics, knowledge, fruit and vegetable consumption habit, physical activity and body mass index (BMI). Plain water consumption habit was categorized adequate (water consumption ≥ 8 glasses / day, @ glass = 250 ml) and inadequate (<8 glasses / day). Physical activity was categorized active (frequency physical exercise ≥ 3 day/week) and sedentary (frequency physical exercise <3 day/week). Data was analyzed using Cox regression with constant time.
Results: Out of 644 data, 528 met inclusion criteria. 59.3% pilots had adequate plain water consumption with mean consumption was 1910 ± 600 ml/hari. Physical activity, type of flights, knowledge about hydration and body mass index were dominant factors associated with plain water consumption habit. Compared to sedentary, active pilots were 34% higher to consume adequate plain water [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Compared to short haul flight, pilots with medium haul flight were 16 % more consume adequate plain water, [RRa = 1.16; p = 0.045]. Compared to poor knowledge, pilots with good knowledge were 20% higher to consume adequate plain water [RRa = 1.2; p = 0.006]. Compared to pilots whose BMI <18,5kg/m2, pilots with BMI 18,5-23 kg/m2 and BMI > 23 kg/m2 were respectively 4,14 times [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] and 4,33 times [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] higher to have adequate plain water consumption habit.
Conclusion: Civilian pilots with active physical activity, operate in medium haul flight, good knowledge about hydration and BMI ≥ 18.5 kg/m2 had more adequate plain water consumption habit."
2016
T46638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Golda Naomi
"Latar belakang. Hiperglikemi memiliki komplikasi jangka panjang yaitu penyakit kardiovaskular yang dapat mengganggu kinerja seorang pilot sipil dalam keselamatan penerbangan. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berperan terhadap risiko hiperglikemi. Metode. Subjek penelitian potong lintang dipilih secara purposif di antara pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 29 Mei sampai 9 Juni tahun 2013 di Balai Kesehatan Penerbangan (Balhatpen). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik dan pengambilan data kadar Glukosa Darah Puasa (GDP) dari laboratorium Balhatpen. Hiperglikemi adalah kadar GDP 100-125 mg/dl. Gula darah normal adalah kadar GDP 70-99 mg/dl. Hasil. Selama 10 hari pengumpulan data didapat 612 pilot sipil dan sebanyak 225 orang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini ditemukan 3 faktor dominan yaitu rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam, kebiasaan makan roti setiap hari dan kebiasaan makan makanan manis setiap hari yang berpengaruh terhadap risiko hiperglikemi. Pilot sipil yang memiliki rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam dibandingkan dengan 0-1050 jam per tahun berisiko 7 kali lebih besar mengalami hiperglikemi [risiko relatif suaian (RRa)=7,15; 95% interval kepercayaan (CI)=0,85-57,23; P=0,063]. Pilot sipil dengan kebiasaan makan roti setiap hari dibandingkan dengan 0-4x/minggu berisiko 1,9 kali lebih besar mengalami hiperglikemi [RRa=1,94; 95% CI=0,91-4,16; P=0,085]. Selanjutnya, pilot sipil dengan kebiasaan makan makanan manis setiap hari dibandingkan dengan 0-4x/minggu berisiko hiperglikemi sebanyak 2 kali lipat [RRa=1,99; 95% CI=1,10-3,60; P=0,023]. Kesimpulan. Rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam, kebiasaan makan roti setiap hari, dan kebiasaan makan makanan manis setiap hari mempertinggi risiko hiperglikemi.

Background. Hyperglycemia can lead to long-term complications such as cardiovascular disease that could interfere the performance of a civilian pilot in aviation safety. Therefore, it is necessary to identify the factors that contribute to the risk of hyperglycemia. Methods. This cross-sectional study subjects selected purposively among civilian pilots undergoing their periodic medical check-up on May, 29 to June, 9 2013 at the Aviation Health Center. Data collected through interviews, physical examinations and data retrieval of fasting blood glucose levels from the Aviation Health Center?s laboratorium. Hyperglycemia, if fasting blood glucose levels of 100-125 mg/I. Normal, if fasting blood glucose levels 70-99 mg /I. Result. During the 10 days of data collection obtained around 800 crew members and civilian pilots who meet the inclusion criteria are 225 pilots. This study found three dominant factors, flight hours per year from 1051 to 1130 hours, eating white bread every day and eating sweets everyday that influence the risk of hyperglycemia. Flight hours per year from 1051 to 1130 hours had a 7 times increased risk to hyperglycemia [Relative Risk adjusted (Rra)=7.15, 95% Confidence Interval (CI)=0 0.85-57.23, P=0.063]. Eating white bread everyday had 1.9 times increased risk to hyperglycemia [Rra=1.94, 95% CI=0.91-4.16, P=0.085]. Furthermore, eating sweets everyday at risk of hyperglycemia by almost 2-fold [Rra=1.99, 95% CI=1.10-3.60, P=0.023]. Conclusion. Flight hours per year from 1051 to 1130 hours, eating white bread every day, and eating sweets every day increased risk to hyperglycemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>